• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Black Metal yang Tersisa di Surakarta

C. Komunitas Black Metal di Surakarta

2. Bandoso : Black Metal di Atas Panggung

Bandoso terbentuk pada tahun 1999 di sebuah desa misterius, 20 Km sebelah utara kota Surakarta78, ketika aliran musik Black Metal di Surakarta sedang mengalami puncak kejayaannya. Formasi awal kelompok ini terdiri dari Pinthus Petrozza (vokal), Bandung (drum) dan Agung (gitar). Mereka menyatakan diri sebagai kelompok pengusung aliran Black Metal hingga sekarang.

Meskipun tetap di jalur Black Metal hingga sekarang, kelompok ini sempat mengalami dua kali pergantian sub aliran Black Metal. Pada tahun 2002, dengan bergabungnya Rara, vokalis perempuan, dan Nonot (gitar) kelompok ini beralih dari minimalis trial error Black Metal menjadi Gothik Metal. Perubahan ini terjadi karena karakter vokal perempuan dalam kelompok ini, menurut mereka, membuat kecenderungan musik Bandoso bergeser ke Gothik Metal. Tahun 2006 kelompok ini sekali lagi mengalami perubahan sub aliran bermusiknya. Sejak saat itu, hingga sekarang, Bandoso menjadi kelompok Black Metal yang berada di

77

Bagian ini disusun dari hasil wawancara dengan Ichsan dan Nonot pada tanggal 27 Maret 2012 di Kedai Grek, Jl. Srikaya 13 Karangasem, Surakarta, dan informasi dari situs web kelompok ini: www.bandoso.multiply.com.

78 Lihat, www.bandoso.multiply.com. Bandoso sengaja menyamarkan lokasi tempat terbentuknya kelompok ini.

jalur Atmospheric Black Metal. Kondisi ini terjadi setelah Rara keluar (2005) dan bergabungnya Ichsan (2003) sebagai keyboardis kelompok ini. Bandoso menjadi Atmospheric Black Metal sejak Ichsan memasukkan unsur atmospheric (nuansa backsound) lewat keyboard yang ia mainkan.79

Bandoso ini oleh komunitas ekstrim metal di Surakarta seringkali

dianggap sebagai kelompok yang “tidak terlalu” Black Metal. Mereka menempatkan Black Metal hanya sebagai aliran musik belaka. Anggapan tersebut dibenarkan oleh Ichsan dan Nonot, dua anggota Bandoso.

Pada awal terbentuknya Bandoso sebenarnya pernah mencoba mengimitasi kelompok-kelompok Black Metal yang mereka kiblati. Mereka menyematkan

simbol pentagram terbalik, kepala kambing, salib terbalik dan simbol angka ‟666‟

sebagai penanda identitas mereka (kelompok Black Metal). Menggunakan corpsepaint, wristband (bracer), jubah hitam, serta spike ketika beraksi di atas panggung. Pada perkembangannya, setelah memasuki periode ketiga (periode Atmospheric Black Metal), Bandoso mempunyai tafsir sendiri terhadap Black Metal. Mereka modifikasi ideologi dan simbol Black Metal Skandinavian yang sempat mereka terima mentah-mentah sebelumnya.

79 Sebenarnya Bandoso sempat mengalami satu lagi pergantian sub aliran, namun mereka menyikapinya sebagai masa transisi dari Gothik Metal ke Atmospheric Black Metal. Mereka menyebutnya Atmospheric Gothic Black. Data ini bisa dilihat pada foto poster dan sampul album musik Bandoso yang pertama, Kegelapan dalam Keabadian (2004): di bawah logo (tulisan nama kelompok) Bandoso tercantum tulisan Atmospheric Gothic Black.

Gambar 5. Anggota kelompok musik Bandoso sekarang (dari kiri ke kanan: Yunus Nasruddin, Pinthus Petrozza, Agung “Nonot” Pranawa, Teuku Lian dan Ichsan Adhi S)

Sumber: Dokumentasi kelompok Bandoso

Bandoso dalam lirik-lirik lagunya menceritakan tentang hidup, penciptaan alam semesta, kesejatian manusia dan ketidakabadian dunia. Berawal dari kesadaran mereka atas ketidakabadian, bahwa setiap manusia pada akhirnya pasti mati, muncullah nama Bandoso (bandosa) yang dalam bahasa Indonesia berarti keranda mayat. Mereka merepresentasikan dunia kematian atau kehidupan setelah

mati; menjadi ”mayat hidup” untuk mengingatkan manusia, yang masih hidup, tentang kesejatian hidup manusia. Agar mereka ingat sangkan paraning dumadi, dari mana dan akan ke mana akhirnya setelah maut menjemput. ”Kalau Black Metal Eropa kan paganisme, memuja alam, kami di sini memuja yang

menciptakan alam (Tuhan),” kata Ichsan.

Bandoso lewat musik-musiknya menyerukan tentang kebaikan hidup. Mereka “berdakwah” dengan menggunakan Black Metalsebagai ”kendaraannya”.

Mereka melandaskan kepercayaan mereka atas kebaikan hidup dan kesejatian manusia dari moralitas agama Islam80, meskipun tidak secara eksplisit terlihat dalam lirik maupun aksi panggung mereka.

Bandoso tidak secara eksplisit menunjukkan moralitas agama Islam sebab mereka percaya bahwa sejatinya semua agama menyerukan kebaikan hidup yang sama. Dan karena mereka berniat menyerukan tentang kemanusiaan maka mereka tidak menyematkan identitas agama tertentu (keislaman) dalam lirik-lirik lagu mereka. ”Kami memang merepresentasikan tentang kematian, menyimbolkannya, tetapi kami tidak merepresentasikan diri sebagai darkness. Kami ini lightness

saja..” kata Nonot sambil tertawa.

Bandoso tetap menyatakan diri sebagai kelompok musik Black Metal meskipun mereka mengaku menggunakan aliran musik ini sebagai “kendaraan dakwah”. Mereka memainkan musik Atmospheric Black Metal, menggunakan teknik vokal scream (shrieking), menggunakan corpsepaint, memakai wristband (bracer), spike, jaket kulit dan sepatu boot81

. Mereka juga memasukkan ikon-ikon Jawa tradisional dalam merchandise yang mereka pakai dan yang mereka jual82, misalnya simbol angka atau huruf yang dicetak dalam aksara Jawa.

Sejak awal berdirinya hingga sekarang, kelompok yang sekarang beranggotakan Pinthus Petrozza (vokal), Agung “Nonot” Pranawa (gitar), Yunus

Nasruddin (bass), Ichsan Adhi S. (keyboard) dan Teuku Lian (drum) ini sudah

80 Semua anggota Bandoso beragama Islam.

81

Sebelum membeli jaket hitam panjang (semacam jas hujan) sebagai kostumnya Ichsan sempat menggunakan ziphood hitam , jamper berkerudung, yang dibalik pemakaiannya (bagian dalam dibalik menjadi luar –untuk menutupi gambar sablon ziphoodnya).

82 Bandoso membuat dan menjual berbagai produk merchandise yang bernuansa ekstrim metal. Sekarang (2012) mereka sedang menyiapkan sebuah distro yang mereka namai Graveworm.inc.

menelorkan dua album musik indie yang bertajuk Kegelapan dalam Keabadian (2004) dan Semesta Paradoks (2012), tiga album kompilasi yang bertajuk Union of Eastern Legacy 2 (2007), Konfrontasi Maksimal (2008) dan Benefit for Sinabung (2010), serta satu rekaman live performance yang diberi tajuk Totally Destroy Manahan (2007).

Bandoso ini tidak terlalu peduli dengan pengkotak-kotakan sub aliran Black Metal. Di antara berbagai varian Black Metal, Bandoso memilih berada di tengah-tengahnya. Mereka juga mengaku tidak mengambil begitu saja simbol dan ideologi pergerakan Black Metal dari tanah asalnya, sebagaimana pernah mereka lakukan di awal-awal terbentuknya kelompok ini. “Kami sudah punya ideologi sendiri,” kata Ichsan.

Rupanya itulah jawaban mengapa Bandoso tidak lagi menyematkan simbol-simbol antikrist dalam berbagai produk visual mereka. Mereka merasa bahwa simbol-simbol tersebut justru kontradiktif dengan niat mereka dalam bermusik. Bandoso tidak menggunakan simbol agama atau anti agama tertentu untuk menyerukan tentang kebaikan hidup dan kesejatian manusia.

”Kami menjadi Black Metal ketika beraksi di atas panggung. Setelah turun panggung kami kembali menjadi bagian dan sama seperti masyarakat lainnya.”