• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bantuan Langsung Sementara Mandiri (BLSM)

Dalam dokumen Menerima dana Kepengaturan Negara Membayangka (Halaman 102-110)

BAB III – ORIENTASI EKONOMI ORANG SUKU LAUT PASCA-PEMUKIMAN … 77

A.2. Bantuan Langsung Sementara Mandiri (BLSM)

Program Bantuan Langsung Sementara Mandiri (BLSM) diluncurkan peme-rintah pada 22 Juni 2013 sebagai solusi atau dana kompensasi atas kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi (bensin maupun solar). BLSM diberikan kepada 15,5 juta (Prasetiantono [2013] menyebut 10,6 juta) Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang dikategorikan sebagai keluarga miskin dengan besaran Rp150,000.- per bulan selama empat bulan. Untuk mendanai BLSM tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran hingga 9,3 triliun rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2013. Pada tahap

awal, BLSM diberikan dua bulan sekaligus, yaitu senilai Rp300,000.- melalui PT Pos Indonesia dan perangkat pemerintahan desa. Penyaluran ini didahului dengan memberikan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) kepada keluarga terdaftar sebagai bukti penerima dana BLSM yang sah dan akan didistribusikan juga oleh PT Pos Indonesia. Menurut pemerintah, penyaluran BLSM memiliki kendala pada basis data yang kurang akurat, karena data yang digunakan didasarkan pada data penerima Beras Miskin (raskin) dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 (Hermawan 2013).

Dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, skema BLSM ditempuh, karena ia diklaim merupakan kebijakan yang populer di banyak negara di dunia guna mengurangi kemiskinan (Hermawan 2013), bahkan di banyak negara sejahtera (wellfare states) (Prasetiantono 2013). Harapan impli-kasi dari pemberian BLSM adalah, salah satunya, mendorong terjaganya tingkat

konsumsi masyarakat miskin. Hermawan (2013) menjelaskan pihak yang

men-dukung program BLSM berargumen bahwa bantuan ini memiliki dampak positif, karena dapat (1) mendorong pengembangan modal manusia, meningkatkan kesehatan, pendidikan, dan produktivitas pekerja; (2) memungkinkan kelompok miskin melindungi dirinya dan asetnya, bahkan mempertahankan pendapatan jangka panjangnya, (3) mengurangi risiko sosial, (4) menstimulasi permintaan terhadap barang dan jasa lokal, dan (5) menciptakan manfaat bagi kelompok yang tidak diuntungkan karena reformasi ekonomi, seperti pengurangan subsidi harga BBM.

Berkebalikan dari para pendukung kebijakan itu, bagi para penolak program BLSM justru dianggap menempatkan (1) masyarakat sebagai “pengemis” dan (2) BLSM juga diprediksi sulit mencapai tujuan awalnya, karena melihat pengalaman

tahun 2006, bahwa 60% bantuan digunakan bukan untuk konsumsi kebutuhan pokok, melainkan untuk membayar hutang dan membeli rokok. Pengalaman ini membuat tujuan BLSM meleset dari yang diharapkan pemerintah, sebab masya-rakat miskin tidak membelanjakan BLSM tersebut secara produktif (Hermawan 2013). Dalam esai Ekonomi-Politik Program BLSM, Tony Prasetiantono (2013) berpendapat bahwa BLSM dapat diibaratkan seperti sebilah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi instrumen pemerataan ekonomi (equality) dan memproteksi kelompok masyarakat berpendapatan terendah. Namun di sisi lain, BLSM sering menjadi pemicu gejolak konflik yang tidak perlu di tengah masya-rakat miskin.

Lantas, bagaimana program BLSM bagi kalangan Orang Bertam? Adakah ia sesuai harapan pemerintah, menjaga tingkat konsumsi masyarakat di tingkat bawah? Pada pertengahan Juni 2013 hampir semua surat kabar nasional (cetak maupun dalam jaringan) dan juga stasiun televisi memberitakan bahwa pemerin-tah akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Ketua BAPPENAS dan beberapa menteri terkait menyampaikan hasil keputusan rapat dengan presiden bahwa bantuan langsung tunai senilai Rp150,000.- per bulan akan didistribusikan dalam dua tahap (BLSM I dan II) melalui PT Pos dan pemerintah desa sebagai antisipasi atau pertolongan pertama pada masyarakat miskin. Bantuan pertama akan diserahkan untuk dua bulan sekaligus. Presiden dalam konferensi pers mengenai BLSM yang disiarkan televisi nasional menyebut, “… agar masyarakat dapat menghadapi bulan puasa dengan ‘tenang dan tidak resah’.”

Ribuan kilo meter dari ingar-bingar di ibu kota, di suatu senja di Bertam, beberapa hari setelah pengumuman itu, saya beranjak turun ke pancung Pak Mo (Ketua RT). Di sana, sudah menunggu Rahman dan Taher. Kami hendak menuju

ke kelurahan di Pulau Kasu. Berangkat sekitar jam 19.00, pancung dikendalikan oleh Azan, anak bungsu Mo. Di jalan, di tengah laut, Mo berdiri sejenak, sepertinya menghadap ke Barat, sebab arah Pulau Kasu kira-kira ke selatan. Ia merapal doa, mengucap salam pada sang penguasa laut. Ketika bepergian jauh hal semacam ini sudah menjadi ritual Mo, karena sebagian Orang Laut masih percaya keberadaan hantu laut dan sebab itu harus dihormati (lihat Chou 2003).

Sesampainya di Kasu, Mo dan dua orang lain berjalan pelan menuju ke rumah Pak Slamet, Sekretaris Desa (Sekdes) Kasu. Saya dan Azan mengikuti dari belakang. Semua orang masuk melalui lorong kecil di samping rumah, melewati dapur. Lalu, kami segera masuk ke rumah Sekdes. Ruang tamu rumah Sekdes cukup bagus, seperangkat meja kursi tamu lengkap dengan bufet yang dihiasi pelbagai macam gelas, piring, dan foto anaknya yang diwisuda di salah satu universitas negeri di Malang. Sekdes dari ruang tengah berjalan meng-hampiri kami, ia tampak membawa sekantung tas plastik berlambang PT Pos yang berisi seikat amplop berwarna putih dan berstempel “Garuda”. Sejurus kemudian, Sekdes menyapa kami dan mempersilakan duduk dan meminum kopi hitam yang sudah disuguhkan sembari ia membuka map kertas berwarna biru, dan mulai menjelaskan apa maksud mereka diundang ke situ.

Malam itu, Sekdes memanggil RT untuk membagikan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) yang berfungsi sebagai tiket bagi warga miskin dalam pengambilan BLSM. Amplop-amplop bersegel itu berisi KPS masing-masing warga terdaftar yang dikategorikan sebagai orang miskin, dan bagi yang namanya tertera dalam kartu ini berhak atas bantuan beras miskin (raskin) dan BLSM sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah. KPS ini didistribusikan dari Jakarta melalui Kantor Pos dan diserahkan lewat kelurahan, dan diteruskan pada RT setempat.

Sekdes menjelaskan bahwa tidak semua warga Bertam mendapat KPS dan berhak atas BLSM, karena hanya dua puluh satu nama orang yang tercatat di sebagai warga miskin.

Mengetahui hal itu, Mo lantas menanyakan mengapa hanya 21 nama yang tertera, lantas bagaimana dengan warga yang lain. Sekdes menjelaskan bahwa dari data 21 nama penerima KPS sesuai dengan data penerima raskin yang ada sebelumnya. Menurut pengakuan Mo, dan pendapat ini dibenarkan oleh Slamet, bahwa nama warga sekampung Bertam sudah dicatat ulang sebagai “keluarga miskin”. Menariknya, dari keduapuluhsatu penerima BLSM di Bertam, ada empat keluarga yang tergolong “kaya” atau berkecukupan yang akan memperoleh uang itu (lihat sejumlah indikasi pada Tabel 4.3. Tingkatan Kesejahteraan di Bab IV).

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Sabtu 6 Juli 2013, jam 6.30 pagi orang-orang sudah necis dan memenuhi rumah Mo. Beberapa orang-orang memang hendak menumpang pancung Mo yang akan pergi ke Kasu untuk pengambilan BLSM tahap I. Pancung Mo mampu membawa sekitar dua belas orang termasuk bebe-rapa anak-anak yang ikut ibunya. Sementara warga penerima BLSM yang lain, seperti Alan, Madan, Beloh, Ustad Akim, dan Husein memilih berangkat sendiri. Di pagi itu, orang berdandan seperti hendak mendatangi pesta perkawinan, atau ketika mereka mau pergi ke Batam—pergi berbelanja ke kota Batam menjadi satu hal yang istimewa bagi Orang Bertam, dan gengsinya tinggi. Hanya ada dua orang yang tampil seperti hari-hari biasa, Ahu dan Mo.

Di pendopo kelurahan, acara pengambilan BLSM dimulai dengan mengambil nomor antrean, berbondong-bondong orang berdatangan dari berbagai pulau sekelurahan Kasu. Sembari menunggu Wakil Wali Kota Batam, Kepala Kantor Pos, dan Camat Belakang Padang, orang-orang saling bercakap-cakap dan

dengan bercanda, mereka saling menanyakan nomor antrian masing-masing. Mo entah kemana, katanya tadi hendak menyelesaikan urusan pembayaran beras miskin ke Lurah. Mo sempat berpesan, “Khidir tak ape kalau mau foto-foto dulu di atas (pendopo pertemuan), Mo tunggu di sini (kedai kopi).” Saya mengurungkan niat ke pendopo, dan memilih duduk di kedai kopi. Meminum secangkir kopi susu seharga Rp4,000 terasa nikmat sekali pagi itu. Pemilik kedai kopi itu adalah pria Tionghoa paruh baya, bekerja tanpa bantuan: membuat kopi, mengantar, dan melayani tamu sendirian. Di warung itu, saya bertemu dengan Mahadan yang sedang berbincang soal BLSM dengan beberapa orang dari pulau lain, “… harusnya, menurut undang-undang, kalau penerima BLSM ini orang kaya, maka harus dialihkan ke keluarga yang lebih miskin,” katanya. Dalam praktiknya, ia sendiri tidak melakukannya, padahal ia termasuk orang yang berkecukupan (punya kios minyak). Akan tetapi, seperti kebanyakan Orang Bertam yang lain, mereka menganggap dirinya “orang miskin”, orang yang hidup serba pas-pasan. Jadi, anjuran yang tertera dalam amplop KPS bagi penerima BLSM itu hampir mustahil terjadi dalam kenyataan, di samping kenyataan bahwa banyak Orang Bertam yang masih buta huruf.

Proses penyerahan BLSM dimulai setelah Wakil Wali Kota Batam dan rombongannya datang. Empat orang penerima bantuan yang ditunjuk Sekdes diminta ke depan untuk penyerahan BSLM secara simbolis. Kesan saya, ke-empat orang tersebut sengaja dipilih yang tua dan berpenampilan agak sedikit lusuh, agar terkesan “dramatis” ketika difoto oleh para wartawan yang hadir saat itu. Secara bergantian: wakil walikota, kepala Kantor Pos, Camat, dan terakhir Lurah Kasu memberikan BLSM kepada mereka dan berfoto. Setelah selesai, acara penyerahan bantuan dilanjutkan berurutan sesuai dengan nomor antrian

yang dibacakan Sekdes. Saat wakil wali kota memberi sambutan, ia menyampai-kan bahwa Kelurahan Kasu amenyampai-kan mendapat 500 juta rupiah untuk pembangunan. Selain itu, ia juga mengumumkan bahwa di hari Senin (8 Juli) akan dibagikan insentif untuk para RT—soal insentif tahunan ini salah satu alasan mengapa jabatan Ketua RT diperebutkan (lihat Bab IV).

Di tengah acara, Ustad Akim mendatangi saya dan memberitahu bahwa bagi yang belum terdaftar sebagai penerima BLSM dapat diusulkan RT melalui pendataan ulang. Menurut Ustad Akim, hal ini harus segera dilakukan oleh Mo dan disampaikan ke kelurahan. Beberapa saat kemudian, saya mengonfirmasi hal itu ke Mo dan ia membenarkan berita itu. Seketika itu juga, Mo mengatakan akan mendaftar ulang warga yang belum mendapat KPS dan meminta mereka melengkapi syarat-syarat seperti foto kopi KTP dan Kartu Keluarga.

Setelah acara penyerahan bantuan selesai, warung-warung makanan dan kebutuhan pokok dikerumuni banyak orang. Jalan menuju pelabuhan di Pulau Kasu siang itu jadi penuh sesak, seperti pasar. Mereka membelanjakan sebagian uang yang baru saja diterima. Ada yang membeli lauk seperti gado-gado, ikan goreng, ayam goreng, dan ada yang membeli bahan makanan dan sayuran. Tidak hanya itu, anak-anak mereka pun dibelikan mainan produk China, seperti misalnya mainan yang dipencet bisa mengeluarkan bunyi-bunyian berupa lagu atau suara yang mengatakan huruf atau angka (dalam bahasa Inggris), yang harga satuannya cukup mahal karena bisa mencapai lima puluh ribu rupiah. Mengenai mainan ini, beberapa hari kemudian Endi mengatakan bahwa demi membahagiakan anaknya ia rela mengeluarkan uang yang agak banyak,

“… ya mau bagaimana lagi Id, Abang ini kan jarang-jarang pegang uang segitu (Rp300,000.-), si Iqbal dan Bayu (kedua puteranya yang berusia 4 dan 1,5 tahun) ini nangis kalau lihat mainan di toko dan Abang juga susah kalau tidak membeli-kan. Harganya mahal, Rp40,000.- Eh, pas sampai rumah, mainan ini

dibanting-banting sama budak-budak lasak (anak-anak bandel) ini, mereka bertengkar berebut mainan dan belum ada sehari (mainan) sudah rusak.”

Sesampainya di Pulau Bertam, Mo langsung meminta Mak Mo (isterinya) untuk mengundang warga Bertam yang belum memiliki KTP, Kartu Keluarga, akta kelahiran, dan mereka yang belum mendapat bantuan rehabilitasi rumah untuk berkumpul di rumahnya. Siang itu, sejumlah warga seperti Wawan, Mansur, Udin, Ainun, dan isteri Bang Titi, datang untuk mendengar arahan Mo dan Mak Mo agar mereka segera menyerahkan fotokopi KTP dan Kartu Keluarga untuk dicatat sebagai warga miskin untuk program raskin dan BLSM. Sedang-kan, bagi mereka yang belum memiliki KTP dan KK, Mo memberikan lembar isian untuk permohonan pembuatan KTP dan KK yang harus diisi dan segera dikembalikan ke Mo, agar Mo bisa membawanya ke Kelurahan. Menurut Mo, desakan ini bertujuan agar selain tidak memunculkan syak wasangka di antara warga Bertam berkenaan dengan keakuratan data warga miskin penerima BLSM, juga agar bantuan pemerintah bagi Orang Bertam ke depan lebih merata.

Jika pemerintah berpikir bahwa dengan pemberian program BLSM kepada warga miskin merupakan solusi “keresahan” atas kenaikan harga BBM dan mampu menjaga aktivitas konsumsinya tetap seperti sedia kala, maka dari kasus pada Orang Bertam anggapan tersebut sama sekali meleset. Mengapa? Orang Bertam merupakan nelayan dengan laut sebagai basis ekonominya. Dengan kata lain, laut merupakan sumber penghidupan, dan yang mereka dibutuhkan bukan uang tunai yang diberikan secara cuma-cuma, melainkan lebih pada hal-hal yang mendukung kelancaran aktivitas kenelayanan mereka. Ketika BBM naik, tidak perlu menunggu satu minggu, lebih dari 60% nelayan di Bertam “menaikkan” mesin perahunya, alias mereka tidak bisa menjalankan aktivitas kenelayanannya dengan dukungan mesin yang diberikan oleh Dinas Perikanan

dan Kelautan beberapa tahun lalu (lihat uraian Bab IV). Bila mereka tidak memakai mesin untuk mencari ikan, lokasi pencarian ikan menjadi terbatas, karena mereka tidak dapat menjangkau area yang lebih jauh dari sekitar wilayah tempat tinggalnya. Di sisi lain, kondisi lingkungan laut di sekitar Pulau Bertam tidak lagi sebaik dulu, karena pengaruh dari pabrik galangan kapal yang berope-rasi di sepanjang pantai barat Batam (lihat Chou dan Wee 2002). Ini artinya sumber daya maritim tidak lagi melimpah—teritori laut sebagai unlimited base berubah menjadi ‘limited base’ (Gudeman 2005:99-100), sehingga tidak me-mungkinkan para nelayan untuk memproduksi hasil laut dengan optimal.

Dalam dokumen Menerima dana Kepengaturan Negara Membayangka (Halaman 102-110)