• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masyarakat Terasing: Definisi, Kategorisasi, dan Karakteristik …. 40

BAB II – POLITIK PEMBANGUNAN NASIONAL DAN SEJARAH PEMUKIMAN

A. Pembangunan Nasional dan PKMT

A.2. Masyarakat Terasing: Definisi, Kategorisasi, dan Karakteristik …. 40

Lebih lanjut, pemerintah memberi batasan-batasan tentang siapa yang dimaksud dengan masyarakat terasing. Di sini, saya akan menjelaskan definisi, kategorisasi, dan detail karakteristik kebudayaan MT dalam perspektif pemerintah sebagai acuan proyek PKMT. Kendati beberapa ahli antropologi mengkritik konsepsi pemerintah mengenai label MT ini (lihat Koentjaraningrat 1993b), Departemen Sosial tetap bersikukuh mendefinisikan MT sebagai:

“… kelompok masyarakat yang mendiami suatu lokasi daerah yang terpencil, teriso-lir, maupun mereka yang hidup mengembara di kawasan laut, yang tingkat kesejah-teraan sosial(nya) masih sangat sederhana dan terbelakang (yang) ditandai dengan sangat sederhananya sistem sosial, sistem ideologi, dan sistem teknologi (yang) belum sepenuhnya terjangkau oleh proses pelayanan pembangunan. Terasing … dimaksudkan sebagai gambaran suatu kondisi statis, di mana mereka bermukim di daerah terpencil, terisolir, dan hidup secara kelompok terpencar-pencar serta sulit untuk dijangkau sehingga keadaan mereka mengalami keterbelakangan dalam kehi-dupan dan penghikehi-dupannya. Mereka sangat terbatas dalam interaksi sosial di luar lingkungannya, yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka ke arah perubahan dan kemajuan.” (DBMT 1987:3, 1990, 1993, 1994/5)

Berangkat dari definisi ini, pada 1986 pemerintah kemudian mencoba membagi MT dalam tiga kategori kelompok berdasarkan pola kehidupan mereka (mode of liveli-hood). Tahun 1994, kategori tersebut direvisi dan dijabarkan menjadi empat kategori dengan alasan ketidakakuratan ketika mengaplikasikannya di lapangan, atau setelah berjalannya upaya-upaya pembinaan (DBMT 1990:4).

Dalam dokumen DBMT (1987:5-6) dijelaskan bahwa MT dapat dikategorikan ke dalam jenis masyarakat (1) kelana, (2) setengah kelana, (3) menetap sementara, dan (4) menetap. Mengenai yang pertama, adalah kelompok MT yang masih ber-matapencaharian dan bertempat tinggal tidak menetap (berpindah-pindah) serta kondisi kehidupan dan penghidupannya sangat terbelakang. Kedua, merupakan

masyarakat yang tempat tinggalnya sudah menetap untuk suatu periode tertentu dan mata pencahariannya masih berpindah-pindah serta kondisi kehidupan dan peng-hidupannya masih sangat sederhana. Ketiga, merupakan MT yang bermatapenca-harian dan bertempat tinggal menetap secara sementara, tetapi dengan kondisi kehidupan sederhana. Untuk yang terakhir, adalah kategori bagi mereka yang telah menetap dan mendapat pembinaan dalam proyek pembangunan secara intensif.

Koentjaraningrat (1993a:9) menyebut dari pemahaman itulah pemerintah mela-hirkan kebijakan yang menyasar kepada golongan penduduk ini dalam tujuan “meng-angkat mereka dari keterasingan serta membangun masyarakatnya agar menjadi sama dengan masyarakat-masyarakat suku bangsa lain, dengan orientasi ke kebu-dayaan nasional Indonesia”. Koentjaraningrat menambahkan ia tidak sepenuhnya setuju dengan penyebutan “masyarakat terasing”. Untuk itu, ia mengajukan tawaran istilah “masyarakat yang diupayakan berkembang”, karena baginya tak ada lagi suku bangsa atau masyarakat di dunia ini yang steril dari kontak-kontak dengan kebuda-yaan lain. Di samping kritik pada pemilihan terminologi ini, ia juga melontarkan bahwa definisi mengenai konsep MT belum jelas, sebab berbagai kriteria dalam menentukan kapan suatu komunitas suku bangsa tertentu termasuk dalam kategori “terasing” terlampau bias pandangan-pandangan stereotipe negatif daripada ber-pegang teguh pada definisi hasil penelitian dan pemikiran ilmiah yang tajam (Koentjaraningrat 1993a:10-11). Terlepas dari keberatan dan tawaran untuk meng-ubah istilah “masyarakat terasing”, menurut saya hal itu tidak akan memberi penga-ruh berarti terhadap MT jikalau kriteria-kriteria dalam penggolongan berbagai suku bangsa tersebut tidak didasari atas kesadaran penuh tentang multikulturalisme.

Melanjutkan diskusi mengenai kategorisasi di atas, bahwa selain merumuskan empat kategori tersebut, pemerintah juga merinci karakteristik kultural MT yang di

beberapa dokumen kurang lebih berbunyi sama (DBMT 1987a:3–5, 1987b, 1988b, 1990, 1993, 1994/1995:3). MT dengan demikian merupakan komunitas yang:

1. hidup dalam kelompok-kelompok kecil, dengan kondisi permukiman kurang layak huni dengan lingkungan tidak teratur sebab permukiman terpencar, hidup berpindah atau menetap di daerah pedalaman atau hutan, di pegu-nungan, pinggir-pinggir rawa, di kawasan laut dan pantai dengan perahu-perahu kecil, dan ada yang tinggal di daerah perbatasan dengan negara lain; 2. terpencil, terisolir, dan sulit dijangkau atau jauh dengan lingkungan masya-rakat lainnya sehingga hidupnya terasing tanpa / terbatas (untuk) berkomuni-kasi dengan masyarakat lain dan menjadikan mereka sebagai masyarakat yang bersifat tertutup;

3. pandangan hidup MT lebih didominasi pola pemikiran sebagai warisan nenek moyang yang statis, tertutup sehingga sangat mempengaruhi nilai-nilai sikap sosial dan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat mereka;

4. hidup bersuku-suku dalam kelompok kecil dengan aturan tata cara hidup berdasarkan atas tradisi dan kepercayaan yang masih sederhana. Sebagian besar MT menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, di samping ada yang sudah mulai mengenal kepercayaan terhadap Tuhan YME, namun masih pula percaya kekuatan yang bersumber animisme;

5. mata pencaharian mereka sangat tergantung pada lingkungan hidup sekitar-nya. Sebagian dari mereka hidup dari meramu, berburu, menangkap ikan dan ada pula yang hidup dari peladangan berpindah dengan cara menebas hutan dan membakarnya kemudian bercocok tanam. Umumnya, mereka mempero-leh hasil usahanya hanya untuk sekedar makan sekeluarga. Sistem pemasa-ran hasil umumnya mereka masih memakai sistem barter atau perdagangan sederhana;

6. pada umumnya MT sangat lamban terhadap perubahan dan sulit menerima nilai baru yang datang dari luar. Kehidupan mereka masih dikuasai norma-norma tradisi yang sangat kuat dan apabila dilanggar menimbulkan sanksi. Mereka kurang berorientasi ke masa depan, melainkan masih pada masa lampau;

7. pada MT dikenal banyak variasi tabu (pantangan) dan apabila dilanggar akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam masyarakat, yang berkaitan dengan sistem kemasyarakatan, mata pencaharian, perkawinan, kematian, kehamil-an, kelahirkehamil-an, dan lain-lain;

8. pada umumnya tingkat kesehatan rata-rata MT masih memprihatinkan. Keadaan perumahan mereka sangat sederhana, jauh dari persyaratan kese-hatan. Umumnya mereka kurang memerhatikan kebutuhan akan sandang. Pemenuhan kebutuhan pangan relatif kurang baik dilihat dari jumlah maupun kadar gizinya. Kondisi kesehatan mereka masih jauh dari tuntutan hidup sehat, tingkat kematian pada MT pada umumnya tinggi. Mereka lebih menge-nal cara pengobatan tradisiomenge-nal yang bersifat magis;

9. mereka berada di luar kegiatan-kegiatan yang ada dalam masyarakat yang lebih luas yang diatur oleh berbagai struktur dan pranata yang ada dalam

sistem nasional kesatuan masyarakat bangsa Indonesia. Pada MT peranan kepemimpinan tradisional masih sangat dominan atau bahkan mutlak dalam mengatur kehidupan mereka. Kebanyakan dari MT belum mengerti apa yang disebut Pemerintahan negara dan bangsa. Mereka tidak mengerti dan me-nyadari akan soal-soal pemerintahan, tentang kesadaran bernegara, hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara; dan

10. karena lokasi keberadaannya pada daerah yang sulit dijangkau sehingga pelayanan pembangunan sangat sedikit atau belum menjangkau mereka di samping sifat ketertutupan mereka yang menjadikan mereka tidak terjangkau oleh pelayanan dari perintah atau masyarakat lain.

Dalam sepuluh batasan di atas tampak terdapat kehendak pemerintah untuk mengubah, baik sosial maupun kultural, sebagian masyarakat di Indonesia dalam pandangan yang bias ‘modernisme’. Sebagai contoh, dalam kategori nomor satu disebut “hidup di permukiman yang terpencar, terpencil dan sulit dijangkau” dan “kondisi permukiman kurang layak huni dengan lingkungan tidak teratur.” Ada asumsi mengenai konsep keteraturan atau ketertaaan pola permukiman dari negara sehing-ga nesehing-gara tidak mensehing-gakui adanya struktur permukiman dalam bentuk lain (tradisi-onal), yang sangat mungkin berelasi dengan sistem sosial mereka atau yang lain, dan sebab itu tata-pola-permukiman harus diseragamkan, dimodernkan. Mengenai hubungan antara kategorisasi dengan ciri-ciri MT tampak dalam Tabel 2.1. di bawah.

Dalam esainya Structural Aspects of a Village Art, Adams (1973) dengan pen-dekatan strukturalisme Lévi-Strauss menunjukkan bahwa pola permukiman pada masyarakat Paraingu Umalulu di Sumba Timur yang tampak tak beraturan di mata orang awam, sebetulnya merepresentasikan hal-hal yang hanya dapat dipahami oleh logika orang Sumba Timur sendiri. Pola permukiman di desa tersebut menyiratkan prinsip-prinsip aturan corak seni kain tenun yang mereka produksi. Selain itu, nalar dalam tatanan yang nampak ‘acak’ tersebut juga paralel dengan bentuk organisasi sosial mereka, seperangkat aturan bagi masyarakatnya, logika dalam keseniannya, hingga aspek religiositas mereka (Adams 1973:269). Dari studi semacam ini, kita lantas tidak bisa menilai sesuatu yang berserak, tidak teratur, adalah paralel dengan

Tabel 2.1. Kategori Masyarakat Terasing dan Ciri-cirinya Menurut Pemerintah

KATEGORI CIRI-CIRI MASYARAKAT TERASING

Organisasi Kepercayaan Ekonomi Teknologi Komunikasi

Kelana Tempat tinggal berpindah-pindah bersama seluruh keluarga hidup dalam kesatuan kelompok yang kecil yang bersendikan genealogis menganut kepercayaan animisme dan dinamisme mata pencaharian berburu, menangkap ikan dan meramu hasil hutan belum berpakaian sama sekali atau berpakaian secara terbatas dengan menggunakan bahan dari tumbuh-tumbuhan kondisi rumah sangat sederhana hanya berfungsi sebagai tempat berteduh komunikasi dengan masyarakat di luar kelompoknya belum ada sama sekali atau masih terbatas Setengah Kelana Kehidupannya mulai menetap untuk jangka waktu tertentu, tetapi masih melakukan perpindahan berkaitan dengan mata pencaharian serta kesuburan tanah kepercayan animisme dan dinamisme, tetapi sudah dipengaruhi oleh suatu agama di samping berburu, menangkap ikan, dan meramu sudah mulai mengenal bercocok tanam, berkebun dan beternak sudah mulai mengenal pakaian meskipun masih sederhana kondisi rumah masih sederhana, tetapi telah berfungsi sebagai tempat tinggal komunikasi dengan masyarakat luar sudah ada, tetapi masih terbatas Menetap Sementara Tempat tinggalnya menetap sementara, kadang-kadang melaksanakan mata pencaharian di tempat lain tetapi kembali ke tempat tinggalnya hidup dalam kesatuan masyarakat yang lebih besar sudah mulai menganut ajaran agama secara terbatas mulai bertani, bercocok tanam, beternak, dan berkebun kondisi rumah masih sederana, sudah lebih baik dari kategori setengah kelana sudah biasa berkomunikasi dengan dunia luar

Menetap Berciri sebagaimana umumnya warga negara Indonesia

Sumber: DBMT (1986, 1993)

suatu yang tidak teratur juga. Hampir serupa dengan kasus pada Orang Suku Laut yang akan saya terangkan pada Bab IV dalam tesis ini bahwa transformasi pola

kampung di tataran empiris itu dipengaruhi oleh logika di dalam pola relasi ‘tribal’ mereka dalam hubungannya dengan kekerabatan dan aliansi kelompoknya.

Selain definisi negara mengenai tipe MT, dalam melaksanakan pembangunan nasional pemerintah memilah wilayah-wilayah di Indonesia berdasarkan kondisinya. Utamanya daerah sasaran yang sebagian besar merupakan wilayah pedesaan. Area pedesaan sebagai sasaran pembangunan nasional dapat dijelaskan ke dalam empat rumusan, yaitu (1) desa-desa swadaya (tradisional), (2) desa-desa swakarya (transi-sional), (3) desa-desa swasembada (developed), dan (4) pra-desa (pre-villages). Kategori-kategori ini, sebagaimana dikatakan Colchester, merupakan, “the expected stages of development through which rural communities are to progress uniformly as they move toward true integration into an advanced and modern Indonesian nation (Colchester 1986:89; dikutip juga dalam Chou 1997:608).

Seperti telah diungkap di atas, Indonesia menghendaki modernisasi dengan jalan “penyerasian / penyeragaman rupa” kehidupan masyarakatnya. Dari sini, kebijakan pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia memberi dampak berarti terhadap mereka yang hidup di area yang termasuk ke dalam salah satu dari empat kategori desa di atas. Rumusan tersebut sebetulnya sekaligus berfungsi sebagai bagian dari peneguhan kerangka pikir tentang siapa itu “masyarakat terasing.”

Dalam kasus OSL di Kepri, selain mereka dilabeli sebagai suku terasing (isolated

and alien peoples) atau suku terbelakang (backward peoples) dan setengah kelana

(DBMT 1988b:1), secara komunal karakteristik mereka dianggap termasuk ke dalam kategori pre-villages. “Their characteristics are that the population is composed of a

group under a single head or clan and are outside government administration,

demi-kian sebut pemerintah sebagaimana diparafrase oleh Colchester (1986:89). Pada kasus Orang Laut, di samping mereka dianggap tidak memiliki wilayah di daratan,

mereka masih hidup di atas perahu bersama seluruh keluarganya, mengembara dari pulau ke pulau di wilayah perairan Riau-Lingga dan Selat Malaka (Koentjaraningrat 1993a:16) dan dipimpin oleh ketua suku mereka: batin atau ketua (Lenhart 2004; Sembiring 1993). Dari uraian mengenai pandangan pemerintah di atas, dengan demikian, logis bila kita menyebut Orang Laut sebagai masyarakat terasing. Akan tetapi, terlepas dari kontroversi pelabelan seperti ini, kehidupan mereka hari ini telah berubah, dan perlahan ciri-ciri “keterasingan” itu mulai terkikis. Mengapa demikian dan bagaimana perubahan ini terjadi? Uraian selanjutnya akan menerangkan riwayat mereka dimukimkan oleh pemerintah di pertengahan tahun 1980an.

B. BERMUKIMNYA ORANG SUKU LAUT DI PULAU BERTAM

Jika dalam uraian di atas saya telah menjelaskan latar belakang mengapa pe-merintah dalam pembangunan nasional mencetuskan program Pembinaan Kesejah-teraan Masyarakat Terasing (PKMT), maka di bagian ini saya akan menguraikan tiga hal: yaitu mengenai (1) konsep dan teknis pelaksanaan PKMT; (2) proses implemen-tasi program PKMT terhadap komunitas OSL di Kepri; dan (3) perkiraan populasi Orang Laut pasca-pemukiman dan persebarannya di Kepri. Pada yang pertama, adalah uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan prosedur atau langkah-langkah ideal yang dirancang oleh pemerintah sebagai acuan pemukiman dan proses pem-binaan kesejahteran sosial Orang Suku Laut. Sedangkan pada yang kedua, merupa-kan uraian soal riwayat pemukiman OSL di Pulau Bertam dan siapa saja yang berperan dalam proyek itu. Terakhir, saya menunjukkan potret umum bahwa OSL yang mengembara di laut mulai berkurang setelah adanya program pemukiman.