• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV Estetika Kengerian

A. Sensasi Kengerian dalam Metafora

Kengerian umumnya dipahami sebagai oposisi dari apa-apa saja yang indah. Seakan-akan tidak ada tempat bagi keadaan mengerikan ini di dalam keindahan selain sebagai lawan. Kengerian ini ditolak, dihindari keberadaannya dan dianggap sebagai keadaan yang mengganggu. Mengerikan. Menninghaus, dalam bukunya Disgust: The Theory and History of a Strong Sensation (2003), pada bagian awal, mendefinisikan kejijikan, kengerian, sebagai rasa yang muncul secara alamiah dari perasaan ketidaksenangan, ketidaknyamanan, dan banyak digunakan untuk membuat pembedaan antara yang indah dan tidak indah167. Tapi kengerian ternyata tidak selalu berasal dari apa-apa saja yang buruk dan atau tidak menyenangkan. Kengerian juga bisa berada, omnipresence, dalam keindahan.

Dari observasinya tentang rasa indah dan –kenikmatan- yang sublim, Kant (1766) menuliskan bahwa keindahan membuat jiwa meluruh dalam kehalusan rasa yang sentimental; meredakan ketegangan-ketegangan menjadi emosi yang lembut (gentle). Tapi kenikmatan atas rasa indah ini bakal berubah menjadi kejijikan, kengerian, ketika keindahan hadir terlalu berlebih. Keadaan terlalu manis, terlalu

167 Lihat, Menninghaus, Winfried. 2003. Disgust: The Theory and History of a Strong Sensation. Tr.Howard Eiland dan Joel Golb. Albany: State University of New York Press. h.25.

lembut, terlalu kenyal, terlalu cantik, terlalu ramping, terlalu baik, dan sebagainya, akhirnya justru membangkitkan kengerian. Ada anadmixture of disgust di dalam setiap sensasi kesenangan yang kuat.168

Kesenangan berpadu dengan ketidaksenangan; kenyamanan bercampur dengan ketidaknyamanan; kekacauan, kejijikan, kengerian bersatu dengan keindahan. Mixed sensation ini memunculkan rasa senang atas sensasi ketidaknyamanan; kenikmatan atas sensasi kengerian. Inilah yang, oleh Kant, disebut kenikmatan keindahan yang lain, keindahan yang sublim. Sesuatu yang

menjijikkan hanya membutuhkan sebuah “resep” dari keseraman atau kengerian dalam rangka untuk, bersama mereka dan seperti mereka, menjadi “sumber

sublimasi” atau kenikmatan keindahan yang lain169. Inilah rupanya mengapa film horor dengan adegan-adegan yang mengerikan, kacau dan menjijikkan bisa sangat digemari.

Apa-apa yang mengerikan yang direpresentasikan dalam film horor tentu saja tiruan, tapi rasa ngeri yang muncul pada penontonnya nyata (virtual). Tiruan atau tidak kengerian akan tetap membangkitkan rasa ngeri yang alamiah, meskipun sebenarnya sensasi kengerian baru bisa benar-benar menjadi

pengalaman yang ”mengerikan” kalau secara langsung berinteraksi dengan tubuh

(proximity)170: tercium baunya, tercecap rasanya dan tersentuh materialnya. Sesuatu diputuskan menjadi (sesuatu) yang mengerikan selain karena

168 Ibid. h.30. 169 Ibid. h.45. 170 Ibid. h.39.

kemengadaan sumber kengeriannya dan kedekatannya dalam kesehari-harian (proximity) juga, pertama-tama, karena adanya an intruding act of consumption171

. Sensasi kengerian selalu alamiah dan ”mere idea”. Sensasi kengerian yang dibangkitkan oleh ”mere idea” of imagination ini menjadi defensive symptom yang mempunyai konsekuensi radikal terhadap kengerian: bahwa rasa ngeri, rasa jijik, ”hanya bisa muncul dari ingatan” dan hanya di dalam ingatanlah “bau busuk bisa hadir”172

. Inilah yang menyebabkan “terciumnya bau busuk”

imaji buah apel busuk yang dilukiskan pada sebentang kanvas.

Kengerian tentu saja bisa dimasukkan ke dalam ranah seni, asalkan sudah digubah dalam bentuk metafora. Meskipun begitu metafora ini masih tetap

“berbahaya” sebab, selain dalam bentuk tiruan artistik, secara simultan metafora kengerian ini juga sering menggunakan metonimi-metonimi dari sensasi kengerian itu sendiri.173 Dalam metafora (pada ranah seni), the darkest sense -ketakutan, kesedihan, kemencekaman, kebencian, dan sebagainya- mendapat ruang untuk mengekspresikan, bahkan, kemengadaannya yang paling ”gelap”.

Tentu ini bukan lagi persoalan the all darkest sense sebagai sensasi kejijikan, sensasi kengerian, yang sesungguhnya saja tetapi juga pembayangannya dan penyusunan konsep metaforanya174.

Sensasi kengerian seringkali digunakan oleh subkultur anak muda (subkultur tontonan) dalam aksi-aksi simbolik mereka. Dihadirkan dalam gaya; dimetaforakan sebagai seni. Hebdige menyebut gaya yang menjijikkan dan 171 Ibid. h.104. 172 Ibid. h.210. 173 Ibid. h.40. 174 Ibid. h.42.

mengerikan ini sebagai gaya memberontak. Subkultur Punk, dalam penelitian Hebdige, menggunakan metafora kejijikan dan kengerian pada fesyen, aksi panggung, berbagai produk ikonik dan musik mereka; metafora yang dirangkai dari metonimi sensasi kengerian, kejijikan (di antaranya tampon, rantai kakus, peniti yang dipasang di sekitar wajah dan pakaian, topeng pemerkosa dan busana kulit, derau, dan sebagainya) dan tiruan-tiruan artistik. Metafora ini mereka gunakan sebagai simbol identitas subkultur dan simbol pemberontakan mereka terhadap kebudayaan dominan.175

Seperti halnya subkultur Punk, Makam dan Bandoso juga menghadirkan kengerian dalam gaya. Kedua kelompok Black Metal ini menjadikan kengerian sebagai seni pada berbagai produk visual (logo kelompok, merchandise, sampul album musik dan berbagai media publikasi) dan musik mereka. Makam dan Bandoso menggunakan kenikmatan keindahan yang lain, yang sublim, sebagai cara untuk mengada. The feeling of the sublime offers a third possibility, taking on the defeat, the virtual death of our sensory capacities, and compensating for it by

“stirring” the powers of our “supersensuous character”176 .

Makam dan Bandoso memetaforakan kengerian dalam visual simbol identitas mereka. Seperti subkultur Punk, selain dalam bentuk tiruan artistik kedua kelompok ini juga menyertakan kengerian itu sendiri sebagai elemen metaforanya --menyusun metafora dari metonimi-metonimi kengerian. Sensasi kengerian ini, sebagaimana sensasi kejijikan, disebut sebagai the strong sensation: sensasi yang

175 Lihat, Hebdige, Dick. 2000. Asal-Usul & Ideologi Subkultur Punk. Tr.Ari Wijaya. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. hh.211-219.

176 Lihat, Menninghaus, Winfried. 2003. Disgust: The Theory and History of a Strong Sensation. Tr.Howard Eiland dan Joel Golb. Albany: State University of New York Press. h.111.

teramat sangat kuat. Itulah juga sebabnya mengapa sebagai kumpulan konotator simbol identitas dan simbol anti kemapanan metafora kengerian ini menjadi retorika yang begitu kuat daya ungkapnya.