• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bantuan Beras Miskin (Raskin)

Dalam dokumen Menerima dana Kepengaturan Negara Membayangka (Halaman 110-116)

BAB III – ORIENTASI EKONOMI ORANG SUKU LAUT PASCA-PEMUKIMAN … 77

A.3. Bantuan Beras Miskin (Raskin)

Menurut data BPS tahun 2011, 95% penduduk Indonesia mengonsumsi beras sebagai bahan pangan utama, dengan rata-rata konsumsi beras sebesar 113,7 kg per jiwa setiap tahun. Oleh karena fakta bahwa konsumsi beras yang demikian besar, sementara stok beras dalam negeri melalui Bulog kerap tidak mencukupi, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan dan program tertentu untuk menjaga “stabilitas perberasan nasional” atau ketahanan pangan nasional (Kemenkokesra 2012:1). Adang Setiana, Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat, menjelaskan bahwa pemerintah telah mengeluarkan program beras miskin sebagai program nasional yang ber-ada di bawah Program Penanggulangan Kemiskinan Kluster 1. Dengan demi-kian, program raskin termasuk dalam kebijakan prioritas untuk peningkatkan kesejahteraan rakyat (Kemenkokesra 2012).

Adang Setiana, yang juga merupakan Ketua Pelaksana Tim Koordinasi Raskin Pusat, menerangkan bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) kebijakan ini memiliki lima sasaran utama, yaitu (1) pengurangan kemiskinan dan pengangguran, (2) pengurangan kesenjangan antar-wilayah, (3) peningkatan kualitas manusia, (4) perbaikan mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam, dan (5) peningkatan infrastruktur (Kemenkokesra 2012:ii). Untuk menjalankan program ini pemerintah menerap-kan Sistem Perlindungan Sosial yang diwujudmenerap-kan dalam Kartu Perlindungan Sosial (KPS) bagi warga miskin dan keluarga rawan pangan sebagai garansi mengakses raskin, sebagaimana telah diuraikan di atas pada kasus BSLM.

Mengenai riwayat singkat hadirnya program raskin, program ini awalnya ber-nama Operasi Pasar Khusus (OPK) sebagai alat pemerintah menyiasati krisis pangan tahun 1998 yang disebabkan oleh inflasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Kemudian, di tahun 2002, OPK diubah menjadi Program Beras untuk Keluarga Miskin (Program Raskin) dengan tujuan mengu-rangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras masyarakat miskin yang diberikan oleh pemerintah. Dengan adanya program raskin, pemerintah mendis-tribusikan beras bersubsidi sebanyak 180 kg untuk setiap RTS per tahunnya, atau setara dengan 15 kg per bulan, dan untuk setiap kilogram raskin diberi harga tebus senilai Rp1.600,- di tiap titik distribusi (Kemenkokesra 2012:3).

Di Pulau Bertam dan pulau-pulau lain di seluruh wilayah Desa Kasu, setiap Ketua RT memiliki kewajiban mengambil jatah beras miskin (raskin). Ketika penelitian saya memasuki bulan Juli atau bulan di mana raskin dibagikan untuk periode bulan Juli dan Agustus, Mo meminta Udin dan saya membantunya mengambil jatah raskin untuk warga Bertam ke Pulau Kasu. Sekitar pukul empat sore kami berangkat. Pancung Mo melaju dengan kecepatan sedang. Ketika

pelabuhan Kasu mulai nampak, yang di salah satu sudutnya berkibar satu bendera partai berlambang kepala burung garuda warna emas pimpinan mantan jenderal tertinggi Kopassus, Prabowo Subianto, telah ramai perahu yang menepi di mulut pelabuhan menunggu giliran mengambil jatah raskin untuk tiap RT.

Dua orang petugas kelurahan berseragam dinas warna khaki siap di ujung pelabuhan dengan beberapa kuli yang membantunya. Begitu mendapat giliran, pancung kami segera menempel ke bibir pelabuhan. Salah satu petugas tadi menyerahkan satu lembar kertas berupa daftar penerima raskin untuk dua bulan ke depan, yang harus ditandatangani oleh warga penerima raskin. Sementara satu petugas lain mengurus pembagian beras, yang dibantu oleh dua orang kuli berpakaian bebas. Tersebab saya berada di tengah badan pancung, maka saya yang menyambut lemparan sejumlah karung beras itu, masing-masing beratnya 50 kg. Setiap kali karung dilempar, petugas tadi berteriak memerintah, “campak (lempar) ke bawah!“ Saya menahan lemparan tersebut dari bawah, mengarah-kan lemparan karung beras ke perut pancung, dan mengatur karung-karung beras itu, sementara Udin menahan ujung dek pancung agar tidak menghantam tiang beton penyangga pelabuhan. Oleh karena angin berhembus cukup ken-cang, gelombang air laut sore itu lumayan tinggi dan mengombang-ambingkan tubuh pancung. “Tahan! Awas gelombang laut …,” teriak petugas tadi. Pulau Bertam menerima 600 kg lebih beras yang dihitung dari 21 KK dalam daftar penerima raskin. Setiap KK mendapat jatah sebanyak 15 kg dengan harga tebus Rp1,600 per kilonya sesuai dengan harga tebus yang ditetapkan oleh peme-rintah. Oleh karena pengambilan kali ini untuk dua bulan, tiap keluarga sedianya berhak menerima 30 kg.

Kendati demikian, mengingat di Bertam terdapat 37 KK, atau masih tersisa 16 KK yang tidak terdaftar sebagai penerima bantuan raskin, maka Mo sebagai Ketua RT memutuskan untuk membagi secara merata. Artinya, dari 600 kg sebagai jatah dua bulanan itu akan tetap dibagi kepada 37 KK yang ada, bukan hanya 21 KK sebagaimana tercantum dalam daftar resmi kelurahan. Keputusan semacam ini, menurut Mo dan beberapa orang tua di Bertam yang saya tanyai merupakan kesepakatan bersama Orang Bertam. Walaupun inisiatif semacam ini mulanya dari Mo, hampir tidak muncul keberatan dari orang lain di Bertam. Dengan adanya kesepakatan ini, maka setiap keluarga lantas berhak mendapat kurang lebih 17 kg.

Kesepakatan untuk distribusi raskin secara merata tersebut agaknya tidak memungkinkan di pulau tetangga, Pulau Lingka. Di hari yang sama dengan pengambilan raskin di Kasu, Mak Mo cerita bahwa ada masalah dalam pem-bagian bantuan raskin di Lingka, sebab Ketua RT Pulau Lingka hanya mem-bagikan beras kepada warga yang memiliki Kartu Perlindungan Sosial (KPS). Tidak hanya soal siapa yang berhak menerima, beras itupun oleh Ketua RT dijual sebesar Rp2,000.- per kg. “Orang-orang pada protes, Dir. Telponlah mere-ka tadi ke Mak Mo mengadu, tanye apakah beras itu harganya sudah naik, (dan)

kenape bisa hanya orang yang punya kartu BBM2 yang boleh dapat beras. Ketua

RT di Lingka tak tahu ape, kalau warganya itu kesusahan,” ujar Mak Mo dengan kesal.

Sesampainya di Bertam, kami angkat karung-karung beras itu ke rumah Mo. Udin dan Tata mengangkat dari bawah, sementara saya dan Mo menyambut di atas dan menumpuknya di lantai papan rumah Mo yang belum selesai

2 Mereka menyebut KPS dengan istilah “kartu BBM” karena mereka mengasosiasikan kartu tersebut dengan pembagian BSLM beberapa hari sebelum pembagian beras miskin ini.

vasi. Bakda magrib, Orang Bertam mulai berdatangan untuk mengantri membeli jatah berasnya. Mo dibantu oleh Slamet, menantunya, menimbang beras dan memasukkannya ke kantung plastik, karung, maupun ember. Tidak semua orang membawa uang, dan juga tidak semua orang membawa karung atau wadah. Ada sebagian warga yang masih berhutang membayar beras jatah bulan-bulan sebelumnya, namun untuk persoalan ini Mo hampir tak pernah mempersoalkan dan menunda pemberian beras, karena menurutnya,

“orang-orang ini gimana ya Dir, agak susah juga Pak Mo bilangnya (Mo tertawa), tetapi Pak Mo tidak tega kalau mereka tidak bisa ambi’ beras. Orang-orang bilang ke Pak Mo kalau mereka sedang tidak ada duit. Tak ape, Pak Mo sendiri tidak pernah minta mereka bayar (saat itu juga). Biasanya, Pak Mo membayar ke kelurahan ambi’ dari uang Pak Mo dulu. Mak Mo tahu itu, kadang malah Mak Mo yang menagih. Sebetulnya Mak Mo tidak menagih, hanya mengingatkan (untuk segera membayar). Tapi, Pak Mo kadang berpikir, kalau kita sedang ada, ape susahnya kita berbagi sama saudara sendiri. Allah pasti akan membalas, meng-ganti perbuatan kita, yakan Dir ...”

Pembagian beras miskin di rumah Mo baru selesai pukul 23.00, dan sambil kami bersantai, Mo juga menceritakan pengalamannya mengenai Orang Suku Laut dan makanan. Mo mengatakan dulu ketika mereka masih mengembara di laut menggunakan sampan, Orang Laut selain mengonsumsi beras sebagai makanan utama, mereka biasa mengonsumsi sagu atau umbi-umbian yang diperoleh di beberapa pulau tempat mereka singgah (lihat juga Shoper 1977:99, 117-8, 302-5). Mo mengisahkan, pernah satu ketika terjadi masa paceklik beras di sekitar tahun akhir 1960an atau 1970an, beberapa kelompok sampan mereka kesulitan mendapat beras dengan kondisi layak makan, baik di pasar maupun di warung para tauke China. Ketua kelompok pengembara lantas mengajak mereka untuk mencari sagu ke beberapa pulau di daerah Bintan. Dalam ingatan Mo, kondisi sagu waktu itu masih bagus dan lezat ketika dimakan dengan ikan, tidak seperti sekarang di mana sulit mendapat sagu dengan kualitas baik. Sagu ini

berbeda dengan beras, menurut Mo, karena mengonsumsi sagu dan ikan lebih hemat dan rasa lapar tidak akan mudah datang (cf. Chou 1994:103). Selain itu, kelapa juga Mo sebut sebagai alternatif kedua makanan pokok Orang Laut di masa lalu. Jika sagu tidak didapat, mereka akan memetik buah kelapa dan memakan daging buah kelapa setengah tua (ada istilah tertentu untuk menyebut makanan ini, hanya suara Mo dalam rekaman wawancara saya kurang jelas). Sedangkan buah kelapa muda, umumnya hanya akan diambil airnya.

Selain dari keterangan Shoper (1977) mengenai beberapa Orang Laut di Asia Tenggara yang mengonsumsi sagu, sepenggal kisah Mo itu juga mengingatkan saya pada analisis sejarawan Anthony Reid (2004b) tentang food security, kese-hatan, dan pengobatan tradisional dalam konteks asal-usul kemiskinan di Asia Tenggara. Reid menerangkan bahwa penduduk lokal di Asia Tenggara di sekitar abad ke-17, termasuk mereka yang ada di kawasan yang kini bernama Indone-sia, memiliki sejumlah alternatif bahan makanan pokok terutama ketika tanaman padi mengalami gagal panen. Beberapa alternatif makanan yang ia sebutkan antara lain, sagu, pisang, kelapa, ikan dan umbi-umbian, yang ketika itu dapat diperoleh dengan mudah oleh hampir setiap orang (Reid 2004b:289).

Dari hal itu, kita dapat merefleksikan bahwa ketika pemerintah menetapkan standar makanan pokok berupa beras, justru yang terjadi adalah ketergantungan warga negara pada beras. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila konsum-si beras di Indonekonsum-sia cukup tinggi. Manakala pemerintah tidak mampu memasok kebutuhan konsumsi beras bagi warganya, mengapa kemudian jalan keluar yang ditempuh bukan mengembalikan sebagian warga negara kepada “budaya” bahan makanan pokoknya, seperti umbi-umbian atau sagu pada orang-orang Pulau Kei

di Maluku atau di tempat lain, melainkan justru memberi warga negaranya beras dengan kualitas buruk: Beras Miskin!

B. ORIENTASI EKONOMI BARU ORANG BERTAM DALAM MATA

Dalam dokumen Menerima dana Kepengaturan Negara Membayangka (Halaman 110-116)