• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI KOTA SEMARANG DAN KOTA PEKALONGAN

C. Penguasaan Kosakata Ngoko dan Krama pada Generasi Muda di Kota Semarang dan Kota Pekalongan

2) Kalangan Optimistis

Kalangan optimistis diwakili oleh penutur Jawa yang tinggal di perkotaan itu sendiri. Mereka menganggap bahwa fenomena terjadinya commit to user

campur kode antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia justru akan memperkokoh posisi bahasa Jawa itu sendiri. Kekokohan bahasa Jawa telah diperlihatkan melalui fiturnya, yakni terbuka dan luwes terhadap pengaruh bahasa dari manapun juga. Sifat terbuka memperlihatkan bahwa bahasa Jawa dapat menerima kosakata bahasa apapun masuk kedalam ujarannya. Sifat luwes memperlihatkan bahwa setiap bahasa yang bersentuhan dengan bahasa Jawa dapat dijawakan atau diubah menjadi bahasa Jawa.

b. Tumpang Tindih Penempatan Kosakata dalam Tuturan

Tumpang tindih penempatan kosakata, terutama leksikon krama inggil dalam tuturan. Tumpang tindih kerapkali terjadi manakala bersentuhan dengan kesopanan bertutur dengan mitra tutur. Tumpak tindih yang terjadi adalah kebebasan menempatkan kosakata krama inggil dalam berujar tanpa mempertimbangkan kaidah normatif yang berlaku dalam bahasa Jawa standar. Akibatnya adalah munculnya kramanisasi pada diri sendiri atau kramanisasi diri. Fenomena ini terlihat pada data tuturan (4c-6) di bawah ini. Data 4c-6:

(1) Pak mangke sonten kula badhe tindak teng jenengan. „Pak nanti sore saya akan pergi ke tempat Bapak. (2) Mboten usah diarep-arep, mangke diparingi.

„Tidak usah ditunggu-tunggu, nanti dikasih‟ (3) Kulo tak siram riyin mang entosi sekedhap.

„Saya akan mandi dulu ditunggu sebentar‟.

Tuturan (4c-6) adalah bentuk ujaran berterima dan produktif di kalangan penutur Jawa di Kota Semarang. Keunikan atau kekhasan ujaran tersebut terletak pada penempatan leksikon krama inggil: tindak „pergi‟, {di-paring-i} „diberi‟ dan siram „mandi‟ untuk diri penutur (kula „saya‟). Fenomena ini berseberangan dengan kaidah normatif yang berlaku dalam bahasa Jawa standar yang memiliki ketetapan baku bahwa kosakata krama/krama inggil hanya diperuntukkan kepada mitra tutur yang memiliki fungsi dan status sosial lebih tinggi daripada penutur serta pantang untuk dipakai oleh diri penutur.

c. Kramanisasi Kosakata Ngoko

Untuk menutupi kekurangan penguasaan kosakata krama dan krama inggil biasanya digantikan posisinya dengan kosakata kosakata ngoko yang dikramakan atau kramanisasi kosakata ngoko.

Proses kramanisasi dari bentuk ngoko ke dalam bentuk krama dilakukan dengan mengimbuhkan afiks penanda leksikon krama ke dalam leksikon ngoko. Proses ini dianggap paling mudah daripada mencari padanannya dalam bentuk krama dan krama inggil. Gejala ini tercermin pada tabel 4.11 di bawah ini.

Tabel 4.11: Proses Kramanisasi dari bentuk ngoko dan Kosakata Padanan dalam Bentuk Krama dan Krama Inggil

Gloss Ngoko AfiksKrama Kosakata Kramanisasi

Kosakata Padanan Krama Krama Inggil

1 datang teka -ipun tekanipun dugi rawuh

2 duduk linggih dipun- -aken dipunlinggihaken lenggah pinarak 3 makan mangan -ipun manganipun nedha dhahar 4 pulang mulih,

bali

-ipun balinipun mantuk, wangsul

kondhur

5 rumah omah -ipun omahipun griya dalem

Suburnya gejala kramanisasi dari bentuk ngoko ke dalam bentuk krama pada tuturan sehari-hari, tampak pada data tuturan (4c-7) di bawah ini: Data 4c-7:

(1) Tekanipun dinten napa, Mas? „Datangnya hari apa, Mas?‟ (2) Monggoh dipunlinggihaken riyin.

„Silakan didudukan terlebih dahulu‟ (3) Nuwun sewu manganipun ngagem blenyek

„Mohon maaf makannya dengan lauk blenyek8 . (4) Mangke mulihipun lewat pundi nggih?

„Nanti pulangnya lewat mana ya?‟ (5) Omahipun radi awon

„Rumahnya agak jelek‟

Tuturan (4c-7) di atas dianggap sebagai bentuk tuturan yang sopan dan berterima oleh penutur Jawa di Kota Semarang walaupun bertentangan

8 Ikan Blenyek adalah sejenis olahan ikan asin khas lauk Kota Semarang

dengan kaidah normatif bahasa Jawa standar yang melarang mengimbuhkan afiks penanda krama ke dalam leksikon ngoko.

Adapun beberapa faktor pemicu munculnya kramanisasi leksikon ngoko pada masyarakat penutur Jawa Kota Semarang adalah:

1) Rendahnya penguasaan kosakata krama dalam diri penutur.

2) Keengganan belajar bahasa Jawa krama dalam kehidupan sehari-hari. 3) Kebiasaan seneng nggampangke (suka melakukan yang termudah)

dalam kehidupan bertutur.

4) Legalitas lingkungan yang mensyahkan keberterimaan bentuk tuturan kramanisasi ngoko sebagai bentuk yang sopan.

5) Kontinuitas penggunaan dalam tuturan harian. d. Penjawaan Bahasa

Penjawaan bahasa atau menjawakan bahasa lain ke dalam bahasa Jawa (naturalisasi bahasa) dilakukan dengan memanfaatkan morfem bahasa Jawa yang dilekatkan ke dalam bahasa lain, dengan proses morfologik Jawa. Fenomena ini diperlihatkan pada data tuturan (4c-8) di bawah ini.

Data 4c-8:

(1) Monggoh dipuntiduraken riyin kersanipun mboten rewel. „Silakan ditidurkan dahulu agar supaya tidak rewel‟

tidur (BI) + {dipun--aken} (simulfiks BJk) > dipuntiduraken (2) Sedaya sampun saget dipunberangkataken.

„Semua sudah bisa diberangkatkan‟

berangkat (BI) +{dipun--aken}(simulfiksBJk)> dipunberangkataken (3) Buku menika kapan badhe dipunlauncing.

„Buku itu kapan akan diluncurkan‟

launcing (Bing) + {dipun-} (prefiks BJk) > dipunlauncing (4) Cubi dipunprint riyin.

„Coba dicetekan terlebih dahulu‟

print (BIng) + {dipun} (prefiks BJk) > dipunprin (5) Ingkang gampil dipundelete mawon.

„Yang paling mudah dihapus saja‟

delete (BIng) + {dipun} (prefiks BJk) > dipundelete (6) Nyuwun tulung dipuncopiaken riyin.

„Minta tolong dikopikan dulu‟

copy (BIng)+{dipun- -aken}(simulfiks BJk) > dipuncopiaken Tuturan (4c-8) memperlihatkan adanya gejala penjawaan bahasa melalui proses morfologik Jawa. Pada tuturan (4c-8:1,2) terjadi penjawaan commit to user

bahasa Indonesia, yakni kata tidur dan berangkat mendapat tambahan simulfiks krama {dipun-/-aken} menjadi dipuntiduraken dan dipunberangkataken. Tuturan (4c-8:3,4,5) terjadi penjawaan bahasa Inggris, yakni kata launcing, print, delete mendapat tambahan prefiks krama {dipun-} menjadi dipunlauncing, dipunprint, dipundelete. Tuturan (4c-8:6) kata dipuncopiaken terbentuk dari penjawaan bahasa Inggris copy dengan mendapat tambahan simulfiks krama {dipun-/-aken} menjadi dipuncopiaken. Fenomena pada tuturan (4c-8) memperlihatkan bahwa morfem terikat {dipun-/-aken} mempunyai kekuatan mengubah kosakata bahasa Indonesia atau bahasa asing menjadi kosakata bercorak Jawa. Terdapat keistimewaan bahwa daya lekat morfem terikat bahasa Jawa selain memiliki fungsi mengubah bentuk dan makna, juga memiliki fungsi mengubah corak berbentuk Jawa. Gejala ini sebagai bukti kelenturan bahasa Jawa mudah menerima bahasa lain, sekaligus membuktikan bahwa bahasa Jawa berkembang sesuai jamannya. Muncul kosakata baru “kosakata bahasa Jawa kekinian”, wujudnya dibangun dari akulturasi antara bahasa Jawa dengan bahasa lainnya yang berkontruksi Jawa.

e. Produktifitas Leksikon Dialektal

Munculnya kosakata dialektal diakui oleh penutur Kota Semarang dan Kota Pekalongan sebagai pengayaan dan sekaligus ciri kekhasan tuturan bahasa Jawanya: basa Semarangan dan basa Kalongan. Dianggap khas karena kosakata tersebut hanya ditemui di wilayah pakai Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Bilamana ada kemiripan bentuk biasanya memiliki arti (gloss) yang berbeda. Pada umumnya kosakata tersebut berbentuk ngoko dan berfungsi sebagai pengakraban (relasi akrab/tidak berjarak) terhadap sesama komunitasnya. Beberapa kosakata yang memperlihatkan ciri dialektal Kota Semarang (4c-10:1-4) dan Kota Pekalongan (4c-10:5-7) yang tercermin pada data (4c-10) di bawah ini .

Data 4c-10:

(1) badak „sejenis makanan ringan / bakwan‟ (2) banger „bau tidak sedap‟

(3) cengcengpo „teman akrab/sahabat dekat‟ (4) ciak „makan‟

(5) bebas ho „terserah (6) becek „jengkel‟

D. Potret Penggunaan Bahasa Jawa Ngoko dan Krama pada Ranah