• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I – PENDAHULUAN

D. Kerangka Teori

Dalam tulisan ini sejumlah persoalan dan segelintir fakta yang saya sodorkan di atas menunjukkan setidaknya terdapat tiga hal yang berhubungan. Pertama, state

governmentality mewujud dalam pembangunan nasional atau yang dalam istilah lain

dapat dimaknai sebagai upaya modernisasi ekonomi. Kedua, dalam pembangunan pemerintah mencetuskan dan menjalankan berbagai program secara top-down agar tujuan-tujuan pembangunan segera tercapai. Dalam tujuan demikian, satu program yang saya diskusikan ialah pemukiman bagi “komunitas tribal”, yang menyasar pada komunitas Orang Laut. Meskipun dianggap berjalan mulus, dari program semacam

ini hampir pasti memunculkan reaksi tertentu ketika terjadi peralihan-peralihan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budayanya. Ketiga, reaksi-reaksi yang saya maksud minimal mencakup dua macam, yaitu penerimaan (acceptance) dan/atau penolakan

(resistance) terhadap state governmentality, baik secara implisit maupun eksplisit.

Dalam kasus tertentu, penerimaan dan penolakan memungkinkan muncul di tingkat lokal setelah melalui proses negosiasi, akan tetapi mungkin juga tanpa melewati fase negosiasi (lihat Skema 1.1.).

Sk e m a 1 .1 . Re la si N e ga ra da n Ora ng Suk u La ut da la m Pe m ba nguna n

Skema 1.1. di atas merupakan upaya atau praktik negara mengelola berbagai bidang kehidupan warganya. Hal ini dikonsepsikan Michel Foucault (1991) sebagai

the art of government’ atau ‘governmentality’. Colin Gordon (1991) menyebut dalam

istilah lain sebagai ‘governmental rationality’, yakni gagasan mengenai relasi kekua-saan yang diimplementasikan untuk menata, mengatur, dan mengendalikan

individu-individu atau masyarakat sesuai dengan kehendak penguasa (baca: negara). ‘The

conduct of conduct’ atau ‘pengarahan perilaku’ (Li 2012:9) yang dapat mengerti pula

sebagai suatu, “… calculated and systematic ways of thinking and acting that aim to

shape, regulate, or manage the comportment of others” (Inda 2005:1). Serupa

dengan Jonathan Inda, Gordon mendefinisikannya sebagai, “a form of activity aiming

to shape, guide, regulate or affect the conduct of some person or persons” (Gordon

1991:1). Melalui beberapa penggalan definisi itu, dengan demikian, negara tampak menginginkan segenap subyek yang dikuasainya (yakni rakyatnya) bertindak sesuai dengan perangkat-perangkat kepengaturan tertentu yang mengikat, karena dirumus-kan dan ditetapdirumus-kan negara, misal melalui undang-undang sebagai produk hukum yang sah (Foucault 1991; lihat juga Scott 2005).

Foucault menerangkan bahwa manusia-manusia yang hidup di dalam teritori negara akan menjadi target kekuasaannya. Meski demikian, ada hal yang lebih pen-ting dari sekedar menguasai manusia-manusia tersebut, yaitu mengenai relasi-relasi mereka dengan sesuatu (Foucault 1991:93). Premis ini membawa kita untuk tidak hanya mendiskusikan siapa menguasai siapa, melainkan mengenai siapa menguasai siapa dalam hubungannya dengan sesuatu. Mengenai relasi manusia dengan sesua-tu dan dalam motivasi seperti apa negara perlu mengelola hal-hal isesua-tu, Foucault men-jelaskan,

“What government has to do with is … a sort of complex composed of men and things. The things … with which government is to be concerned are in fact men, but men in their relations, their links, their imbrication with those things that are wealth, resources, means of subsistence, the territory with its specific qualities, climate, irri-gation, fertility, and so on; men in their relation to those other things that are customs, habits, ways of acting and thinking, and so on; and finally men in their relation to those still other things that might be accidents and misfortunes such as famine, epi-demics, death, and so on”(Foucault 2000:208–209 dalam Inda 2005:3-4).

Mengelaborasi gagasan Foucault tersebut, David Scott (2005:24) menerangkan bahwa untuk mengendalikan para manusia (men) dan segala sesuatu (things) yang ada di sekitarnya, pihak penguasa perlu membuat ‘perangkat penguasaan’ tertentu yang mampu bekerja secara efektif dari dalam maupun dari luar pihak yang dikuasai. Dalam beberapa kasus rezim kolonial yang dia contohkan, ‘perangkat penguasaan’ ini disebut sebagai “thepolitical rationalities of colonial power …” yang “organized as

an activity designed to produce effects of rule” (Scott 2005:25). Sejalan dengan

Scott, Inda juga menerangkan bahwa salah satu sasaran utama governmentality, “ is this complex of men and things. Indeed, it is this complex that is the fundamental target of government. … that men and things be administered in a correct and

efficient way” (Inda 2005:4).

Relasi para manusia dengan ‘things’ di situ dapat dimaknai sebagai aspek-aspek

simbolis dan non-simbolis: perilaku, hal-hal material, dan nilai-nilai dan gagasan

dalam keseharian manusia, seperti relasi manusia dengan lingkungan fisik (alam), manusia dengan kesehatan, manusia dengan sumber-sumber ekonomi, manusia dengan pranata-pranata sosial yang mengatur perilakunya, manusia dengan organi-sasi sosialnya, dan sebagainya. Dalam argumen Foucault (1991), hubungan-hu-bungan semacam ini harus dikelola (“being governed”) oleh negara. Mengenai hal ini James Ferguson dan Akhil Gupta (2005:114) menerjemahkan lebih jauh ide dasar Foucault tersebut bahwa governmentality, “… draws attention to all the processes by which the conduct of a population is governed: by institutions and agencies, including the state; by discourses, norms, and identities; and by self regulation, techniques for

Oleh sebab itulah negara perlu mengontrol segenap urusan gagasan, nilai-nilai, perilaku, dan kekayaan (material) dari individu atau kelompok melalui suatu sistem kepengawasan dan kepengelolaan tertentu demi ‘kebaikan’ hidup mereka (cf. Scott 1998a, 1998b). ‘Kebaikan’ di sini, tentu saja dalam sudut pandang negara, dihasilkan melalui instrumen tertentu yang dirancang utamanya untuk bidang ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran, perbaikan keadaan (taraf) hidup, perbaikan kesehatan, dan sebagainya (Foucault 1991:100; lihat juga Chou dan Wee 2002). Dengan demi-kian, sebagai kerangka teori, ‘governmentality’ menyediakan salah satu sudut pan-dang untuk menerangkan sekaligus memahami bagaimana model kekuasaan diran-cang, dijalankan, dan dalam hubungan seperti apa antara negara dan masyarakat tercipta.

Masalahnya kemudian, apakah secara antropologis konsep ‘governmentality’ ini operasional dalam penelitian etnografi dan adakah konsep ini memadai untuk meng-analisis fenomena Orang Laut? Menurut Tania Li konsep ini tetap relevan dalam riset etnografi untuk menerangkan konstelasi dan operasionalisasi kekuasaan—yaitu ide mengenai intervensi pemerintah yang diterjemahkan melalui program-program ter-tentu—yang bekerja di tingkat elite, dan berimplikasi secara luas pada banyak kasus kekinian di tingkat lokal. Secara metodologi, Foucault tidak menjelaskan secara rinci, dan sebab itu teori ini memiliki beberapa keterbatasan dalam riset etnografi terutama ketika kita hendak menerangkan efek-efeknya (Li 2007:276–278). Untuk mengatasi hal ini, saya mencoba berangkat dari sejumlah batasan governmentality di atas mengenai relasi para manusia dan things yang relevan dengan kasus tulisan ini.

Dalam kasus Orang Laut di Kepri, kita dapat saksikan praktik governmentality negara sebetulnya mengemuka dalam studi-studi mengenai kebijakan pembangunan

di mana hampir semuanya berkesimpulan bahwa negara dengan subtil menerapkan pembangunan tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyatnya (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Dove 1985; Mubyarto 1997; Ong 2005; Wee dan Chou 1997). Kalau kita berangkat dari definisi Foucault di atas, hubungan governmentality dengan studi saya dalam konteks program pemukiman di tahun 1980an adalah: (1) “… Men in their relations, their links, their imbrication with those things that are wealth,

re-sources, means of subsistence, the territory with its specific qualities …”, definisi ini

untuk melihat di antaranya sejauh mana negara mengatur aspek-aspek ekonomi (kesejahteraan) Orang Laut dalam kaitannya dengan “area kulturalnya” (Chou 1997; Lenhart 2002), yaitu sumber daya alam dan teritori maritim; (2) “… men in their relation to those other things that are customs, habits, ways of acting and thinking ”, negara melalui program pemukiman juga secara langsung mengatur bidang organisasi sosial, seks dan perkawinan, perilaku, dan kebiasaan Orang Laut yang tadinya berpola hidup di sampan kemudian beralih ke pola hidup orang darat; dan (3)

… men in their relation to those still other things that might be accidents and

misfor-tunes such as famine, epidemics, death, …”, bahwa eksistensi kehidupan Orang

Suku Laut di sampan dipandang negara jauh dari standar ketercukupan pangan dan kelayakan kesehatan, dan oleh karenanya, sebagai contoh, kelahiran perlu dikontrol.

Dalam perkara state governmentality di atas, perhatian umumnya tertuju pada hal-hal “dari atas” sehingga persoalan di bawah semacam negosiasi kerap dilupa-kan. Negosiasi mengandaikan sebuah proses interaksi antara negara sebagai aktor pembangunan dengan OSL sebagai subyek sasaran pembangunan. Negosiasi perlu diperhatikan, lantaran transformasi sosial dan kebudayaan yang diimpikan oleh pem-bangunan hampir pasti tidak selalu mewujud sama persis dengan yang direncana-kan. Melalui negosiasi, perubahan sosial pada gilirannya menghasilkan corak-corak

sosial-budayanya sendiri di mana perubahan konfigurasi sosial-budaya merupakan hasil dari berbagai kreasi dan pemaknaan-pemaknaan oleh komunitas maupun indi-vidu tertentu (Demmer 2008:258-259).

Transformasi sosial dan kultural sebagai konsekuensi dari intervensi negara, seperti mendaratkan Orang Laut di lokasi yang pemerintah tentukan, oleh James Scott disebut sebagai ‘kolonialisme domestik’ yang saya terjemahkan dari ‘internal

colonialism’ (Scott 2009:12-13). Studi Scott menyebut bahwa ‘kolonialisme domestik’

ini ternyata merupakan gejala umum di Asia Tenggara pada akhir abad ke-20, “… ‘enclosure’ has meant not so much shifting people from stateless zones to areas of state control but rather colonizing the periphery itself and transforming it into a fully governed … Its immanent logic is the complete elimination of nonstate spaces.” (Scott 2009:10)

Gagasan Scott ini sejalan dengan argumen Wee dan Chou (1997) dan Chou (1997, 2010) terhadap pengalaman Orang Laut di Kepri. Dalam perspektif ekonomi, Hansen menyatakan mengapa dalam proses menjadi modern negara selalu mendiskreditkan kaum yang lemah dan berada di area periferi, “modernization theory reduced the role

of the “Other” to either structural economic problem or one of deviancy … (Hansen

1996:1003; lihat juga Mubyarto 1997). Dalam hal ini, modernisasi di dalam bingkai pembangunan dapat didefinisikan secara beragam, dan tanpa bermaksud menyeder-hanakan paling tidak batasan modernisasi di sini dapat dimengerti sebagai,

“… segala bentuk upaya (oleh pihak tertentu) … untuk mengubah atau mengganti pola-pola perilaku dan pemikiran … sebelumnya menjadi pola-pola perilaku baru yang (dianggap oleh pihak tertentu pula) lebih sesuai dengan keadaan lingkungan sosial, budaya, dan teknologi yang ada di masa sekarang” (Ahimsa-Putra 2003:390, dalam kurung penambahan dari saya).

Lebih lanjut, state governmentality mewujud melalui aparatus-aparatus negara atau bisa juga melalui agen yang lain (e.g. Appadurai 2002) yang dikerjakan sebagai upaya menciptakan warga negara yang tunduk dan patuh, seolah-olah berjalan atas

kesadaran dirinya sendiri (Scott 2005). Dalam konteks Kepri, Orang Laut sebagai penduduk lokal dan subyek sasaran program pengentasan kemiskinan dan keter-belakangan dalam pengembangan kawasan ekonomi global dan pembangunan nasi-onal (Chou 1997, 2010:101-119) hampir mustahil bernegosiasi dengan negara, dan akibatnya mereka teralienasi (Chou 1997, 2010:40-41; Mubyarto 1997). Secara struktural, praktik semacam ini mengalienasi OSL pada ranah ekonomi-politik dan sosial budaya sebagaimana saya jelaskan di atas: dipangkasnya peluang-peluang akses sumber daya alam, keberadaan struktur politik tradisional, kapasitas meng-artikulasikan identitas budayanya, dan ditambah dengan perebutan kepentingan atas teritori tertentu (Chou 1997, 2010).

Hansen (1996:998) mengatakan bahwa, “poverty is a structural condition that the

poor do not create and for which they are not to blame.” Kemiskinan yang hadir

dalam situasi demikian biasanya membawa dampak pada munculnya ketergantung-an si miskin terhadap pihak lain, seperti ketergketergantung-antungketergantung-an pada program-program bketergantung-an- ban-tuan pemerintah. Di samping itu, jika si miskin merupakan komunitas adat tertentu

(“nonstate people” dalam pandangan Scott), mereka umumnya mengalami berbagai

ketersingkiran pada banyak aspek kehidupan dalam konteks hubungannya dengan negara (Scott 1998a, 2009; Tsing 1998). Konkretnya, state governmentality berope-rasi dalam banyak bidang kehidupan, seperti kesehatan (melalui Posyandu), pendidikan (sekolah, TPQ), kependudukan (pencatatan status kewarganegaraan, agama, perkawinan, kelahiran dan kematian), keagamaan (lembaga keagamaan), dan sebagainya (Chou 2010) yang pada gilirannya dapat menciptakan kondisi keti-dakseimbangan (Tsing 1993:90 dalam Chou 2010:40).

Uraian teoretis di atas membawa pada persoalan lantas bagaimana OSL meng-artikulasikan pilihan-pilihan hidupnya dalam belenggu rezim pembangunan semacam itu. Dapat kita bayangkan bahwa pembangunan sebetulnya diartikulasikan oleh dua pihak (Dove 2006:193; Li 2000). Di satu sisi, negara mengartikulasikan kekuasaan-nya melalui mekanisme penerapan program-program pembangunan kepada yang dikuasai. Sementara di pihak lain, masyarakat sebagai subyek sasaran pun mengar-tikulasikan bentuk-bentuk kepengaturan negara tersebut sesuai dengan hal-hal yang ada dalam diri mereka menurut kapasitas logika dan pengalaman historisnya (wa-wancara Hall via Grossberg 1996:141-142). Artinya bahwa Orang Laut menyikapinya dengan jalan tidak hanya memaknai (pada tataran kognitif), namun sekaligus bereak-si terhadap bereak-situabereak-si ini (pada tataran tindakan). Pendapat Michael Dove (2006:195) menjadi relevan di sini, sebab kita kemudian perlu melihat the emic meaning(s) of the

articulation of … something’, yang dalam konteks ini adalah reaksi mereka terhadap

state governmentality pada aras lokal. Hal ini berguna untuk mengungkap tidak

hanya pemaknaan dan reaksi komunitas OSL terhadap modernisasi dan konse-kuensi-konsekuensi yang muncul karenanya, melainkan juga alasan-alasan yang mendasari reaksi tersebut. Reaksi-reaksi yang dimaksud setidaknya berupa: peneri-maan atau penolakan, atau bisa keduanya (menerima tetapi sekaligus menentang) (lihat Skema 1.1. di atas). Misalnya, sangat mungkin pada bidang kehidupan A mereka menolak, namun pada bidang kehidupan C mereka menerima.

Terkait persoalan bagaimana suatu komunitas mengartikulasikan reaksinya ter-hadap kekuasaan (power), kondisi ketidaksetaraan (inequality), dan transformasi sosial (social change), Jocelyn Hollander dan Rachel Einwohner (2004) menyebut kita perlu memerhatikan aspek-aspek tertentu dalam reaksi tersebut, terutama ketika kita hendak mengungkap persoalan resistensi yang merupakan bagian tersulit

ketim-bang perkara penerimaan. Kendati di sosiologi, antropologi, dan ilmu politik ada ber-bagai pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan “resistensi”, banyak ahli yang tidak secara eksplisit menerangkan dengan jelas batasan-batasan resistensi: apakah mengenai motivasi, cara, alat atau media, arah dan sasaran, target, skala, bentuk, atau hal lain (Hollander & Einwohner 2004).

Dari sejumlah dimensi, definisi, dan tipologi yang diulas oleh Hollander dan Ein-wohner dalam esainya Conceptualizing Resistance, terdapat unsur-unsur inti yang hampir selalu muncul pada resistensi, yaitu tindakan (a sense of action) dan sikap oposisi (a sense of opposition) (Hollander & Einwohner 2004:538). Untuk kasus resistensi pada komuntas OSL di Pulau Bertam, pemahaman mengenai “the

every-day resistance” dari James Scott (1985) agaknya paling sesuai, sebab “theeveryday

resistance” mengandaikan bahwa ide-ide, sikap-sikap, dan berbagai tindakan

mela-wan, menolak, dan semacamnya seringkali tidak disadari oleh pelakunya—walaupun tidak bisa dikatakan sebagai sebuah ketidaksengajaan—bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan tindakan resistensi (cf. Winarno 2007:12).

Dalam the everyday resistance ini bisa disadari oleh sebagian aktornya, namun yang menarik the everyday resistance lebih kerap tidak dipandang sebagai tindakan resisten oleh pihak (target) yang ditentang, dibelot, atau dilawan. Dengan kata lain, kesemua itu justru ditangkap dan dimaknai sebagai gejala resisten oleh peneliti sebagai fenomena simbolis, ”… ’everyday’ resistance is not recognized by targets

but is apparent culturally aware observers,” kata Scott (1985 dikutip dalam Hollander

& Einwohner 2004:541), sebab, “resistance can occur ‘at a level beneath the

& Einwohner 2004:543). Dengan demikian, sikap resistensi sangat mungkin muncul tanpa disadari oleh pelakunya.

Dari uraian di atas, dengan demikian, saya dapati perspektif untuk menerangkan relasi negara dan kehidupan Orang Laut dalam pembangunan. Oleh sebab itu, studi ini akan mengarahkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi dalam keseharian OSL, karena governmentality negara secara tidak sadar dijalankan, dinegosiasikan, dan dipertentangkan dalam perilaku dan wacana keseharian mereka (Auyero dan Joseph 2007:7). Dua pendekatan itu saya pandang mampu menyentuh dimensi ekonomi-politik sekaligus sosial dan kultural terkait dengan relasi kekuasaan di tingkat lokal. ‘Kultural’ di sini berarti relasi-relasi, perilaku-perilaku, sikap-sikap, dan pemaknaan yang muncul atas suatu “peristiwa politik” tertentu: seperti motif-motif, makna-makna tersembunyi (implicit meanings) dari tindakan atas kondisi tertentu, hasrat seseorang atau kelompok (its passions), berbagai tindakan yang dikatakan sebagai pengorbanan (its sacrifices), dan sebagainya (Auyero dan Joseph 2007:2).