• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Estetika Kengerian

B. Metafora Kengerian pada Simbol Identitas Makam dan Bandoso

2. Fesyen Panggung yang Mengerikan

Fesyen panggung Jiwo pada perhelatan Rock in Solo VI sebenarnya secara teknis tidak terlalu istimewa. Sederhana. Namun hampir di setiap detail bagian-bagiannya -kostum, aksesoris, make up (corpsepaint) dan gestur tubuh- menyedot

perhatian orang untuk tenggelam dalam imajinasi kengerian. Rambut ”panjang”

ditata dikepang-kepang, jegul kecil di atas kepala -serupa jegul seorang nenek yang sudah menipis rambut kepalanya- dan sepasang sumping kudhup di kedua daun telinga; corpsepaint yang kotor dan meluntur warna pucatnya, seperti wajah

nenek-nenek yang tidak merata bedakannya, dan belepotan darah gimmick (leleran kecohan, air ludah hasil kunyahan sirih) pada mulut hingga dagu; kaus lengan panjang bergambar dengan kesan warna merah bata yang ditimpahi kaus hitam tanpa lengan, yang sengaja dicabik-cabik (cut up), dan noda darah gimmick di sana-sini (juga di sekitaran lengan dan tangan); gelang rantai dari logam, wristband dan cincin -dengan mata cincin yang tajam- di beberapa jari tangan; celana kulit warna hitam, knee protector dan sepatu boot yang kotor oleh bercak-bercak darah gimmick di sana-sini. Hampir semua konotator ini menghadirkan sensasi kengerian.

Gambar 49. Fesyen panggung Shiva Ratriarkha

Sumber: http://indonesiaonstage.com (foto: Hendric Laksana)

Wajah keriput nenek tua yang berdandan -bersaput bedak medhok-medhok dan bibir yang terlalu merah (oleh gincu atau belepotan kecohan sirih)- dengan lingkar matanya yang cowong, gelap, dalam kesehari-harian adalah lawan dari kecantikan, yang bakal membangkitkan ketidaknyamanan bagi yang

melihatnya187. Ingatan akan sensasi tersebut ditambah dengan informasi tentang corpsepaint (yang sedianya merepresentasikan wajah pucat mayat) membuat konotator ini tidak lagi hanya menjadi metafora mayat yang hidup kembali, tetapi lebih dari itu, ini merupakan kengerian yang mencekam dan mengenaskan: dia bukan hanya zombie yang basah-membusuk, yang penuh dengan belatung, saja tetapi juga dengan segerombolan kalajengking, laba-laba, kecoak dan kelabang bersarang di rongga-rongga dada dan perutnya!

Darah gimmick yang belepotan di mulut -meleler sampai ke dagu- dan membercak di sana-sini, di beberapa bagian tubuh, adalah tiruan artistik dari kengerian. Sensasi ini dibangkitkan tidak hanya oleh ingatan atas mengerikannya darah tetapi juga ”mere idea” visual fesyennya: belepotan darah dan bercak-bercak nodanya. Seakan-seakan Shiva Ratriarkha baru saja selesai mencabik-cabik tubuh berdarah daging dan menyantapnya mentah-mentah. Bercak dan leleran darah pada tubuh ini menjadi metafora dari kesakitan, penderitaan, perjuangan, kengerian, ketercekaman dan kekejaman. Bau anyir yang ”tercium”

dalam ingatan, imagined, menjadikan metafora ini terasa lebih mengerikan. Metafora kengerian pada darah gimmick ini tidak hanya dibangun oleh tiruan artistiknya saja tetapi juga dari material yang digunakan, kecohan. Air ludah hasil kunyahan sirih ini adalah metonimi dari sensasi kejijikan yang juga digunakan sebagai tiruan artistik: darah gimmick. Kecohan tentu menjijikkan, apalagi saat berada tidak pada tempatnya. Air ludah hasil kunyahan sirih ini

seharusnya berada di tempat ”sampah” yang khusus untuk mewadahinya, wadah

187 Lihat, Menninghaus, Winfried. 2003. Disgust: The Theory and History of a Strong Sensation. Tr.Howard Eiland dan Joel Golb. Albany: State University of New York Press. hh.84.

kecoh, yang kemudian nantinya dibuang. Dihilangkan dari pandangan mata dan penciuman hidung. Namun pada fesyen panggung ini kecoh justru dihadirkan di sekitaran mulut -bagian wajah yang juga cukup mendapat perhatian penonton- dan membercak di beberapa bagian tubuh yang lain. Bangunan metafora ini menjadi sedikit lebih komplek, perpaduan antara tiruan artistik dan metonimi: kecoh (metonimi kejijikan) dijadikan tiruan artistik dari kengerian darah.

Sumping sebenarnya bukan material yang mengerikan. Apalagi sumping kudhup. Sumping ini adalah salah satu aksesori penting dalam kostum tari tradisional Jawa, karaton, khususnya gaya Yogyakarta. Penari menyematkan sumping kudhup di telinga saat membawakan tari Rengganis Widaninggar, Kelana Raja, Srimpi Pandelori atau Golek Sulung Dayung.188 Tarian-tarian tersebut digolongkan sebagai tari tradisional yang oleh masyarakat kesenian Jawa dianggap adiluhung, produk kesenian karaton. Dan tentunya aksesori ini juga didudukkan sebagai salah satu simbol keadiluhungan. Penghadiran sumping kudhup pada fesyen panggung Jiwo ini, seperti halnya peniti dalam fesyen Punk

yang keluar dari ”utilitas” domestiknya189

, memunculkan kejanggalan. Kejanggalan terjadi sebab sumping ini digunakan di luar fungsi simboliknya dan, apalagi, dipertemukan dengan fesyen panggung musik ekstrim metal yang berbeda sama sekali kode estetika fesyennya. Sumping kudhup pada fesyen panggung ini memunculkan sensasi ketidaknyaman.

188 Sumping kudhup di Surakarta jarang digunakan. Pada tari tradisional gaya Surakarta sumping kudhup dipakai saat membawakan tari Srimpi Jayaningsih dan jenis-jenis tari prajuritan. Wawancara dengan Yudha Rena Mahanani di rumah jl. Kalikuantan II no.5 Pokoso, Jagalan, Surakarta, pada tanggal 10 Mei 2013.

189 Lihat, Hebdige, Dick. 2000. Asal-Usul & Ideologi Subkultur Punk. Tr.Ari Wijaya. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. h.212.

Kaus hitam tanpa lengan yang sengaja dicabik-cabik, cut up, adalah metafora berikutnya. Cut up pernah menjadi simbol perlawanan yang kuat. Tetapi tidak lagi sekarang. Teknik cut up ini sekarang sudah banyak digunakan dan diterima sebagai bagian dari mode fesyen, inilah yang menyebabkan melemahnya metafora ini. Meskipun demikian bukan berarti tidak bisa digunakan sebagai konotator simbol anti kemapanan, hanya saja tidak akan bisa lebih kuat kalau tidak dikawinkan dengan konotator-konotator yang lain. Kaus hitam tanpa lengan yang dicabik-cabik ini menguat metafora kengeriannya setelah ditambah bercak-bercak darah gimmick di atas kain kausnya. Akhirnya cabik-cabik ini bukan lagi hanya sekedar compang-camping tetapi juga sebuah metafora dari kesakitan yang sakit dan perjuangan yang berdarah-darah.

Keseluruhan metafora kengerian ini, ditambah dengan konotator-konotator yang lain, menjadi estetika fesyen panggung Jiwo. Dari konotator-konotator inilah retorika visual simbol identitas Makam pada fesyen panggung ini dibangun, di atas the strong sensation yang digali dari sensasi tergelap manusia, the darkest, yang justru memendar cahayanya setelah berada dalam bahasa artistik -kesenirupaan- fesyen.