• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Black Metal yang Tersisa di Surakarta

B. Komunitas Black Metal di Indonesia

Paruh dekade tahun 1990an di beberapa kota besar di Jawa-Bali (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Surabaya dan Denpasar) sempat digegerkan oleh gerakan musik underground. Bermunculan kelompok-kelompok musik anak muda yang mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari komunitas ekstrim metal dunia. Mereka menyebut diri anak metal, metalheads, membedakan diri dengan gerakan scene rock underground generasi sebelumnya yang menyebut dirinya Rocker.

Merebaknya komunitas metal sempat memunculkan kecemasan di masyarakat. Indikasi tersebut setidaknya dapat dibaca dari pemberitaan media massa. Tabloid Adil nomor 27 tahun ke-65 (16-22 April 1997) mengangkat fenomena musik metal dalam laporan utamanya. Dari judul liputan yang diturunkan tercium bau kecemasan: Bisingnya Metal Bangkitnya Setan, dan Musik yang Menghujat Tuhan. Setelah tabloid Adil, sebuah tabloid yang dikeluarkan oleh komunitas Kristiani, Sangkakala, pada terbitan pertama di tahun pertamanya (15 Maret 1998) dengan lebih sinis menyorot fenomena musik metal dalam liputannya yang diberi tajuk Musik Underground: Satanisme atau Kebodohan?

Metalheads direpresentasikan sebagai komunitas yang doyan buat keributan, tawuran. Di awal tulisan Bisingnya Metal Bangkitnya Setan dikisahkan pertikaian antara komunitas Grind Core dengan Punk (30 Maret 1997) di Plaza Bintaro, Jakarta, dan peristiwa tawuran yang lebih besar (16 Maret 1997) di

lingkungan Gelanggang Remaja Bulungan, Blok M, Jakarta, yang melibatkan komunitas Grind Core, Punk dan Hard Core.

Selain cap sebagai tukang ribut, metalheads juga dianggap sebagai orang-orang aneh, seperti makhluk asing di tanahnya sendiri, dengan dandanannya yang sangat demonstratif dan cenderung menyeramkan. Rasa seram ini juga terasa dari penamaan kelompok mereka, misalnya, di Bandung ada Jasad, Hellgods, Noise Damaged, Burger Kill, Dajjal; di Yogyakarta ada Death Vomid; di Jakarta ada Tengkorak, Grausig, Corporation of Bleeding, Trauma, Holy Shit, The-The Myth (Dedemit), Sadistis, Betrayer, No Respect; dan di Malang ada Rotten Corpse.53 Meskipun tabloid Adil tidak tegas membedakan identitas masing-masing kelompok dan sub aliran musik underground yang dipakainya, tabloid ini pada akhirnya condong menyorot komunitas Black Metal sebagai komunitas musik pemuja setan.

Digambarkan di atas panggung bahwa para musisi Black Metal seringkali melakukan aksi-aksi yang mencengangkan, di antaranya ada yang menggigit dan meminum darah kelinci dan atau ular di atas panggung. Penggemar Hellgods, setiap menonton aksi panggung Hellgods, bahkan suka membakar kemenyan dalam api unggun lalu berdiri mengitarinya.

Tabloid Sangkakala menggambarkan aksi metalheads pada perhelatan Benteng Bawah Tanah di Yogyakarta (7 Desember 1998). Mereka, digambarkan, melakukan headbang (gerakan memutar-mutar kepala), melompat dari panggung ke tengah kerumunan penonton, saling membenturkan badan, menjerit histeris,

53 Lihat, Bisingnya Metal Bangkitnya Setan, Tabloid Berita Mingguan Adil. No.27 Tahun ke-65. 16-22 April 1997. h.4.

membakar dupa, menebarkan bunga tabur dan menggotong tengkorak binatang. Ada pula seorang penonton yang meloncat ke atas panggung untuk mempertunjukkan aksi menggigit ular.

Beberapa yang hadir dalam perhelatan tersebut ada yang menggunakan kaus bergambar Yesus disalib dengan isi perut terburai, gambar setan kembar dipaku pada kayu salib, jubah kepala kambing dan pentagram terbalik, dan gambar perempuan telanjang dada dengan tubuh berdarah bekas tikaman pisau atau gigitan. Sejumlah penonton menggoreskan gambar salib terbalik di dahinya.54

Abu (Hellgods) dan Yuli (Jasad) kepada tabloid Adil, dalam wawancara terpisah, memberi pernyataan senada, bahwa performance kelompok mereka di atas panggung sebenarnya hanya aksi panggung belaka, hanya bermain musik. Sidik (Grausig), pada tabloid Adil mengaku bahwa kelompoknya memang mengekor tren musik luar namun mereka tidak membuat atau menyanyikan lagu yang menyangkut agama, alasannya karena itu merupakan isu yang sangat sensitif dalam masyarakat. Eko (Mortal Scream) kepada tabloid Sangkakala juga mengatakan hal yang sama, penampilan kelompoknya di atas panggung hanyalah aksi panggung belaka, sekedar sensasi. Namun, terlepas dari pernyataan para musisi Black Metal tersebut, menurut pantauan tabloid Adil, waktu itu ada banyak kelompok musik Black Metal yang ”ideologis” di Bandung. Mereka bukan hanya

metalheads saja tetapi lebih dari itu mereka juga mengklaim dirinya sebagai pemuja setan. Mereka melakukan ritual pemujaan setan, mengucap mantera,

54 Lihat, Musik Underground: Satanisme atau Kebodohan, Warta Injili Sangkakala. Nomor 1/Tahun I. 15 Maret 1998. h.10.

memakai simbol-simbol antikrist dan melantunkan syair-syair penghujatan kepada Tuhan dalam lirik-lirik lagunya.

Keberadaan komunitas musik underground, khususnya komunitas Black Metal, tidak lepas dari sejarah awal dikenalnya aliran musik rock di negeri ini. Kelompok-kelompok seperti God Bless (Jakarta), Gang Pegangsaan (Jakarta), Gypsy (Jakarta), Giant Step (Bandung), Super Kid (Bandung), Trencem (Surakarta), AKA/SAS (Surabaya) dan Bentoel (Malang) adalah generasi pertama rocker Indonesia. Merekalah yang mengenalkan embrio musik metal kepada masyarakat Indonesia sebelum terjadi demam Trash Metal menjelang dekade akhir tahun 1980an. Istilah underground juga sudah dikenalkan waktu itu (tahun 1970an), jauh sebelum istilah tersebut digunakan untuk menamai kelompok-kelompok musik ekstrim metal pada dekade tahun 1990an. Istilah underground digunakan majalah musik dan gaya hidup, Aktuil (Bandung), untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang memainkan musik keras dengan gaya

yang lebih `liar‟ dan `ekstrim‟ untuk ukuran jamannya, meskipun lagu-lagu yang dimainkan bukan lagu-lagu mereka sendiri.55

Komunitas underground ini awalnya muncul dan bertumbuh di kota-kota besar Jawa dan Bali, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Denpasar. Sejak paruh pertama dekade tahun 1990an kelompok-kelompok underground bermunculan dan semakin subur hadir di banyak kota di Indonesia.

Mereka membikin jaringan independen dengan memproduksi dan

memasarkan kaset sendiri yang mereka sebut ”indie label”. Mereka juga

55 Lihat, Azizalfian, Sejarah Musik Underground di Indonesia,

membangun komunikasi ”bawah tanah”, meliputi seluruh pulau Jawa, Bali, dan

Ujung Pandang (Makassar), membuat media intern, dan saling tukar kaset demo. Kelompok-kelompok band pinggiran ini berjuang keras untuk tetap hidup dengan caranya sendiri. Kalau perlu, untuk pentas pun mereka patungan.56

Azizalfian dalam tulisannya Sejarah Musik Underground di Indonesia57 juga mengulas tentang sejarah masuk dan berkembangnya komunitas Black Metal di antara riuhnya berbagai sub aliran musik ekstrim metal di beberapa kota besar di Indonesia. Death Metal, Brutal Death Metal, Grind Core, Black Metal, Gothic Metal dan Doom Metal adalah jenis-jenis musik ekstrim metal yang saat itu sangat digemari. Bandung, Yogyakarta dan Surabaya menjadi kota-kota yang subur bagi pertumbuhan komunitas underground. Bandung sempat dianggap sebagai barometer musik underground di Indonesia. Di kota ini bermunculan kelompok-kelompok musik underground yang bagus dengan infrastruktur industri indie label yang kuat. GOR Saparua adalah saksi pernah digelarnya peristiwa-peristiwa akbar musik underground yang fenomenal, di antaranya Hullabaloo, Bandung Berisik dan Bandung Underground.

Di Yogyakarta ada sebuah komunitas musik underground yang menamakan diri Jogja Corpsegrinder. Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine58 metal Human Waste, majalah Megaton dan menggelar acara metal

56 Lihat, Menggali Setan di Bumi Sendiri, Tabloid Berita Mingguan Adil. No.27 Tahun ke-65. 16-22 April 1997. h.5.

57 Lihat, Azizalfian, Sejarah Musik Underground di Indonesia,

http://gudangartikel.net/discussion/536/sejarah-musik-underground-indonesia/p1#ixzz1t6nhvumG

58

Media massa cetak, semacam buletin, yang dicetak secara sederhana (tidak jarang yang diperbanyak dengan difotokopi) dan diedarkan untuk kalangan sendiri. Selain berfungsi sebagai media informasi dan komunikasi antar anggota jejaring (kalangan sendiri) juga sebagai media propaganda.

legendaris, Jogja Brebeg. Jogja Brebeg ini adalah sebuah peristiwa yang sangat bergengsi bagi metalhead. Sebuah kelompok belum benar-benar di anggap metal kalau belum pernah pentas di acara Jogja Brebeg, demikian pengakuan Jiwo, vokalis Makam, kelompok Black Metal dari Surakarta59.

Surabaya merupakan surga bagi jaringan komunitas musik Black Metal di Indonesia. Hingga sekarang ada banyak kelompok dan peristiwa pergelaran musik Black Metal terjadi di kota ini. Sejak awal tahun 1997 di Surabaya komunitas Black Metal sudah merebak. Pada tahun baru 1997, pada penyelenggaraan AMUK

I di kampus Universitas ‟45, terbentuklah Surabaya Underground Society (SUS). Anggota komunitas ini terdiri dari kelompok-kelompok dari berbagai aliran ekstrim metal, di antaranya yang cukup banyak adalah kelompok-kelompok musik Black Metal.

Setelah SUS bubar kelompok-kelompok musik yang beraliran Black Metal membentuk wadah baru yang khusus beranggotakan kelompok-kelompok musik Black Metal, yang dinamakan Army of Darkness. Komunitas Black Metal mendominasi dunia ekstrim metal di Surabaya. Maka, karena banyaknya kelompok yang ada, muncullah peristiwa-peristiwa panggung musik underground yang khusus bagi komunitas Black Metal. Gelar musik underground, Army of Darkness I dan II, di Surabaya merupakan dua peristiwa panggung musik Black Metal yang terbilang sukses.

Pada tanggal 1 Juni 1997 lahir komunitas underground yang dinamakan Inferno 178. Di markasnya Inferno 178 mempunyai beberapa divisi usaha, di

59 Wawancara dengan Jiwo pada tanggal 18 Februari 2012 di basecamp kelompok Makam yang sekaligus distro, Kartel Black Dealer: Largest Indonesian Black Metal Merchandise Online Store, Jl. HOS Cokroaminoto 41 B Jagalan, Surakarta.

antaranya distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event organizer yang khusus menyelenggarakan panggung-panggung musik underground di Surabaya. Fanzine mereka yang diberi nama Post Mangled ini rupanya kurang tergarap dengan baik sehingga setelah launching edisi perdananya tidak terbit lagi edisi berikutnya. Setelah kegagalan Post Mangled muncul lagi fanzine underground yang mengulas berbagai informasi dan kegiatan musik metal, Fanzine yang diberi nama Garis Keras ini bertahan hingga 12 edisi.

Hingga sekarang komunitas Black Metal masih cukup besar di Surabaya. Mereka sering menggelar peristiwa-peristiwa akbar panggung musik ekstrim metal. Komunitas Black Metal Surabaya dan beberapa kota di Jawa Timur terjalin dalam jejaring yang cukup solid. Jaringan Jawa Timur inilah yang oleh Jiwo dianggap sejalan dengan konsep dan visi komunitas Black Metal di Surakarta60.

Pada paruh dekade tahun 1990an kelompok-kelompok musik ekstrim metal juga bermunculan di Surakarta namun komunitas musik underground di kota ini kurang terbaca dalam peta komunitas musik underground pada waktu itu. Meskipun begitu, paruh dekade tahun 1990an adalah masa kejayaan komunitas Black Metal di Surakarta. Banyak kelompok musik Black Metal bermunculan dan sering terselenggara panggung-panggung musik underground yang diusung bersama antara komunitas Black Metal dengan komunitas underground yang lain dalam jangkauan jejaring yang cukup luas.

60