• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan

F. Kerangka Teoritis…

Representasi hantu dalam folklor masyarakat Jawa sampai sekarang masih terus tersebar dan terwariskan melalui berbagai bentuk dan media, baik dalam tutur, tulisan, gambar, komik, seni pertunjukan, film layar lebar, sinetron, iklan

maupun sebagai simbol identitas komunitas. Representasi hantu ini adalah representasi konstruksionis23. Meskipun tidak menolak keberadaan dunia material pendekatan konstruksionis menyatakan bahwa bukan dunia material yang membawa makna. Sistem ini tidak hanya membentuk konsep-konsep atau representasi mental dari orang-orang atau objek material saja tetapi juga dari hal-hal yang abstrak dan tidak jelas (yang tidak bisa kita lihat, rasakan atau sentuh dengan cara yang sederhana), misalnya konsep tentang perang, kematian, persahabatan, dan percintaan. Kita juga bisa membentuk konsep dari hal-hal yang tidak pernah kita lihat, dan mungkin tidak akan bisa kita lihat, misalnya konsep tentang malaikat, setan, neraka, tuhan dan hantu.

Representasi hantu -dan ikon-ikon Jawa tradisional- ini oleh komunitas musik Black Metal di Surakarta dikawinkan, dalam estetika simbol identitas mereka, dengan tradisi simbol identitas komunitas Black Metal. Sintesa tersebut menjadi kondensasi kekuatan (metafora), konotator-konotator, yang membangun retorika simbol visual identitas mereka. Kondensasi kekuatan simbol identitas dan pengalaman estetik komunitas Black Metal ini bisa diketahui dengan mengkaji visual simbol-simbolnya menggunakan analisa retorik.

Retorika. Dalam semiotika konotasi Barthesian ada dua jenis pesan ikonik yang dikelompokkan oleh Roland Barthes: pesan literal (denotasi) dan pesan simbolik (konotasi). Pesan ikonik yang tak terkodekan (a non-coded iconic message) masuk dalam katagori pesan literal, sedangkan pesan ikonik yang

23 Lihat, Hall, Stuart (ed.). 2003. Representation: Cultural Representations and Signifiying Practices. London: Sage Publication.

terkodekan (a coded iconic message) merupakan pesan simbolik.24 Pesan ikonik yang tak terkodekan ini adalah pesan denotatif, analogon dari realitas yang sesungguhnya, yang disampaikan oleh imaji secara keseluruhan dan sampai kepada kita tanpa melalui penafsiran. Kita langsung mengakuinya sebagai kenyataan. Sedangkan pesan ikonik yang terkodekan adalah pesan konotatif yang dihasilkan oleh berbagai satuan tanda ikonik dalam imaji, yang membutuhkan

”pengetahuan” yang sudah kita pelajari untuk bisa menangkap petanda pesan -pesannya. Kedua pesan ini dibedakan namun tidak dipisahkan.25

Dalam imaji denotatif ternyata juga terdapat pesan konotasi. Paradoks. Pesan konotasi ini ada pada proses produksi imajinya dan atau ketika imaji tersebut diapresiasi oleh khalayak dengan menggunakan kode-kode mereka. Sementara dalam hubungannya dengan pesan simbolik imaji denotatif berfungsi menaturalisasi bangunan sistemik pesan konotasi. Konotasi merupakan satu-satunya sistem yang hanya dapat didefinisikan secara paradigmatis; sementara denotasi ikonik merupakan satu-satunya sintagma yang menghubungkan unit-unit tak bersistem: konotator-konotator yang awalnya diskontinyu menjadi terkoneksi,

teraktualisasi, ‟terkatakan‟ melalui sintagma denotasi26. Kalau sebuah imaji dapat memberikan makna konotasi, imaji itu harus mempunyai denotasi27. Konotasi merupakan sistem ganda yang menjadikan sistem penandaan tingkat pertama

24 Lihat, Barthes, Roland. 2010. Imaji/Musik/Teks. Tr. Agustinus Hartono. Yogyakarta: Jalasutra. hh.19-40.

25 Lihat, Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. hh.160-162.

26 Lihat, Barthes, Roland. 2010. Imaji/Musik/Teks. Tr. Agustinus Hartono. Yogyakarta: Jalasutra. h.40.

(denotasi) sebagai penandanya. Penyatuan penanda-penanda konotasi membentuk konotator, dan dari sekumpulan konotator inilah retorika dibangun.

Semiotika konotasi yang menggunakan pendekatan struktural ini kemudian dikembangkan lagi oleh Barthes. Dikoreksinya dengan menengok

kembali pada pendekatan ”fenomenologis” yang disebutnya fenomenologi sinis28 . Dalam sistem konotasi ini Barthes memperkenalkan studium dan punctum, dua pendekatan yang digunakan untuk mengapresiasi fenomena visual: perjalanan dari membaca hingga merefleksikannya.

Visual adalah bahasa yang mempunyai sistem bahasanya sendiri. Pengalaman mengapresiasi fenomena ini mengantarkan kita untuk melihatnya secara rinci; memisahkan unsur-unsur, a series of discontinuous signs, dari keseluruhan visual. Di sini pendekatan studium membantu kita untuk, berdasarkan ketertarikan kita, menentukan kode-kode pada objek visual. Ketertarikan inilah yang memancangkan kita pada satuan-satuan tertentu dan kemudian membantu

kita menghubungkan serta ”mengkalimatkan” satuan-satuan tersebut.29 Ketertarikan yang membangkitkan rasa suka tapi tidak sampai jatuh cinta. It is studium, which doesn’t mean, at least not immediately, ”study,” but application to thing, taste for someone, a kind of general, enthusiastic commitment, of course, but without special acuity30.

Dari pengalaman Barthes ada, sedikitnya, lima alasan yang membuat kita menyukai realitas visual tertentu (fenomena visual di masyarakat), di antaranya

28

Ibid. h.159.

29

Ibid. hh.167-169.

30 Lihat, Barthes, Roland. 2000. Camera Lucida. Tr. Richard Howard. London: Vintage Books. h.26.

karena visual tersebut memberi informasi (to inform), menunjuk (to signify), melukiskan (to paint), mengejutkan (to surprise) dan membangkitkan gairah (to waken desire). Ketertarikan kita terhadap hal-hal tersebut menjawab kebutuhan jamak-lumrah, kewajaran (cultural), kita sebagai bagian dari masyarakat (polis). Studium sebagai cultural atau polite interests menjadi ukuran komitmen dan keterlibatan kita pada jaman ini31. Polite desire yang muncul dari unconcerned desire32

.

Berhadapan dengan realitas visual tertentu, dalam konsep studium, tidak bisa tidak kita diuji untuk mengetahui, memahami, maksud kreatornya. The

studium is a kind of education (knowledge and civility, ”politeness”) which allows

me to discover the Operator, to experience the intentions which establish and

animate his practises, but to experience them ”in reverse,” according to my will

as a Spectator33. Hubungan antara apresian dan objek visual, yang diapresiasi, akhirnya hanya sebatas hubungan antara produsen dan konsumen; unconcerned desire.34

Dari paparan di atas kita bisa tahu bahwa studium pada akhirnya selalu terkodekan. Dan punctum yang merusaknya35. Punctum adalah saat kita terpaku pada satu atau dua titik, dalam suatu objek visual, yang memikat hati. Kita mengonsentrasikan perhatian kita pada hal-hal yang barangkali tidak menonjol

31 Lihat, Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. h.193.

32

Ibid. h.195.

33 Lihat, Barthes, Roland. 2000. Camera Lucida. Tr. Richard Howard. London: Vintage Books. h.28.

34 Lihat, Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. h.195.

35 Lihat, Barthes, Roland. 2000. Camera Lucida. Tr. Richard Howard. London: Vintage Books. h.27.

namun bisa membangkitkan desire atau mourning yang mendalam36. Detail-detail bisu (partial) yang sebenarnya tidak dimaksudkan menjadi fokus perhatian, dan atau yang sebenarnya justru merupakan kecacatan (atau noda) yang tidak disengaja; yang tidak terkodekan (unintentional), liar, namun memberikan napas hidup keseluruhan objek visualnya.37

Punctum memunculkan dorongan kuat (desire) untuk menemukan keapaan realitas visual yang bersitatap dengan saya. Dorongan yang bukan lagi unconcerned desire tetapi desire yang menyentuh eksistensi dan moral. Punctum membuat kita tidak hanya shock tetapi, terlebih lagi, trauma! Trauma yang muncul karena rasa khawatir, jangan-jangan apa yang saya lihat ini hanyalah ilusi.38 Tetapi apakah yang saya lihat ini memang bukan ilusi?

Objek visual yang bersitatap dengan saya membuat saya tidak hanya berhadapan dengannya tetapi berada di dalamnya. Membangun imajinasi bersama berdasarkan prinsip likeness, kekuatan proyektif dari intensionalitas afektif kita. Punctum membuat kita tidak lagi bergantung pada imajinasi yang sudah mapan, yang dibangun oleh kode-kode atau ide-ide yang sudah dipelajari, tetapi memulai imajinasi baru dari realitas visual yang nyata: imajiner. Bukan ilusi.39

Punctum membebaskan visual dari budayanya, dari kode-kode yang menempatkannya dalam struktur. Punctum adalah pengalaman kesendirian yang membuat orang tidak bisa mengatakan apa yang dilihatnya; saat saya harus

36 Lihat, Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. h.196.

37 Ibid. h.198. 38 Ibid. hh.197-198. 39 Ibid. h.201.

memberi nama dengan sebutan saya sendiri40. The punctum should be revealed only after the fact41

. Punctum membuat orang mengalami satori: melihat aura, kekuatan, yang terpancar dari realitas visual yang disaksikannya42. Punctum adalah jantung retorika!

Selain menggunakan retorika sebagai pisau bedah, untuk mengetahui kekuatan simbol identitas komunitas musik Black Metal di Surakarta, penelitian ini juga menggunakan konsep estetika kengerian sebagai pintu masuk untuk memahami pengalaman estetik mereka. Estetika kengerian ini saya adaptasi dari konsep estetika kejijikan (disgust) yang dikembangkan oleh Menninghaus43. Dalam konsep estetika ini keindahan ternyata tidak hanya dibangun oleh apa-apa saja yang indah melainkan juga yang bahkan berlawanan dengan yang secara umum dianggap sebagai keindahan. Perpaduan berbagai sensasi, mixed sensation, inilah yang memungkinkan munculnya kenikmatan atas sensasi kengerian. Kant menyebutnya sebagai kenikmatan keindahan yang lain, yang sublim44.

Sensasi kengerian adalah the strong sensation45, sensasi yang teramat sangat kuat, yang membuat orang merinding, gemetaran bahkan bisa jadi sampai muntah dikarenakannya. Sensasi kengerian ini masuk ranah seni dalam bentuk

metafora. Metafora kengerian yang masih tetap ”berbahaya” sebab dibentuk oleh tiruan-tiruan artistik dan atau metonimi-metonimi sensasi kengerian.

40

Ibid. h.197.

41 Lihat, Barthes, Roland. 2000. Camera Lucida. Tr. Richard Howard. London: Vintage Books. h.53.

42 Lihat, Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. h.203.

43 Lihat, Menninghaus, Winfried. 2003. Disgust: The Theory and History of a Strong Sensation. Tr.Howard Eiland dan Joel Golb. Albany: State University of New York Press.

44

Ibid. h.45.

45

metafora inilah yang membentuk esetetika simbol identitas komunitas Black Metal di Surakarta: estetika kengerian.