• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Estetika Kengerian

B. Metafora Kengerian pada Simbol Identitas Makam dan Bandoso

1. Retorika Nama

Makam dan bandosa secara umum dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai bagian dari ritus penguburan jenazah. Makam adalah tempat penguburan jenazah

sedangkan bandosa alat untuk mengusung jenazah menuju liang kuburnya. Bandosa, bandhosa atau bandhusa merupakan istilah dalam bahasa Kawi, yang diterjemahkan menjadi trebela dalam bahasa Jawa dan ‟keranda‟ dalam bahasa

Indonesia177. Ketiga istilah dalam tiga bahasa ini (bandosa, trebela dan keranda) tiga-tiganya digunakan oleh masyarakat Jawa di Surakarta, hanya saja sekarang bandosa dan trebela dibedakan. Trebela dipahami sebagai peti jenazah sedangkan bandosa adalah keranda jenazah. Keduanya sebenarnya mempunyai kegunaan yang hampir sama, sama-sama digunakan untuk membawa jenazah menuju tempat dikuburkannya178. Kalau sudah menggunakan trebela biasanya tidak lagi menggunakan keranda.

Keranda atau bandosa ini adalah varian dari tandu yang digunakan khusus untuk mengusung jenazah. Saat digunakan untuk menandu, kerodong bandosa dikerudungi kain (menggunakan kain jarit atau, umumnya sekarang, kain yang bertuliskan ayat-ayat suci Al Qur‟an) untuk menutupi jenazah yang diusungnya.

Penggunaan bandosa ini rupanya adalah salah satu cara untuk memberikan penghormatan terakhir pada jenazah; mengantarkan jenazah pada liang kuburnya dengan rapi, terhormat dan manusiawi. Selain itu, penggunaan bandosa ini juga dilakukan untuk menghindari tabu. Membawa jenazah begitu saja (misalnya: jenazah yang dipocong), tanpa menggunakan bandosa atau trebela, merupakan tabu yang mengerikan di masyarakat.

177 Lihat, Amaji. 2010. Kamus Basa Kawi, Jawa, Indonesia. Sukoharjo: CV.Cendrawasih. h.20.

178

Peti mati dikuburkan bersama dengan jenazah yang dibawanya. Baik dengan jenazah tetap berada di dalamnya maupun tidak (jenazah dikeluarkan dan dikuburkan terlebih dulu lalu di atas tubuhnya ditaruh kayu-kayu bongkaran peti yang sebelumnya digunakan untuk mengusungnya). Bandosa tidak dikuburkan bersama jenazah. Alat ini dibawa kembali untuk digunakan lagi sesuai dengan kegunaan domestiknya: mengusung jenazah.

Bandosa hampir tidak pernah disinggung sebagai bagian dari ritus kematian kecuali dalam kisah-kisah hantu. Sebagai salah satu peralatan dalam ritus penguburan jenazah bandosa seringkali juga membangkitkan rasa seram. Sensasi ini muncul justru ketika tandu pengusung ini sedang tidak digunakan; saat digeletakkan pada tempat penyimpanannya di salah satu ruang di area masjid, di area pemakaman atau di dalam mobil jenazah. Keseramannya akan lebih menyeramkan lagi kalau melihatnya berada tidak pada tempat(penyimpanan)nya. Apalagi pada saat hari mulai gelap dan sepi.

Pada saat itu ingatan atas kegunaan domestik bandosa sebagai alat untuk mengusung tubuh-tubuh manusia tidak bernyawa dan imajinasi yang terbentuk dari folklor hantu di masyarakat bertemu dan membangun sensasi keseraman atasnya. Dan saat itulah bandosa menjadi representasi dari dunia kematian yang hidup; tubuh-tubuh mati yang pucat, dingin, membusuk, dan menyeramkan, tapi hidup --dalam dunia kematian. Sensasi ini nyata: mengerikan, menyeramkan. Meskipun sebenarnya sensasi ini lebih banyak dibangkitkan oleh ”mere idea” -ingatan dan imajinasi- tentang dunia kematian dan hantu-hantu yang ”mengada”

di dalamnya daripada sebagai pengalaman perjumpaan dengan hantu yang sesungguhnya, yang sulit diverifikasi.

Bandosa inilah yang diusung sebagai nama oleh kelompok Black Metal

yang bermarkas di Surakarta ini, yang dituliskan ”sesuai dengan pelafalannya”:

Bandoso. Nama ini adalah sebuah metafora yang dibangun dari perpaduan antara rasa seram yang mengerikan dan keagungan serta dialektika yang terjadi di antaranya. Mixed Sensation. Bandosa merupakan metafora dari sensasi kengerian

dunia hantu yang gelap, dingin, disorder dan menyeramkan tetapi sekaligus juga sebuah masyarakat yang beradab, order, dan manusiawi --mengantarkan

seseorang ”berpulang”, kembali kepada Sang Khalik.

Gambar 48. Aksi panggung Bandoso

Sumber: Dokumentasi kelompok Bandoso

Berbeda dengan bandosa, makam merupakan salah satu artefak penting dalam ritus kematian. Tidak hanya berhenti sebagai bagian dari ritus penguburan jenazah saja tetapi lebih dari itu, makam menjadi situs persinggahan, peziarahan; sebagai tempat untuk berdoa, mendoakan arwah orang yang dikuburkan (biasanya

makam leluhur atau kerabat) dan atau ngalap berkah (upaya untuk mendapat berkah dari karomah, karãmah, orang yang sudah meninggal dan dimakamkan di dalamnya). Tidak sedikit orang-orang Jawa, dari berbagai kalangan, yang masih melakukan ritual ini sampai sekarang. Beberapa makam atau area pemakaman yang dianggap keramat179 dan ramai didatangi peziarah di antaranya: area pemakaman raja-raja dinasti Mataram di Imogiri, makam Ki Ageng Atasangin, makam G.A. Tulakbronto, makam Rara Pembayun, makam R.Ng. Ronggawarsito, makam Ki Balak dan makam Sunan Tembayat. Masing-masing dipercaya mempunyai karomahnya sendiri-sendiri.180

Ada banyak makam, yang tersebar di seluruh Jawa, yang dijadikan tempat peziarahan. C. Guillot dan H. Chambert-Loir menghitung ada puluhan ribu makam keramat di Jawa, yang dipercaya sebagai makam para wali (awliyã) di dunia Islam, yang satu sama lainnya sangat berbeda jumlah pengunjungnya181. Belum lagi makam tokoh-tokoh pra Islam (non Islam) yang belum atau tidak

”diislamkan”. Ziarah makam di Jawa tidak lepas dari pengaruh Islam meskipun

pada praktik-praktiknya banyak juga yang masih tetap menggunakan dan atau mencampurnya dengan tradisi peziarahan pra Islam (non Islam).

Istilah makam sendiri berasal dari bahasa Arab yang diperkenalkan di Jawa lewat penyebaran Islam: maqãm, yang kurang lebih artinya perhentian182

atau tempat berdiri. Ibn ‟Arabi (salah seorang tokoh yang merintis hagiologi, ilmu

179 dari asal kata dalam bahasa Arab karãmah atau karãmat yang artinya keajaiban.

180 Lihat, Pemberton, John. 2003. Jawa. Tr. Hartono Hadikusumo.Yogyakarta: Mata Bangsa. hh.367-400.

181 Lihat, Guillot, Claude & H. Chambert-Loir (ed.). 2007. Ziarah dan Wali di Dunia Islam. Tr. Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin, Andrée Feillard. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. h.337.

182

yang mempelajari fenomena awliyã, dalam dunia Islam) memaknai makam para wali yang diziarahi ini sebagai maqãm al-qurbah (perhentian kedekatan): tempat tinggal (manazil) Kaum yang Terdekat, tempat tinggal yang terdekat dan terluhur di sisi Allah, yang menjadi penghubung hidup mereka dengan akhirat183. Karena mempercayai kedekatan dan keluhurannya di hadapan Allah, maka makam mereka diziarahi, dimohon bantuannya dan terlebih lagi karomahnya.

Ritus peziarahan ini, di dunia Islam, merupakan konsekuensi dari perluasan penyebaran agama ini di muka bumi. Semakin jauh dari Mekkah, pada masa-masa awal perluasan penyebaran Islam, semakin sulit umat, apalagi di lingkar terjauh penyebaran Islam, melakukan ibadah haji (hajj). Maka dibuatlah tiruan-tiruan yang kurang sempurna dari Ka‟bah. Karena itu, hampir di semua

negeri Islam terdapat tempat-tempat keramat, pada umumnya makam-makam wali, yang dianggap sebagai pengganti tak sempurna dari Mekkah184. Mengganti hajj dengan ziarah ke makam para wali.

Tentu tidak semua golongan dalam Islam menerima ide ini, bahkan ada yang menolak dengan keras. Tapi, terlepas dari alasan dan ijtihad185

masing-masing atas praktik ini, peziarahan makam yang dianggap keramat bertumbuh subur di Jawa. Akhirnya berdampinganlah makna peziarahannya, antara makam tokoh-tokoh dalam dunia Islam, para awliyã, dengan tokoh-tokoh sakti, danyang

183 Ibid. hh.25-26. 184 Ibid. h.11. 185

Pengerahan segala daya upaya akal budi untuk melacak simpulan hukum dari dalil-dalil yang hipotetik (zhanniy) sehingga didapat panduan keagamaan yang sesuai dengan atau mendekati

kepada pesan Al Qur‟an dan Hadits. Sumber: K.H. Dian Nafi‟, pengasuh pondok pesantren Al Muayyad di Windan, Sukoharjo. 1 September 2013.

pelindung suatu wilayah (cikal bakal) dan petilasan. Dari memohon karomah hingga pelarisan.186

Meskipun diketahui ada banyak makam dan atau area pemakaman yang dianggap sebagai tempat keramat bahkan suci, yang diziarahi untuk didoakan dan dimohon karomahnya, dalam bayangan masyarakat pada umumnya makam tetap tempat yang menyeramkan. Mereka melakukan ziarah makam pada waktu-waktu tertentu, setidaknya di makam-makam kerabat, tetapi menjauh dalam kesehari-hariannya. Makam dalam bayangan masyarakat umum merupakan tempat yang menyeramkan, area yang ramai dengan arwah orang-orang yang sudah meninggal dan bergentayangan; tempat mukim arwah penasaran yang suka mengganggu. Bahkan, meskipun pada praktiknya sekarang banyak area pemakaman yang tergusur dan dijadikan area perkantoran atau pemukiman (dan hanya menyisakan cerita-cerita horor).

Makam sebagai tempat yang angker, bahkan gawat, direpresentasikan dalam berbagai kisah. Dari tradisi tutur hingga film, dari gosip hingga pemberitaan media massa. Tidak sedikit cerita hantu yang berlatar tempat kejadian di (area) makam, baik yang dipercaya sebagai kisah nyata maupun rekaan. Makam menjadi metafora keangkeran yang lebih kuat dibanding, misalnya, pohon besar atau rumah tua. Bagaimana tidak, makam merupakan bagian, metonimi, dari ritus kematian itu sendiri. Di sinilah letak dialektika makam: dianggap sebagai tempat yang angker, gawat, menyeramkan tetapi

186 Ada upaya dari pengelola beberapa makam awliyã untuk mensterilkan situs keramat yang dikelolanya dari praktik-praktik peziarahan yang mereka anggap ”kurang Islami” tapi tidak pernah

benar-benar berhasil sebab makam para wali ini, seperti juga makam-makam keramat yang lain, didatangi oleh berbagai kalangan dengan berbagai kepentingan.

sekaligus nguwalati, merbawani (berwibawa) dan menjadi puser (pusara) atau pusat kekuatan gaib, karomah dan berkah.

Jiwo dan teman-teman menggunakan ‟makam‟ sebagai nama kelompok

mereka: Makam. Nama ini, seperti juga bandosa, dalam kebudayaan populer bukan pilihan nama yang gaul. Nama Makam dan Bandoso terdengar aneh di tengah-tengah kebudayaan populer anak muda yang sarat dengan berbagai nama berbahasa Inggris-Amerika yang ”kosmopolitan”. Makam dan Bandoso seakan-akan nama yang datang dari bentang persawahan Jawa yang paling pinggir. Aneh. Namun justru keanehan inilah kekuatan nama Makam dan Bandoso. Keduanya menghadirkan kembali apa yang selama ini disingkiri, mengganggu kemolekan

dunia musik populer dengan ”belepotan lumpurnya”. Inilah retorika nama Makam dan Bandoso, retorika yang dibangun oleh metafora dari mixed sensation yang dialektik antara keanehan, keseraman, kengerian, ketakutan, keseganan, hormat, kecintaan dan kepasrahan.