• Tidak ada hasil yang ditemukan

DI KOTA SEMARANG DAN KOTA PEKALONGAN

B. Peran Keluarga dan Masyarakat terhadap Penggunaan Bahasa Jawa di Kota Semarang dan Kota Pekalongan Kota Semarang dan Kota Pekalongan

1. Peran Keluarga terhadap Penggunaan Bahasa Jawa

Keluarga Jawa merupakan pintu gerbang pengenalan, pembelajaran, dan pelestarian bahasa Jawa. Tiga kanal inilah yang dapat mengamankan posisi bahasa Jawa sebagai bahasa ibu bagi penutur Jawa, sekaligus pengikat emosi, naluri dan kepribadian sebagai jati orang Jawa yang njawani. Persoalannya kadar pengikat tersebut telah mengalami perapuhan untuk masing-masing wilayah, termasuk Kota Semarang dan Kota Pekalongan.

a. Keluarga Jawa sebagai Pintu Gerbang Pengenalan Bahasa Jawa

Keluarga Jawa dianggap sebagai pintu gerbang pengenalan bahasa Jawa karena di dalam keluarga Jawa inilah bahasa Jawa mulai dikenalkan sekaligus diajarkan kepada generasi muda sebagai pewaris utama kelangsungan bahasa Jawa. Lewat keluarga Jawa inilah bahasa Jawa meniti kelangsungan keberadaannya. Dengan kata lain, kehidupan bahasa Jawa terletak pada kemauan keluarga Jawa itu menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibunya. Melalui bahasa ibu itulah bahasa Jawa memiliki multifungsi, fungsi utamanya adalah pengikat erat emosi dalam kekerabatan, identitas diri, dan alat komunikasi antaretnik Jawa.

b. Keluarga Jawa sebagai Pintu Gerbang Pembelajaran Bahasa Jawa Keluarga Jawa dianggap sebagai pintu gerbang pembelajaran bahasa Jawa karena di lingkungan keluarga inilah terjadi proses pembelajaran alami dimulai, yakni pembelajaran pewarisan penggunaan bahasa Jawa antara orang tua dengan anak (antara generasi yang satu kepada generasi berikutnya). Melalui awal pembelajaran di lingkungan keluarga inilah terjadinya salah satu letak penentu penggunaan bahasa Jawa yang sebenarnya sebagai cermin adanya “bentuk” bahasa Jawa saat ini.

Bentuk bahasa Jawa saat ini dapat ditengarai sebagai bentuk yang benar dan tepat atau sebaliknya sebagai bentuk yang kurang benar dan kurang commit to user

tepat atau sebagai bentuk yang mewiliki warna sendiri (dialektis). Fenomena tersebut dapat terjadi dimungkinkan akibat pembelajaran alami (natural) di lingkungan keluarga, yakni pembelajaran model stereotype, menirukan dan melakukan apa yang didengar dan dialami dalam lingkungan keluarga dan dilakukan terus menerus, sehingga tertanam dalam alam pikiran dan terikat dalam emosi.

Data tuturan (4b-1) di bawah ini sebagai salah satu cerminan kondisi penggunaan bahasa Jawa yang ada saat ini di wilayah Kota Semarang. Data 4b-1:

(1) Aku pek tindak dewe wae.

„Aku akan berangkat sendiri saja.‟ (2) Sing siram Bapak apa aku sik

„Yang mandi Bapak atau aku dulu.‟ (3) Bu, aku ngagem seragam putih abu-abu.

„Bu, aku memakai seragam putih abu-abu‟

Tuturan (4b-1) di atas merupakan cerminan wujud bahasa Jawa yang terjadi saat ini. Bentuk tuturan itulah yang didengar dan diajarkan orang tua kepada anaknya, serta dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan dalam bertutur. Secara deskriptif empiris5 ujaran pada peristiwa tutur (4b-1) adalah berterima, namun secara preskriptif normatif6 diangapnya sebagai tuturan bahasa Jawa yang tidak tepat.

Ketidakberterimaan secara preskriptif normatif terletak pada penempatan kosakata krama inggil dalam tuturan. Leksikon krama inggil: tindak „pergi‟, siram „mandi‟, dan ngagem „memakai‟, yang seharusnya ditujukan kepada mitra tuturnya tetapi justru digunakan untuk diri sendiri atau diri penutur.

c. Keluarga Jawa sebagai Pintu Gerbang Pelestarian Bahasa Jawa

Lingkungan keluarga merupakan pintu gerbang pelestarian bahasa Jawa karena di lingkungan keluarga inilah bahasa Jawa digunakan atau

5 Deskriptif empiris: menggambarkan apa adanya berdasarkan pengamatan dan penemuan di

lapangan.

6 Preskriptif normatif: berpegang teguh pada kaidah/ketentuan yang berlaku di dalam bahasa Jawa

standar.

ditinggalkan, bila digunakan dengan baik dan menyatu dengan ikatan emosional maka akan berlangsung proses pelestarian. Model pelestarian ini memiliki kekuatan yang berkelanjutan yang memperkokoh posisi bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Manakala bahasa Jawa mulai ditinggalkan berarti awal gagalnya pelestarian dan kehidupan bahasa Jawa mulai terancam.

Bahasa Jawa selayaknya digunakan sebagai perekat emosi kekekerabatan dalam kehidupan sehari-hari keluarga Jawa. Dengan demikian, bahasa Jawa digunakan untuk menyampaikan maksud/kehendak, menyalurkan kasih sayang dalam keharmonisan keluarga, dan mempererat internal keluarga. Meskipun pemakaian bahasa Jawanya terlepas dari hirarki tuturan.

Keengganan menggunakan bahasa Jawa di lingkungan keluarga mengakibatkan rendahnya penguasaan kosakata Jawa, terutama pada tataran krama dan krama alus yang dianggap paling sulit. Kurang atau tidak adanya kebiasaan terhadap pemakaian bahasa Jawa di dalam kehidupan sehari-hari akan berdampak serius terhadap kelangsungan kehidupan bahasa Jawa. Gejala yang mulai muncul menandai terganggunya kelangsungan kehidupan bahasa Jawa, sebagai berikut.

1) Bahasa Jawa tidak lagi menjadi bahasa yang rekat dengan emosi dan jiwa penuturnya. Kedudukan bahasa Jawa mulai digeser dengan bahasa Indonesia. Gejala ini diperlihatkan pada kehidupan keluarga Jawa di perkotaan akibat salah satu dampak urbanisasi.

2) Kurang bangga terhadap bahasa ibunya, ada unsur malu dalam menggunakan bahasa Jawa, dianggapnya kurang berpretise, dan lambat laun akan menjadi asing bagi penuturnya. Gejala ini tampak pada generasi muda. Di Kota Pekalongan, bahasa Jawa dianggapnya sebagai bahasa pelajaran dan menjadi bahasa asing kedua setelah bahasa Inggris.

3) Muncul anggapan penggunaan bahasa Jawa tidak memiliki relasi terhadap peningkatan ekonomi. Era sekarang adalah kapitalis-industri sehingga ekonomi adalah segalanya dan memiliki peran utama bagi commit to user

pelaku pasar, dampaknya bahasa asing lebih bereperan daripada bahasa Jawa. Gejala ini ditandai dengan banyak muncul sekolah favorit yang menekankan penggunaan bahasa asing dan menggeser peran bahasa Jawa.

Fenomena di atas diperkuat oleh pernyataan penutur Jawa di Kota Semarang, yakni:

“Dalam hati saya sebenarnya sangat sedih tidak bisa mengajari anak saya dengan bahasa Jawa yang baik. Tidak perlu benarlah yang penting baik. Bagaimana bisa benar saya sendiri juga tidak pandai dengan bahasa Jawa. Bila tidak bisa krama ya ngoko saja ndak apa-apa, yang penting halus dan ada rasa menghormati. Bahasa Jawa itu dapat menempatkan diri “empan papan”, kapan bicara, dimana dengan siapa itu dibedakan. Coba dirasakan, saya pernah dapat SMS dari anak saya, masak SMS dengan saya begini: anda di mana, apakah anda sehat”.

“Mau marah ndak bisa? Tidak marah ya lucu, akhirnya saya tertawa sendiri dengan isteri saya. Mbok ya, SMS begini: Pake ning ndi, Pake sehat. Itupun saya sudah seneng banget, apa meneh iso ngene: “Pake wonten pundi? Pake saras tho.”

“Itulah Mas, saya sangat perihatin, mbok ya di sekolah itu diajari bahasa Jawa yang banyak, ya ndak jam pelajarannya, tapi ekstrakulikernya kan bisa, kalo ndak, anak-anak diajari kehalusan berbahasa, biar sopan tidak tawuran saja.” (Widodo, 3 Okt 2011) Kutipan di atas sebagai perwakilan keprihatinan orang tua terhadap rendahnya kemampuan penggunaan bahasa Jawa pada generasi muda. Penggunaan bahasa Jawa berbanding lurus dengan kehalusan budi dan kesopanan. Hakiki inilah yang masih sangat diperlukan oleh para kaum orang tua sebagai sarana pembelajaran budi pekerti bagi anak-anaknya.