• Tidak ada hasil yang ditemukan

FKKS dan Implementasi Program Pemukiman OSL di Pulau

BAB II – POLITIK PEMBANGUNAN NASIONAL DAN SEJARAH PEMUKIMAN

A. Pembangunan Nasional dan PKMT

B.2. FKKS dan Implementasi Program Pemukiman OSL di Pulau

Sehubungan dengan uraian mengenai konsep pelaksanaan program PKMT di atas, bermukimnya Orang Laut di Bertam tidak disanksikan lagi merupakan konse-kuensi dari penerapan program tersebut. Namun sebelum itu, saya perlu menying-gung bahwa selain kisah lisan pengalaman Orang Bertam, hanya terdapat sedikit sumber yang menceriterakan detail periode awal pemukiman komunitas Suku Laut di Bertam, termasuk surat kabar dan beberapa dokumen FKKS. Dari seluruh informasi

yang saya dapat, menyebutkan bahwa proses awal dari peralihan hidup mengem-bara ke hidup menetap adalah pembangunan area perkampungan serta rumah-rumah tinggal, yang kesemuanya dilakukan atas usaha pemerintah dan non-peme-rintah. Hanya saja, sebelum pemerintah benar-benar turun-tangan melalui program PKMT di tahun 1980an, terdapat pihak perorangan yang telah merintis pemukiman OSL di kawasan Batam. Semua informan generasi pertama yang bermukim di Bertam menyebutkan bahwa orang yang berperan di masa awal pemukiman OSL di pulau ini adalah Soentaram. Dia anggota organisasi Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro)3 dan mantan pejabat Kantor Bea dan Cukai Pulau Batam. Dalam wawancaranya dengan Soentaram sebagai salah satu penggagas pemu-kiman Orang Laut di Bertam, Bettarini (1991:79-91) menjelaskan riwayat bagaimana upaya Soentaram memukimkan OSL. Bermula pada 1964, ketika Soentaram masih bertugas di Kantor Bea dan Cukai, ia sering melakukan safari ke pulau-pulau di sekitar wilayah Batam dalam tujuan mengontrol wilayah Batam yang rawan akan aktivitas penyelundupan. Sepanjang perjalanan tugas itu, tak jarang Soentaram men-jumpai komunitas Suku Laut terapung di sampan-sampan beratapkan kajang (lihat Gambar 2.1.). Pengalaman visual tersebut menggugah rasa ibanya, sebab kondisi hidup di sampan semacam itu bagi Soentaram tidak layak. Perlu diketahui bahwa dalam catatan sejarah dan kolonial angka statistik tentang populasi OSL tidak pernah akurat, sebab selain ciri khas mereka yang terus bergerak mengelompok dari satu tempat ke tempat lain, masih kuat bias spekulasi dalam penarikan kesimpulan pada berbagai survei atas suku bangsa ini di masa lalu (Sembiring 1993:330; lebih lanjut

3 Kosgoro berdiri pada 1957, sebagai salah satu Kelompok Induk Organisasi (KINO) di samping SOKSI dan MKGR. Organisasi inilah yang melahirkan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 20 Oktober 1964. Mereka pada tahun 1970 mengeluarkan keputusan bersama untuk ikut menjadi peserta pemilihan umum melalui satu nama Golongan Karya dengan tanda gambar berupa pohon beringin. Logo ini menjadi tanda partai Golkar sejak pemilu pertama mereka hingga sekarang.

lihat Shoper 1977:170-175, mengenai prediksi populasi Orang Laut di Asia Tenggara dari berbagai sumber sejak abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20).

Gambar 2.1. Sampan Beratap Kajang Orang Suku Laut di Kepulauan Riau (Foto Reproduksi Koleksi FKKS – NEBA 1988)

Atas dasar itu, Soentaram kemudian berupaya menggali informasi terkait dengan pola kehidupan OSL. Pada mulanya, informasi yang ia dapati sebatas dari tokoh-tokoh masyarakat di Batam, para perangkat desa, dan beberapa Orang Laut yang telah menetap di darat. Dari sini, Soentaram menyimpulkan bahwa meningkatkan taraf hidup mereka dirasa cukup krusial, lantas ia memutuskan untuk memulainya. Pendekatan kepada komunitas Orang Laut adalah yang pertama ia lakukan dengan jalan menghadiri berbagai macam acara pemerintah yang melibatkan Orang Laut, atau acara-acara yang dibuat oleh OSL sendiri, seperti acara perkawinan maupun perlombaan jung. Kadang kala, ia dan beberapa kawan menyumbang atau mengirim bantuan berupa kebutuhan pokok yang dikumpulkannya dalam berbagai cara. Ia mengaku telah melakukan hal ini lebih dari dua puluh tahun sehingga berbagai komunitas Orang Laut di sekitar kawasan Pulau Batam hormat padanya. Sampai

akhirnya ia dianggap sebagai Datuk mereka (Bettarini 1991), yang dalam persepsi Orang Laut setara dengan pucuk pemimpin mereka, yakni Datuk Penghulu seperti dalam riwayat suku bangsa ini ketika masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga (lihat Chou 2003, 2010).4

Gambar 2.2. Layar di Sampan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau (Foto Reproduksi Koleksi FKKS – NEBA 1988)

Menurut pendapat Soentaram, untuk meningkatkan taraf hidup Orang Laut per-tama dengan jalan mengajak, mendorong, mempengaruhi, dan berupaya memantik keinginan mereka untuk meninggalkan cara hidup mengembara (Bettarini 1991:81). Kepentingan Soentaram terhadap persoalan ini diupayakan dengan cara persuasif. Kendalanya terutama pada saat berkomunikasi dengan Orang Laut, karena ia harus menyesuaikan dengan “kemampuan daya tangkap” mereka. Menariknya adalah apa-bila kisah itu dikatakan dengan benar, maka apa yang disampaikan Soentaram untuk

4 Menurut Sembiring (1993), Datuk secara sosial tidak berlaku sekedar sebutan bagi seorang kakek, jika memerhitungkan garis darahnya, namun penyebutan Datuk berlaku juga bagi kaum laki-laki yang dituakan sekaligus dihormati di kalangan mereka. Sapaan Datuk ini umum bagi orang Melayu di manapun.

membujuk OSL bermukim ialah seputar “keuntungan-keuntungan yang akan mereka peroleh dengan hidup menetap di suatu permukiman” (Bettarini 1991:81). Keuntung-an ini mengisyaratkKeuntung-an dua hal: yaitu “keuntungKeuntung-an” bagi komunitas OrKeuntung-ang Laut dKeuntung-an keuntungan bagi negara yang berkenaan dengan “keberhasilan pembangunan” (cf. Dove 1985). Dari sini, kita bisa melihat bahwa yang mendapat keuntungan dari bermukimnya OSL adalah negara (melalui Soentaram sebagai representasinya) dan juga bagi sebagian Orang Laut yang berhasil dihimbau, sebab hal itu sejalan dengan cita-cita pembangunan di atas: agar “masyarakat terasing berhak menikmati hasil pembangunan” (lihat Hakikat Pembangunan Nasional di atas).

Dalam pandangan pembangunan, keuntungan bermukimnya Orang Laut salah satunya ialah kemudahan akses mereka pada pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelbagai bantuan peralatan melaut. Meskipun Orang Laut tanpa diberi bantuan peralatan menangkap atau memancing ikan, mereka sebetulnya telah membekali dirinya dengan berbagai peralatan tradisional yang mereka buat sendiri (lihat Chou 2003, 2010; Lenhart 2002), yang bisa jadi jauh lebih sesuai dengan kebutuhan mereka daripada bantuan Dinas Perikanan. Beberapa informan saya menjelaskan mengapa Orang Bertam kala itu memilih menjual alat-alat bantuan, pertama, karena sebagian alat-alat itu tidak mungkin dipakai oleh beberapa nelayan yang tidak punya perahu besar untuk pergi ke wilayah laut agak jauh dari pulau tempat tinggal mereka. Alasan kedua adalah bahwa lingkungan laut di sekitar tempat mereka tinggal tidak ada lagi yang bisa ditangkap dengan alat seperti jaring, kecuali pancing, tombak, atau menciduk ikan-ikan yang relatif kecil, seperti ikan dingkis atau menombak ikan lele karang (ikan sembilang) (lihat uraian “Kerja Laut” di Bab III).

Iming-iming yang dilontarkan Soentaram kepada komunitas OSL di sekitar Batam merupakan senjata utama dalam menghimbau. Akhirnya, beberapa kelompok OSL yang masih dekat ikatan kekerabatannya di sekitar Pulau Boyan sampai Pulau Buluh

(lihat peta-peta di bab ini, bagian Barat Daya perairan Pulau Batam) diklaim telah menyatakan kesediaannya untuk dimukimkan di Pulau Bertam pada 1987. Beberapa informan saya yang mengalami masa-masa awal bermukim di Bertam, mengatakan bahwa besar peran Soentaram dan Soedarsono (lihat jabaran soal FKKS di bawah) dalam menyadarkan mereka tentang hidup layak, memiliki rumah, beragama, dan berpendidikan (bisa baca-tulis), serta hidup sehat dan bersih. Mengenai keberhasilan memukimkan dan mengubah pola hidup OSL, Soentaram mengatakan bahwa,

“sebetulnya masyarakat Orang Laut di wilayah Pulau Batam bukanlah masyarakat terasing yang buta akan kemajuan jaman, apalagi mereka ini hidup berdampingan dengan masyarakat atau etnis lain yang relatif lebih maju kehidupannya. Mereka sebetulnya sadar juga tentang pentingnya pendidikan, kesehatan, dan juga punya keinginan kuat untuk mempelajari teknologi kelautan yang lebih maju (modern) dibandingkan dengan teknik melaut yang mereka miliki, namun karena mereka tidak punya kemampuan untuk meraih hal-hal tersebut … pada akhirnya mereka harus puas dengan apa yang telah mereka peroleh.” (Bettarini 1991:82).

Profil Pulau Bertam yang ditulis Bettarini bahwa kala itu pulau ini merupakan satu dari sekitar 106 pulau yang tak berpenghuni di seputaran laut Batam. Bertam dipilih sebagai salah satu tempat yang disiapkan oleh FKKS yang bekerja sama dengan Departemen Sosial untuk memukimkan sejumlah klan Orang Laut yang telah “sadar” dan “menyatakan kesediaannya” pada Soentaram. Mengenai pernyataan kesediaan komunitas Orang Laut untuk mengubah cara hidupnya dari mengembara ke menetap di rumah sayangnya tidak tercatat dalam satupun dokumen. Selain itu, tidak ada pula keterangan mengenai apakah kesepakatan ini dilalui dengan perjanjian-perjanjian tertentu yang ditandatangani oleh dua belah pihak atau hal lain.

Meski tidak ada bukti hitam di atas putih, menurut Soentaram terdapat sejumlah prasyarat yang Orang Laut ajukan untuk mengubah kebiasaan mereka. OSL memin-ta jaminan bahwa kondisi lokasi permukiman berada tidak jauh dari teritori tempat mereka biasa mencari ikan sehari-hari dan bahwa kondisi kawasan permukiman ini merupakan kawasan baru. Mereka menegaskan enggan bercampur dengan permu-kiman yang sudah berpenduduk (yang dimaksud adalah kampung orang Melayu).

Mengenai alasan-alasan Orang Laut ini saya pikir masih ada hubungannya dengan penjelasan Chou mengenai stereotipe negatif Orang Laut yang tumbuh-subur di kalangan orang Melayu. Sebaliknya, hal ini juga terkait dengan pandangan-pandang-an primordial Orpandangan-pandang-ang Laut terhadap orpandangan-pandang-ang Melayu (lihat Chou 2003).

Lebih lanjut, sesuai dengan persyaratan Tahap Persiapan pada Tabel 2.2. bahwa penetapan Pulau Bertam didasarkan atas sejumlah pertimbangan, antara lain: keter-sediaan sumber air bersih (air tawar) dan lahannya relatif subur. Meskipun dalam perjalanannya, upaya pemerintah untuk menggerakkan Orang Laut berladang atau berkebun buah-buahan atau sayur-mayur tidak berhasil, sebab di samping tanahnya ternyata tidak mendukung untuk bercocok-tanam, kecuali ketela. Orang Laut lebih memilih untuk melakukan aktivitas ekonominya di laut, karena menurut mereka hanya laut yang dapat memberikan penghasilan yang relatif baik, dan lokasi Pulau Bertam tidak jauh dari lokasi (pulau-pulau) asal mereka sebelum dimukimkan (Kos-goro 1986 dalam Bettarini 1991).

Penyiapan infrastruktur Bertam sebagai lokasi permukiman OSL dimulai oleh Soentaram pada 1985 (lihat Tabel 2.3. di bawah). Di tahun berikutnya, Soentaram atas nama Kosgoro membuat permohonan pembebasan tanah Pulau Bertam kepada Pemerintah Daerah Kota Madya Batam. Pada akhirnya, permohonan pembebasan lahan pulau ini dikabulkan Pemerintah Daerah dan juga atas persetujuan dari para pemuka masyarakat agar bersedia menyerahkan hak milik tanah tersebut (Kosgoro 1987, sayangnya keterangan tentang merujuk pada kelompok adat mana para pemuka itu berafialisi juga tidak dijelaskan). Mengenai kebutuhan lainnya, seperti transportasi yang membawa peralatan berat ke Bertam dan tenaga kerja pembuka lahan, disediakan oleh Pemerintah Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam. Mereka bekerja membabat hutan bakau dan meratakan tanah pada sisi timur pulau ini. Selanjutnya, pembangunan infrastruktur dilakukan secara bertahap, seperti pem-

Tabel 2.3.

Perkembangan Pembangunan Infrastruktur dan Pembinaan Suku Laut di Pulau Bertam Tahun 1985 – 1999

TAHAPAN PROYEK

PEMUKIMAN AGEN TAHUN KEGIATAN / PROGRAM KERJA

Tahap Pra-Persiapan Soentaram (Kosgoro, Bea Cukai Batam, Otorita Batam) 1985 - 1986

- Pembebasan tanah Pulau Bertam

- Penyiapan lahan permukiman

- Penyiapan infrastruktur awal permukiman

Tahap Persiapan

Soentaram, FKKS, dan Depsos

1987 - Motivasi dan pendaftaran calon pemukim

- Studi kelayakan dan pembuatan buku pedoman dari hasil seminar

- Penyiapan area permukiman oleh warga Suku Laut sebagai calon penghuni

- Penyiapan tenaga kerja dan warga Suku Laut

Tahap Pembinaan, Pembangunan dan Pengembangan Sarana Fisik (pembangunan permukiman dimulai pada HUT FKKS ke-2,

4 April 1988)

FKKS dan Depsos

1987 - 1988

- Pembangunan 14 rumah sederhana layak huni tipe 32 m2

- Pembuatan dermaha sederhana sepanjang 100 m

- Pembangunan sarana MCK

Program Bimbingan Mental, Sosial, dan Kesehatan

- Bimbingan hidup bermasyarakat

- Bimbingan hidup kesadaran beragama

- Bimbingan pemeliharaan kesehatan diri maupun lingkungan

- Bimbingan dalam pertanian, peternakan, dan perikanan 1988 Program Bimbingan Mental, Sosial, dan Kesehatan

- Bimbingan penyuluhan tentang makanan bergizi dan KB

- Bimbingan untuk mengikuti pendidikan formal maupun non-formal bagi orang dewasa dan anak

1989 - Pembangunan 3 kelas SD semi permanen lokal seluas 48 m2

- Pembangunan Posyandu Budi Kemuliaan 20 m2

- Pembangunan Monumen Perahu Suku Laut

- Pembangunan masjid seluas 48 m2

- Pembuatan jalan setapak keliling kompleks sepanjang 500 m

- Memberikan bantuan pompong sebanyak 6 buah

1990 - Pembuatan sarana bermain dan olah raga untuk anak-anak dan orang dewasa

- Pembangunan 5 rumah tipe 28 m2

- Pembangunan ruang serba guna seluas 36 m2

- Pemasangan listrik tenaga surya bagi perumahan dan sarana yang sudah ada

- Semenisasi jalan setapak sepanjang 150 m Program Bimbingan Mental, Sosial, dan Kesehatan

- Budi daya rumput laut

- Mengenal pemnggunaan uang melalui simpanan pada Bank Rakyat Indonesia

- Mengenal keterampilan masak-memasak, menjahit, dan sebagainya

TAHAPAN PROYEK

PEMUKIMAN AGEN TAHUN KEGIATAN / PROGRAM KERJA

- Penambahan sarana listrik untuk rumah-rumah yang belum terpasang

1992 - Penambahan 3 ruang SD lokal dan MSK untuk anak sekolah

- Mengadakan perbaikan sarana sekolah, rumah, posyandu, dll. secara gotong royong

- Pembuatan tanggul sepanjang 515 meter pencegah erosi

- Pembuatan sarana perbaikan sampan (dok)

Tahap Terminasi FKKS Tidak ada Keterangan

Tahap Bina Purna

FKKS, PMI Batam, dan Raleigh International

Singapore

1998 (lima tahun pasca diserahkan kepada pemerintah daerah)

- Perbaikan sumber air bersih dan MCK

- Perbaikan 1 monumen suku laut

- Pembangunan 1 poliklinik

- Perbaikan bangunan Sekolah Dasar

- Perbaikan Sarana olah raga dan bermain anak-anak

- Perbaikan masjid dan ruang serba guna FKKS,

Otorita Batam, dan

Yayasan NEBA

1999 - Perbaikan tempat tinggal Suku Laut 10 buah

- Penggantian atap rumah dari atap getah menjadi seng

- Penggantian tiang-tiang rumah yang rusak

- Pembuatan dua keramba (kelong) ikan.

Sumber: Bettarini (1991), K3S Batam (2008), Soedarsono (1992).

bangunan rumah panggung dari papan kayu, balai pertemuan, tempat mandi cuci kakus, dermaga, dan fasilitas tanah lapang untuk olah raga.

Khusus untuk pembangunan permukiman, komunitas Orang Laut dilibatkan. Bantuan dari Soentaram untuk pembuatan rumah awal adalah bahan baku berupa papan, kayu, atap rumbia, dan paku yang dikerjakan oleh Orang Laut dan beberapa tukang yang didatangkan dari Batam. Model bangunan rumah yang dibangun adalah rumah panggung yang menjorok ke laut, mirip seperti pondokan atau sapao (gubuk) (Sembiring 1993:330) yang biasa OSL pakai saat berlabuh sementara waktu di pulau-pulau kala cuaca buruk. Aktivitas lain dalam masa pembangunan itu, yang tipikal dengan program semasa Orde Baru di tempat lain, bahwa laki-laki dewasa membangun rumah, sementara para wanita dewasa disuluh oleh isteri Soentaram

mempelajari berbagai keterampilan: mengolah hasil laut, menyulam, membuat ber-bagai macam hiasan kulit kerang, dan membudidayakan lahan (cf. Dove 1985).

Bantuan lainnya terkait dengan alat produksi kelautan dari Soentaram adalah peralatan melaut berupa sebuah motor tempel berkekuatan 15 pk dan bubu ikan bagi setiap keluarga dari Dinas Perikanan Kota Madya Batam. Ada kisah menarik menge-nai ini yang terungkap ketika saya berada di sana, bahwa pada waktu itu karena tidak semua orang mampu memiliki motor tempel untuk mendorong sampannya, maka satu motor tempel bantuan itu diserahkan kepada seorang yang dipercaya oleh Soentaram untuk dipelihara bagi kepentingan satu kampung, yakni Mano, Ketua RT. Lalu yang terjadi adalah semua orang berebut untuk memakai motor tempel itu hampir di setiap harinya, dan semua orang merasa bahwa keperluannyalah yang paling mendesak sehingga perlu menggunakan motor tempel. Namun, ketika motor tempel ini rusak, hampir tidak ada orang yang mau urun duit menyumbang untuk ongkos mereparasi mesin.

Tahun 1987, setelah beberapa keluarga Orang Laut bermukim (lihat uraian populasi OSL di Bertam di bawah), pengelolaan Pulau Bertam berpindah tangan dari Kosgoro kepada pihak FKKS dengan dukungan dana dari pemerintah. FKKS ini diketuai oleh Sri Soedarsono-Habibie, isteri dari Soedarsono kepala Batam Industrial

Development Authority atau Otorita Batam (NEBA 1988). Sejak itu pula, yayasan ini

merancang perbaikan pengelolaan permukiman di Bertam dan pada Desember 1988 selesailah dua belas unit rumah untuk empat belas keluarga (lihat Gambar 2.3. dan 2.4. di bawah). Di bukit pulau ini, yang telah diratakan oleh traktor-traktor milik Otorita Batam di masa awal pembangunan, didirikan sebuah bangunan yang dibagi menjadi dua fungsi ruangan, satu ruangan untuk ruang sekolah dan pertemuan, sedangkan bagian lain untuk mushola. FKKS juga membangun dua bak penampung air tawar.

FKKS sejak April 1986 mengemban pelaksanaan program PKMT untuk mening-katkan kesejahteraan sosial OSL di wilayah Kodya Batam (Sembiring 1993:342; Soedarsono 1992). Dalam fungsinya sebagai mitra kerja Departemen Sosial, FKKS mulai bekerja sejak akhir tahun 1986 untuk melanjutkan beberapa lembaga, yaitu Kosgoro, Badan Kerja Sama Gereja (BKSG), Yayasan Pembina dan Asuhan Bunda, Yayasan Keluarga Batam, Yayasan Sosial Immanuel, dan lain-lain yang bekerja sejak tahun 1978 (DBMT 1988a:7). Menurut Sri Soedarsono, FKKS dibentuk atas kesepakatan dalam pertemuan 27 organisasi sosial. Berdirinya FKKS kemudian diputuskan secara resmi oleh Kepala Badan Pelaksana Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam yang tidak lain merupakan Menteri Riset dan Teknologi ketika itu, B.J. Habibie, dan diresmikan oleh Menteri Sosial pada 6 Mei 1986. Soedarsono mengatakan bahwa pendirian lembaga ini berangkat dari kesadaran masyarakat untuk ikut berperan dan memanfaatkan potensi mereka dalam mendukung pemerin-tah pada bidang kesejahteraan sosial agar program-program pemerinpemerin-tah lebih ter-organisasi dan melembaga dengan baik (Soedarsono 1992:1). Menteri Sosial mene-gaskan bahwa untuk kurun waktu 1987 sampai 1992, pihak FKKS-lah yang sepenuh-nya bertugas secara profesional membina warga Suku Laut yang masih tinggal di sampan di perairan Pulau Batam (Soedarsono 1992:1).

Di tahun berikutnya, atau pada September 1987 diadakan pertemuan lagi untuk membahas rencana pembinaan kesejahteraan sosial Orang Suku Laut. Forum ini dihadiri oleh berbagai pakar dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Mabes ABRI, Departemen Sosial Kodya Batam, dan beberapa organisasi masyara-kat. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk meneruskan pembangunan per-mukiman yang layak dan membina sebagian OSL yang telah bermukim. Sesuai mandat Menteri Sosial, program FKKS untuk menyelesaikan proyek permukiman dirancang dalam kurun tiga sampai lima tahun. Tabel 2.3. di atas menerangkan

tahapan pelaksanaan proyek pemukiman dan pembinaan Orang Laut di Bertam oleh FKKS.

Pada tahun 1992, atau lima tahun sejak proyek ini dimulai secara resmi, FKKS berhasil menyulap Pulau Bertam yang tadinya tidak berpenghuni menjadi sebuah kampung laut dengan berbagai fasilitasnya. Pulau Bertam yang berpenghuni sekitar 30 KK pada awal 1990an secara fisik dapat diilustrasikan seperti di bawah ini:

1. 14 rumah sederhana berukuran 32 m2, 2. 21 rumah sederhana berukuran 28 m2, 3. 1 posyandu seluas 20 m2,

4. 1 bangunan SD dengan 6 tempat belajar seluas 96 m2, 5. 1 masjid seluas 48 m2,

6. 1 ruang serba guna seluas 36 m2, 7. 1 buah monumen seluas 16 m2, 8. 2 buah sarana air minum dan mandi,

9. 1 buah yetti sepanjang 250 m dan pelantar seluas 18 m2, 10. Jalan setapak 150 m yang telah disemen,

11. Jalan lingkar sepanjang 500 m, dan

12. Listrik tenaga surya untuk semua rumah dan sarana lainnya.

Soedarsono mengatakan bahwa apa yang dilakukan dalam lima tahun tersebut adalah penerjemahan dari buku pedoman hasil seminar tentang pemukiman dan pembinaan terhadap komunitas Suku Laut di tahun 1987 (lihat DBMT 1987a, b, c, d). Untuk Posyandu atau penanganan kesehatan di Bertam, Rumah Sakit Budi Kemul-yaan kota Batam menjadi penanggungjawab suplai tenaga kesehatan maupun obat-obatan. Sementara SD Bertam yang kala itu belum terdaftar sebagai SD negeri ataupun SD Inpres, akan dikelola oleh Yayasan Keluarga Batam (YKB) yang juga merupakan yayasan yang memayungi beberapa sekolah swasta unggulan di Kota Batam seperti TK, SD, dan SMP Kartini yang juga diketuai oleh Sri Soedarsono. Awalnya, sekolah dasar di pulau ini diselenggarakan khusus bagi anak-anak Orang Laut, yang berusia sekitar delapan sampai lima belas tahun, dan mulanya hanya diikuti oleh dua belas anak yang ditampung di satu ruang kelas, karena ruang lainnya berfungsi untuk mushola. Untuk prasarana sekolah seperti, buku pelajaran maupun

buku tulis, FKKS-lah yang menyediakan kebutuhan ini. FKKS aktif menghimpun sumbangan dari berbagai yayasan dan pribadi yang hendak memberi bantuan untuk disalurkan ke Bertam.

Keterangan yang saya dapati di lapangan menunjukkan bahwa terdapat sejum-lah dokumen kontrak kerja antara FKKS dan lembaga asing, seperti Belanda dan Singapura. Selanjutnya, untuk pembinaan keagamaan diserahkan kepada Dinas Agama dan berbagai yayasan gereja, dan untuk urusan pencarian donatur selain dana pemerintah dilakukan oleh YPAB (Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda) Batam, sebuah organisasi nirlaba yang berafiliasi dengan YKB. YPAB kemudian mendapat sponsor dari Yayasan NEBA (Stichting Nederland-Batam) untuk beberapa proyek pembangunan sarana kesehatan dan kegiatan pembinaan dan pelayanan kesehatan di Bertam (Soedarsono 1992).

Gambar 2.3. Pembangunan Permukiman Orang Suku Laut di Bertam pada akhir tahun 1980an (Reproduksi Foto-foto Koleksi Mahadan)

Gambar 2.5. Permukiman Orang Suku Laut di Bertam pada akhir tahun 1980an (Reproduksi Foto-foto Koleksi Mahadan)

Uraian singkat di atas menunjukkan bagaimana FKKS dan Departemen Sosial mengawal proses bermukimnya Orang Bertam, mulai tahap pra-persiapan hingga tahap pembinaan dan pengembangan. Harus diakui uraian saya belum memberikan gambaran detail pada beberapa proses pemukiman dan pembinaan Orang Bertam, seperti bagaimana mereka diseleksi dan diregistrasi oleh petugas, seperti apa proses mereka diagamakan dan dicatat dalam statusnya sebagai warga negara Indonesia (ber-KTP), mulai belajar dalam pendidikan formal (membaca, menulis, dan berhitung), dan sebagainya. Saya kira untuk mengungkap proses-proses transisional semacam itu memerlukan waktu penelitian yang lebih lama dari yang saya lakukan. Namun demikian, paling tidak kita dapat membandingkan Tabel 2.2. dengan Tabel 2.3. di atas untuk menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan oleh FKKS berjalan