• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjalin Persaudaraan di Lahat

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 67-72)

Oleh: Saepullah

Siapa sangka dan siapa kira aku menjadi seorang suami dari wanita berdarah Lahat, Sumatera Selatan. Mendengar nama Lahat, pasti yang akan terbayang adalah sebuah daerah dimana banyak terdapat perampokan bila melewati daerah tersebut. Ya, itulah kenyataannya. Lahat pada era sebelum tahun 2000-an memang terkenal dengan aksi perampokan bila melewati hutan di daerah Lahat ini. Yang menjadi sasaran adalah pengendara kendaraan bermotor, apakah itu bus, mobil, atau sepeda motor. Selalu terkena yang namanya perampokan dari daerah ini. Apakah benar itu adanya? Lalu mengapa bisa orang-orang daerah ini mempunyai sifat yang jahat seperti itu? Baiklah untuk menjawabnya aku akan menceritakan sebuah catatan perjalanan yang kualami saat aku harus menerima wanita pilihan hatiku untuk kusunting menjadi istriku.

Perjalanan yang kulakukan terjadi pada tahun 2010. Tepatnya pada 25 Februari 2010. Aku serta rombongan berangkat dari Bogor pukul 21.00. Rombongan saat itu yaitu ada dua mobil. Selama di perjalanan kami hanya berdoa mendapat keselamatan di perjalanan nantinya. Perjalanan untuk menyeberang lautan harus dilakukan di pelabuhan Merak. Mulai menyeberang di Merak hingga sampai di Bakauheni, Lampung. Perjalanan ini sungguh menakjubkan kembali saat satu mobil kami mengalami kecelakaan. Kejadiannya saat akan turun dari kapal Ferry mobil dari arah depan

mundur. Mobil tersebut perhitungannya tidak pas hingga bagian mobil rombonganku tersebut tercium oleh mobil tersebut. Kontan saja kami agak tersinggung oleh kejadian tersebut. Namun demikian temanku yang mempunyai mobil tersebut tidak mempermasalahkan kejadian tersebut. Orang yang menabrak pun meminta maaf. Dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan karena kondisi kami saat itu sangat mepet. Kami hanya mengikhlaskan kejadian tersebut.

Kejadian dalam perjalanan lainnya yaitu sungguh menakjubkan ketika kami sampai. Aku melihat begitu banyak orang yang bekerja disana mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan muda- mudi di sana semuanya bersatu padu untuk melancarkan resepsi pernikahanku dengan calonku tersebut. Awalnya aku berpikir bahwa ini wajar dalam setiap agenda resepsi memang selalu seperti ini. Dan kemungkinan itu hanyalah orang yang akan dibayar. Aku pun tidak memikirkan kembali hal tersebut karena aku masih berkonsentrasi untuk acara ijab qabul pada keesokan harinya. Aku dan rombongan pun diberi tempat berteduh di tempat pamannya dari istriku. Aku dan rombongan pun istirahat sejenak untuk menghilangkan lelah.

Sebelum istirahat kami pun disajikan beberapa makanan yang sungguh unik. Ada pede kepayang, kasam, umbut sawit, rebung masam, hingga terong bulat-bulat dan kecil. Makanan tersebut kuketahui namanya ketika aku menanyakannya kepada istriku setelah resmi menjadi suaminya. Makanan tersebut akan aku ulas satu persatu. Pede kepayang adalah masakan berbentuk hitam-hitam kecil. Awalnya kupikir itu daging namun ketika dimakan agak pahit. Ternyata pede kepayang itu dalam bahasa Indonesianya bernama keluwek. Masakan berikutnya yaitu kasam. Masakan ini mirip urap

berwarna putih dan mengandung air dalam setiap teksturnya. Umbut sawit dan terong aku pikir tidak usah dijelaskan karena kita semua sudah tahu dilihat dari namanya. Namun yang unik dari terongnya disini adalah berbentuk bulat kecil-kecil. Sangat jarang (bahkan bisa dikatakan tidak ada) ditemui di kota besar seperti di Jakarta. Nah, masakan unik lainnya yaitu rebung masam. Masakan ini memiliki kemiripan dengan steak, namun disini terdapat kuahnya. Jadi bisa dikatakan steak berkuah. Itu seputar masakan yang kurasakan saat menjelang akad nikahku.

Oke, kita lanjutkan cerita perjalanan yang kualami disini. Akad nikahku cukup dilaksanakan di masjid dekat rumah calon mertuaku. Tak ada perayaan khusus setelah akad nikahku. Hal ini karena aku dan calon istriku yang minta untuk tidak dirayakan. Namun demikian para warga banyak yang berdatangan ke masjid untuk menyaksikan akad nikah antara aku dan calon istriku. Aku merasakan sebuah acara yang berbeda dari tempat di manapun. Acara ini sungguh besar dan membuatku takjub akan sakralnya acara pernikahanku dengan kehadiran orang yang merestui. Setelah aku mengucapkan ijab qabul dan resmi menjadi suami dari istriku, maka warga makan di masjid tersebut dan setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Rombonganku pun kembali ke Jakarta hingga aku tinggal seorang diri di Lahat ini.

Ketika malam harinya aku kaget luar biasa. Mengapa demikian? Hal ini karena warga berdatangan kembali. Kupikir mereka ingin menemuiku. Dugaanku salah. Para warga banyak berdatangan kembali karena akan dilaksanakan sebuah acara pembubaran panitia. Kok, pembubaran panitia? Ya, memang benar

pembubaran panitia. Karena kejadian orang saat kulihat awal kedatangan yang banyak tersebut ternyata terdapat panitia dari warga daerah Lahat tersebut. Warga antusias menjadi panitia dan bersama- sama mensukseskan sebuah acara dari salah satu warganya. Dalam kesempatan ini adalah mertuaku yang mempunyai acara pernikahan anaknya denganku. Sebuah makna kekeluargaan yang kental.

Setiap acara yang dilaksanakan di kampung istriku ini memang selalu dibuat sebuah kepanitiaan dari warga sendiri. Panitia ini semuanya diatur. Ada bagian perlengkapan, acara, hingga bagian memasak. Bagian perlengkapan dan acara diserahkan untuk kaum pria, sedangkan bagian memasak ada wanita ada juga prianya. Bagian perlengkapan bertugas mendirikan sebuah tenda dan perlengkapan yang dibutuhkan juga untuk meruntuhkan kembali tenda tersebut jika sudah selesai. Lebih fokusnya bagian ini mengatur pembuatan tenda serta barang yang dibutuhkan untuk memasak jika ada yang membutuhkan. Nah, bagian acara khusus ketika akan dilaksanakannya acara. Jika acaranya pernikahan maka bagian ini mengatur acara untuk pernikahan. Jika acaranya sedekah (baik itu acara nazar potong sapi, ataupun acara walimatus safar) maka acara dibuat khsus untuk sedekah. Mereka khusus menangani masalah tersebut. Nah, untuk bagian memasak, bagian ini khusus untuk memasak. Untuk pria yang masuk dalam bagian memasak maka tugasnya adalah memarut kelapa, memasak air, hingga memasak nasi dalam skala besar. Untuk kaum wanitanya maka bertugas memasak lauk dan hidangan makanan unik yang kuceritakan sebelumnya. Masakan lainnya yang tentu ada yaitu rendang, ayam goreng, serta lalapan.

Kepanitian yang dibuat memang sedikit sederhana namun yang uniknya adalah sebuah nilai persaudaraan yang hendak dibangun dalam agenda kepanitian ini. Penjagaan nilai-nilai persaudaraan ini yang harus dilestarikan dan jangan sampai luntur akibat zaman. Makanya warga disini membangun hal tersebut. Permasalahan lainnya yang terjadi tentang perampokan di awal tulisan adalah bukan ulah dari warga daerah sekitar ini khusunya warga dusun Gunung Kembang, tapi warga daerah lain. Oleh sebab itu, aku juga ingin membuktikan bahwa kampung istriku bukanlah kampung perampok tapi kampung yang penuh nuansa persaudaraan yang kental. Jika pembaca sekalian melewati dusun Gunung Kembang Lahat, Sumatera Selatan, maka berhentilah sejenak dan rasakanlah nilai persaudaraan di sini. Semoga persaudaraan kita selaku bangsa Indonesia menjadi utuh yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam dokumen A Memorable Journey Kisah Perjalanan yan (Halaman 67-72)