• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indahnya Perjalanan ke Serambi Mekah

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 124-135)

Oleh: Rasmita Dila

Rasanya semua orang akan berfikir dua, tiga, atau empat kali mungkin, jika dulu harus kerja atau dinas ke Aceh.

”Mbak Mita, di sana kan markasnya GAM. Hati-hati lho, Mbak. Ntar kalo ketemu GAM,” tetangga sebelah rumahku mengingatkanku dengan nada khawatir sedikit ngeri.

“Tapi kalo GAM-nya ganteng nggak apa-apa sih, Mbak.” “Haaaah, emang ada GAM yang wajahnya ganteng kayak Antonio Banderas gitu mbak?” aku balik bertanya.

”Setahu gua sih mirip-mirip Shahrukh Khan kali ya, Mbak?” tetanggaku balik menjawab dan pasti dibenaknya inget sama filmnya “Kuch-kuch Hota Hai.

Ampuuuuuun deh. Kenapa sampai ke sana ya ngobrolnya. Secuil obrolan tadi adalah prolog pengantar kata sambutan pagi hangat plus mamang si tukang sayur dengan mak-mak tetanggaku, ketika sebelumnya aku dikabarkan My Big Boss untuk tugas ke Aceh.

Perjalanan dimulai dengan menumpangi pesawat **** air boing 737-900 ER. Sebelum berangkat, aku harus memilih dan menentukan apa yang harus aku lakukan di atas pesawat nanti (nggak mungkin kan ngerecokin pilot).

Aku termasuk orang yang suka bercerita (yang ini juga bukan faktor keturunan prend, tapi pasti ada kromosom nyasar kali

menjadi sesosok manusia yang duduk manis, kepala tegak, tangan dilipat, diam seribu bahasa sampai aku sendiri tak mengenali diriku sendiri.

“Parno loe, Mit,” kata temanku seakan tak percaya.

“Gak apa-apalah, daripada gua jadi tukang muntahan di pesawat.” Setelah aku pikir itu kelebihanku satu-satunya ketika di pesawat.

Prend… perjalanan dari Jakarta ke Aceh menempuh waktu kurang lebih 3 jam dengan transit dulu ke Medan.

Setelah take off sukses, “Mau ngapain, Mit?” hatiku bertanya penuh harap. Belum sempat kujawab, ibu di sebelahku bertanya dengan hanya satu pertanyaan. Ku jawab singkat tapi berharap dia tidak akan bertanya lagi.

Tetapi, ramalanku salah besar. Habis satu pertanyaan dilanjutkan dengan pertanyaan yang lain, persis seperti dosen yang lagi nguji sidang skripsi. Pokoknya nggak bisa disela dan disalip (kalo nyalip benjut).

Alamat deh! Entah pertanda buruk apa yang akan menimpaku sekarang ini. Bayangin prend… pertanyaannya dari mulai aku lahir sampai bisa duduk di atas pesawat ini ceritanya bagaimana. Salah makan apa aku pagi tadi?

Entah mantra apa yang sudah kubaca tadi, ternyata si ibu sebelahku udah duluan tidur. “Kecapekan ngobrol nih mestinya,” aku berujar sendiri. Bebas merdeka, mudah-mudahan tidurnya sampe ujung.

“Selamat sore para penumpang yang terhormat, sekarang kita sedang terbang di atas 6000 kaki di atas permukaan laut, dan sekarang berada di atas bukit barisan… bla… bla….”

Sontak serentak semua penumpang melihat keluar jendela, termasuk aku. “Ah, yang bener, ini Bukit Barisan?” ujar ku dalam hati (loe meragukan keabsahan pernyataan pilot, Mit). Bukan apa- apa sih, prend. Satu-satunya pelajaran IPS tentang peta buta yang tidak pernah salah dan lama nyangkutnya, yaaa… gambar Bukit Barisan itu.

Hari ini dengan mata kepalaku sendiri melihat ciptaan Allah yang Maha Indah telah menciptakan Bukit Barisan. Subhanallah….

Tiba-tiba pesawat menikung dan mengepot. Halah!!!! What everlah namanya…. You know-lah what I mean. Ibu di sebelahku mencengkeram keras lenganku. Sekilas kulihat wajahnya pucat tanpa mengeluarkan suara, mungkin lagi berzikir kali ya?

“Tenang-tenang, Bu. Pesawat mulai masuk perairan Aceh,” ucapku dalam hati, padahal jantungku sendiri berdenyut tak teratur seperti lagu rock yang di dangdut-dangdutin.

“Kenapa nggak ngasih tau sih, pak pilot kalo mau nikung?” (baca:berbelok dengan sengaja tanpa pemberitahuan: on the spot).

“Mbak, lihat atap rumah yang berwarna-warni itu nggak?” tiba-tiba si ibu mengajakku berbicara agak serius.

“Ya, Bu. Emang kenapa?” aku balik bertanya

“Itu rumah yang dibangun untuk korban tsunami,” jelas ibu itu dengan singkat tapi punya makna yang dalam. Sepertinya beliau menyimpan kenangan pahit tentang tsunami yang terjadi 2004 yang lalu.

“Oooh,” jawabku sambil menganggukkan kepala tanda mengerti.

“Ibu juga termasuk yang mendapatkan rumah pengganti. Ibu kehilangan 3 anak ibu dan suami ibu,” jelas beliau dengan tatapan pasrah tapi harus berani menerima kenyataan.

Aku terdiam sambil menatap wajahnya. Kali ini tebakanku benar bahwa beliau menyimpan kenangan pahit juga tentang tsunami itu. Seakan berbalik kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Aku yang tadinya males dan berharap tidak mau mendengar pertanyaan dari beliau sekarang malah seperti seorang investigator yang sedang menginvestigasi narasumber layaknya wartawan infotaiment. Banyak hal yang beliau ceritakan kepadaku tentang Aceh, baik sebelum tsunami maupun pasca tsunami dan tentu saja perkembangan Aceh sekarang. Pelajaran ke satu prend, jangan pernah menilai seseorang dari penampilan luar aja.

Tak terasa pramugari sudah mengumumkan bahwa tidak lama lagi pesawat akan landing. Semua penumpang sudah rapi jali duduk di tempat masing-masing. Pesawat mendarat dengan mulus di bandara Sultan Iskandar Muda, NAD.

“Bu Mita, ya?” tanya seorang wanita hitam manis. Penyamaran terbongkar.

“Iya benar. Saya Mita.”

“Saya Mina, Bu. Azmina tepatnya.” Mbak Mina kira-kira gitu nggak ya waktu kita bertemu waktu pertama kali? Well… beda- beda dikit kalimatnya tak apalah ya, prend.

“Ini beneran Aceh?” sambil kakiku kujejakkan ke tanah berkali-kali. Pertanyaan itu kuulang-ulang lagi sampai Mbak Azmina tersenyum. Mungkin dalam hatinya, “Bu Mita norak amat, ya?”

Pertanyaan konyolku selanjutnya adalah, “Basis GAM-nya dimana sih, Mbak? Kira-kira kita ketemu nggak sama mereka?”

Maklum prend, itu termasuk pertanyaan titipan dari tetanggaku. Kata pak ustadz itu termasuk amanah yang harus ditunaikan.

“Sekarang udah aman, Bu,” demikian mbak Mina menjelaskannya dengan singkat, berharap aku mengerti dan tidak takut.

Sepanjang perjalanan dari bandara, aku lebih banyak menikmati suasana dan pemandangan alamnya. “Hemm, subur nian,” bisikku dalam hati. Yang mana sih daun ganja itu? Mataku sambil melihat-lihat cepat di sisi jalan.

Akhirnya aku sampai di hotel Madina tepat di depan rumah sakit Zaenal Abidin yang sedang di renovasi karena rusak diserbu tsunami. Sekilas tapi jelas aku membaca tulisan “Bantuan masyarakat Jepang”. Kebanyakan gedung–gedung yang baru di Aceh, bisa dipastikan bahwa gedung itu dulu telah diserbu air pasang ketika tsunami, termasuk gedung kantor gubernur NAD yang sekarang berdiri gagah.

Malam itu aku beristirahat dengan sangat tenang, walaupun ada sedikit kekhawatiran, kalo tiba-tiba terjadi tsunami lagi gimana ya? Siapa yang akan menolongku ya? Nanti aku lari kemana ya?

Pagi yang cerah, semangat yang membara untuk mulai mengajar basic training pagi ini. Kegiatan basic training dilaksanakan di gedung diklat Dinas Pendidikan Banda Aceh. Hemmm, gedung ini juga masih baru, lengkap dengan tulisan bantuan dari masyarakat Jepang. Bertemu dengan orang-orang Aceh ternyata sangat ramah (kalo untuk yang satu ini emang udah fitrahnya orang Indonesia kali Mit).

Penyampaian materi pada hari pertama berjalan dengan lancar. Peserta sangat antusias mengikuti materi yang aku

sampaikan. Sangat mewakili gambaran “homo ludens” nya (baca: tak ade yang tak suke bermain, mak/bapak, bujang /gadis, budak-budak pun macem tu pula). Mumpung masih di tanah Sumatera, cing. Sikit- sikit pacaklah becakap base Melayu.

Pelajaran kedua prend, seorang trainer harus bisa membawa peserta training atau seminar dalam suasana alfa (suasana gembira dan menyenangkan), apapun kondisinya. Sehingga informasi maupun materi yang disampaikan akan nyangkut dan mudah menerimanya.

Selesai sudah tugasku pada hari pertama, kembali istirahat untuk menyambut tugas pada hari kedua. Hari kedua training bisanya agak santai prend, karena materinya ujian dan microteaching serta TFF (Training For Fascilitator). Well… aku sedikit bisa istirahat, minimal nggak berdiri selama 7 jam.

Tugasku selama 2 hari untuk memberikan materi basic training selesai sudah.

Keesokan harinya sebelum perjalanan pulang ke Jakarta, aku sempatkan dulu jalan-jalan seputaran Aceh. Melihat masjid Baiturrahman yang unik dan indah rasanya salah satu dari mimpiku yang terwujud. Selama ini tentu saja hanya bisa melihat dari tipi saja (udik banget ya?).

Perjalanan pulang dilanjutkan dengan mengantarkanku ke bandara. Terkejut ketika teman-teman dari Aceh memberiku satu kotak oleh-oleh yang aku sendiri nggak tahu isinya apa karena dibungkus dengan kertas kado.

“Well…. Thanks ya, Mbak. Kok repot-repot banget, sih,” ucapku sambil berpikir apa ya isi kotak ini? Yang pasti nggak

mungkin ganja. Ya iyalah, kalo itu ganja sama aja artinya loe buka kamar di penjara.

Giliranku tiba untuk check in. Setelah lama mengantri seperti tahanan yang akan mengambil jatah ransum di penjara, petugas meminta KTP-ku sebagai syarat formal bagi penumpang yang akan terbang. Berkali-kali petugas itu melihat wajahku sambil menyocokkan nama (mungkin) di tiket dengan KTP-ku, atau terkagum-kagum dengan wajahku yang sok manis ini ya? (narsis.com)

“Ibu namanya Rasmitadila?”

“Iya,” jawabku singkat penuh tanda tanya.

Ada yang nggak beres nih, kata hatiku mulai menduga yang nggak-nggak, sambil menerka-nerka jangan-jangan beneran dalam kotak itu ganja. Ah, nggak mungkinlah.

“Tiket ibu hangus,” jelas petugas itu singkat tapi nyelekit. “Apa?” aku jelas nanya balik seakan tak percaya tapi ini terjadi. Masih untung aku nggak pingsan prend. Teman-teman yang mengantarku sudah pada pulang. Trus piye?

Sebelum keberangkatanku ke Aceh, memang ada perubahan tanggal kepulanganku ke Jakarta. Aku memutuskan pulang satu hari setelah selesai memberikan training. Semuanya tidak masalah, kulihat di tiket tanggal kepulangannku juga sudah benar, walaupun ada sedikit bekas hapusan dari travel agent dari Semarang yang dikirimkan kepadaku.

“Saya harus bagaimana, Mbak?” tanyaku kepada petugas tadi.

“Ibu silahkan ke counter **** air untuk menanyakan itu, ya?”

Tanpa babibu lagi aku langsung berlari ke counter maskapai tersebut. Dibenakku sudah tergambar kemarahanku, kegeramanku, keemosianku. Kalo gini nih, aslinya keluar prend. Tak apa, yang penting marah duluan, bener ato salah belakangan. Sepenggal kata- kata dari bos yang masih kuingat (piss boss, he..he).

Sambil membawa semua tas dan bawaanku, aku melangkah. Rasanya aku tak peduli lagi tasku mau hilang kek, mau diambil orang kek, yang penting bagaimana caranya aku bisa pulang cing.

Aku langsung menyerobot masuk ke dalam kantor **** air. Kebayang antara pertanyaan dengan pernyataan nggak ada lagi bedanya, nada suaraku sudah tak teratur. Rasanya range nadaku sudah keluar dari pakemnya, keluar bebas tanpa sensor.

Aku harus memenangkan pertempuran ini, batin kecilku meronta tak karuan. Tanpa ada pertolongan, but pertempuran jadi tak seimbang. 3 lawan 1. Alhasil, aku harus beli tiket baru lagi. Ternyata sistem yang ada di Aceh ini tidak bisa online, makanya data yang sudah berubah tidak terkirim. Jadinya kenapa tiketku hangus. Di data tertulis kalau aku pulang sehari sebelumnya.

Mau ambil uang dimana kalo sekarang, sambil celingak- celinguk mencari mesin ATM. Bandara waktu itu sedang direnovasi, sehingga ATM ada di gedung yang berbeda. Sementara pesawatku tinggal beberapa menit lagi akan berangkat. Perasaanku waktu itu campur aduk kayak nano-nano. Degup jantungku rasanya tak normal lagi, seakan lepas dari badanku. Kalo gini ini pepatah Jawa yang bilang “alon-alon asal klakon” tak berlaku normal.

Sebentar prend, ada pencerahan nih. Aku teringat sebelum menuju bandara, mbak Azmina telah memberikan honor mengajarku. Padahal selama ini setiap habis mengajar aku jarang sekali mau

menerima honorku dalam bentuk cash. Biasanya aku meminta ditransfer aja. Nggak tau hari itu entah ada angin darimana aku menerima aja honor yang diberikan kepadaku dalam bentuk cash. Kutarik satu amplop besar dan saat itu kuhitung berapa jumlahnya. “Mbak, harga tiketnya berapa?” tanyaku dengan nada sedikit gemetar takut nggak cukup.

“Harganya sekian bu…,” jawab si mbak petugas ****air. Bukan sulap bukan sihir, uang honorku langsung habis terkuras tanpa sisa sedikit pun. Yang tersisa hanya sebuah amplop kosong merana sedih, bagaikan habis manis sepah dibuang.

Setelah membeli tiket yang baru dan check in (lagi) aku langsung menuju ruang tunggu. Tiba-tiba, titititititi… suara alarm pintu masuk ruang tunggu berbunyi tanpa kompromi, berisik. Seolah-olah yang empunya barang jadi tertuduh karena membawa senjata tajam melebihi kejamnya GAM sekalipun.

“Astagfirullah, ini apa lagi sih?” tanyaku penuh emosi sampai aku ngerasa wajahku udah tertekuk sepuluh deh.

“ Maaf ibu, kotak yang ibu bawa adalah barang tajam,” jelas petugas bandara.

“Mana saya tahu itu barang tajam, saya juga dikasih,” jelasku dengan nada yang juga lebih tinggi dari petugas itu, soalnya ngerasa di atas angin prend.

“Tapi aturannya tetap nggak boleh dibawa, Bu. Kalau belum didaftarkan ke bagian security bandara.” Petugas itu juga nggak mau kalah denganku.

“Emang isinya apa sih?” tanyaku penasaran cenderung curiga. Mau nyalahin teman-teman yang ngasih, nggak mungkinlah.

“Ya sudah ambil saja buat situ, saya nggak mau bawa” jawabku geram sambil setengah berlari-lari kecil. Kalo mbak Mina baca ini pasti bingung deh menentukan sikap, lebih tepatnya nggak enak body.

“Ya sudah Bu, bawa saja rencongnya. Nanti di pesawat lapor saja sama pramugarinya, ya?” Kayaknya petugas itu sudah iba melihatku. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Tinggal nunggu pingsannya pren....

“Emang Mama mau mbajak pesawat pake rencong, ya?” aku ingat celotehan ayah ketika kuceritakan hal ini.

Untung sebelum berangkat tadi aku makan mie Aceh dulu dengan porsi banyak. Jadi tenagaku bagaikan kuli tenaga pelabuhan (keren abisss… Mit).

Setelah sampai ruang tunggu, kulihat tidak ada satu pun penumpang yang tersisa. Hanya ada aku dan satu orang petugas air yang membantuku ikutan lari-lari kecil menuju pesawat.

Pesawat yang kunaiki adalah pesawat jenis MD yang pintu masuknya ada di bagian belakang pesawat. Segera aku masuk pesawat dan duduk paling belakang. Untung pintunya ada di belakang, ucapku dalam hati. Coba kalau aku masuk dari depan, pasti udah diplototin semua penumpang. Masih mending hanya diplototin, kalo ditimpuk sama kardus rame-rame gimana coba? Kondisinya persis seperti artis yang lagi konser, tapi mendadak suaranya hilang karena tenggorokannya kemasukan biji kedondong muda.

Alhamdulillah, akhirnya ada di dalam pesawat juga. Aku benar-benar menjadi orang yang paling “most wanted” banget deh.

“Apes nggak apes itu tergantung amal ibadah loe deh, Mit,” temanku yang mendadak jadi tukang ceramah saat itu.

“Atau loe salah minum obat kali ya?” lanjutnya. “Harusnya loe minum obat keberuntungan, jangan obat apes,” tambahnya.

Aku sudah tidak bisa membayangkan siapa orang yang duduk di sebelahku. Mau bapak-bapak kek, mau nenek-nenek kek, mau Antonio Banderas sekalian, yang ada di benakku saat itu hanya tidur dan tidur.

Prend… kisah kepulanganku ini sebenarnya baru kukisahkan di cerita ini. Yakin deh, mbak Mina juga belum pernah mendengarkan kisah ini. Setiap kali mendengar kata-kata Aceh, pasti hati dan pikiranku kompak meregister kenangan terindah itu dan ini membuatku agak sedikit “trauma” ketika beberapa kali harus check in. Sempat peristiwa yang sama hampir terjadi (Aceh juga) ketika aku harus check in dan petugas (sekali lagi) melakukan hal yang sama dengan ceritaku di atas.

Well prend…. Aceh punya cerita dan kesan tersendiri buatku. Pelajaran berharga banyak yang kudapat dari sini. Menjadi trainer yang semakin tangguh dan menjadi “decision maker” super cepat dalam kondisi kepepet harus selalu dipunyai oleh setiap trainer, setiap orang bahkan.

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 124-135)