• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Penggunaan Bahasa Jawa Ngoko Lugu pada Ranah Keluarga Kajian terhadap penggunaan bahasa Jawa ngoko yang berada di kota

DI KOTA SEMARANG DAN KOTA PEKALONGAN

D. Potret Penggunaan Bahasa Jawa Ngoko dan Krama pada Ranah Keluarga dan Masyarakat di Kota Semarang

6. Potret Penggunaan Bahasa Jawa Ngoko Lugu pada Ranah Keluarga Kajian terhadap penggunaan bahasa Jawa ngoko yang berada di kota

Semarang akan diawali pada ranah keluarga selanjutnya diteruskan pada ranah masyarakat. Masing-masing ranah akan dideskripsikan penggunaan bahasa Jawa ngokonya berdasarkan temuan lapangan.

a. Keluarga Muda Jawa Perkotaan

Keluarga muda Jawa di wilayah perkotaan Semarang memandang bahasa Jawa ngoko memiliki peran penting sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan gagasan sekaligus sebagai sarana menyalurkan rasa kasih sayang sesama anggota keluarga. Bahasa Jawa ngoko merupakan pilihan utama bagi keluarga muda, mereka beranggapan bahasa Jawa ngoko lebih mudah daripada bahasa Jawa krama lugu dan krama alus. Sikap tersebut tercermin dalam pernyataan di bawah ini.

“Sebagai kepala rumah tangga, jujur saja saya sudah tidak begitu lancar menggunakan bahasa Jawa alus, yang saya pakai sehari-hari itu Jawa ngoko, terutama dengan isteri saya. Kadang kala saya sisipi dengan bahasa Indonesia, bila ada anak saya. Wajar kan, kalau anak-anak di sini hanya lancar bahasa Jawa ngoko saja, paling kramanya ya commit to user

diajari di sekolah. Terus terang saja, saya juga isin, gela, dan eman, bila anak-anak sekarang tidak bisa berbahasa krama” (Sudarmanto, 2012).

Berdasarkan sikap dan pernyataan di atas, tampaknya bahasa Jawa ngoko memiliki tempat di dalam kehidupan sehari-hari, lebih dipahami dan lebih sering digunakan dalam tuturan. Untuk memperoleh pemotretan penggunaan bahasa Jawa ngoko yang digunakan secara natural oleh penuturnya maka data yang ditampilkan dalam penelitian ini dilengkapi dengan latar belakang sosiokultural yang menyelimuti peristiwa tutur.

Potret tuturan yang terjadi di lingkungan keluarga muda Jawa yang bertempat tinggal di wilayah perkotaan, diwakili oleh peristiwa tutur yang melibatkan empat peserta tutur, yakni orang tua: suami-istri (ayah-ibu) dengan dua orang anak. Adapun tuturan yang terjadi tercermin dalam peristiwa tutur (4d-3) di bawah ini.

Data 4d-3:

Potret Tuturan Ngoko Lugu Keluarga Muda Perkotaan (Suami-Istri dan Anak)

(1) Suami : Sepimen, anak-anak ndi Bu?

„Sepi sekali, anak-anak di mana Bu? (2) Istri : Kae lagi padha makan Yah.

„Itu baru makan Yah.‟ (3) Istri : Nang mengko les rak?

„Nang nanti les tidak?‟ (4) Anak2 : He eh Bu mbek Mbak Dila.

„Ya bu, dengan Mbak Dila.‟ (5) Suami : Dila mau ulangane piye?

„Dila tadi ulangannya bagaimana? (6) Anak1 : Angel ok Yah, akeh sing ngepek.

„Susah Yah, banyak yang mencontek.‟ (7) Suami : Yen wis maem, PR-e digarap.

„Kalau sudah makan, PR-nya dikerjakan.‟ (8) Anak1 : Ya Yah.

„Ya Yah.

Peristiwa tuturan (4d-3) di atas terjadi pada keluarga muda Jawa yang bertempat tinggal di Perumahan Argomukti Timur, Tlogosari, Semarang. Peserta tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur ini adalah seorang suami/ayah berusia 38 tahun berstatus pegawai negeri. Seorang istri/ibu commit to user

berusia 36 tahun berstatus ibu rumah tangga. Dua orang anak masing-masing berusia 13 tahun dan 10 tahun, anak pertama duduk di bangku SMP dan anak kedua duduk di bangku SD. Topik tuturan adalah hasil pelajaran di Sekolah. Situasi tutur santai dan akrab, terjadi di ruang keluarga pada waktu siang hari.

Bentuk tuturan yang terjadi pada peristiwa tutur (4d-3) adalah ngoko lugu bercampur kode dengan bahasa Indonesia atau ngoko lugu bertipe: Ngl-bI. Dengan demikian, kosakata yang membangun ujaran tersebut terdiri atas leksikon bahasa Jawa ngoko yang disisipi dengan leksikon bahasa Indonesia. Masuknya leksikon bahasa Indonesia dalam tuturan (4d-3) tampaknya tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan sehari-hari dari keluarga muda tersebut yang menanamkan pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Terbukti melalui penggunaan sapaan mesra ayah untuk bapak dan anak-anak untuk bocah.

Sang suami berperan sebagai penutur/01 pada peristiwa tutur (4d-3). Hirarki sosial 01 lebih tinggi daripada 02. Posisi ini, 01 memiliki kebebasan dalam memilih tuturan. Tuturan yang dipilih adalah ngoko lugu bertipe Ngl-bI. Tuturan ngoko lugu tipe Ngl-bI telah menjadi pilihan sebagai tuturan sehari-hari dalam lingkungan keluarga. Masuknya unsur leksikon bahasa Indonesia dalam tuturan sangat kuat. Hal ini dibuktikan dengan kuatnya penggunaan sapaan mesra dalam kehidupan keluarga, yakni:

1) Bu untuk sapaan mesra bagi orang tua perempuan atau isteri (4d-3:1,4). 2) Yah untuk sapaan mesra bagi orang tua laki-laki atau suami

(4d-3:2,6,8).

3) Anak-anak untuk sapaan mesra bagi anak kandung (4d-3:1).

Sapaan mesra dalam keluarga untuk bu dan anak-anak diduga kuat mendapat pengaruh dari bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa walaupun bahasa Jawa memiliki sapaan ibu dan anak. Dugaan ini didasarkan atas munculnya sapaan mesra yah „sapaan orang tua laki-laki/suami‟ berasal dari bahasa Indonesia. Manakala sapaan yang digunakan bukan yah tetapi bapak/pak „sapaan orang tua laki-laki/suami‟ dapat dipastikan bahwa sapaan mesra bu dan anak-anak berasal dari bahasa Jawa. commit to user

Atas dasar analisis sapaan mesra di atas maka ujaran yang dituturkan 01 pada tuturan (4d-3:1): Sepimen, anak-anak ndi Bu? „Sepi sekali, anak-anak di mana Bu?‟ adalah ngoko lugu tipe Ngl-bI, tuturan ngoko lugu yang disisipi oleh leksikon bahasa Indonesia: anak-anak dan (i)bu. Leksikon ngoko yang muncul dalam tuturan adalah sepimen „sepi sekali‟ dan ndi „di mana‟. Bentuk leksikon ndi berasal dari leksikon ngoko: endi „di mana‟ yang mengalami proses pemendekan kata (abreviasi), yakni pelesapan fonem /e/ pada silabe ultima (e)ndi  ndi „di mana‟, sebagai salah satu ciri tuturan lisan.

Tuturan (4d-3:5): Dila mau ulangane piye? „Dila tadi ulangannya bagaimana?‟. Tuturan ini digolongkan sebagai tuturan ngoko lugu karena semua kosakata yang membangun tuturan berasal dari leksikon ngoko: mau „tadi‟ dan {ulangan-e} „ulangannya‟, dan (ke)p(r)iye „bagaimana‟ yang muncul dengan bentuk pendek piye, sebagai ciri tuturan lisan.

Tuturan (4d-3:7): Yen wis maem, PR9-e digarap „kalau sudah makan, PR-nya dikerjakan‟. Leksikon maem „makan‟ digunakan 01 dalam tuturan ini semata-mata sebagai ungkapan kasih sayang terhadap sang anak. Anggapan 01 kata maem lebih mencerminkan emosi kasih sayang daripada kata mangan „makan‟. Atas dasar pemilihan leksikon tersebut, tuturan ini dikategorikan sebagai tuturan ngoko lugu kanak10.

Mitra tutur dalam peristiwa tutur (4d-3) adalah sang ibu dan sang anak. Posisi mitra tutur ini dalam alur kekerabatan Jawa berada di bawah 01 (suami/ayah). Dengan posisi tersebut menuntun 02 untuk menggunakan tuturan bahasa bahasa Jawa yang beragam krama alus dalam berkomunikasi dengan 01. Namun, fenomena yang terjadi 02 tidak menggunakan tuturan Jawa beragam krama alus, tetapi sebaliknya menggunakan tuturan beragam ngoko.

9 PR (Pekerjaan Rumah) istilah teknis lingkungan sekolah yang mengaju pada tugas pelajaran

untuk dikerjakan di rumah sebagai bahan belajar. Istilah ini popular sehingga diadopsi dalam bahasa Jawa untuk kepentingan pendidikan.

10

Sudaryanto (1989:78) menggolongkan kata maem sebagai kata halus atau digolongkan sebagai kata-kata yang khas, yang digunakan dalam hubungan antara anak kecil dengan orang tua tetapi bukan sebaliknya.

Penggunaan tuturan bahasa Jawa ngoko lugu 02 (ibu dan anak) kepada 01(suami/ayah) pada peristiwa tutur (4d-3) menandakan telah terjadi perluasan fungsi pemakaian tuturan ngoko lugu pada keluarga muda di wilayah perkotaan. Perluasan fungsi pemakaian ini berupa meluasnya penggunaan tuturan ngoko lugu, tidak hanya dipakai pada hirarki sosial sederajat tetapi dipakai juga pada hirarki sosial taksederajat/berbeda. Bagan 4.5 di bawah ini mengabstraksi perluasan fungsi pemakaian tuturan ngoko lugu pada keluarga muda Jawa di Kota Semarang.

Bagan 4.5: Perluasan Fungsi Pemakaian Tuturan Ngoko Lugu pada Keluarga Muda di Kota Semarang

01 02 01 Keterangan: : fungsi normal : fungsi perluasan

Fenomena penggunaan bahasa Jawa ngoko lugu yang dapat dikenakan pada mitra tutur baik yang memiliki hirarki sosial berimbang/simetris maupun takberimbang/asimetris di lingkungan keluarga muda Jawa Kota Semarang, disebabkan oleh:

1) Pertalian keakraban para peserta tutur yang terikat dengan alur kekerabatan: ayah-ibu-anak.

2) Rendahnya pemahaman dan penggunaan leksikon krama (inggil) dalam tuturan.

3) Kebiasaan bertutur ngoko lugu telah tertanam dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga.

Sang isteri berperan sebagai 02 terdapat pada tuturan (4d-3:2,3). Bentuk tuturan yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko lugu tipe Ngl-bI. Adapun tuturan yang diujarkan oleh sang isteri, sebagai berikut:

(2) Istri : Kae lagi padha makan Yah. „Itu baru makan Yah‟ commit to user

(3) Istri : Nang mengko les rak? „Nang nanti les tidak‟

Dikategori sebagai tuturan ngoko lugu tipe Ngi-bI karena ujaran tersebut disisipi oleh leksikon bahasa Indonesia makan yang menggantikan leksikon bahasa Jawa mangan. Selanjutnya leksikon (a)yah menggantikan (ba)pak „ayah‟, dan les yang menggantikan wulangan tambahan. Pada tuturan (4d-3:3) memperlihatkan adanya leksikon dialektal Semarang, yakni kata rak „tidak‟ yang berpadanan dengan leksikon bahasa Jawa standar: ora „tidak‟.

Bentuk tuturan (4d-3:2): Kae lagi padha makan Yah „Itu baru makan Yah‟, bila dipandang dari sudut preskriptif normatif hanya layak atau patut digunakan untuk merespon tuturan yang memiliki hirarki sosial sepadan dengan 02. Namun, fakta empirik di wilayah pakai Kota Semarang, tuturan ini dapat digunakan untuk merespon tuturan yang diujarkan oleh 01 (suami) yang memiliki hirarki sosial lebih tinggi daripada 02 (istri). Kebiasaan menggunakan tuturan beragam ngoko lugu (Ngl-bI) akan ditirukan oleh sang anak dalam bertutur terhadap orang tuanya. Fenomena ini akan menjadi kebiasaan dan berkelanjutan.

Sang anak berposisi sebagai mitra tutur (02) memberikan respon terhadap 01 ( ibu dan ayah) terwujud dalam tuturan (4d-3:4,6,8) di bawah ini:

(4) Anak2 : He eh Bu mbek Mbak Dila. „Ya bu, dengan Mbak Dila.‟ (6) Anak1 : Angel ok Yah, akeh sing ngepek.

„Susah Yah, banyak yang mencontek.‟ (8) Anak1 : Ya Yah.

„Ya Yah.

Tuturan (4d-3:4,6) merupakan tuturan ngoko lugu berdialektal Semarangan. Tuturan ini ditandai dengan munculnya leksikon dialektal, yang berkembang dan dipakai di wilayah tutur Kota Semarang, yakni: he eh „ya‟ (BJS: ya) dan mbek „dengan‟ (BJS: karo) pada tuturan (4d-3:4). Sedang pada tuturan (4d-3:6) muncul bunyi ujaran berkategori fatis: ok yang berfungsi sebagai penegas dan leksikon ngepek „mencontek‟. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kosakata dialektal Semarang lekat dengan tuturan generasi muda. commit to user

Fenomena munculnya ragam bahasa Jawa ngoko lugu tipe Ngl-bI di lingkungan keluarga muda di wilayah perkotaan memperlihatkan bahwa kosakata bahasa Indonesia mewarnai tuturan Jawa. Fenomena ini terjadi tidak lepas dari peran orang tua. Tampaknya orang tua justru mengawali penggunaan tuturan ngoko lugu tipe Ngl-bI, terbukti pada tuturan (4d-3:2). Fakta ini sebagai tanda kurang ada kepedulian dari orang tua untuk mengajarkan bahasa Jawa yang tepat kepada generasi berikutnya.

b. Keluarga Tua Jawa Perkotaan

Penggunaan bahasa Jawa ngoko lugu juga ditelusuri pada keluarga tua yang bertempat tinggal di wilayah perkotaan. Diharapkan penelusuran ini dapat mengungkap secara komprehensif penggunaan bahasa Jawa di wilayah perkotaan Semarang.

Untuk membidik penggunaan bahasa Jawa ngoko lugu di lingkungan keluarga tua wilayah perkotaan, ditelusuri terlebih dahulu sikap bahasa atas bahasa Jawanya. Hasil yang diperoleh, pada umumnya memperlihatkan sikap positif atas penggunaan bahasa Jawa. Bahasa Jawa diakui sebagai identitas atau jati diri orang Jawa. Adapun beberapa sikap bahasa yang diutarakan oleh kalangan keluarga tua, adalah:

1) Bila berbicara kepada orang tua atau kepada yang lebih tua digunakan bahasa Jawa krama.

2) Bila berbicara dengan anggota keluarga yang lebih muda dan sebaya digunakan bahasa Jawa ngoko.

Bahasa Jawa krama digunakan sebagai tanda penghormatan dan perilaku sopan dari yang muda kepada yang tua. Sikap dan perilaku ini adalah adab bagi orang Jawa dalam menghargai dan menempatkan orang tua atau orang yang lebih tua, inilah ciri orang Jawa yang njawani (sesui petuah wong Jawa kudu njawani). Sedang adab untuk anggota keluarga yang lain atau yang sebaya cukup digunakan bahasa ngoko, agar lebih akrab tanpa harus menghilangkan unsur kesopanan.

Sikap mulia yang selalu ditanamkan melalui petuah wong Jawa kuwi kudu bisa empan papan. Apakah nasehat/petuah ini mendapatkan apresiasi penuturnya atau sebaliknya, hanya sebatas petuah mulia saja. Untuk menemukan kebenaran antara sikap positif dengan fakta empirik akan diuji melalui temuan data lapangan yang terjadi pada peristiwa tutur.

Potret tuturan suami isteri di lingkungan keluarga tua wilayah perkotaan diwakili oleh peristiwa tutur yang melibatkan dua peserta tutur: suami dan isteri. Adapun bentuk tuturannya tercermin dalam peristiwa tutur (4d-4), di bawah ini.

Data 4d-4:

Potret Tuturan Ngoko Lugu Keluarga Tua Perkotaan (Suami-Istri)

(1) Suami : Bu kathok triningku gok ndi? „Bu celana trainingku di mana? (2) Istri : Nong amben, hurung disetelika Pak.

„Di tempat tidur, belum disetelika Pak.‟ (3) Suami : Men Bu, pek taknggo ok.

„Biar Bu, akan saya pakai.‟

(4) Istri : Ojo Pak, ngisin-ngisini sik taksetelike dhisik..

„Jangan Pak, memalukan, sebentar saya setelikan dulu.‟ (5) Suami : Rak sah, rak kethok.

„Tidak usah, tidak kelihatan.‟

(6) Istri : Kedhap tho Pak, niki lho wis rampung „Sebentar tho Pak, ini lho sudah selesai.‟

Data tuturan (4d-4) di atas adalah percakapan antara suami dan istri dari lingkungan keluarga tua, bertempat tinggal di Perum Ketileng, Semarang. Sang suami berusia 55 tahun bekerja sebagai PNS dan sang istri berusia 50 tahun sebagai ibu rumah tangga. Peristiwa tutur ini terjadi pada saat pagi hari menjelang berangkat kerja. Topik tuturan dalam tuturan ini adalah perihal pencarian celana training milik ayah. Secara umum tuturan (4d-4) berbentuk ngoko lugu, terutama tuturan yang diujarkan sang ayah (01). Adapun bentuk masing-masing tuturan dari peserta tutur dideskripsikan di bawah ini.

Sang suami pada peristiwa tutur (4d-4) berperan sebagai penutur/01, yang secara sosiokultural memiliki fungsi sosial lebih tinggi daripada sang commit to user

istri/02. Berdasar pertautan usia pun sang suami lebih tua dibandingkan sang istri. Dengan latar sosiokultural lebih tinggi, penutur memiliki peran penentu dalam pemilihan bentuk tuturan. Penutur dalam peristiwa tutur (4d-4) memilih bentuk tuturan ngoko lugu. Selain pilihan, tampaknya alasan yang mendasar adalah kebiasaan keseharian tuturan lingkungan keluarga, yakni bentuk ngoko lugu.

Tuturan ngoko lugu yang diujarkan oleh 01 diwarnai dengan leksikon dialektal Semarang, yakni ditandai dengan munculnya leksikon: gok ndi (BJS: ning endi) „diletakkan di mana‟ (4d-4:1), men (BJS: ben) „biar‟ dan pek taknggo ok (BJS: arep takanggo wae) „akan saya pakai‟ (4d-4:3), rak sah/kethok (BJS: ora usah/kethok) “tidak usah/kelihatan‟ (4d-4:5). Bila disejajarkan dengan pola bahasa Jawa standar (1b, 3b, 5b) akan tampak ciri kekhasan bahasa Jawa Semarangan (1,3,5), seperti pada data di bawah ini.

(1) Bu kathok triningku gok ndi? „Bu celana trainingku di mana? (1b) Bu kathok triningku ning endi? „Bu celana trainingku di mana? (3) Men Bu, pek taknggo ok. „Biar Bu, akan saya pakai.‟ (3b) Ben Bu, arep takenggo wae. „Biar Bu, akan saya pakai.‟ (5) Rak sah, rak kethok. „Tidak usah, tidak kelihatan.‟ (5b) Ora usah, ora kethok. „Tidak usah, tidak kelihatan.‟

Kekhasan lain yang diperlihatkan dalam bahasa Jawa Semarangan adalah kekayaan varian preposisi di seperti tertera di bawah ini:

(1) gok „di‟ (2) ndhok „di‟ (3) nok „di‟ (4) nong „di‟ (5) nek „di‟

Produktifitas kosakata dialektal Semarang dalam setiap tuturan yang diujarkan 01, sebagai pertanda lekatnya penguasaan kosakata lokal/dialektal dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus sebagai bukti bahwa penutur adalah penutur asli Semarang.

Berdasarkan pola aturan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa, pemakaian tuturan ngoko lugu yang digunakan sang suami (01) kepada sang

isteri (02) adalah berterima, karena memiliki relasi hubungan takberimbang (fungsi sosial tinggi ke rendah) dan akrab (pertalian perkawinan).

Ragam tuturan yang digunakan oleh sang istri (mitra tutur/02) dalam merespon tutura 01 muncul dua bentuk, yakni ragam ngoko lugu (4d-4:2,4) dan ngoko alus (4d-4:6). Ragam tuturan ngoko lugu dipakai untuk menyeimbangkan tuturan yang diujarkan oleh 01, dengan pertimbangan relasi akrab yang dibentuk dari pertalian perkawinan dan kebiasaan bertutur keseharian yang dibangun dalam hubungan kekeluargaan. Tuturan ngoko alus dimanfaatkan untuk mengakhiri tuturan sebagai bentuk penghormatan dari seorang istri kepada sang suami.

Tuturan ngoko lugu yang diujarkan 02 sebagi respon tuturan 01, merupakan hubungan timbal balik keakraban dua peserta tutur. Di samping itu, muncul faktor lain, yakni: meluasnya fungsi pemakaian ngoko lugu dalam ranah keluarga, yakni: (1) dapat digunakan untuk alur komunikasi takberimbang, dan (2) dapat dikenakan baik pada mitra tutur yang memilki fungsi sosial lebih rendah maupun yang memiliki fungsi sosial lebih tinggi.

Bentuk tuturan ngoko lugu yang diujarkan 02 pun diwarnai leksikon dialektal Semarang, yakni nong (BJS: ning) „di‟ dan hurung (BJS: durung) „belum‟. Bentuk leksikon dialektal ini (2) akan tampak bila disejajarkan dengan bentuk leksikon yang terdapat pada bahasa Jawa standar (2b), seperti pada tuturan di bawah ini.

(2) Nong amben, hurung disetelika Pak. „Di tempat tidur, belum disetelika Pak‟ (2b) Ning amben, durung disetelika Pak.

„Di tempat tidur, belum disetelika Pak‟

Potret tuturan antara orang tua dengan anak pada lingkungan keluarga tua Jawa wilayah perkotaan diwakili oleh peristiwa tutur yang melibatkan tiga peserta tutur: ibu, bapak, dan anak. Adapun bentuk tuturannya tercermin dalam peristiwa tutur (4d-5), di bawah ini.

Data 4d-5:

Potret Tuturan Ngoko Lugu Keluarga Tua Perkotaan (Orang tua -Anak)

(1) Ibu : Sesuk kowe kuliah jam pira Mas? „Besuk kamu kuliah jam berapa Mas?‟ (2) Anak : Jam ji, napa Bu?

„Jam satu, ada apa Bu?‟

(3) Ibu : Sesuk bapakmu pek kontrol, ambekan obate pek entek, nterna delok Mas.

„Besuk bapakmu akan kontrol, juga obatnya akan habis, diantarkan sebentar Mas.‟

(4) Bapak : Bu, nek sesuk rak isa ngenterke, rak mang wae.

„Bu, kalau besuk tidak mengantarkan, tidak usah saja/ditunda saja.‟

Sosiokultural yang menyertai peristiwa tutur (4d-5) adalah keluarga tua yang bertempat tinggal di Perumahan Kekancan Mukti, Semarang. Peserta tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur ini adalah orang tua (ibu-bapak) dengan anaknya. Ibu seorang guru SMP berusia 53 tahun, bapak seorang pensiunan PNS berusia 60 tahun, dan seorang anak berusia 22 tahun mahasiswa perguruan tinggi swasta. Topik tuturan peristiwa tutur ini adalah permintaan ibu kepada anaknya untuk mengantar sang bapak kontrol ke rumah sakit. Dalam peristiwa tutur ini, sang ibu berperan sebagai 01, sang bapak dan sang anak berperan sebagai 02. Secara umum tuturan yang digunakan dalam peristiwa tutur (4d-5) adalah ngoko lugu.

Fenomena yang muncul dalam peristiwa tutur (4d-5) adalah bentuk ngoko lugu memiliki kebebasan pemakaian, tidak dipengaruhi oleh faktor sosial yang menyertai para peserta tutur. Bila dikaitkan dengan kaidah penggunaan bahasa Jawa standar maka tuturan ngoko lugu hanya patut dikenakan pada sang anak. Namun, fakta empirik pada peristiwa (4d-5) bentuk ngoko lugu dapat dikenakan kepada sang ibu maupun sang bapak.

Penggunaan tuturan ragam ngoko lagu di lingkungan keluarga tua Jawa telah mengalami perluasan fungsi, sehingga memiliki jangkuan lebih luas bila dibandingkan dengan pola yang berlaku dalam bahasa Jawa standar.

Fakta empirik ini akan dideskripsikan pada masing-masing peserta tutur yang terlibat dalam peristiwa tutur di atas.

Posisi ibu sebagai penutur (01) tercermin dalam tuturan (4d-5:1,3). Tuturan yang dipakai oleh ibu berbentuk ngoko lugu, sebagai berikut:

(1) Sesuk kowe kuliah jam pira Mas? „Besuk kamu kuliah jam berapa Mas?‟

(3) Sesuk Bapakmu pek kontrol, ambekan obate pek ntek, nterna delok Mas. „Besuk bapakmu akan kontrol,obatnya akan habis, diantarkan sebentar Mas.‟ Penggunaan bentuk ngoko lugu pada tuturan (4d-5:1,3) dianggap tepat, hal ini berkaitan dengan fungsi hirarki ibu lebih tinggi daripada mitra tuturnya (sang anak). Tuturan (4d-5:1) ngoko lugu dan tuturan (4d-5:3) ngoko lugu dialektal Semarang, yang ditandai dengan munculnya beberapa kosakata yang dipakai di wilayah tutur Semarang, yakni kata pek „akan‟ (BJS: arep), dan ambekan „sekaligus‟ (BJS: sepisan). Bila disejajarkan dengan bahasa Jawa standar maka akan tampak perbedaannya, sebagai berikut:

(3) Sesuk Bapakmu pek kontrol, ambekan obate pek ntek, nterna delok Mas.

„Besuk bapakmu akan kontrol, obate akan habis, diantarkan sebentar Mas.‟ (3b) Sesuk Bapakmu arep kontrol, sepisan obate arep entek. Nterna

sedhelok Mas.

„Besuk bapakmu akan kontrol,obatnya akan habis.Diantarkan sebentar Mas.‟ Tuturan yang digunakan sang anak (02) dalam merespon tuturan yang diujarkan sang ibu (01) adalah ngoko lugu (4d-5:2): Jam ji, napa Bu?„Jam satu, ada apa Bu?‟. Penggunaan tuturan yang berbentuk ngoko lugu kepada sang ibu pertanda bahwa tuturan yang dikenakan sehari-hari dalam kehidupan keluarga adalah bahasa Jawa ngoko lugu. Upaya untuk menggunakan ngoko alus maupun krama tidak tercermin dalam peristiwa tutur (4d-5). Hal ini akan memperkuat dugaan bahwa keluarga Jawa perkotaan lebih terbiasa dan nyaman dalam lingkungan keluarga menggunakan tuturan Jawa beragam ngoko lugu.

Bentuk tuturan (4d-5:4) yang dipakai oleh sang bapak untuk merespon tuturan yang terjadi pada peristiwa tutur tersebut menggunakan bahasa Jawa ngoko lugu dialektal Semarang. Pemilihan bentuk ngoko lugu berkaitan commit to user

dengan posisi hirarkinya dalam rumah tangga, yakni memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan sang ibu dan anak.

Fenomena menarik yang terpotret dalam tuturan yang diujarkan oleh sang bapak adalah munculnya leksikon dialektal Semarang, yakni ditandai dengan munculnya kata nek „kalau‟ (BJS: yen), rak „tidak‟ (BJS: ora), dan rak mang „tidak usah saja‟ (BJS: ora usah). Bila disejajarkan dengan bahasa Jawa standar (4b) maka akan tampak ciri dialektalnya, tercermin pada perbandingan di bawah ini.

(4) Bu, nek sesuk rak isa ngenterke, rak mang wae. „Bu, kalau besuk tidak mengantarkan, tidak usah saja.‟