• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kampung Bertam dan Konfigurasi Baru Permukiman

Dalam dokumen Menerima dana Kepengaturan Negara Membayangka (Halaman 189-199)

BAB IV – TERITORI, PERMUKIMAN, DAN ORGANISASI SOSIAL

A. Makna Teritori, Rumah, dan Permukiman Bagi Orang Bertam

A.3. Kampung Bertam dan Konfigurasi Baru Permukiman

Dalam bagian terakhir Bab II (lihat mulai halaman 46), saya mendeskripsikan tentang kemunculan kampung Bertam. Di situ, saya dengan jelas menunjukkan bahwa kampung ini dirancang dan diciptakan secara khusus melalui program permukiman (PKMT) untuk menampung beberapa komunitas Orang Suku Laut di Kepulauan Riau yang dikategorikan negara sebagai masyarakat terasing. Tujuan dan alasan pemerintah dalam uraian itu juga sangat jelas, bahwa tidak lain

adalah memberadabkan (to civilized) mereka, agar pola-pola perilaku kelautan mereka sebagian ditinggalkan, terutama pola hidup berpindah-pindah. Di bagian berikutnya, tentang organisasi sosial, akan saya kupas seperti apa kelompok pengembara laut di masa lalu: berapa jumlah kelompok pengembara dan terdiri dari siapa saja di dalamnya. Namun, di sini saya hanya akan memfokuskan pada uraian mengenai kampung Bertam dan pola permukimannya. Pertanyaan muncul ketika saya melihat rancangan awal permukiman Bertam dari informan saya yang menunjukkannya, dan mencoba membandingkannya dengan pengamatan saya atas perkampungan mereka saat ini. Mengapa rancangan awal pemerintah yang tersusun sedemikian rapi kemudian berubah menjadi ‘berantakan’ atau ‘tidak beraturan’ di mata orang awam?

Penghuni Pulau Bertam hanya enam keluarga batih di medio tahun 1980an. Masing-masing keluarga inti tersebut satu sama lain terkait oleh ikatan kelompok keluarga luas. Kelompok pertama dipimpin oleh Mano, yang merupakan salah satu batin (ketua) komunitas Orang Laut di perairan Pulau Boyan sampai Pulau Buluh. Mano kala itu ditunjuk oleh pemerintah dan pihak FKKS sebagai kepala

kampung pertama, atau Ketua RT. Setelah rombongan pertama, enam keluarga

lain menyusul dalam jangka waktu kurang dari tiga bulan. Sebagian dari enam keluarga baru yang menghuni ini juga masih ada hubungan kerabat dengan kelompok keluarga luas Mano (Bettarini 1991:85). Dalam rencana pengembang-an permukimpengembang-an di Bertam ypengembang-ang digarap oleh Fakultas Teknik Sipil dpengembang-an Perenca-naan, Jurusan Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Bandung yang bekerja sama dengan FKKS Batam, rencana rumah yang akan dibangun di Bertam mencapai 100 unit dengan beberapa tahap pembangunan. Meskipun, pada pelaksanaan-nya rencana itu tidak pernah benar-benar terimplementasi (lihat Bab II).

Memasuki tahun 1991, rumah yang dibangun di Bertam hanya bertambah 24 unit (Chou 2010:138). Saat ini, jumlah penduduk di Bertam hampir mencapai 40 rumah atau keluarga. Kita dapat melihat secara permukaan bahwa dari perbandingan antara Gambar 4.2. dengan 4.3. di bawah menunjukkan kampung Bertam di akhir tahun 1980an ke kampung tahun 2013 terjadi perubahan formasi kampung. Hal ini terjadi seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di Bertam dan tidak dapat dimungkiri bertambahnya jumlah penduduk membuat orang memerlukan rumah-rumah baru.

Selain karena alasan pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola per-mukiman juga berkenaan dengan pola perkawinan. Menurut Chou (2010:32) adalah hal wajar di kalangan mereka menikah, bercerai, lalu menikah kembali

(remarriage). Apabila mereka menikah, mereka akan membangun rumah baru

yang bisa ditinggali sementara waktu atau permanen. Hal ini tergantung pada “kenyamanan” mereka, yang biasanya mereka akan merasa nyaman jika tinggal berdekatan dengan kerabat dekatnya. Jika mereka bercerai, maka rumah sangat mungkin ditinggal begitu saja atau dibongkar. Manakala mereka menikah lagi, mereka akan membangun rumah baru di lokasi di mana mereka suka. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila formasi permukiman di Bertam tidak serapi desain yang dirancang pemerintah (lihat Gambar 4.1.).

Sejarah bermukimnya Orang Laut di Bertam menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Bukan soal kegagalan para perencana program membangun 100 rumah hunian, melainkan lebih pada ketidakpahaman pemerintah pada elemen budaya organisasi sosial Orang Laut. Ketidakmengertian pemerintah ini menyebabkan dalam proses memukimkan kelompok Orang Laut di beberapa pulau ternyata justru, “.. members of rival Orang Laut groups have been resettled on the same

island” (Chou 2010:138). Saya kira pemerintah tidak pernah membayangkan bahwa hal ini dalam perjalanannya membawa implikasi sosial dan kultural dalam kehidupan Orang Laut.

Dalam Gambar Denah Kampung 4.2. dan 4.3. di bawah kita dapat melihat bahwa hari ini pola pemukiman yang tampak tidak beraturan ternyata memiliki dasar logikanya tersendiri, yang hanya bisa dipahami melalui sistem organisasi sosial mereka. Pemerintah tidak pernah menyadari bahwa ratusan Orang Laut yang tersebar di Kepri “tidak tunggal”, homogen, dan di antara mereka terdapat suatu kelompok-kelompok yang berbeda. Oleh sebab itu, kebijakan pemukiman OSL di akhir 1980an sampai 1990an justru membuat komunitas OSL terjerat ke dalam persoalan-persoalan sosial baru. Mengenai hal ini Chou menjelaskan,

the structural continuity of the village layout … rest on the development of the families. … As members of the village are kin, they share a deep emotional bonding. They are in contact with one another and live together. … This is not to say that all members get along harmoniously with each other, nor that everyone regards the other with great warmth. What is an unspoken rule in the social organization and relations of the people, though, is a network steeped in obli-gations to help and share. Everyone observes this unspoken rule to show group solidarity.” (Chou 2010:33).

Dari kutipan ini jelas terlihat bahwa terdapat hal pokok dalam organisasi sosial Orang Laut, yaitu hubungan-hubungan dalam jaringan kerabat di antara mereka yang mengekspresikan perilaku pertukaran (exchange) (Chou 2010:33-35).

Sehubungan dengan hal itu, apa yang terjadi di masa lalu tampaknya menguat kembali bahwa lokasi rumah di Bertam menunjukkan kedekatan kerabatnya. Hal ini tampak dari balon-balon berwarna yang ditunjukkan pada Gambar 4.4. Dalam catatan saya, di situ terdapat tiga kelompok kerabat yang berbeda. Pertama, kelompok keluarga dalam balon berwarna coklat adalah kelompok “keluarga rumah belakang”, yaitu rumah Beloh yang dikelilingi oleh rumah anak dan menantunya: Akim dan Thomas. Begitu juga dengan Rahman

yang diitari oleh rumah Mustafa dan Tamel. Kelompok kedua dalam balon ber-warna merah, yang di sana saling berdekatan antara rumah Mahadan, Seran, Juti, Alan, Titi, Rudi Simon, dan sebagainya. Kelompok terakhir dalam balon berwarna biru, yaitu lingkaran kerabat Mohtar yang rumahnya saling berdekatan: Adi, Slamet, dan Nenek. Keluarga lain yang berafiliasi dengan Mo juga berdekat-an yaitu rumah Ahu, Taher, Am, dberdekat-an Bari.

Dalam kasus permukiman di Bertam mengenai siapa membangun rumah di mana sebetulnya tidak menjadi persoalan. Namun, suatu kali Mak Mo mendapati laporan dari Adi, adiknya, yang mengatakan bahwa Mahadan, pamannya, akan melaporkan Mo ke Ibu Soedarsono soal penataan rumah di Bertam yang tidak lagi tertata dengan rapi, seperti Bertam di tahun 1980an. Menurut Mahadan, dulu rumah-rumah di Bertam dibangun saling berhadapan sejalur dengan pelantar dari pelabuhan menuju daratan, dan seharusnya kampung Bertam tetap seperti itu. Sama halnya dengan desain yang belum lama ini dibuat sebagai proposal renovasi kampung Bertam yang dibuat serupa dengan tatanan lama. Mahadan merencanakan akan melapor ke Ibu Soedarsono bahwa Mo sebagai Ketua RT tidak mampu mengatur orang-orang hingga menyebabkan ketidakrapian tatanan bangunan rumah-rumah di kampung. Mengenai hal ini, Mak Mo menanggapi demikian,

“kalaupun (Da)tuk Madan benar melaporkan ke Ibu Dar, maka Mak Mo akan jelaskan (bahwa) seperti Taher, Ahu, dan Am memang atas maunya sendiri pindah rumah. Same seperti Tuk Madan yang pindah rumah dari samping pe-lantar ke sisi ujung Barat pulau. Dulu Dir, semasa Juti, Titi, dan beberapa anak Tuk Madan masih kecil memang cukup tinggal satu rumah di situ. Tetapi, ketika mereka dewasa, dan satu demi satu menikah, rumah jadi penuh sesak. (Jadi) perlu rumah lain, dan ini berarti perlu tempat lain untuk dibangun rumah baru. Apa Tuk Madan lupe dengan pengalaman diri dia sendiri?”

Mak Mo mempertanyakan keberatan Mahadan, apakah salah kalau beberapa orang memang ingin pindah dan membuat rumah di tempat lain. Di kampung ini,

lanjut Mak Mo, tidak sama dengan kampung yang ada di darat dengan bangunan rumah di tanah yang mengikuti jalan kampung yang ada. Oleh sebab itu, tidak masuk akal kalau di Bertam diberlakukan seperti permukiman di atas tanah.

Persoalan pindah rumah ini menarik, sebab kebanyakan orang lebih memilih tinggal di muka laut dibanding membangun rumah di bibir pantai (darat). Persoal-annya sederhana, jika air kering (surut) lokasi rumah di darat akan sangat jauh dari garis batas air laut. Garis batas ini adalah ujung pelabuhan. Dengan jauhnya rumah dari air laut, maka ketika air surut sampan mereka tidak dapat diparkir berdekatan dengan rumah mereka, melainkan harus diikat di tiang di dekat pela-buhan. Baru setelah air mulai pasang, mereka menuju ke pelabuhan dan mem-bawa sampan mereka masuk ke rumah.

Lain halnya dengan mereka yang memiliki rumah di muka laut, mereka tidak perlu kerepotan memindahkan sampannya. Jika malam tiba, mereka dapat lang-sung beristirahat tanpa perlu memindahkan sampannya seperti ‘orang darat’. Selain itu, mereka yang tinggal di muka laut tak ada keharusan bertegur-sapa dengan orang lain. Berbeda dengan ‘orang darat’, dalam lalu-lintas sampannya di tengah kampung ada semacam keharusan untuk saling bertegur-sapa dengan orang yang mereka lewati rumahnya. Beberapa sentimen atau perseteruan menguat di kalangan orang-orang Bertam karena beberapa hal, dan tak jarang karena urusan sepele dan prasangka tanpa dasar yang jelas (kasak-kusuk, gosip, yang beredar di antara mereka) (lihat juga Chou 2010:34).

Nomor Rumah Nama Kepala Keluarga Nomor Rumah Nama Kepala Kelurga

1 Rano 21 Tamel

2 Nenek Yati 22 Nenek Meriah

3 Slamet 23 Jaga

4 Mohtar 24 Husein

5 Adi 25 Abidin

6 Tata 26 Endi

7 Jeki 27 Nenek Alah

8 Ahu 28 Titi

9 Taher 29 Juti

10 Hamzah (Am) 30 Wawan

11 Seri 31 Obin

12 Bari 32 Udin

13 Binson 33 Kasim

14 Yus 34 Rudi Simong

15 Patimah 35 Seran 16 Mustafa 36 Mahadan 17 Beloh 37 Alan 18 Thomas 38 Arun 19 Kusnadi (Akim) 20 Mansur

Bilamana semua orang di Pulau Bertam hendak tinggal di tepi laut, maka biaya pembangunan rumah yang ditanggung tidak sedikit. Untuk membangun rumah di tepi laut harus membuat tiang-tiang rumah yang kokoh, pelantar untuk menghubungkan satu rumah ke rumah lain, dan sebagainya. Belum lagi jika bibir pantai itu penuh dengan bakau, maka ia harus membabatnya sampai bersih. Tidak semua Orang Bertam mampu secara finansial menyiapkan material rumah ditambah ongkos untuk tenaga pembantu. Sebagian rumah mereka toh juga dibangun atas bantuan pemerintah (lihat Bab III). Beberapa orang tampak rela menerima lokasi rumah yang sudah ada atau menempel bibir pantai, meskipun tetap punya keinginan untuk membangun rumah di muka laut.

B.

PERUBAHAN ORGANISASI SOSIAL ORANG SUKU LAUT DI BERTAM

Dalam dokumen Menerima dana Kepengaturan Negara Membayangka (Halaman 189-199)