• Tidak ada hasil yang ditemukan

Baik dan Buruk Menurut Ajaran Islam

Dalam dokumen Etika manajemen perspektif islam (Halaman 149-160)

Baik dan buruk menurut ajaran Islam yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Alquran dan Hadits. Alquran sebagai wahyu yang berasal dari Allah Swt. berisi tentang pengajaran baik dan buruk, sebagai mana akhlak yang juga bersumber dari Alquran. Sedangkan Hadits berfungsi sebagai penjelas dari ayat-ayat yang ada dalam Alquran, yang bersumber dari Rasulullah saw. Contohnya Alquran menganjurkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua,

138

p

akan tetapi di dalam Alquran tidak dijabarkan mengenai cara berbuat baik kepada orang tua. Penjelasan mengenai berbuat baik kepada orang tua tersebut selengkapnya dapat ditemukan dalam Hadits.

Jadi segala sesuatu yang baik dalam Islam adalah yang didasari dengan petunjuk dari Alquran dan Hadits. Sedangkan perbuatan yang buruk adalah yang bertentangan dengan kedua sumber hukum Islam yang utama tersebut. Meskipun demikian, Alquran dan Hadits bukanlah sesuatu yang tertutup. Artinya keduanya bersikap terbuka, mudah menerima pendapat dari hukum yang dibuat oleh manusia. Alquran dan Hadits sangat menghargai pendapat dari kelompok-kelompok yang lain.

Adanya berbagai istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan Alquran dan Hadis itu menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam jauh lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan arti kebaikan yang dikemukakan sebelumnya. Berbagai istilah yang mengacu pada kebaikan itu menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan akhirat serta akhlak yang mulia.

Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya

al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah dan al-birr. Pertama, hasanah. hasanah sebagaimana dikemukakan oleh

Al-raghib al- Asfahani adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah terbagi menjadi 3 bagian, pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu/keinginan dan hasanah dari segi pancaindera. Pemakaian kata al-hasanah dijumpai pada ayat-ayat yang berbunyi:

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah

dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. “ (Q.S al-Nahl/16: 125)”.

Kedua, at-tayyibah. Kata at-tayyibah khusus digunakan untuk

139 pancaindera dan jiwa seperti makan dan sebagainya. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

Artinya: “Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan

kepadamu "manna" dan "salwa". Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 57).

Ketiga, al-khair. Kata al-khair digunakan utnuk menunjukkan

sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

Artinya: “Barangsiapa yang melakukan kebaikan dengan kerelaan

hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 158).

Keempat, al-mahmudah. Kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah Swt., dengan demikian kata

al-mahmudah lebih menujukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan

spiritual. Misalnya dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :

Artinya: “Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud

mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra/17: 79).

Kelima, al-karimah. Kata al-karimah digunakan untuk

menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata

al-karimah biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji

yang sekalanya besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua dan sebagainya.

140

p

Artinyya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan

menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia..” (QS.

Al-Isra/17: 23).

Keenam, al-birr. Kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Terkadang digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia maka yang dimaksud adalah ketaatannya. Firman Allah Swt.:

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah/5:

2).

Adanya berbagai istilah kebaikan yang demikian variatif yang diberikan Alquran dan hadis itu menunjukkan bahwa penjelasan tentang sesuatu yang baik menurut ajaran Islam jauh lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan arti kebaikan yang dikemukakan sebelumnya. Berbagai istilah yang mengacu pada kebaikan itu menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan akhirat serta akhlak yang mulia.

141 Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian, Islam memberikan tolok ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mendapatkan keridlaan Allah Swt. yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu, Islam memperhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu. Seseeorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah, maka perbuatan itu dipandang tercela.

Menurut Hadis Purba (2012:178-184), agar sebuah perbuatan dipandang sebagai ibadah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Aktivitas tersebut diniatkan hanya kepada Allah dan dimulai dengan mengingat Allah dan membaca basmalah. Rasul bersabda:

ُعَطْقَا ْوَا ُرَـتـْبَا َوُهَـف ِللها ِرْكِذِب ُحَتْفَـتَلا ٌلاَب ىِذ ُرْمَا ُّلُك

Artinya: “Setiap urusan yang tidak dimulai dengan zikrullah,

maka ia terputus”.

2. Aktivitas itu memang diperbolehkan Allah atau tidak dilarang oleh syari’at Islam.

Suatu perbuatan agar bernilai ibadah, tidak cukup hanya mengawalinya dengan basmalah. Agar suatu perbuatan tersebut bernilai ibadah, selain dimulai de ngan basmallah, pekerjaan tersebut juga harus diperbolehkan oleh syari’at Allah. Suatu perbuatan yang dilarang syari’at, misalnya mencuri, merampok, memperkosa dan berzina sekalipun dimulai dengan basmalah tidak akan menjadi ibadah. Justru dengan sebutan basmalahnya, dia akan menjadi lebih fasik dan zalim karena mempermainkan asma Allah.

3. Perbuatan/aktivitas tersebut menggunakan alat yang dihalalkan oleh Allah.

Suatu perbuatan agar bernilai ibadah, tidak cukup hanya dengan kedua persyaratan di atas. Tetapi harus memenuhi syarat ketiga yaitu pekerjaan itu menggunakan alat yang dihalalkan oleh Allah. Makan daging babi misalnya, sekalipun makan adalah pekerjaan yang dihalalkan syariat Allah dan diawali dengan basmalah, tetapi karena objek/alat pekerjaan tersebut diharamkan Allah, maka pekerjaan

142

p

tersebut tidak mungkin bernilai ibadah. Pekerjaan tersebut tetap dipandang sebagai perbuatan kufur.

4. Perbuatan/aktivitas tersebut bertujuan untuk kebaikan Suatu perbuatan baik sekalipun sudah diawali dengan basmalah dan objek/alatnya dihalalkan Allah, tetapi apabila tujuannya bukan untuk mengharapkan ridha Allah, maka perbuatan tersebut akan gugur nilainya sebagai ibadah. Bersedekah (berinfak) misalnya sekalipun pekerjaan itu diperintahkan Allah dan uang (alat) yang disedekahkan merupakan uang halal dan juga diawali dengan basmalah, tetapi apabila niat melakukannya hanya untuk riya (bukan mengharap ridha Allah), maka gugurlah nilai sedekah tersebut dari ibadah, bahkan akan menjadi perbuatan yang sia-sia, seperti ditegaskan Allah dalam Alquran surat Al-Baqarah/2 ayat 264:















































































Artinya: “Sebaliknya, menghukum seseorang dapat menjadi

perbuatan ibadah apabila diawali dengan basmalah dan dimaksudkan untuk memperbaiki (membuat jera) orang yang dihukum dari kebiasaan berbuat jahat, bukan menghukum dengan maksud balas dendam.

5. Perbuatan/aktivitas tersebut dilakukan dengan ikhlas

Pengamalan ibadah mahdhah dan ibadah ammah, adalah perintah Allah yang harus dilaksanakan secara ikhlas, seperti dijelaskan dalam Alquran Surat Al-Bayyinah/98: 5

143



































Artinya: “Dan kamu tidaklah diperintahkan kecuali untuk

menyembah Allah dengan Ikhlas”.

Beribadah dengan ikhlash artinya ialah melakukan suatu peribadatan hanya karena Allah semata (tanpa ada unsur lain yang mendampinginya). Sebagai ilustrasi perhatikanlah ayat Alquran surat al-Ikhlash/112: ayat 1-4 sebagai berikut:







































Artinya: Katakanlah Allah itu Maha Esa, Allah tempat bergantung segala sesuatu, dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tiada sesuatupun yang setara dengan Dia.

Ayat di atas diberi nama surat al-Ikhlas, karena isinya secara mutlak menafikan (meniadakan) segala sesuatu bersama Allah, dan mengitsbatkan (menetapkan) hanya Allah sebagai satu-satu Nya zat yang ada. Karena itu, suatu peribadatan dapat dikatakan ikhlas apabila yang mendasarinya hanya karena Allah (tanpa ada yang memulai mendampingi Nya). Suatu peribadatan dikatakan ikhlas, apabila dalam proses peribadatan tersebut dinafikan (ditiadakan) unsur-unsur lain sebagai motivasi dan tujuannya.

Beribadah karena Allah tetapi niat masih didampingi oleh unsur-unsur lain seperti ingin terkenal (sum’ah) adalah syirik, melakukan suatu perbuatan dengan niat agar mendapat pujian atau dikatakan dermawan, peduli sosial atau pamer adalah perbuatan syirik. Inilah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah sampai-sampai dosa perbuatan

144

p

syirik tidak diampuninya seperti ditegaskan dalam Alquran berikut ini:

ِهِب َكِرْشُي ْنَأ َبْوُـنُذلا ُرِفْعَـي َلا َللها َّنِإ

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa berbuat syirik denganNya. (QS. AN-Nisa’/4: 48).

Sedemikian bencinya Allah dengan perbuatan syirik ini sehingga dengan tegas Allah mengatakan tidak akan mengampuni dosanya. Bahkan melaksanakan shalat pun apabila didalamnya terkandung niat supaya dipuji (riya) justru shalat seperti itu akan membawa ke neraka seperti dijelaskan dalam surat al-Ma’un/107 ayat 4- 6:

            

Artinya: Maka neraka wail-lah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya, mereka adalah orang-orang yang riya.

Bagaimana ibadah dengan niat untuk mendapatkan pahala dan ingin masuk surga atau terampuni dosa dan terhindar dari siksa neraka? Beribadah atau melakukan amal shaleh dengan niat ingin memperoleh surga atau lepas dari siksa neraka, pada prinsipnya adalah perbuatan syirik, karena syurga dan neraka adalah milik Allah sama dengan makhluk-makhluk lain. Akan tetapi karena surga dan neraka adalah janji (iming-iming dari Allah secara langsung, maka dia menjadi boleh. Artinya inilah perbuatan syirik yang diperbolehkan Allah tetapi tidak diridhaiNya.

Perumpamaan orang yang beribadah karena ingin lepas dari siksa neraka dengan beribadah karena ingin mendapat surga dan beribadah secara ikhlas karena Allah (bukan karena surga dan lepas dari siksa neraka) dapat diibaratkan dengan seorang anak yang memenuhi perintah orangtuanya atau menjauhi larangannya karena janji-janji (iming-iming) orang tua tersebut.

Seorang anak yang patuh melaksanakan perintah orangtua hanya karena takut akan dihukum, maka yang diperoleh si anak dengan perbuatannya tersebut hanyalah terlepas dari hukuman (dia tidak memperoleh ridho orangtuanya).

Seorang anak yang patuh melaksanakan perintah orangtua hanya karena ingin memperoleh janji seperti uang, fasilitas dan lain

145 sebagainya, maka yang diperoleh sianak dari perbuatan tersebut hanyalah janji dan iming-iming tersebut (dia tidak memperoleh ridho orangtuanya).

Seorang anak yang ikhlas mematuhi perintah dan larangan orang tua (bukan takut karena dihukum dan bukan pula karena janji imbalan) maka inilah anak yang paling disenangi/diridhoi orangtua. Sehingga dia sudah pasti terlepas dari hukuman dan dia juga akan memperoleh balasan yang berlipat ganda tanpa batas.

Demikian juga halnya orang yang beribadah dengan niat agar lepas dari siksa neraka karena takut akan kepedihan siksa tersebut, maka pada hari akhirat nanti, balasan tertinggi yang akan diperoleh dari ibadahnya hanyalah terbebas dari api neraka. Maka jadilah dia mendapat surga, tetapi surga yang paling rendah tingkatannya. Selanjutnya orang yang beribadah hanya karena ingin masuk surga, maka balasan tertinggi yang akan diperoleh dari ibadahnya hanyalah surga yang tingkatannya ditimbang dan dihitung menurut jumlah peribadatan yang dilakukannya. Apabila semakin banyak jumlah perbuatan dan amal shaleh yang dilakukannya, maka semakin tinggi tingkat surga yang diperolehnya, demikian sebaliknya. Adapun orang-orang yang beribadah karena Allah secara mutlak (ikhlas = tanpa ada unsur lain yang mendampingi niatnya), maka balasannya adalah ridho Allah yang menghantarkannya berjumpa dengan zat Allah, seperti dijelaskan dalam surat al-Insyqaq ayat 6:



















Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja dengan

sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya.

Menyerahkan diri dan beribadah hanya kepada Allah adalah merupakan ikrar menusia dalam setiap melaksanakan shalat, seperti ditegaskan dalam surat Al-An’am: 162-163:





































Artinya : “Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, amal ibadahku,

146

p

sekutu bagi-Nya dan dengan itulah aku dierintahkan dan aku merupakan orang yang pertama berserah diri”.

Jadi, agar suatu perbuatan bernilai ibadah maka harus memenuhi semua syarat-syarat di atas tanpa ada yang terabaikan. Semua persyaratan di atas merupakan satu kesatuan yang utuh tanpa bisa dipisahkan satu sama lain.

D. Penutup

Sikap manusia tidak selamanya baik dan juga tidak selamanya buruk. Ada waktunya seorang melakukan hal baik dan ada waktunya seorang manusia melakukan hal buruk. Baik dan buruk merupakan dua sifat yang terdapat dalam manusia, dan kedua sifat tersebut saling bertentangan atau berkebalikan. Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang, misalnya mengatakan orang itu baik atau buruk. Masalahnya apakah yang disebut baik dan buruk dan apa ukuran atau indikator yang dapat digunakan untuk menilai perbuatan itu buruk atau baik. Penilaian terhadap suatu perbuatan yang baik dan buruk disebabkan adanya perbedaan tolak ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut.

Tolak ukur yang berbeda tersebut disebabkan karena aliran paham yang dipercaai atau yang dijadikan rujukan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Aliran filsafat yang mempengaruhi penentuan baik dan buruk, diantaranya adalah aliran Hedonisme, adat istiadat (sosialisme), humanisme, utilitarisme, idealisme, vitalisme, religiosme, evolusi (evolution), tradisonal, naturalisme, dan theologis.

Untuk menghasilkan kebaikan yang sempurna Islam memberikan tolak ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu di tunjukkan untuk mendapatkan keridhaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu Islam memperhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu. Seseorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah, maka perbuatan tersebut dipandang tercela. Perbuatan yang baik menurut Islam adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Alquran dan Hadis, dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Perbuatan baik itu

147 misalnya taat kepada Allah dan Rasulnya, berbakti kepada kedua orang tua, saling tolong menolong dalam kebaikan, menepati janji, menyayangi anak yatim, sabar, amanah, jujur, ridha, ikhlas dan lain-lain. Perbuatan buruk itu misalnya membangkang terhadap perintah Allah dan Rasul, durhaka kepada kedua orang tua, ingkar janji, curang, khianat, riya putus asa dan lain-lain.

Daftar Pustaka

Al-Asfahani, Ar-Ragib, 2008. Mu’jam Mufrodat al-Fadhil al-Qur’an, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah.

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Depdiknas, 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hidayat, Rahmat, et.al. Akhlak Tasawuf, Medan: Perdana Publishing. Jalaluddin, 2003. Psikologi Agama Memahami Perilaku Keagamaan

dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

K. Bertens. 2000, Etika. Jakarta: Gramedia. Hlm. 235-238.

Mangunhardjana, A., 1997. Isme-Isme Dari A Sampai Z. Yogyakarta: Kanisius.

Manzhuur, Ibnu. 1988. Lisan al-‘ Arab. Dar Ihya al-Turats–‘ Arabi. Mustofa, A. 1997. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Setia.

Napel, Henk ten. 2009, Kamus Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Dewan Redaksi Ensiklopedi Isalam. 1999. Ensiklopedi Islam, jilid 1. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoven, 1999) hal: 21

Nata, Abiddin, 2009. Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.

Purba, Hadis, 2012. Tauhid, Ilmu, “Syahadat dan Amal”, Medan: IAIN Press.

Rosen, Frederick. 2003. Classical Utilitarianism from Hume to Mill. London: Routledge.

148

p

Dalam dokumen Etika manajemen perspektif islam (Halaman 149-160)