• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Moralitas dan Faktor yang Mempengaruhinya

Dalam dokumen Etika manajemen perspektif islam (Halaman 77-82)

A. Moral dan Susila

4. Perubahan Moralitas dan Faktor yang Mempengaruhinya

Setiap manusia dalam hidupnya pasti mengalami perubahan atau perkembangan, baik perubahan yang bersifat nyata atau yang menyangkut perubahan fisik, maupun perubahan yang bersifat abstrak atau perubahan yang berhubungan dengan aspek psikologis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam manusia (internal) atau yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor itulah yang akan menentukan apakah proses perubahan manusia mengarah pada hal-hal yang bersifat positif atau sebaliknya mengarah pada perubahan yang bersifat negative.

Berbicara tentang pembentukan moral, maka tidak bisa lepas dari aspek perubahan atau perkembangan manusia. Tentu dalam pembentukan moral ada faktor-faktor yang mempengaruhi, seperti halnya perubahan manusia pada umumnya. Menurut beberapa ahli pendidikan, perubahan manusia atau yang lebih spesifik mengenai

66

p

pembentukan moral dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal faktor mana yang paling dominan mempengaruhi proses perubahan tersebut. Perbedaan tersebut diakibatkan karena berbedanya sudut pandang atau pendekatan yang digunakan oleh masing-masing tokoh.

Menurut Piaget perkembangan moral terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap realisme moral atau moralitas oleh pembatasan, dan tahap moralitas otonomi. Proses perkembangan moral melewati enam tahap yang terbagi dalam tiga tingkat perkembangan secara umum,yaitu:

a. Tingkat Prakonvensional

Pada tingkat ini, individu memandang kebaikan itu identik dengan kepatuhan terhadap otoritas dan menghindari hukuman. Tingkatan moral prakonvensional dalam konteks interaksi antarindividu dengan lingkungan sosialnya ditandai dengan baik dan buruk yang berdasar pada keinginan diri sendiri, benar atau salah dilihat dari akibat-akibat itu, misalnya hukuman, ganjaran. Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:

1) Tahap orientasi hukum dan kepatuhan. Dalam hal ini, menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Individu menganggap perbuatannya baik apabila ia memperoleh ganjaran dan tidak mendapat ukuman. Hal ini berarti bahwa akibat fisik tindakan menentukan sifat baik dan sifat buruk tindakan itu;

2) Tahap orientasi relativitas–instrumental. Seseorang sudah lebih baik menyadari tentang kebutuhan-kebutuhan pribadi dan keinginan-keinginannya serta bisa bertindak demi orang lain tetapi dengan mengharapkan hubungan antarmanusia kadang-kadang ditandai relasi timbal balik. Individu menghubungkan apa yang baik dengan kepentingan, minat, dan kebutuhan diri sendiri serta ia mengetahui dan membiarkan orang lain melakukan hal yang sama. Individu menganggap sesuatu itu benar apabila kedua belah pihak mendapatkan perlakuan yang sama.

b. Tingkat Konvensional

Individu pada tingkat ini, seseorang memandang bahwa memenuhi harapan-harapan keluarga dan kelompok dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya sendiri, tidak

67 peduli pada apapun akibat-akibat yang langsung dan yang kelihatan. Sikap ini bukan hanya mau menyesuaikan diri dengan harapan-harapan orang tertentu dan dengan ketertiban sosial, sikap ingin loyal, ingin menjaga, dan sikap ingin mengidentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada di dalamnya. Ini berarti individu memandang kebaikan identik dengan harapan sosial serta aturan-aturan dalam masyarakat.

Tingkat ini meliputi:

1) Tahap kesepakatan antarpribadi. Tindakan seseorang direncanakan untuk mendapatkan penerimaan dan persetujuan sosial agar individu disebut sebagai orang baik, maka individu berusaha dipercaya oleh kelompok, bertingkah laku sesuai dengan tuntutan kelompok dan berusaha memenuhi harapan kelompok;

2) Tahap orientasi hukum dan ketertiban. Tindakan yang benar adalah melakukan kewajiban, menunjukkan rasa hormat pada otoritas, mentaati hukum serta memelihara ketertiban sosial yang sudah ada demi ketertiban itu sendiri.

Ini berarti bahwa individu percaya bahwa bila orang-orang menerima peraturan yang sesuai dengan seluruh kelompok, maka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari kecaman dan ketidak setujuan sosial. Pada tahap ini, loyalitas terhadap orang lain atau kepada kelompok digantikan menjadi loyalitas kepada norma atau hukum.

c. Tingkat Pascakonvensional

Individu pada tingkat ini memiliki usaha yang jelas untuk mengartikan nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip sahih serta dapat dilaksanakan, terlepas dari otoritas kelompok atau yang memegang prinsip-prinsip tersebut. Individu memandang kebaikan sesuai dengan prinsip moral yang universal, yang tidak terkait dengan aturan-aturan setempat atau segolongan manusia. Tingkat pascakonvensional ditandai dengan prinsip keadilan yang bersifat universal. Tingkat ini terbagi atas:

1) Tahap orientasi kontak sosial yang legalitas. Perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individu umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Ada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional

68

p

mengenai manfaat sosial. Individu percaya bahwa peraturan dapat diubah demi kesejahteraan masyarakat. Individu meyakini bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinan-keyakinan moral yang memungkinkan modifikasi dan perubahan standar moral bila diyakini atau terbukti menguntungkan kelompok sebagai suatu keseluruhan. Individu menyadari bahwa hukuman dan kewajiban harus berdasarkan perhitungan rasional, individu juga menyadari bahwa ada perbedaan nilai-nilai di antara individu dalam masyarakat; 2) Tahap orientasi prinsip etis yang universal. Orientasi prinsip

etis yang universal benar diartikan dengan keputusan suara hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri, hukum tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting tetapi ada nilai-nilai yang lebih tinggi yaitu prinsip universal mengenai keadilan, pertukaran hak dan keamanan martabat manusia sebagai pribadi.

Syamsu Yusuf (2004: 184) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral, yaitu:

a. Konsisten dalam Mendidik Anak

Orangtua harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anaknya. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila anak melakukan kembali pada waktu lain.

b. Sikap Orangtua dalam Keluarga

Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten.

c. Penghayatan dan Pengamalan Agama yang Dianut

Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan cara memberikan

69 ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

d. Sikap Konsisten Orangtua dalam Menerapkan Norma

Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka orangtua harus menjauhkan diri dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua mengajarkan kepada anak agar berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidakkonsistenan orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan hal yang diinginkan oleh orangtuanya, bahkan dia akan berperilaku seperti orangtuanya. Selain faktor di atas, perkembangan moral juga dipengaruhi oleh lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan teman-teman sebaya, segi keagamaan, dan aktivitas-aktivitas rekreasi. (Gunarsa, 1999)

Lebih lanjut faktor-faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

a. Lingkungan Rumah

Sikap dan tingkah laku anak tidak hanya dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang berada di dalam rumah, tetapi sikap dalam melakukan hubungan di luar rumah. Orangtua harus menciptakan suasana keramahan, kejujuran, dan kerjasama sehingga anak selalu cenderung untuk melakukan hal-hal yang baik.

b. Lingkungan Sekolah

Corak hubungan antara anak dengan guru atau murid dengan murid, banyak mempengaruhi aspek-aspek kepribadian, termasuk nilai-nilai moral yang memang masih mengalami perubahan-perubahan. Hubungan antarindividu yang baik di sekolah dapat memperkecil kemungkinan tumbuhnya perbuatan-perbuatan yang jauh dari nilai-nilai moral yang tinggi bilamana kelompok itu sendiri sudah mempunyai norma-norma moral yang baik pula.

c. Lingkungan Teman-teman Sebaya

Makin bertambah umur, individu makin memperoleh kesempatan lebih luas untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan teman-teman bermain sebaya, sekalipun dalam kenyataannya perbedaan-perbedaan umur yang relatif besar tidak menjadi sebab tidak adanya kemungkinan individu melakukan

70

p

hubungan-hubungan dalam suasana bermain. Anak yang banyak berpartisipasi dalam pergaulan, kemungkinan tahap perkembangan moralnya lebih besar dibanding mereka yang kurang berpartisipasi dalam pergaulan.

d. Segi Keagamaan

Kejujuran dan nilai-nilai moral yang diperlihatkan seorang anak bergantung sepenuhnya pada penghayatan nilai-nilai keagamaan dan perwujudannya dalam bertingkah laku dengan orang lain. Ajaran keagamaan tidak hanya sebagai petunjuk, tetapi juga pengontrol untuk tidak melakukan sesuatu berdasarkan hawa nafsu. Kalau pada mulanya kepatuhan nilai-nilai keagamaan didasarkan karena rasa takut atau hukuman, maka lama kelamaan kepatuhan ini akan dapat dihayati sebagai bagian dari cara dan tujuan hidup individu.

e. Aktivitas-aktivitas Rekreasi

Aktivitas anak dalam mengisi waktu luang akan mempengaruhi konsep moral anak. Melalui bacaan, film, radio, televisi, banyak mempengaruhi norma-norma moral anak. kejahatan, penipuan, kedengkian dari bacaan-bacaan maupun tayangan televisi dapat mengubah konsep-konsep moralitas pada anak. penilaian terhadap norma-norma kejahatan, yang sebenarnya telah terbentuk, dapat terubah oleh pengaruh bacaan maupun tayangan televisi.

Dalam dokumen Etika manajemen perspektif islam (Halaman 77-82)