• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

B. Bahasa Jawa yang Diteliti

Bahasa Jawa yang diteliti adalah bahasa Jawa yang dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari oleh masyarakat tutur Jawa yang berada di Kota Semarang dan Pekalongan, dalam bentuk verbal dan tulisan yang terjadi pada peristiwa tutur sehari-hari pada ranah keluarga dan masyarakat. Digunakan secara sungguh-sungguh atau serius, sedang bahasa Jawa yang digunakan untuk bermain-main, melawak, ataupun pelesetan akan diabaikan.

Bahasa Jawa bentuk verbal adalah tuturan bahasa Jawa ragam ngoko dan krama yang dipergunakan sehari-hari, apa adanya dan bersifat natural. Tuturan tersebut dipergunakan dalam ranah keluarga dan hubungan kemasyarakatan. Tuturan pada ranah keluarga yang dijadikan objek penelitian adalah tuturan yang terjadi pada keluarga inti Jawa yang alur komunikasinya mencerminkan relasi antara anak dengan orang tua, antara suami-isteri dan sebaliknya. Tuturan pada ranah masyarakat yang dibidik adalah alur komunikasi yang terjadi di masyarakat yang melibatkan anggota masyarakat yang terlibat dalam peristiwa tutur baik yang terwadah dalam pertemanan, pertemuan, transaksi jual beli, tegur sapa, maupun paguyuban kerja informal.

Bahasa Jawa bentuk tulis adalah hasil penulisan kreatif penutur yang dipandu melalui daftar tanyaan. Hasil penulisan kreatif ini dapat berwujud penguasaan kosakata ngoko dan krama ataupun kalimat hasil translitrasi dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa (cf. Olsen, 2006).

Arahan utama penelitian ini adalah penggunaan bahasa Jawa ngoko, dan krama. Bahasa Jawa ngoko yang diteliti adalah bahasa Jawa ngoko sehari-hari yang masih dipakai oleh penutur di wilayah penelitian, sehingga dapat dimungkinkan bentuk ngoko lugu ataupun ngoko alus. Bahasa Jawa krama yang diteliti adalah bahasa Jawa krama lugu dan krama alus yang masih bertahan di wilayah penelitian: Kota Semarang dan Kota Pekalongan.

1. Bahasa Jawa Ngoko Lugu

Batasan yang dipakai untuk bahasa Jawa ngoko lugu adalah unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa yang semua kosakatanya menggunakan bentuk ngoko, baik kosakata dasar maupun imbuhannya, baik untuk penutur (01), mitra tutur (02), maupun orang yang dibicarakan (03). Tidak ada penyelipan bentuk lain (bentuk krama) (Edi Subroto dkk, 2008:17). Bentuk ngoko lugu ini biasanya digunakan pada sosiokultural yang mencerminkan situasi yang sangat akrab; menunjukkan tidak ada jarak antara penutur (01) dengan mitra tutur (02), dan orang yang dibicarakan (03); tidak ada rasa segan atau ewuh pakewuh; dan memiliki status sosial relatif sederajad, seperti dalam tuturan (3b-1)di bawah ini, yang terjadi di wilayah tuturan Kota Semarang.

Data 3b-1:

(1) Kang lautan sik, yuk kahat neng Budhe Sumirah. „Kang istirahat dahulu, kita makan di Budhe Sumirah.‟ (2) Rapate sajake diundur ngenteni tekane pak RT.

„Rapatnya tampaknya diundur menunggu kedatangan pak RT‟ (3) Gawanen gen rak gigol.

„Bawa saja biar tidak jatuh.‟

Khusus pada tuturan (3b-1:1,3) di atas di samping menunjukkan sebagai bentuk tuturan ngoko lugu juga memperlihatkan adanya ciri kedialektalan wilayah tutur Semarang, yakni munculnya leksikon lautan „istirahat setelah selesai bekerja‟ dan kahat „makan‟ pada tuturan (3b-1:1) dan rak gigol „tidak jatuh‟ pada tuturan (3b-1:3). Kehadiran leksikon dialektal inilah yang memperkaya keragaman ngoko lugu sekaligus sebagai ciri pembeda terhadap dialek wilayah lainnya.

Beberapa abstraksi pemakaian munculnya bahasa Jawa ngoko lugu dalam peristiwa tutur digambarkan oleh Edi subroto dkk (2008:17) sebagai berikut:

1) Mereka yang memiliki hubungan pertemanan yang sangat akrab dan sebaya.

2) Orang tua kepada anaknya dan menantunya; 3) Nenek atau kakek kepada cucunya;

4) Majikan kepada buruhnya;

5) Guru kepada muridnya;

6) Orang yang memiliki status sosial tinggi kepada yang memiliki status sosial rendah;

7) Percakapan di pasar antara sesama bakul pasar, dan di antara para sopir becak.

2. Bahasa Jawa Ngoko Alus

Batasan yang dipakai untuk bahasa Jawa ngoko alus adalah pemakaian bentuk ngoko yang disisipi oleh kata-kata krama dan krama inggil; penggunaan kata-kata krama dan krama inggil untuk menghormati mitra tuturnya (02) atau seseorang yang dibicarakan (03). Tuturan bentuk ngoko alus tersebut tercermin pada data (3b-2) di bawah ini:

Data 3b-2:

(1) Ceraka ben jelas ngendikane penjenengan kuwi. „Mendekatlah supaya jelas ucapanmu itu‟

(2) Butuhe panjenengan kuwi pira, semene sampun cekap? „Keperluanmu itu berapa, segini sudah cukup?‟

Bentuk ngoko alus pada tuturan (3b-2:1,2) di atas ditandai dengan kehadiran leksikon krama dan krama inggil untuk menghormati mitra tuturnya, yakni munculnya leksikon krama: sampun „sudah‟ dan cekap „cukup‟ (3b-2:2) dan leksikon krama inggil: ngendika „berbicara‟ (3b-2:1); panjenengan „kamu‟ (3b-2:1,2).

Adapun pemakaian tuturan bentuk ngoko alus ini diabstraksikan oleh Edi Subroto dkk (2008:19), sebagai berikut:

1) Mereka yang berstatus sosial sama, tetapi masih memiliki rasa saling menghormati, ada rasa ewuh pakewuh „segan‟, peristiwa ini banyak terjadi pada para pegawai sekantor atau di lingkungan pekerjaan yang sama atau hubungan antara isteri kepada suaminya.

2) Mereka yang berstatus sosial lebih tinggi tetapi akrab dan bersahabat, terjadi di lingkungan pekerjaan digunakan oleh atasan kepada bawahannya.

3. Bahasa Jawa Krama Lugu

Batasan yang dipakai untuk bahasa Jawa krama lugu atau krama limrah (Marmanto, 2013:2) adalah pemakaian tuturan bahasa Jawa yang memiliki nilai rasa lebih tinggi daripada tuturan ngoko alus. Pemakaian bentuk ini menunjukkan adanya nilai kesopanan dan penghormatan penutur (01) kepada mitra tuturnya (02) atau pihak lain yang dibicarakan (03), dengan bentuk penghormatan yang wajar. Adapun abstraksi pemakaiannya, dideskripsikan oleh Edi Subroto dkk (2008:22) sebagai berikut:

1) Mereka memiliki status sosial yang sama, sebaya, namun belum akrab, atau baru berkenalan.

2) Penutur memiliki status sosial lebih tinggi daripada 02, namun masih memiliki rasa segan dan berkeinginan untuk menghormatinya.

3) Penutur lebih tua baik usia maupun jalur kekerabatannya dengan 02, namun masih memiliki rasa segan untuk menghormatinya.

Bentuk tuturan krama lugu terekam dalam data (3b-3) di bawah ini, yang memperlihatkan adanya rasa segan dari 01 untuk menghormati 02.

Data 3b-3:

(1) Pak, layangipun kula beta nggih? „Pak, suratnya saya bawa ya?‟ (2) Monggoh kula tumut mawon.

„Silakan saya ikut saja.‟ (3) Nembe mawon kula disukani.

„Baru saja saya diberi‟ 4. Bahasa Jawa Krama Alus

Batasan yang dipakai untuk bahasa Jawa krama alus adalah pemakaian tuturan bahasa Jawa yang dianggap paling tinggi dalam pergaulan natural. Bentuk ini dipakai karena penutur (01) merasa perlu menghormati mitra tuturnya (02) dan atau 03. Derajat dan posisi 01 berada di bawah 02/03. Adapun abstraksi pemakaiannya digambarkan oleh Edi Subroto dkk (2008:26), sebagai berikut:

1) Orang muda kepada orang tua yang sangat dihormati, 2) Anak kepada orang tua,

3) Murid kepada guru,

4) Bawahan kepada atasan, 5) Buruh kepada majikan,

6) Pembantu rumah tangga kepada tuan rumah,

7) Orang berstatus rendah kepada orang yang berstatus tinggi, 8) Santri kepada ustadz,

9) Kotbah di tempat ibadah, dan

Data (3b-4) di bawah ini mengilustrasikan tuturan bentuk krama inggil, yang mencerminkan tuturan orang muda kepada orang tua.

Data 3b-4:

(1) Mbah, dhaharipun sampun cumawis? „Mbah, makanannya sudah tersedia?‟ (2) Ibu benjing tindakipun?

„Ibu besuk berangkatnya‟

(3) Bapak tasih sare, monggoh pinarak rumiyen? „Bapak sedang tidur, silakan duduk dahulu?‟ 5. Bahasa Jawa Standar

Bahasa Jawa standar atau bahasa Jawa baku atau bahasa Jawa Solo-Jogja dalam penelitian ini dimanfaatkan sebagai tolok ukur terhadap bentuk pemakaian bahasa Jawa yang digunakan di Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Dasar pertimbangan yang digunakan adalah bahasa Jawa standar adalah bahasa Jawa yang “sudah jadi” yang ditilik dari sejarah kehidupannya. Fungsi penggunaannya tidak hanya dalam percakapan keseharian tetapi juga dalam penciptaan karya seni sastra, begitu pula dalam pertuturan resmi dan santun. Lebih utama lagi bahasa Jawa standar memiliki seperangkat kaidah yang telah baku dan terpelihara. Selain itu memiliki kemantapan fungsi sebagai pemersatu, pemerbangga, dan tolok ukur bagi pemakaian bahasa yang tepat (Sudaryanto, 1991:1-2).