• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Pendidikan Akhlak dalam Islam

Dalam dokumen Etika manajemen perspektif islam (Halaman 97-105)

A. Moral dan Susila

5. Konsep Pendidikan Akhlak dalam Islam

Sebenarnya konsep-konsep pendidikan nasional yang disusun pemerintah sudah menekankan pentingnya pendidikan

86

p

akhlak dalam hal pembinaan moral dan budi pekerti sesuai UU Sisdiknas tahun 1989 atau revisinya tahun 2003. Disebutkan dalam Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 UU No.20/2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa, dan dalam pasal 36 tentang Kurikulum dikatakan bahwa kurikulum disusun dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa, meskipun dalam pasal-pasal tersebut kata-kata ‘iman dan takwa’ tidak terlalu dijelaskan. Namun kenyataannya dapat dikatakan bahwa mayoritas akhlak para peserta didik yang dihasilkan dari proses pendidikan di Indonesia tidak sesuai dengan yang dirumuskan.

Menurut Ahmad Tafsir dalam Tedi Priatna (2004: 23), kesalahan terbesar dalam dunia pendidikan Indonesia selama ini adalah karena para konseptor pendidikan melupakan keimanan sebagai inti kurikulum nasional. Meskipun konsep-konsep pendidikan nasional yang disusun pemerintah dalam UU Sisdiknas 1989 sudah menekankan pentingnya pendidikan akhlak dalam hal pembinaan moral dan budi pekerti, namun ternyata hal tersebut tidak diimplementasikan ke dalam kurikulum sekolah dalam bentuk Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP).

Akibatnya, pelaksanaan pendidikan di tiap lembaga tidak menjadikan pendidikan keimanan sebagai inti semua kegiatan pendidikan yang berakibat lulusan yang dihasilkan tidak memiliki keimanan yang kuat. Jadi bisa dikatakan bahwa penyebab terbesar dalam krisis pendidikan ini adalah akibat gagalnya pembangunan karakter anak didik yang mengabaikan pembinaan akhlak dalam proses pendidikan yang sedang berlangsung.

Pada sisi lain, beberapa pemerhati pendidikan Islam di Indonesia telah berusaha memecahkan masalah tersebut dengan membuat konsep-konsep atau model-model pendidikan yang dapat mengurangi kelemahan sistem pendidikan tersebut. Namun masalah terbesarnya kini adalah bahwa hampir sebagian besar para ilmuwan Islam masih terjebak dalam epistemologi pendidikan Barat. Konsep dan metode yang dihasilkan tetap tidak dapat dilepaskan dalam paradigma keilmuwan Barat yang mengambil logika sebagai sumber ilmu. Maka ketika mereka mencoba mengaplikasi nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang disusun dalam UU Sisdiknas, mereka tidak dapat melepaskan worldview Barat dalam pelaksanaannya, sehingga gagasan yang ditawarkan tetap tidak mampu

87 menterjemahkan aspek keimanan yang tercantum dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut.

Bukti pengaruh pendidikan Barat terhadap pendidikan Islam adalah lahirnya dikotomi pendidikan yang memiliki kesan jika pendidikan agama berjalan tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta pendidikan umum tidak memerlukan agama. Dikotomi yang terjadi ini menurut Mujamil Qomar (2005: 216-218) menyebabkan antara lain kegagalan merumuskan tauhid, lahirnya syirik yang berakibat adanya dikotomi fikrah Islam, adanya dikotomi kurikulum, lembaga pendikan yang melahirkan manusia berkepribadian ganda yang menimbulkan dan memperkokoh sistem kehidupan ummat yang sekuleristik, rasionalistik-empiristik-intuitif, dan materialistik, lahirnya peradaban Barat sekuler yang dipoles dengan nama Islam, serta lahirnya da'i yang berusaha merealisasikan Islam dalam bentuk pemisahan kehidupan sosial-politik-ekonomi-ilmu pengetahuan-tekhnologi dengan ajaran Islam, dimana agama hanya menjadi urusan akhirat saja dan ilmu tekhnologi untuk urusan dunia.

Di sini terlihat ada missing link antara teori yang ada dan aplikasinya di lapangan. Artinya, hal tersebut diakibatkan karena tidak terimplikasinya konsep-konsep Islam secara tepat ke dalam dunia pendidikan, khususnya dalam hal pembangunan karakter anak didik. Para pemerhati pendidikan Islam di Indonesia yang terjebak paradigma Barat kurang tepat menerjemahkan ‘iman dan takwa’ yang dimaksud sehingga yang muncul dalam penerapan di lapangan adalah mereka tidak mengintegralkan antara aspek kognitif (intelektual) dan aspek afektif (rohani/akhlak) para peserta didik sesuai dengan epistemologi pendidikan Islam. (Tedi Priatna, 2004: 24).

Selain itu, proses pendidikan akhlak yang ada dalam lingkungan pendidikan selama ini hanya bersifat naratif dan verbalis, bagian kognitif mengalahkan proses pengamalannya. Metodologi yang ada pun ternyata tidak memiliki efek mendorong dan pencegahan peserta didik untuk merespon pendidikan akhlak.

Dengan bukti-bukti kasus penyimpangan akhlak yang terjadi pada para peserta didik, nampak terlihat tidak tertanamnya dengan baik mana akhlak yang mesti dijadikan karakter dan mana akhlak yang dilarang untuk mengerjakannya. Jika pendidikan akhlak

88

p

tersebut disampaikan dengan perencanaan yang baik, termasuk metodologi pengajarannya, maka bangunan karakter anak didik akan mulai terbentuk dari usia yang amat tepat, khususnya di lingkungan sekolah.

Jika ingin membuat konsep-konsep pendidikan yang mengacu pada ajaran Islam maka penting untuk melihat landasan Islam itu sendiri. Oleh karena itu metodologi pendidikan akhlak yang ada pun harus diambil dari landasan Islam, yaitu Alquran dan Hadits. Alquran dan Hadits. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah yang mengatakan, “Sesungguhnya telah aku tinggalkan kepadamu dua

perkara yang bila kamu berpegang teguh kepadanya pasti tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnahku” (HR.

Bukhari). Keduanya menjadi basis atau dasar dalam pendidikan Islam tersebut.

Alquran menyebutkan bahwa Alquran membimbing atau mendidik manusia dari alam kegelapan dan kebodohan menuju kepada alam cahaya keilmuan. Dalam QS. Ibrahim ayat 1 dijelaskan bahwa: Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan

kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (QS.

Ibrahim :1).

Menurut Amin Abu Lawi (1423H/2002: 27) ayat tersebut menjelaskan tentang pendidikan dalam perspektif Alquran, bahwa tujuan diturunkannya Alquran adalah sebagai upaya untuk mengeluarkan manusia dari alam jahîliyyah kepada cahaya keislaman. Adapun maksud dari cahaya jahîliyyah adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt. dan cahaya keislaman adalah segala sesuatu yang diperintahkan dan dimubahkan olehNya.

Setidak-tidaknya ada dua alasan besar yang bisa disebutkan bahwa Alquran berperan besar melakukan proses pendidikan kepada ummat manusia. Pertama, Alquran banyak menggunakan term-term yang mewakili dunia pendidikan, misalnya term Ilmu yang diungkap sebanyak 94 kali (belum termasuk turunan katanya),

hikmah yang menggambarkan keilmuan diungkap sebanyak 20 kali, ya’kilûn yang menggambarkan proses berfikir diungkap sebanyak 24

kali, ta’lam yang diungkap sebanyak 12 kali, ta’lamûna yang diungkap sebanyak 56 kali, yasma’ûn yang diungkap sebanyak 19

89 kali, yazakkaru yang diungkap sebanyak 6 kali, dan term-term lainnya.

Kedua, Alquran mendorong ummat manusia berfikir dan

melakukan analisa pada fenomena yang berada di sekitar kehidupan manusia itu sendiri. Dalam hal ini, al-Nahlawy (1999: 40-42) menjelaskan bahwa ada empat cara tahapan Alquran melakukan hal tersebut, yaitu :

a. Alquran mengungkapkan realita-realita yang dihadapi langsung oleh manusia, seperti laut, gunung, bulan dan lain sebagainya. Kemudian Alquran mendorong akal manusia untuk merenungkan proses tersebut. Pada konteks ini Alquran selalu memberikan motifasi bahwa semua ini adalah tanda-tanda bagi komunitas yang berakal.

b. Alquran memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia terkait tentang alam semesta.

c. Alquran mendorong fitrah manusia untuk menyadari bahwa realitas alam ini butuh satu kekuatan yang mengatur, penjaga keseimbangan, ada keterkaitan yang erat antara sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dan pada akhirnya sampai pada kesimpulan tentang hubungan antara manusia dengan Sang Khalik tersebut, Allah Swt.

d. Alquran mendorong manusia untuk tunduk dan khusyu’ kepada Sang Khalik, diikuti kesiapan untuk merealisasikan kesadaran tersebut.

Keistimewaan proses pendidikan yang digambarkan Alquran ini nampak pada segi penyampaian argumennya. Argumen pada ayat Alquran tersebut selalu dibangun beriringan dengan ayat-ayat kauniyah, dimana pola tersebut ikut menata kemampuan fikir, gerak dan intuisi yang ada pada manusia. Kesemuanya ini memperlihatkan bahwa Alquran telah melakukan upaya sangat positif dalam melakukan proses pendidikan terkait wawasan eksistensi manusia. (al-Nahlawy,1999: 40-42).

Menurut Syaikh Saltut (1403H/1983: 5-12), Alquran mengunakan empat cara dalam menjelaskan pendidikan yang ada dalam ayat-ayatnya, yaitu:

1. Melalui pendidikan pada manusia agar terdorong meneliti, mentadabburi kekuasaan jagad raya ciptaan Allah SWT. Hal ini merupakan bentuk pemuliaan Allah kepada akal manusia,

90

p

sehingga manusia mampu mencerahkan keagungan ciptaan-Nya seperti udara, air, guna pemberdayaan tugas kekhalifahan; 2. Melalui pendekatan cerita-cerita ummat masa silam, baik kisah

yang berjaya karena keshalehannya maupun yang mendapatkan azab karena kedzalimannya. Penyebutan kisah tersebut lebih kepada ittiba’, bukan dalam tataran kajian historisnya ataupun sekedar parade ketokohan;

3. Melalui penyadaran perasaan sehingga mampu mencerna

sunatullah dalam kehidupan;

4. Melalui pendekatan berita-berita kabar gembira atau ancaman. Setiap ayat-ayatnya, Alquran memiliki metodologi yang beragam dalam menjelaskan ayat-ayatnya. Menurut Muhammad Arifin (2000: 62-63), gaya bahasa dan ungkapan yang terdapat di dalam Alquran menunjukkan fenomena bahwa pesan-pesan Alquran mengandung nilai-nilai metodologis yang memiliki corak dan ragam sesuai situasi, kondisi, dan sasaran yang dihadapi. Di dalam mengunakan cara dengan pendekatan perintah dan larangan (‘amr

wa nahi), Allah senantiasa memperhatikan kadar kemampuan

masing-masing hamba-Nya, sehingga ‘taklif’ (beban) itu berbeda-beda meskipun dalam tugas yang sama. Sistem pendekatan metodologis yang diungkapkan Alquran bersifat multi approach, yang meliputi pendekatan religius, filosofis, sosio kultural dan scientific. Maka amatlah tepat jika pendidikan dalam Islam bisa menerapkan metodologi pendidikan akhlak yang tergambar dalam Alquran tersebut.

Muhammad Rabbi’ Mahmud Jauhari (2006: 6-7) menjelaskan bahwa Perspektif Islam, akhlak terkait erat dengan ajaran dan sumber Islam tersebut, yaitu wahyu. Sehingga sikap dan penilaian akhlak selalu dihubungkan dengan ketentuan syariah dan aturannya. Tidak bisa dikatakan sikap ini baik atau buruk hanya bersandar pada pendapat seseorang ataupun kelompok, karena bisa jadi pendapat tentang kebaikan dan keburukan sesuatu hal bisa berbeda antara dua orang ataupun dua kelompok. Perbedaan itulah yang selalu muncul dalam kajian falsafah masa klasik ataupun modern. Para filosof akhlak hingga kini belum bersepakat tentang tolak ukur konsep akhlak tersebut, ada yang berstandar pada akal, ada pula yang berstandar pada perasaan dan kebiasaan serta asas kebaikan dan keburukan, dan lain sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa kajian

91 akhlak pada konsep falsafah belum tuntas dan perselisihan antar aliran falsafah tersebut tidak mengalami kemajuan.

Menurut Amin Abu Lawi (1423H/2002: 57), akhlak dalam perspektif Islam mempunyai nilai samawi yang bersumber dari Alquran. Menurutnya, akhlak dapat dimaknai dengan mengacu kepada hukum dan ketetapan syari’ah yang lima, yaitu hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, karena itulah realitas akhlak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bila akhlak berbasis kepada hukum yang lima, maka klasifikasinya seperti berikut ini: akhlak wajib, seperti prilaku jujur, amanah, iklas dan seterusnya; akhlak sunnah seperti mengucapkan salam, memberi makan dan sedekah; akhlak mubah, seperti bermain dan bersendau gurau dengan teman; akhlak makruh seperti tidak berinteraksi dengan masyarakat dan hidup menyendiri; akhlak haram seperti berzina, minum khamar, berdusta, berkhianat, mencuri dan lain sebagainya.

Selain itu, sumber akhlak lainnya adalah sunnah nabi Muhammad saw. Pandangan ini berdalil pada pendapat Aisyah ra ketika menafsirkan akhlak rasul yang tergambar dalam "khuluq

al-a'dim" (QS. Al-Qalam: 4), yaitu Alquran. Riwayat Muslim tersebut di-syarah-kan oleh Imam Nawawi dalam kitab shalat, bahwa makna

kalimat 'akhlak rasulullah itu adalah Alquran adalah rasulullah mengamalkan Alquran, patuh pada ketentuan-ketentuanNya, beradab dengan Alquran, mengambil i'tibar dari perumpamaan dan kisah-kisah di dalamnya, mentaddaburinya serta membacanya dengan baik. Lebih jauh lagi, akhlak bagi seorang muslim adalah melaksanakan perintah-perintah Allah Swt. dan menjauhi laranganNya sesuai yang diajarkan Rasulullah saw. (Muhammad Diya’uddin al-Qarbi, 1995: 19).

Mujamil Qomar (2005: 259) menjelaskan bahwa orientasi pendidikan Islam diarahkan untuk menumbuhkan integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua dimensi itu bergerak saling melengkapi satu sama lain sehingga mampu mewujudkan ‘insan yang shaleh’ (manusia sempurna) atau pribadi yang utuh. Perpaduan seluruh dimensi itu telah menjadi idealisme yang sering digambarkan dalam ajaran Islam. Hanya pribadi yang memiliki perpaduan potensi itulah yang layak untuk menjalankan fungsinya sebagai khalîfat fî al-‘ard dengan kewenangannya mengelola, melestarikan, memakmurkan, dan memberdayakan alam. Dari

92

p

pandangan ini kita bisa melihat karakteristik pemahaman Islam terhadap hakekat pendidikan akhlak, yaitu:

a. syumul dan mendalam karena tidak terkungkung pada teks-teks saja,

b. integral karena mencakup berbagai sisi positif untuk melakukan pendidikan menyeluruh,

c. menggunakan berbagai macam pendekatan dan memiliki metodologis pengajarannya luas,

d. tidak terpaku pada satu teori yang diungkapkan para pemikir dalam Islam karena pendapat mereka hanya parsial dari makna akhlak itu sendiri,

e. memberikan pemahaman paradigma yang luas tentang akhlak pada pelaku pendidikan,

f. melakukan pelatihan pada pelaku pendidikan karena tidak cukup hanya memberikan pandangan ilmiah dan teori semata,

g. pembentukan manusia dari sisi kebutuhan masyarakat dan kemanusiaan, hal ini dibangun dari rasa solidaritas, memahami hak asasi manusia, yang semua itu dilakukan di bawah naungan ibadah kepada Allah Swt. (M. Yatimin Abdullah, 2007: 19).

Ketujuh karakteristik ini menuntun manusia untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan akhlak, yaitu mendorong jiwa seorang mukmin untuk mencintai syari'ah agamanya, menanamkan nilai syariah dalam jiwa mereka, membangun pemahaman tentang figuritas keteladanan dalam akhlak dan memotivasi berperilaku mereka dengan sifat-sifat yang terpuji dalam perkembangan akhlak. Dengan kata lain, esensi dari pendidikan akhlak adalah melahirkan manusia yang berpribadi muslim yang taat terhadap hukum dan ketetapan syari’ah Islam. Jika akhlak diartikan seperti pemahaman Ibnu Miskawih yang menekankan bahwa akhlak adalah perbuatan yang dilakukan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan, maka pendidikan akhlak menjadi upaya melahirkan manusia berpribadi muslim yang mudah untuk melaksanakan ketentuan hukum dan ketetapan syari’ah agama, dan sikap taat tersebut selalu menjadi sifatnya ketika berhadapan dengan ketentuan agama, tanpa banyak alasan untuk tidak melaksanakannya.

93

C. Karakter

Dalam dokumen Etika manajemen perspektif islam (Halaman 97-105)