• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menerima dana Kepengaturan Negara Membayangka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menerima dana Kepengaturan Negara Membayangka"

Copied!
254
0
0

Teks penuh

(1)

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S2 Program

Studi Antropologi

Diajukan oleh:

Khidir Marsanto Prawirosusanto

11/323297/PSA/02457

PROGRAM PASCASARJANA ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

(2)

Accepting State Governmentality and Its Benefits:

The Ethnography of Settlement Process and the Social Change of the

Orang Suku Laut in Bertam Island, Riau Islands Province

Thesis

To Fulfill Partial Requirements in Pursuing Master Degree at Department of

Anthropology

Proposed by:

Khidir Marsanto Prawirosusanto

11/323297/PSA/02457

GRADUATE PROGRAME OF ANTHROPOLOGY

FACULTY OF CULTURAL SCIENCE

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

(3)
(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tulisan dalam naskah tesis ini tidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam derajat

apapun di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepengetahuan saya pula tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain

sebagaimana naskah tesis ini, kecuali yang secara tertulis saya acu dalam

naskah tesis ini dan saya sebutkan di dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, Mei 2014

(5)

Ikan dan udang, menghampiri dirimu Koes Ploes, “Kolam Susu”

Petikan lirik salah satu lagu pop-klasik grup musik Koes Ploes di atas, untuk saya menyiratkan satu pesan: barangkali sampai hari ini masih banyak di antara kita yang membayangkan lantaran begitu melimpahnya sumber daya alam di Nusan-tara ini sehingga kita dapat dengan mudah memungut hasil alam tersebut. Dalam tulisan ini, saya menunjukkan bahwa angan-angan indah seperti itu kini hanyalah sebuah mitos atau khayali belaka. Dan di sini, saya memberi penjelasan menga-pa laut kini tidak lagi damenga-pat ‘menghidupi’ saudara kita yang disebut Orang Suku Laut seperti di masa lalu, di masa mereka masih mengembara dengan kelompok sampannya.

Selain itu, satu hal yang penting untuk saya sampaikan adalah, pertama, mengenai otentisitas ide penelitian dan penulisan tesis ini. Bahwa yang saya kerjakan bukan merupakan gagasan orisinal saya. Dalam pengertian, berbagai studi terdahulu mengenai Orang Laut di Kepulauan Riau-lah yang memberi saya inspirasi untuk merumuskan kembali pertanyaan penelitian dan mengupas feno-mena ini dalam fieldwork dengan lingkup yang lebih spesifik, bahkan sedikit berbeda. Meski demikian, saya sangat sadar tesis ini belum dapat berbicara banyak dalam perdebatan teoretis yang dihasilkan dari studi tentang Orang Suku Laut sebelumnya.

(6)

semata-mata adalah hasil jerih payah saya, melainkan hasil kerja akademik yang melibatkan berbagai pihak. Walaupun begitu, segala hal yang tertera dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab saya sebagai penulis.

Warouw, Foucault, dan Appadurai. Sedikit bercerita ke belakang, sebagian

besar teman sejawat saya di Program Studi S2 Antropologi umumnya mengenal konsep “kepengaturan” atau governmentality-nya Michel Foucault dari dua karya Tania Li dalam buku The Will to Improve (2012) mengenai masyarakat di Sula-wesi Tengah atau artikel teoretis “Governmentality” (2007). Buku ini cukup popu-ler di kalangan mahasiswa antropologi, terutama bagi mereka yang mengambil kuliah-kuliah di klaster A, yakni kajian dalam topik-topik atau persoalan ekonomi-politik. Pengalaman saya dengan buku ini agak lain. Ketika itu, sebagaimana mahasiswa antropologi lain yang perlu mengisi perpustakaan pribadinya dengan berbagai karya etnografi terbaru, maka saya sempatkan membeli buku ini pada acara peluncurannya di FIB. Kala itu, saya tidak berminat segera membacanya, kecuali pada bagian kata pengantar (dan itu lebih dikarenakan Mas Pujo yang menulis) dan pendahuluan. Alasannya, saya mengambil kuliah-kuliah di klaster C, yang memfokus pada isu-isu kesenian, budaya pop, konsumerisme, agama, perkotaan, etnografi tafsiriah, dan politik identitas. Lantas, di semester kedua tahun 2012, di satu kuliah Dr. Nicolaas Warouw—untuk kali pertama sekaligus terakhir sebagai mahasiswa beliau di UGM—saya berkenalan dengan konsep dari Foucault itu. Namun bukan dari karya Li, melainkan dari artikel Arjun Appadurai soal bagaimana warga pemukiman kumuh (slums) di Mumbai, India mengorganisasi (mengelola) diri mereka dalam rangka mempertahankan hak mukim di “tanah tak bertuan” yang diklaim milik negara.

(7)

studi serupa merupakan studi yang dilakukan pada akhir 1980an hingga medio 1990an, meskipun artikel dan beberapa bukunya terbit di tahun 2000an. Artinya, masa transisi Orang Laut sebagai suku-bangsa pengembara laut sudah lewat, sudah menjadi ‘masa lalu’, dan bisa jadi tidak lagi menjadi isu menarik untuk diulas. Saya kemudian mencari kira-kira rumusan pertanyaan seperti apa yang relevan hari ini.

Pikir saya waktu itu, katakan saja bahwa studi ini akan berbeda dengan literatur yang ada, sebab informasi yang mungkin saya dapatkan ialah informasi pasca-Reformasi di mana Orang Laut telah menjalani kehidupan di bawah pemerintah otonomi daerah. Selain itu, saya melihat bahwa Kepri terutama Batam sebagai kawasan perdagangan bebas ternyata tidak banyak berubah, kendati secara administratif dan politik tidak lagi seperti di masa Orde Baru. Dengan kerangka teori “governmentality”-nya Foucault, secuil hal itulah yang saya sangka akan pas kalau saya mencoba mengaitkan konteks makro tersebut dengan efek yang muncul pada kehidupan Orang Suku Laut dewasa ini. Akan tetapi, lagi-lagi, bagaimana caranya mengoperasikan perspektif yang lahir dari pemikiran ‘awang-awang’ itu untuk riset etnografi? Akhirnya, saya menemukan buku yang secara spesifik mengupas hal-hal itu: Anthropologies of Modernity: Foucault, Governmentality, and Life Politics (2006) di perpustakaan! Ceritera soal dua sumber itulah yang menjadi awal pijakan saya mengapa kemudian beberapa gagasan Foucault mengemuka dan agak dominan dalam tesis ini. Walaupun saya bukan Foucauldian, saya merasa ketika sebuah konsep atau pemikiran tertentu didalami dengan serius dan dicoba untuk diaplikasikan ke dalam suatu penelitian dan analisis tertentu, maka yang akan kita hadapi adalah kenyataan bahwa kerja ini tidak sesederhana seperti hasil-hasil penelitian yang kita baca dalam beberapa artikel.

(8)

Selama berkuliah, saya mengucapkan terima kasih kepada para guru saya: Prof. Dr. Suhardi, Prof. Dr. Hari Poerwanto (Alm.), Prof Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Prof. Dr. P.M. Laksono, Dr. Lono Lastoro Simatupang, Dr. Pujo Semedi, Dr. Nicolaas Warouw, Dr. Setiadi, Prof. Dr. Irwan Abdullah, Dr. Suzie Handayani, Dr. Laksmi Savitri, dan tentu saja kepada pembimbing akademik saya, Dr. Atik Triratnawati.

Dalam persiapan proposal penelitian, saya mengucapkan terima kasih atas diskusi dan pembacaan kritis dari Dr. Pujo Semedi, Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, Prof. P.M. Laksono, Dr. Setiadi, Des Christy, Bakti Utama, Aryo Yudanto, L. Hanny Widjaja, Gaffari Rahmadian, Runavia, mbak Sita Hidayah, Lukman Solihin (Puslitbangbud, Kemendikbud Jakarta), Imam Ardhianto (Antropologi, FISIP UI Jakarta), Geger Riyanto (Sosiologi, FISIP UI Jakarta), Mirwan Andan (ruangrupa Jakarta), Afthonul Afif, dan Ibnu Nadzir (LIPI Jakarta).

Atas kesempatan penelitian dari skema dana penelitian master In Search of Balance (ISB) yang merupakan kerja sama antara UGM dan the University of Agder (UiA), saya haturkan terima kasih kepada Dr. Pujo Semedi (Dekan FIB), Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., D.E.A. (Sastra Prancis), serta pengurus harian ISB, Dr. Agus Suwignyo dan Arum Chandra, M.A. yang dengan sabar menunggu laporan perkembangan saya yang kerap mepet deadline.

Kepada mereka yang mendukung saya selama penelitian di Batam: Keluarga Andi Fahrizal, mbak Binar, Nenek, Andri Mainu, Keluarga Palu Mainu di Baloi Mas, Yayasan Pendidikan Anak Bangsa di Sekupang, para staf Dinas Sosial Kota Batam, Bapak Baswir, S.Sos, dan saudara Agus dari Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Riau di kota Tanjung Pinang. Di Pulau Bertam, saya berterimakasih kepada Keluarga Pak Mohtar, Keluarga Pak Rahman, Keluarga Pak Beloh, Keluarga Pak Seran, Keluarga Pak Husein, Keluarga Bang Endi, Udin, Azan, Jeki, Nenek Nur, Keluarga Pak Jalil, Keluarga Mas Slamet, Keluarga Datuk Madan, Keluarga Bang Akim, serta kawan-kawan saya orang Buton, Bugis, dan orang Laut di Pulau Lingka, Pulau Gara, dan Pulau Bulang.

(9)

Widjaja, Realisa D. Massardi, Manggala Ismanto, Aryo Yudanto, kepada Elan Lazuardi yang membantu mengedit materi poster, Frida, mbak Sita Hidayah, Ibnu Nadzir, Mirwan Andan, Gde Dwitya Arief Metera (Northwestern University, Chicago), Topik (Sejarah UGM), Endy Saputro (CRCS, Sekolah Pascasarjana UGM). Juga kepada Tante Ira yang memungkinkan saya mendapat pinjaman

printer selama mengerjakan tesis, Mas Sarwo untuk kemudahan yang semudah-mudahnya mengakses ruang dan buku-buku di perpustakaan antropologi, dan Pak Dharmono di administrasi Jurusan Antropologi UGM dan para staf administrasi pasca-sarjana FIB UGM. Teman-teman @sekitarkandhang dan se-alma mater, Argo, Sofyan, Ichsan Rahmanto, Toni, Dano, Ariep, Obi, Doni, dan beberapa anonimus yang kerap memberi tawa di tengah penatnya otak. Kalian ini seperti yang Aristoteles sering katakan, “friendship is the highest good.” Thanks dude!

Saya juga secara khusus menyampaikan rasa terima kasih yang besar atas kebaikan Dr. Cynthia Chou (Copenhagen University) yang telah memberikan izin untuk mengutip dan menampilkan ulang peta, gambar, dan tabel dari sejumlah karyanya termasuk yang ditulis bersama Dr. Vivienne Wee.

Menutup bagian ini, saya harus mengatakan bahwa kerja ini barangkali tidak akan selesai dengan baik tanpa dukungan dan doa keluarga batih dan luas saya. Terima kasih kepada Mami (ibunda) saya, Mama Tuti-Papa Aryo kedua mertua saya, kakak-kakak: Mas Andi, Mbak Dhani, Mbak Arin, Mas Er, dan Mbak Hanny. Rasa syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Oke dan segala bentuk pujian kepada-Nya, sebab telah memberi saya pasangan hidup yang luar biasa: Rani Ariana, dan juga pejantan sebagai generasi penerus kami: Lakshmana Ken-Djnana, yang selalu mendukung dengan penuh kesabaran dan doa yang tak pernah henti.

Dayu Permai, April 2014

(10)

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

KATA PENGANTAR ………. v

DAFTAR ISI ……… x

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR PETA DAN GAMBAR ……….. xiii

ABSTRAKSI ………... xv

ABSTRACT ……… xvi

BAB I – PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan ………. 5

C. Tinjauan Pustaka ……… 6

D. Kerangka Teori ……… 14

E. Metode Penelitian dan Analisis ……… 24

BAB II – POLITIK PEMBANGUNAN NASIONAL DAN SEJARAH PEMUKIMAN ORANG SUKU LAUTDI PULAU BERTAM ……….. 31

A. Pembangunan Nasional dan PKMT ……… 32

A.1. Pembangunan Nasional: Asumsi, Kebijakan, dan Agen …………. 34

A.2. Masyarakat Terasing: Definisi, Kategorisasi, dan Karakteristik …. 40 B. Bermukimnya Orang Suku Laut di Pulau Bertam ………. 46

B.1. Konsep Teknis Pelaksanaan PKMT ………... 47

B.2. FKKS dan Implementasi Program Pemukiman OSL di Pulau Bertam ………. 51

B.3. Orang Laut Pasca-Pemukiman: Populasi dan Persebarannya …. 66 C Kesimpulan ……….. 73

BAB III – ORIENTASI EKONOMI ORANG SUKU LAUT PASCA-PEMUKIMAN … 77 A. Orang Bertam dan Bantuan-bantuan Pemerintah ………. 78

(11)

A.2. Bantuan Langsung Sementara Mandiri (BLSM) ……….. 86

A.3. Bantuan Beras Miskin (Raskin) ……….. 94

B. Orientasi EkonomiBaru Orang Bertam dalam Mata Pencaharian ………. 100

B.1. Kerja Laut: Dari Produksi-Subsistensi ke Subsistensi dan Produksi ………. 101

B.2. Kerja Laut dan Darat: Eksklusi dari Dunia Maritim? ……… 121

B.3. Kerja Darat: Ketika Laut Tidak Lagi Mencukupi ………... 125

C. Kesimpulan ………. 135

BAB IV – TERITORI, PERMUKIMAN, DAN ORGANISASI SOSIAL ……… 138

A. Makna Teritori, Rumah, dan Permukiman Bagi Orang Bertam ………….. 139

A.1. “Tanah – Air” Orang Bertam: Teritori Laut, Darat, dan “Antara” … 140 A.2. Sampan dan Rumah Sebagai Lambang Kemakmuran ………….. 156

A.3. Kampung Bertam dan Konfigurasi Baru Permukiman ………. 173

B. Perubahan Organisasi Sosial Orang Suku Laut di Bertam ………. 183

B.1. Transformasi Kepemimpinan: Dari Batin ke Ketua RT ……… 185

B.2. Keluarga, Perkawinan, dan Aliansi Kekerabatan ………. 195

C. Kesimpulan ……….. 213

BAB V – KESIMPULAN ……… 217

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kategori Masyarakat Terasing dan Ciri-cirinya Menurut Pemerintah 44 Tabel 2.2. Langkah-langkah Teknis Pemukiman dan Pembinaan Orang Laut di

Bertam oleh Pemerintah ……….………. 48

Tabel 2.3. Perkembangan Pembangunan Infrastruktur dan Pembinaan Suku

Laut di Pulau Bertam Tahun 1985 – 1999 ………..… 58 Tabel 2.4. Populasi Komunitas Suku Laut dan Persebarannya di Daerah

Perbatasan Riau ………. 68

Tabel 2.5. Populasi Orang Suku Laut di Wilayah Riau dan Kepulauan ………... 70 Tabel 2.6. Cacah Jiwa Per Kepala Keluarga di Pulau Bertam Tahun 2013 …… 72 Tabel 3.1. Klasifikasi Mata Pencaharian Laut Orang Bertam ……… 107 Tabel 3.2. Kisaran Modal Nelayan Untuk Satu Kali Kerja Bilis ………. 116 Tabel 3.3. Mata Pencaharian Rangkap (Kerja Laut dan Darat) Orang Bertam .. 123 Tabel 3.4. Klasifikasi Mata Pencaharian Darat Orang Bertam ………. 125 Tabel 3.5 Fase-fase Perubahan Mata Pencaharian Orang Bertam ……… 134 Tabel 4.1. Klasifikasi Makna Teritori dalam Pandangan Orang Bertam ……….. 156 Tabel 4.2. Kepemilikan Perahu & Mesin Sebagai Alat Produksi dan

Transportasi ………. 163

(13)

DAFTAR PETA DAN GAMBAR

Skema 1.1. Relasi Negara dan Orang Suku Laut dalam Pembangunan ……….. 16 Peta 2.1. Persebaran Orang Suku Laut di Provinsi Kepulauan Riau …………. 33 Peta 2.2. Persebaran Orang Suku Laut di Wilayah Pulau Batam ……….. 67 Peta 4.1. Jaringan Kerabat dan Teritori Sumber-sumber Daya Maritim Orang

Laut di Kepulauan Riau ……… 143

Gambar 2.1. Sampan Beratap Kajang Orang Suku Laut di Kepulauan Riau …… 53 Gambar 2.2. Layar di Sampan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau ………. 54 Gambar 2.3. Pembangunan Permukiman Orang Suku Laut di Bertam pada

akhir tahun 1980an ……….. 63

Gambar 2.4. Denah Kampung Orang Suku Laut Pulau Bertam Tahun 1987 –

awal 1990an ………. 64

Gambar 2.5 Permukiman Orang Suku Laut di Bertam pada akhir tahun 1980an 65 Gambar 3.1. Contoh Bangunan Rumah Yang Dianggap Pemerintah Tidak

Layak Huni: Rumah milik Udin dari Program Pemukiman FKKS 1980an (Kiri) dan Rumah Buatan Binson yang Diusulkan Untuk

Mendapatkan Bantuan Rehabilitasi RTLH (Kanan) ……… 85 Gambar 3.2. (Kiri) Di kala air surut, perempuan Bertam biasa ‘turun’ mencari

udang di pagi hari untuk dikonsumsi. (Atas) Sekarang, aktivitas melaut tak hanya dikerjakan oleh para lelaki, namun bersama anaknya dan perempuan dapat menemani suaminya bekerja laut. (Kiri Bawah) Seorang perempuan Bertam sedang memasang umpan pada kail pancingnya. (Kanan Bawah) Sepulang sekolah, sebagian anak Suku Laut dijemput ibunya, dan sangat biasa jika

banyak anak lain yang menumpang ………. 109 Gambar 4.1. Jenis-jenis Sampan dan Alat Kayuh Orang Suku Laut ……….. 158 Gambar 4.2. Denah Kampung Orang Suku Laut Pulau Bertam Tahun 1987 –

awal 1990an ……….. 179

Gambar 4.3 Denah Kampung Orang Suku Laut Pulau Bertam Tahun 2013 …... 180 Gambar 4.4. Formasi Kampung Orang Suku Laut Berdasar Aliansi Kekerabatan

di Pulau Bertam ……… 181

(14)

Gambar 4.6. Struktur Kepemimpinan dalam Administrasi Desa (Kelurahan) …... 189

Gambar 4.7. Cognatic Lineages ………... 199

Gambar 4.8. Cognatic Descent ………. 200

(15)

Pulau Bertam, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, memerima ‘kepengaturan’ negara (Foucault 1991) dengan jalan lebih memilih hidup di permukiman yang ditawarkan pemerintah melalui Program Pemukiman di pertengahan tahun 1980an. Di masa itu, Orang Laut dianggap pemerintah sebagai sukubangsa terbelakang, lemah, sekaligus miskin sehingga pemerintah merasa perlu mem-benahi sendi-sendi kesejahteraan dalam kehidupan mereka.

Program pemukiman itu memantik berbagai konsekuensi pada kehidupan sehari-hari Orang Laut. Mengingat ini, maka wajar ketika saya mengajukan pertanyaan: mengapa sukubangsa pengembara laut ini tetap memilih untuk tinggal di darat daripada kembali menjalani pola kehidupan tradisional mereka sebagai ‘orang sampan’ yang merupakan jati diri mereka? Dalam cara atau proses seperti apa persepsi atau pemaknaan mereka atas pola kehidupan laut ini beralih dan akhir-nya mampu beradaptasi dengan pola kehidupan darat? Dalam kasus tesis ini, agaknya jawaban atas sejumlah pertanyaan saya terletak pada hal-hal yang merupakan implikasi-implikasi dari pilihan mereka untuk mengusung ‘identitas baru’: sebagai Orang Bertam.

Identitas baru ini tampak dalam berbagai bidang kehidupan mereka. Hubungan sosial tidak lagi dibangun berdasarkan relasi kekerabatan dalam satu sampan, melainkan dari rumah-rumah yang tersusun dalam kampung. Mereka juga tidak lagi menganut sistem kepemimpinan Batin, yang diubah ke Ketua RT. Dengan begini, sejumlah keuntungan bisa mereka peroleh dari pemerintah. Lebih dari itu, menjadi Orang Bertam atau hidup di darat mereka maknai sebagai satu jalan untuk terus meraih keuntungan dari program-program bantuan pemerintah, karena status mereka sebagai nelayan miskin. Itulah mengapa saya berpendapat bahwa dengan menerima kepengaturan negara mereka membayangkan dapat meraih kesejahteraan dan dengan sendirinya mengikis citra negatif yang selama ini melekat pada komunitas Orang Suku Laut ini.

Kata Kunci: Orang Suku Laut, ‘kepengaturan’ negara, pembangunan nasional,

(16)

Riau Islands Province, Indonesia, accepted state governmentality (Foucault 1991) by choosing to live in a land settlement offered by a Resettlement Program in the mid-1980s. In the age of nation-states, the Indonesian government characterised the Orang Laut as an 'isolated and impoverished community', and took it upon itself to improve the community's welfare.

The Resettlement Program has had many negative repercussions for the Sea Nomads' everyday lives. Considering these, it only becomes natural to ask why the nomads chose life as land dwellers instead of returning to boat-dwelling and retaining their sea tribe identities. In which ways did their perceptions of the space of boat-dwellers transform so as to adapt to the life of land dwellers? In this Indonesian case study, the answer lies in the implications of the community's political choices to acquire "new identities": as Orang Bertam.

This identities redefinition demonstrated how in relation to their clan association, transformation of the Sea nomads' perception of space as boat-dwellers to one of land-dwellers is quite different from the original government design. They no longer maintain Batin as their traditional leader based on his inherent advanta-ges. Furthermore, to live on land means that they will continue to gain benefits from their "new identity" as poor fishermen in the form of Resettlement Program aids.

Keywords: Orang Suku Laut, state governmentality, national development,

(17)

A.

LATAR BELAKANG

Orang Suku Laut (selanjutnya disingkat OSL dan secara bergantian disebut juga

Orang Laut) di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) telah berubah seiring dengan agenda

pembangunan (Kompas 23/02/2013). Mereka tidak lagi hidup dalam kultur zeeno-maden—hidup mengembara dengan sampan di lautan bebas, tidak pula melakukan aktivitas ekonomi subsisten. Mereka kini hidup dalam paradoks: hendak menjadi

manusia ‘modern’ atau bertahan dengan ‘tradisi’ moyang mereka dengan segala

konsekuensinya (Bettarini 1991; Chou 1997, 2010; Kompas 23/02/ 2013; Lenhart 1997, 2002, 2004; Trisnadi 2002). Fakta ini tidak tercipta secara ‘alamiah’—misal

lantaran munculnya kesadaran tertentu dari dalam diri OSL, melainkan merupakan

konsekuensi dari suatu proses sosial dan sejarah yang membuat mereka berubah

dari pola hidup tertentu ke pola hidup yang lain, yang pada gilirannya melahirkan kesadaran baru—yang bagi saya merupakan kesadaran buatan.

Dalam konteks pembangunan tersebut, negara merupakan salah satu entitas

yang berkuasa untuk mengubah realitas kehidupan warganya. Vivienne Wee dan

Cynthia Chou berpendapat bahwa, “(state) power is the authority to define and thereby shape realities is also the power to make history and create discourse” (Wee dan Chou 1997:528, 531). Wujud otoritas negara dalam menentukan kehidupan

warganya berupa campur-tangan mereka terhadap arah perubahan sosial yang

terjadi pada masyarakat lokal dan “komunitas suku-suku terasing”, seperti komunitas

OSL di seluruh Kepri. Sehubungan dengan penelitian saya, kondisi kehidupan

(18)

campur-tangan negara tersebut, yang kalau dilihat secara historis maka dampak hari ini

terlihat begitu luar biasa (lihat bab-bab berikutnya).

Kendati negara bukan agen tunggal perubahan sosial di sana, Pulau Bertam

merupakan salah satu pulau yang pernah menjadi ‘pilot project’ program permu-kiman bagi mereka yang digolongkan sebagai komunitas suku terasing di Kepri pada

pertengahan dekade 1980an. Ketika itu, proyek Pulau Bertam ini menjadi tanggung

jawab FKKS (Forum Komunikasi dan Konsultasi Sosial) Batam, yang sebelumnya

dipegang oleh beberapa organisasi seperti Kosgoro (Bettarini 1991:10-11). Oleh

sebab itu, Pulau Bertam dengan komunitas OSL di dalamnya bagai monumen yang

melambangkan ‘domestikasi sosial’ komunitas pengembara laut oleh negara secara

sistematis.

Pembangunan kawasan ekonomi industri di Pulau Batam pada akhir 1970an

mempengaruhi perubahan corak kehidupan komunitas OSL yang berada di seluruh

perairan Kepulauan Riau (Mubyarto 1997:542). Dengan menciptakan Otorita Batam

sebagai satelit pemerintah pusat (kini bernama Badan Pengusahaan [BP] Batam),

konsentrasi pemerintah dan pihak-pihak swasta rekan pemerintah terkuras dalam

mengubah kekayaan alam (daratan dan maritim) yang mulanya ‘tak bernilai ekonomi’

menjadi modal pembangunan yang bernilai ekonomi (Chou 2003:132, 2010:128;

Chou dan Wee 2002:323; Dhakidae 2009:2; Ong 2005:94-96; Wee dan Chou 1997:

533-537). Ketika itu, Pulau Batam disiapkan sebagai area perdagangan bebas dan

kawasan pelabuhan internasional, sekaligus industri multinasional (Wee dan Chou

1997).

Setelah berjalan kurang lebih sepuluh tahun, pembangunan dilanjutkan dengan

(19)

Indone-sia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMSGT) yang disepakati oleh ketiga kepala negara pada Desember 1989. Disepakatinya IMSGT ini merupakan satu strategi

pemerintah agar percepatan pembangunan perekonomian di Indonesia berjalan

dengan pesat (Mubyarto 1995). Oleh karenanya, pemerintah kemudian

mengupaya-kan intervensi melalui program-program yang berorientasi pada peningkatan

ekono-mi bagi masyarakat lokal dan beberapa komunitas suku bangsa yang masih hidup

secara sederhana agar secara ekonomi taraf hidup mereka setara (Chou

2010:132-133; Mubyarto 1995, 1997; Wee dan Chou 1997; Ong 2005:94).

Beberapa ahli mengatakan bahwa pembangunan kawasan ekonomi merupakan

satu model “pembangunan dari atas”, dan oleh karenanya berpeluang menimbulkan

masalah-masalah sosial-budaya bilamana tidak diimbangi dengan “pembangunan

dari bawah”. “Pembangunan dari bawah” salah satunya bertujuan menyiapkan

masyarakat lokal agar ‘mampu bertahan’ (jika bukan ‘mampu bersaing’) terhadap

situasi perubahan sosial-ekonomi yang begitu pesat. Lebih dari itu, “pembangunan

dari bawah” mengandaikan aktivitas pembangunan yang disesuaikan dengan

aspi-rasi masyarakat sasaran pembangunan (cf. Appadurai 2002). Namun, hal ini belum

diupayakan pemerintah Indonesia pada masa-masa itu.

Di Kepri, OSL merupakan satu komunitas yang disasar pembangunan agar

paling tidak sebagian besar dari kelompok mereka mulai hidup menetap. Dengan

hidup menetap, mereka dibayangkan setidaknya dapat dikontrol dan diawasi secara

administratif, sebelum kemudian diberi program-program penyetaraan taraf hidup

(Dove 1985; Scott 1998a, 2009; Tsing 1998). Mempertimbangkan pemikiran Stephen

(20)

meru-pakan penerapan ide “regimes of living” oleh pemerintah dalam mengupayakan stan-dar kelayakan hidup tertentu kepada masyarakatnya agar “menjadi beradab”.

Sehubungan dengan itu, pemerintah menyiapkan dengan rinci dasar

menjalan-kan program penyetaraan taraf hidup ‘masyarakat sederhana’. Salah satunya adalah

dengan merumuskan kategorisasi sosial tertentu agar strategi penyetaraan taraf

hidup ini dapat diberlakukan dengan tepat (Colchester 1989). Masyarakat sederhana

seperti komunitas OSL tersebut lantas dikategorikan sebagai masyarakat terasing,

terbelakang, dan tertinggal (Mubyarto 1995; Ong 2005:92). Dari sini, pemerintah

dapat menerapkan program IDT sebagai ancang-ancang pemerataan pembangunan

ekonomi berskala nasional dan, “the Orang Laut must be transformed and resettled in urban settings” (Chou 2010:132). Dengan demikian, hal-hal semacam itu saya kira sejalan dengan gagasan Michel Foucault (1991) mengenai “governmentality”.

Melalui skema Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) di akhir

periode 1980an hingga pertengahan 1990an, sebagian besar komunitas OSL di

Kepri berhasil dimukimkan lewat program pemukiman. Orang Laut kemudian menjadi

penduduk tetap kepulauan, bukan lagi masyarakat nomadik (lihat Chou 2010).

Keberhasilan ‘mendaratkan’ berbagai klan dari komunitas OSL ini diklaim oleh

negara sebagai satu kesuksesan dari sekian rangkaian program pembangunan

nasional semasa Orde Baru (Bettarini 1991; Chou 1997, 2010; Colchester 1989:89;

cf. Haba 2002; Lenhart 1997, 2002; Mubyarto 1995; Sembiring 1993, 1995; Trisnadi

2002). Beberapa ahli mengungkapkan bahwa ‘dirumahkannya’ komunitas OSL lewat

program pemukiman dan pembinaan oleh Direktorat Bina Masyarakat Terasing

(21)

2002) secara umum berdampak pada dua aspek: sosial-kultural dan ekonomi-politik

(Chou 2006, 2010; lihat Bab III dan IV).

Dari uraian singkat ini, dengan demikian, kita dapat menduga bahwa ide

‘kepeng-aturan’ negara di balik penyiapan Provinsi Kepri dalam pembangunan yang

berorien-tasi pada global market economy mengabaikan kesejahteraan rakyatnya (Chou dan Wee 2002; Mubyarto 1997). Mimpi terdistribusinya kemakmuran secara merata bagi semua pihak melalui pembangunan ekonomi nasional buyar, sebab fakta bahwa

hak-hak komunitas OSL sebagai penduduk lokal terhadap teritori kulturalnya justru

semakin dibenamkan (Chou 2003:6, 2010; Chou dan Wee 2002:354-355; Mubyarto

1997; Wee dan Chou 1997:533; Ong 2005:100).Oleh karena itu, untuk menciptakan

warga negara yang patuh, tertata, stabil, dan terkendali semacam ini, Aihwa Ong

mengatakan negara hampir selalu secara sengaja mengaburkan (kalau tidak hendak

dikatakan menghilangkan) hak-hak warga negara (Ong 2005:86).

B.

PERMASALAHAN

Uraian di atas memberi gambaran mengenai dua hal. Pertama, latar belakang

sejarah sosio, politik, dan ekonomi komunitas Orang Suku Laut yang dimukimkan

oleh negara dan sengaja membuat mereka tidak mempunyai otoritas penuh

meng-akses sumber daya alam maritim di teritori tertentu. Kedua, alieniasi OSL dalam

relasi dengan negara seperti itu dipicu juga oleh program-program pemerintah yang

hingga hari ini masih berorientasi pada model top-down. Oleh karena itu, dalam penelitian ini saya hendak menerangkan transformasi nilai-nilai sosial-kultural dalam

praktik sehari-hari mereka sebagai konsekuensi dari hubungan Orang Laut dengan

(22)

Dalam tujuan itu, penelitian akan saya mulai dari proses bermukimnya komunitas

OSL di Bertam dan kemudian masuk pada konsekuensi pasca-program pemukiman

tersebut. Oleh karenanya, setidaknya ada tiga rumusan masalah dalam penelitian ini,

yaitu (1) mengapa dan dalam konteks apa komunitas OSL dimukimkan di Pulau

Bertam? Ketika proses pemukiman berlangsung, (2) perubahan-perubahan

sosial-budaya apa yang terjadi pada kehidupan Orang Bertam? Berangkat dari asumsi

bahwa manusia merupakan makhluk yang kompleks dengan berbagai faktor yang

mempengaruhi cara berpikir dan bertindak (Winarno 2010), maka (3) apa

pemakna-an dpemakna-an reaksi Orpemakna-ang Laut atas pelbagai perubahpemakna-an sosial-budaya ypemakna-ang membuat

mereka bertahan di “darat” dan tidak kembali berperilaku sebagai “orang sampan”?

C.

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk menempatkan posisi studi saya terhadap studi-studi terdahulu, dalam

kajian pustaka saya akan mendiskusikan dimensi paradigma yang terdapat pada

sejumlah kajian mengenai Orang Suku Laut di Kepri dan komunitas serupa di

kawasan Asia Tenggara. Oleh karenanya, perhatian saya ialah pada konsep-konsep

yang digunakan dalam memahami dan menerangkan fenomena kebudayaan dalam

penelitian mereka. Saya juga akan melihat pada beberapa temuan penelitian dan

kesimpulannya. Sebagaimana akan saya tunjukkan di bawah, pendekatan yang

paling banyak digunakan dalam penelitian berkaitan dengan fenomena Orang Laut

adalah paradigma-paradigma perubahan sosial-budaya yang berbasis epistemologi

positivisme, historisisme, dan fenomenologi.

Jikalau kita lihat pada beberapa karya klasik mengenai suku pengembara laut di

kawasan Asia Tenggara, sudut pandang historis dan perbandingan kebudayaan

(23)

Dengan pendekatan ini, mereka mencoba merekonstruksi asal usul komunitas ini,

mendeskripsikan ciri-ciri kebudayaan secara holistik dan rinci, dan menunjukkan

bagaimana pola migrasi sea gypsies ini terjadi di kawasan Asia Tenggara. Sedang-kan pada tulisan White, ia mengupas secara genealogis kehidupan Mawken (Orang

Laut) yang tersebar di beberapa lokasi di Semenajung Melayu (daerah pesisir Siam

[Thailand] dan Burma [Myanmar]), perairan Laut Cina Selatan. Baik Sopher maupun

White berargumen bahwa kebudayaan Orang Laut terbentuk atas proses migrasi

dan adaptasi di lingkungan tempat mereka berlabuh. Menurut saya, keduanya dekat

ke paradigma partikularisme historis jalur Boasian (lihat Ahimsa-Putra 2008:13) atau

bisa juga digolongkan sebagai studi regional comparison (lihat Barnard 2010:206). Pada karya lain kita temui pendekatan historis melalui esai James Warren (2003)

dan Barbara Andaya (1997). Warren memahami konstruksi identitas melalui

per-bandingan riwayat Orang Laut di akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-20. Dari

persebaran mereka di Asia Tenggara, Warren menunjukkan bahwa identitas Orang

Laut di masa lalu dibentuk dalam relasi hierarkis dengan kesultanan Melayu di selat

Malaka dan interaksi antarkomunitas lewat mobilitas mereka. Namun, identitas orang

sampan berubah seiring berakhirnya era monarki dan kolonialisme di abad ke-20,

yang diganti oleh sistem negara modern (Warren 2003:5-6; lihat juga Wee dan Chou

1997:528). Sedangkan studi Andaya lebih melihat dinamika ekonomi politik dalam

konteks hadirnya nation-state di akhir abad ke-20. Ia mengatakan bahwa komunitas lokal di kawasan Riau (salah satunya Orang Suku Laut) sebagai “pemilik” tanah atau

wilayah harusnya dilibatkan dan diposisikan setara dengan pihak-pihak lain

(24)

Selain paradigma bercorak historis, beberapa tulisan menggunakan kerangka

berpikir interpretif (tafsir kebudayaan)—baik model Victor Turner maupun Clifford

Geertz, untuk menerangkan relasi-relasi simbolik yang mewujud dalam budaya

material maupun pola relasi yang terjalin dalam praktik kehidupan suatu masyarakat.

Pendekatan simbol à la Turner muncul pada tulisan François-Robert Zacot (2008) yang mendeskripsikan secara rinci sistem kebudayaan Orang Bajo yang terwujud

dalam simbol-simbol kebudayaan mereka, dan bagaimana intensitas interaksi Orang

Bajo dengan “orang darat” yang mempengaruhi kesadaran mereka tentang

penanda-penanda identitas tertentu. Sementara Michael Southon (1995) dengan paradigma

interpretifnya Geertz (1973) mencoba menerangkan bahwa gagasan orang Buton

Laut memiliki asosiasi-asosiasi simbolik di dalam praktik sosial mereka. Gagasan

(nilai-nilai) tertentu menjadi model atas realitas, dan realitas merupakan perlambang

proses transformasi dari gagasan tersebut. Dia menyimpulkan, perahu merupakan

lambang “roda ekonomi” Buton Laut sehingga nilai-nilai kultural tampak pada bentuk

relasi-relasi di dalam keluarga batih dan antarawak perahu. Relasi-relasi ini

merepre-sentasikan mekanisme produksi dalam menentukan keberhasilan ekonomi rumah

tangga mereka. Oleh sebab itu, “ekonomi perahu” berperan besar dalam membentuk

pranata-pranata sosial-politik dan juga hierarki sosial Orang Buton Laut.

Lebih lanjut, paradigma strukturalisme juga mewarnai kajian-kajian mengenai

suku bangsa seafaring. Varian analisis strukturalisme setidaknya dapat dikelompok-kan ke dalam dua tradisi pemikiran, yaitu strukturalisme Lévi-Strauss dan analisis

strukturalnya Edmund Leach yang mengarah pada studi-studi mengenai simbolisme

kebudayaan serta perdebatan systems of exchange dan ekonomi dalam tradisi Marcell Mauss (lihat Carrier 2010:274). Khusus untuk corak yang kedua, mereka

(25)

patterns, often of a binary character, which organize the general cognitive outlook of the people concerned” (Bloch 2010:675). Tidak berhenti pada analisis relasi simbolik yang tercipta dalam sistem pertukaran, dalam kelompok kedua umumnya mencoba

menelaah perubahan-perubahan sosial Orang Suku Laut. Oleh sebab itu,

pendekat-an historis, fungsionalisme, neo-Marxisme, dpendekat-an konstruksionisme mewarnai dalam

kajian-kajian itu (Chou 1997, 2003, 2010; Chou dan Wee 2002; Lenhart 1997, 2002;

Nimmo 1972).

Pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss muncul pada studi Orang Bajo Laut di

Sulawesi Selatan (Ahimsa-Putra 2006, 2011). Obyek material yang menjadi

perha-tian Ahimsa-Putra adalah dongeng-dongeng (mitos) sehingga cara pandang

struk-turalisme Lévi-Strauss-lah yang dipandang strategis membedah makna mitos-mitos

itu. Diskusi di dalam kedua esainya kurang lebih mengatakan bahwa orang Bajo Laut

dengan sadar menciptakan dongeng sebagai strategi mengatasi berbagai persoalan

hidup yang sulit mereka pecahkan pada kehidupan nyata. Melalui mitos pula mereka

membangun dan memproyeksikan konektivitas asal-usul (leluhur) dan kedekatannya

dengan nilai-nilai budaya orang Bugis (darat).

Dalam studi yang lain, kerangka pikir struktural dan simbolisme dikerjakan oleh

Cynthia Chou (2003) untuk melihat persoalan konstruksi makna pertukaran dan

poli-tik identitas di kalangan OSL. Secara simbolis, primordialisme Orang Laut muncul

dalam kontestasi wacana antara siapa Melayu ‘asli’ dan ‘tidak asli’ di dalam relasinya

dengan orang Melayu. Siasat-siasat Orang Laut atas pilihan beragama, kepemilikan

(26)

simbol-simbol budaya ini perlu mereka pertahankan agar tidak tunduk pada hegemoni suku

bangsa dominan, yakni orang Melayu-Islam.

Pendekatan lain, yaitu konstruksionisme dipakai untuk mendiskusikan

pergeser-an ppergeser-andpergeser-angpergeser-an (kesadarpergeser-an) Orpergeser-ang Laut mengenai orientasi sosial, spasial, dpergeser-an

tem-poral dalam konteks pembangunan Masyarakat Terasing (Lenhart 1997, 2002).

Ketiganya menurut Lenhart merupakan aspek-aspek pembeda identitas kesukuan

mereka dengan Orang Melayu. Teori “situational definitions” dipakai Lenhart untuk membaca bahwa tekanan pemerintah mendorong Orang Laut berakulturasi (dan

berstrategi) ke dalam adat orang Melayu (Lenhart 1997, 2002). Serupa dengan

Lenhart, Kemkens (2009) secara fenomenologis melihat perubahan sosial pada

hubungan antara kesadaran identitas (simbol-simbol) Orang Bajo di Tinakin Laut,

Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah dengan realita lingkungannya yang berubah

seiring dengan program resettlement pemerintah. Kemkens menyimpulkan bahwa konstruksi identitas Orang Bajo berubah, karena faktor dorongan kuat dari

pemerin-tah untuk mengubah sistem kepercayaan dan teknologi produksi yang dipakai dalam

sistem ekonomi tradisional sehingga, “cash economies hasreplaced by subsistance fishing economies” (Kemkens 2009:56-65). Sedangkan paradigma fungsional muncul pada tulisan Lenhart (2004) yang mengangkat persoalan relasi sosial dalam konteks

seks dan gender dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial Orang Laut di Kepri

bahwa kesemua unsur tersebut merupakan satu kesatuan (sistem) yang terkait erat

satu dengan lainnya dan berperan menjaga keutuhan identitas kultural, terutama

organisasi sosial, mereka.

Perspektif ekonomi-politik merupakan paradigma yang paling banyak dikerjakan

(27)

dengan negara dan sistem ekonomi global. Asumsinya, OSL sebagai minoritas

dipandang tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi sehingga mereka

termarjinal-kan (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Granbom 2005; Wee dan Chou 1997).

Beberapa peneliti ini juga menempatkan persoalan suku bangsa ini ke dalam

konteks isu-isu politik ekologi dan globalisasi ekonomi. Mereka mengarahkan

telaah-nya pada isu tarik-menarik antara penguasa (negara dan pemilik kapital) dengan

Orang Laut mengenai siapa yang berhak mengatur teritori dan sumber daya alam.

Dalam konteks historis dan ekonomi-politik, mereka kurang lebih menyimpulkan

bahwa jika hak-hak Orang Laut atas teritori kultural dan cara-cara hidup (produksi

dan reproduksi) di lingkungan mereka tidak diakui dan dipaksakan sejalan dengan

pembangunan, maka cita-cita tergapainya kesejahteraan bagi komunitas ini tidak

akan tercapai (Andaya 1997; Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Mubyarto

1997; Wee dan Chou 1997).

Studi dalam perspektif perubahan sosial-budaya lainnya yang berangkat dari

asumsi dasar bahwa kebudayaan itu berubah karena dipengaruhi oleh berbagai

faktor eksternal, dapat kita jumpai pada beberapa karya (Bettarini 1991; Marsanto

2010a, 2010b; Sembiring 1993, 1995; Suyuti 2011; Trisnadi 2002). Dengan fokus

analisis dalam teori strategi adaptasi, Bettarini (1991) dan Suyuti (2011) menekankan

bahwa setiap individu dalam komuntias OSL memiliki kemampuan beradaptasi

melalui perangkat pengetahuannya untuk mengklasifikasi situasi sosial tertentu serta

memahami kebaruan lingkungan sosial yang dihadapinya. Perubahan pola hidup

Orang Laut terjadi setelah mereka bermukim: dari tinggal di sampan ke rumah-apung

di pesisir pantai serta perubahan pemaknaan atas nilai-nilai kulturalnya (cf. Haba

2002). Sementara itu, Trisnadi (2002) menekankan pada perubahan dalam proses

(28)

Dalam konteks pembangunan semasa Orde Baru, secara prosesual Trisnadi

menyinggung soal perubahan fungsi-fungsi (peran) anggota keluarga yang

diasumsi-kan sebagai kunci pola asuh anak-anak Suku Laut pasca-program ‘pemukiman

kembali’, terutama ketika mereka mulai mengenyam pendidikan formal. Hasilnya,

perubahan hanya terjadi pada tataran material saja, sebab orientasi Orang Laut

hidup sebagai nelayan dengan ekologi lautnya merupakan masa depan mereka (cf.

Lenhart 2002, 2004). Tulisan terakhir, Sembiring (1993, 1995) berpendapat bahwa

fase peradaban Orang Laut secara evolutif dinilai lamban apabila dibandingkan

dengan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, Orang Laut

perlu dibina pemerintah dengan intens melalui program-program tertentu agar dapat

‘mengimbangi kemajuan’ zaman.

Dalam beberapa studi Orang Laut di Indonesia dalam konteks perubahan sosial

dan pembangunan umumnya menyinggung berbagai implikasinya, termasuk isu-isu

kemiskinan dan kemakmuran. Semasa pemerintah Orde Baru (terutama pada Pelita

IV) memang sedang digalakkan program relokasi dan pemukiman (settlement dan resettlement process) kepada berbagai sukubangsa yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing. Berkenaan dengan hal ini, literatur yang saya jumpai—hampir

semuanya sudah saya uraikan di atas, umumnya dibingkai dalam kerangka berpikir

perubahan sosial dan strategi adaptasi (Bettarini 1991; Haba 2002; Kemkens 2009;

Lenhart 1997, 2002; Sembiring 1992, 1995), ekologi politik dan konstruksionisme

(fenomenologi) (Chou 1997, 2010; Kemkens 2009; Lenhart 1997, 2002), sosial

ekonomi (Mubyarto 1997), dan ekonomi-politik dan globalisme (Chou 1997, 2010;

(29)

Kendati berbagai literatur di atas menunjukkan fakta-fakta historis dan etnografis

mengenai realitas sehari-hari Orang Laut di Kepri dan kasus suku pengembara laut

di wilayah lain secara komprehensif dan dianalisis dengan beragam pendekatan,

studi-studi itu tetap menyisakan hal-hal yang perlu diperdalam dengan perspektif

yang agak lain sehingga muncul insights yang berbeda pula. Sampai kajian terbaru (misal Chou 2010), Orang Laut sebagai obyek sasaran pembangunan dalam tujuan

untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan masih diasumsikan (dan

di-deskripsikan) sebagai subyek pasif yang seolah-olah menerima program pemerintah

begitu saja tanpa ada, misalnya, penolakan-penolakan tertentu, baik secara simbolik

maupun terbuka (cf. studi politik pembangunan Scott 1998a, 1998b, 2009:9).

Dengan kata lain, kita dapat berprasangka bahwa sebagai komunitas yang di

tengah keterdesakan, keterbatasan, dan “kemiskinan”, Orang Laut atau komunitas

lain yang dikenai program pembangunan negara sesungguhnya melancarkan siasat

tertentu supaya kehidupan tetap berada di jalur logika kebudayaan mereka dan tentu

saja menguntungkan mereka (cf. Lenhart 1997, 2002). Kita dapat membandingkan

dengan riset Anthony Reid (2004a) mengenai alasan-alasan para penguasa di

Sula-wesi Selatan (Bugis dan Makassar) menerima Islam di abad ke-17 sebagai agama

mereka, yang salah satu motifnya adalah pertimbangan “ekonomi”, yaitu agar relasi

niaga mereka dengan Malaka terjaga dengan baik. Selain itu, dapat dipertimbangkan

pula riset etnohistoris David Henley (2004, lihat juga Henley dan Caldwell 2008)

bahwa konsep stranger-king di Sulawesi Tengah dan Utara, yang diadopsi dari studi Marshall Sahlins (1981) pada sistem politik masyarakat kepulauan Pasifik, masuk

akal, sebab mereka menghendaki keadilan dan keteraturan sosial-politik dengan

jalan menjadikan pihak asing (koloni Belanda) sebagai pemimpin yang mengatur

(30)

Indonesia pada umumnya, kita perlu bersikap kritis bahwa jangan-jangan anggapan

mengenai keberhasilan negara “memberadabkan” komunitas Suku Laut sebetulnya

merupakan situasi yang OSL ciptakan semata-mata demi keuntungan mereka (lihat

Lenhart 1997, 2002).

Melalui etnografi James Ferguson (2009) di Lesotho, kita dapat menyangka

bahwa fenomena kemiskinan Orang Bertam boleh jadi disebabkan oleh governmen-tality atau ‘kepengaturan’ negara yang dikendalikan oleh lembaga donor tertentu. Dalam agenda pembangunan kita melihat bahwa ada tarik-menarik gagasan dan

nilai-nilai tentang modern – tradisional, maju – terbelakang, miskin – makmur, hidup

layak – tidak layak, menetap – mengembara, lingkungan darat – laut, dan seterusnya

yang secara dialektis mengubah aspek-aspek sosial dan kebudayaan komunitas ini.

Dengan demikian, saya perlu melihat mengapa dan bagaimana negara menerapkan

rancangan-rancangan pembangunannya terhadap Orang Laut, sekaligus cara-cara

OSL merespon pembangunan yang muncul dalam keseharian mereka.

D.

KERANGKA TEORI

Dalam tulisan ini sejumlah persoalan dan segelintir fakta yang saya sodorkan di

atas menunjukkan setidaknya terdapat tiga hal yang berhubungan. Pertama, state governmentality mewujud dalam pembangunan nasional atau yang dalam istilah lain dapat dimaknai sebagai upaya modernisasi ekonomi. Kedua, dalam pembangunan pemerintah mencetuskan dan menjalankan berbagai program secara top-down agar tujuan-tujuan pembangunan segera tercapai. Dalam tujuan demikian, satu program

yang saya diskusikan ialah pemukiman bagi “komunitas tribal”, yang menyasar pada

(31)

ini hampir pasti memunculkan reaksi tertentu ketika terjadi peralihan-peralihan dalam

kehidupan sosial, ekonomi, dan budayanya. Ketiga, reaksi-reaksi yang saya maksud minimal mencakup dua macam, yaitu penerimaan (acceptance) dan/atau penolakan (resistance) terhadap state governmentality, baik secara implisit maupun eksplisit. Dalam kasus tertentu, penerimaan dan penolakan memungkinkan muncul di tingkat

lokal setelah melalui proses negosiasi, akan tetapi mungkin juga tanpa melewati fase

negosiasi (lihat Skema 1.1.).

Sk e m a 1 .1 . Re la si N e ga ra da n Ora ng Suk u La ut da la m Pe m ba nguna n

Skema 1.1. di atas merupakan upaya atau praktik negara mengelola berbagai

bidang kehidupan warganya. Hal ini dikonsepsikan Michel Foucault (1991) sebagai

(32)

individu-individu atau masyarakat sesuai dengan kehendak penguasa (baca: negara). ‘The conduct of conduct’ atau ‘pengarahan perilaku’ (Li 2012:9) yang dapat mengerti pula sebagai suatu, “… calculated and systematic ways of thinking and acting that aim to shape, regulate, or manage the comportment of others” (Inda 2005:1). Serupa dengan Jonathan Inda, Gordon mendefinisikannya sebagai, “a form of activity aiming to shape, guide, regulate or affect the conduct of some person or persons” (Gordon 1991:1). Melalui beberapa penggalan definisi itu, dengan demikian, negara tampak

menginginkan segenap subyek yang dikuasainya (yakni rakyatnya) bertindak sesuai

dengan perangkat-perangkat kepengaturan tertentu yang mengikat, karena

dirumus-kan dan ditetapdirumus-kan negara, misal melalui undang-undang sebagai produk hukum

yang sah (Foucault 1991; lihat juga Scott 2005).

Foucault menerangkan bahwa manusia-manusia yang hidup di dalam teritori

negara akan menjadi target kekuasaannya. Meski demikian, ada hal yang lebih

pen-ting dari sekedar menguasai manusia-manusia tersebut, yaitu mengenai relasi-relasi

mereka dengan sesuatu (Foucault 1991:93). Premis ini membawa kita untuk tidak hanya mendiskusikan siapa menguasai siapa, melainkan mengenai siapa menguasai

siapa dalam hubungannya dengan sesuatu. Mengenai relasi manusia dengan sesua-tu dan dalam motivasi seperti apa negara perlu mengelola hal-hal isesua-tu, Foucault

men-jelaskan,

(33)

Mengelaborasi gagasan Foucault tersebut, David Scott (2005:24) menerangkan

bahwa untuk mengendalikan para manusia (men) dan segala sesuatu (things) yang ada di sekitarnya, pihak penguasa perlu membuat ‘perangkat penguasaan’ tertentu

yang mampu bekerja secara efektif dari dalam maupun dari luar pihak yang dikuasai. Dalam beberapa kasus rezim kolonial yang dia contohkan, ‘perangkat penguasaan’

ini disebut sebagai “thepolitical rationalities of colonial power …” yang “organized as an activity designed to produce effects of rule” (Scott 2005:25). Sejalan dengan Scott, Inda juga menerangkan bahwa salah satu sasaran utama governmentality, “ is this complex of men and things. Indeed, it is this complex that is the fundamental target of government. … that men and things be administered in a correct and efficient way” (Inda 2005:4).

Relasi para manusia dengan ‘things’ di situ dapat dimaknai sebagai aspek-aspek simbolis dan non-simbolis: perilaku, hal-hal material, dan nilai-nilai dan gagasan dalam keseharian manusia, seperti relasi manusia dengan lingkungan fisik (alam),

manusia dengan kesehatan, manusia dengan sumber-sumber ekonomi, manusia

dengan pranata-pranata sosial yang mengatur perilakunya, manusia dengan

organi-sasi sosialnya, dan sebagainya. Dalam argumen Foucault (1991),

hubungan-hu-bungan semacam ini harus dikelola (“being governed”) oleh negara. Mengenai hal ini James Ferguson dan Akhil Gupta (2005:114) menerjemahkan lebih jauh ide dasar

(34)

Oleh sebab itulah negara perlu mengontrol segenap urusan gagasan, nilai-nilai,

perilaku, dan kekayaan (material) dari individu atau kelompok melalui suatu sistem

kepengawasan dan kepengelolaan tertentu demi ‘kebaikan’ hidup mereka (cf. Scott

1998a, 1998b). ‘Kebaikan’ di sini, tentu saja dalam sudut pandang negara, dihasilkan

melalui instrumen tertentu yang dirancang utamanya untuk bidang ekonomi, yaitu

peningkatan kemakmuran, perbaikan keadaan (taraf) hidup, perbaikan kesehatan, dan sebagainya (Foucault 1991:100; lihat juga Chou dan Wee 2002). Dengan

demi-kian, sebagai kerangka teori, ‘governmentality’ menyediakan salah satu sudut pan-dang untuk menerangkan sekaligus memahami bagaimana model kekuasaan

diran-cang, dijalankan, dan dalam hubungan seperti apa antara negara dan masyarakat

tercipta.

Masalahnya kemudian, apakah secara antropologis konsep ‘governmentality’ ini operasional dalam penelitian etnografi dan adakah konsep ini memadai untuk

meng-analisis fenomena Orang Laut? Menurut Tania Li konsep ini tetap relevan dalam riset

etnografi untuk menerangkan konstelasi dan operasionalisasi kekuasaan—yaitu ide

mengenai intervensi pemerintah yang diterjemahkan melalui program-program

ter-tentu—yang bekerja di tingkat elite, dan berimplikasi secara luas pada banyak kasus

kekinian di tingkat lokal. Secara metodologi, Foucault tidak menjelaskan secara rinci,

dan sebab itu teori ini memiliki beberapa keterbatasan dalam riset etnografi terutama

ketika kita hendak menerangkan efek-efeknya (Li 2007:276–278). Untuk mengatasi

hal ini, saya mencoba berangkat dari sejumlah batasan governmentality di atas mengenai relasi para manusia dan things yang relevan dengan kasus tulisan ini.

(35)

di mana hampir semuanya berkesimpulan bahwa negara dengan subtil menerapkan

pembangunan tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyatnya (Chou 1997, 2010;

Chou dan Wee 2002; Dove 1985; Mubyarto 1997; Ong 2005; Wee dan Chou 1997).

Kalau kita berangkat dari definisi Foucault di atas, hubungan governmentality dengan studi saya dalam konteks program pemukiman di tahun 1980an adalah: (1) “… Men in their relations, their links, their imbrication with those things that are wealth, re-sources, means of subsistence, the territory with its specific qualities …”, definisi ini untuk melihat di antaranya sejauh mana negara mengatur aspek-aspek ekonomi

(kesejahteraan) Orang Laut dalam kaitannya dengan “area kulturalnya” (Chou 1997;

Lenhart 2002), yaitu sumber daya alam dan teritori maritim; (2) “… men in their relation to those other things that are customs, habits, ways of acting and thinking ”, negara melalui program pemukiman juga secara langsung mengatur bidang organisasi sosial, seks dan perkawinan, perilaku, dan kebiasaan Orang Laut yang

tadinya berpola hidup di sampan kemudian beralih ke pola hidup orang darat; dan (3)

… men in their relation to those still other things that might be accidents and misfor-tunes such as famine, epidemics, death, …”, bahwa eksistensi kehidupan Orang Suku Laut di sampan dipandang negara jauh dari standar ketercukupan pangan dan

kelayakan kesehatan, dan oleh karenanya, sebagai contoh, kelahiran perlu dikontrol.

Dalam perkara state governmentality di atas, perhatian umumnya tertuju pada hal-hal “dari atas” sehingga persoalan di bawah semacam negosiasi kerap

dilupa-kan. Negosiasi mengandaikan sebuah proses interaksi antara negara sebagai aktor

pembangunan dengan OSL sebagai subyek sasaran pembangunan. Negosiasi perlu

diperhatikan, lantaran transformasi sosial dan kebudayaan yang diimpikan oleh

pem-bangunan hampir pasti tidak selalu mewujud sama persis dengan yang

(36)

sosial-budayanya sendiri di mana perubahan konfigurasi sosial-budaya merupakan

hasil dari berbagai kreasi dan pemaknaan-pemaknaan oleh komunitas maupun

indi-vidu tertentu (Demmer 2008:258-259).

Transformasi sosial dan kultural sebagai konsekuensi dari intervensi negara,

seperti mendaratkan Orang Laut di lokasi yang pemerintah tentukan, oleh James

Scott disebut sebagai ‘kolonialisme domestik’ yang saya terjemahkan dari ‘internal colonialism’ (Scott 2009:12-13). Studi Scott menyebut bahwa ‘kolonialisme domestik’ ini ternyata merupakan gejala umum di Asia Tenggara pada akhir abad ke-20,

“… ‘enclosure’ has meant not so much shifting people from stateless zones to areas of state control but rather colonizing the periphery itself and transforming it into a fully governed … Its immanent logic is the complete elimination of nonstate spaces.

(Scott 2009:10)

Gagasan Scott ini sejalan dengan argumen Wee dan Chou (1997) dan Chou (1997,

2010) terhadap pengalaman Orang Laut di Kepri. Dalam perspektif ekonomi, Hansen

menyatakan mengapa dalam proses menjadi modern negara selalu mendiskreditkan

kaum yang lemah dan berada di area periferi, “modernization theory reduced the role of the “Other” to either structural economic problem or one of deviancy … (Hansen 1996:1003; lihat juga Mubyarto 1997). Dalam hal ini, modernisasi di dalam bingkai

pembangunan dapat didefinisikan secara beragam, dan tanpa bermaksud

menyeder-hanakan paling tidak batasan modernisasi di sini dapat dimengerti sebagai,

“… segala bentuk upaya (oleh pihak tertentu) … untuk mengubah atau mengganti pola-pola perilaku dan pemikiran … sebelumnya menjadi pola-pola perilaku baru yang (dianggap oleh pihak tertentu pula) lebih sesuai dengan keadaan lingkungan sosial, budaya, dan teknologi yang ada di masa sekarang” (Ahimsa-Putra 2003:390, dalam kurung penambahan dari saya).

Lebih lanjut, state governmentality mewujud melalui aparatus-aparatus negara atau bisa juga melalui agen yang lain (e.g. Appadurai 2002) yang dikerjakan sebagai

(37)

kesadaran dirinya sendiri (Scott 2005). Dalam konteks Kepri, Orang Laut sebagai

penduduk lokal dan subyek sasaran program pengentasan kemiskinan dan

keter-belakangan dalam pengembangan kawasan ekonomi global dan pembangunan

nasi-onal (Chou 1997, 2010:101-119) hampir mustahil bernegosiasi dengan negara, dan

akibatnya mereka teralienasi (Chou 1997, 2010:40-41; Mubyarto 1997). Secara

struktural, praktik semacam ini mengalienasi OSL pada ranah ekonomi-politik dan

sosial budaya sebagaimana saya jelaskan di atas: dipangkasnya peluang-peluang

akses sumber daya alam, keberadaan struktur politik tradisional, kapasitas

meng-artikulasikan identitas budayanya, dan ditambah dengan perebutan kepentingan atas

teritori tertentu (Chou 1997, 2010).

Hansen (1996:998) mengatakan bahwa, “poverty is a structural condition that the poor do not create and for which they are not to blame.” Kemiskinan yang hadir dalam situasi demikian biasanya membawa dampak pada munculnya

ketergantung-an si miskin terhadap pihak lain, seperti ketergketergantung-antungketergantung-an pada program-program bketergantung-an-

ban-tuan pemerintah. Di samping itu, jika si miskin merupakan komunitas adat tertentu

(“nonstate people” dalam pandangan Scott), mereka umumnya mengalami berbagai ketersingkiran pada banyak aspek kehidupan dalam konteks hubungannya dengan

negara (Scott 1998a, 2009; Tsing 1998). Konkretnya, state governmentality berope-rasi dalam banyak bidang kehidupan, seperti kesehatan (melalui Posyandu),

pendidikan (sekolah, TPQ), kependudukan (pencatatan status kewarganegaraan,

agama, perkawinan, kelahiran dan kematian), keagamaan (lembaga keagamaan),

dan sebagainya (Chou 2010) yang pada gilirannya dapat menciptakan kondisi

(38)

Uraian teoretis di atas membawa pada persoalan lantas bagaimana OSL

meng-artikulasikan pilihan-pilihan hidupnya dalam belenggu rezim pembangunan semacam

itu. Dapat kita bayangkan bahwa pembangunan sebetulnya diartikulasikan oleh dua

pihak (Dove 2006:193; Li 2000). Di satu sisi, negara mengartikulasikan kekuasaan-nya melalui mekanisme penerapan program-program pembangunan kepada yang

dikuasai. Sementara di pihak lain, masyarakat sebagai subyek sasaran pun mengar-tikulasikan bentuk-bentuk kepengaturan negara tersebut sesuai dengan hal-hal yang

ada dalam diri mereka menurut kapasitas logika dan pengalaman historisnya

(wa-wancara Hall via Grossberg 1996:141-142). Artinya bahwa Orang Laut menyikapinya

dengan jalan tidak hanya memaknai (pada tataran kognitif), namun sekaligus

bereak-si terhadap bereak-situabereak-si ini (pada tataran tindakan). Pendapat Michael Dove (2006:195)

menjadi relevan di sini, sebab kita kemudian perlu melihat the emic meaning(s) of the articulation of … something’, yang dalam konteks ini adalah reaksi mereka terhadap state governmentality pada aras lokal. Hal ini berguna untuk mengungkap tidak hanya pemaknaan dan reaksi komunitas OSL terhadap modernisasi dan

konse-kuensi-konsekuensi yang muncul karenanya, melainkan juga alasan-alasan yang

mendasari reaksi tersebut. Reaksi-reaksi yang dimaksud setidaknya berupa:

peneri-maan atau penolakan, atau bisa keduanya (menerima tetapi sekaligus menentang)

(lihat Skema 1.1. di atas). Misalnya, sangat mungkin pada bidang kehidupan A

mereka menolak, namun pada bidang kehidupan C mereka menerima.

Terkait persoalan bagaimana suatu komunitas mengartikulasikan reaksinya

ter-hadap kekuasaan (power), kondisi ketidaksetaraan (inequality), dan transformasi sosial (social change), Jocelyn Hollander dan Rachel Einwohner (2004) menyebut kita perlu memerhatikan aspek-aspek tertentu dalam reaksi tersebut, terutama ketika

(39)

ketim-bang perkara penerimaan. Kendati di sosiologi, antropologi, dan ilmu politik ada ber-bagai pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan “resistensi”, banyak ahli yang

tidak secara eksplisit menerangkan dengan jelas batasan-batasan resistensi: apakah

mengenai motivasi, cara, alat atau media, arah dan sasaran, target, skala, bentuk,

atau hal lain (Hollander & Einwohner 2004).

Dari sejumlah dimensi, definisi, dan tipologi yang diulas oleh Hollander dan

Ein-wohner dalam esainya Conceptualizing Resistance, terdapat unsur-unsur inti yang hampir selalu muncul pada resistensi, yaitu tindakan (a sense of action) dan sikap oposisi (a sense of opposition) (Hollander & Einwohner 2004:538). Untuk kasus resistensi pada komuntas OSL di Pulau Bertam, pemahaman mengenai “the every-day resistance” dari James Scott (1985) agaknya paling sesuai, sebab “theeveryday resistance” mengandaikan bahwa ide-ide, sikap-sikap, dan berbagai tindakan mela-wan, menolak, dan semacamnya seringkali tidak disadari oleh pelakunya—walaupun

tidak bisa dikatakan sebagai sebuah ketidaksengajaan—bahwa apa yang mereka

lakukan itu merupakan tindakan resistensi (cf. Winarno 2007:12).

Dalam the everyday resistance ini bisa disadari oleh sebagian aktornya, namun yang menarik the everyday resistance lebih kerap tidak dipandang sebagai tindakan resisten oleh pihak (target) yang ditentang, dibelot, atau dilawan. Dengan kata lain,

kesemua itu justru ditangkap dan dimaknai sebagai gejala resisten oleh peneliti

(40)

& Einwohner 2004:543). Dengan demikian, sikap resistensi sangat mungkin muncul

tanpa disadari oleh pelakunya.

Dari uraian di atas, dengan demikian, saya dapati perspektif untuk menerangkan

relasi negara dan kehidupan Orang Laut dalam pembangunan. Oleh sebab itu, studi

ini akan mengarahkan perhatian pada konsekuensi-konsekuensi dalam keseharian

OSL, karena governmentality negara secara tidak sadar dijalankan, dinegosiasikan, dan dipertentangkan dalam perilaku dan wacana keseharian mereka (Auyero dan

Joseph 2007:7). Dua pendekatan itu saya pandang mampu menyentuh dimensi

ekonomi-politik sekaligus sosial dan kultural terkait dengan relasi kekuasaan di

tingkat lokal. ‘Kultural’ di sini berarti relasi-relasi, perilaku-perilaku, sikap-sikap, dan

pemaknaan yang muncul atas suatu “peristiwa politik” tertentu: seperti motif-motif,

makna-makna tersembunyi (implicit meanings) dari tindakan atas kondisi tertentu, hasrat seseorang atau kelompok (its passions), berbagai tindakan yang dikatakan sebagai pengorbanan (its sacrifices), dan sebagainya (Auyero dan Joseph 2007:2).

E.

METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini saya kerjakan di kampung Orang Suku Laut di Pulau Bertam, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dalam sekitar tiga

bulan, yaitu antara bulan Mei – Juli. Kendati awalnya mengalami beberapa kendala,

saya menemukan pulau ini dengan mengacu pada peta persebaran OSL yang dibuat

peneliti sebelumnya (Chou 2010:12, 26, lihat Bab II, Peta 2.1.). Selain itu, saya juga

memperoleh informasi dari beberapa kawan di Kota Batam yang mengarahkan saya

ke Pulau Bertam. Pemilihan lokasi ini bukan hanya karena pertimbangan letaknya

yang relatif dekat dengan Kota Batam, melainkan saya menganggap situs riset ini

(41)

merupakan salah satu pulau tempat komunitas OSL bermukim tersebab program

pemukiman semasa Orde Baru (Bettarini 1991; Lenhart 1997, 2002). (2) Orang Laut

di Bertam sejak dimukimkan sampai hari ini masih menjadi tanggung jawab salah

satu yayasan pemerintah Otorita Batam pada masa Orde Baru. (3) Dari pengamatan

awal saya, bahwa terdapat beberapa bangunan hasil proyek pembinaan masyarakat

terasing yang masih dipakai, yaitu sekolah dasar, lapangan bola volley yang dulunya

dibuat memfasilitasi aktivitas olah raga bagi OSL, masjid, sumur, serta beberapa

bangunan yang rusak dan tidak lagi digunakan, yaitu rumah bekas Puskesmas,

rumah singgah guru SD dan tenaga kesehatan, balai pertemuan, dan monumen

sampan.

Teknik Penelitian. Dengan memusatkan perhatian pada program pemerintah,

konsekuensi, dan seperti apa OSL merespon hal itu, data dalam penelitian ini saya himpun melalui tiga tahap riset: penelitian pustaka, pengamatan-terlibat (participant observation), dan wawancara mendalam. (1) Penelitian pustaka dikerjakan untuk, pertama, mempelajari sekaligus mencari celah penelitian-penelitian mengenai Orang Laut dalam buku maupun artikel di jurnal ilmiah sehingga saya bisa menempatkan

etnografi saya atas berbagai studi sebelumnya. Kedua, penelitian pustaka memung-kinkan saya mendapatkan informasi etnografis dan historis mengenai kebudayaan

OSL. Selain buku dan artikel, saya juga berupaya mendapatkan berbagai dokumen

dan arsip berkenaan dengan program pemukiman masyarakat terasing dan

inter-vensi pemerintah dan yayasan tertentu sebagai mitra pemerintah terkait dengan

pembinaan OSL di Batam. Untuk keperluan ini, maka penelitian atas arsip-arsip saya

kerjakan di dua kota: Batam dan Tanjung Pinang. Di Batam, saya mengunjungi

Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda (YPAB, sekantor dengan Forum Konsultasi &

(42)

BP (Badan Pengusahaan [Otorita Batam]) Batam. Sedangkan di Tanjung Pinang,

saya dapati dokumen intervensi pemerintah terbaru maupun awal tahun 1980an di

kantor Dinas Sosial Provinsi Kepri dan Perpustakaan Provinsi Kepri. Saya juga

menelusuri artikel dan berita di surat kabar, terutama di harian Kompas melalui Pusat Informasi Kompas (PIK) (arsip akhir tahun 1970an sampai 1990an). Dari riset arsip

Kompas, saya memperoleh berita tentang kebijakan negara dalam kaitannya dengan proses bermukimnya OSL beserta beberapa opini mengenai hal itu.

Selanjutnya, (2) saya melakukan pengamatan-terlibat untuk memperoleh data

kualitatif. Di sini, saya memerhatikan bangunan, kampung, dan aktivitas Orang

Bertam di lokasi penelitian sebagai awal memahami implikasi praktik governmentality negara. Saya mencatat informasi dari pengamatan-terlibat ini berkenaan dengan

rumah bantuan pemerintah, pola kampung, sekolah, masjid, dan sumur atau sumber

air minum sekaligus aktivitas keseharian (pekerjaan dan interaksi sosial) dan

reaksi-reaksi mereka atas peristiwa-peristiwa penting: seperti distribusi bantuan pemerintah

dan pihak lainnya. Selain itu, saya memperoleh data seperti bagaimana teknik-teknik

mereka dalam kerja laut dan kerja darat dan mengapa mereka mengerjakan dua tipe

pekerjaan berbeda, siapa saja orang berpengaruh dalam pengambilan keputusan

tertentu dan memungkinkan ‘mengatur’ Orang Bertam, dan kelompok sosial dengan

tingkat kekayaan tertentu dan kekuasaan atas akses produksi.

Selain pencatatan (field notes) dari pengamatan-terlibat sebagai elemen penting dalam penulisan etnografi, saya mendokumentasikan “visualitas” lingkungan

kam-pung Suku Laut di Pulau Bertam. Dokumentasi visual melalui foto dan video seperti

ini dapat membantu mengingat detail ruang-ruang sosial dan kultural tertentu di

(43)

peristiwa dan suasana beberapa aktivitas sehari-hari mereka yang saya ikuti agar

membantu saya dalam proses menulis etnografi. Saya juga merekam jarak tempuh

ketika saya mengikuti mereka berlayar mencari ikan bilis dengan bantuan teknologi

GPS yang terkoneksi internet dalam telepon seluler saya. Dengan bantuan teknologi

ini saya dapat merekam jejak lokasi (titik-titik penting dalam pencarian ikan) dan total

jarak mereka berlayar dalam satu malam.

Tidak hanya melakukan pengamatan-terlibat, saya juga melakukan (3)

wawan-cara mendalam kepada beberapa individu untuk mengungkap berbagai pandangan

dan reaksi-reaksi mereka atas praktik kepengaturan negara. Umumnya, wawancara

mendalam kepada individu tertentu dan dilakukan dalam situasi tidak formal. Selain

wawancara mendalam, saya melakukan wawancara sambil-lalu. Walaupun dalam

wawancara seperti ini, bukan berarti topik wawancara keluar dari koridor penelitian

yang saya rancang. Dalam kedua teknik wawancara tersebut, saya menyimak dan

mencatat apa yang mereka bicarakan dan persoalkan di dalam kesehariannya,

berkaitan dengan isu proses pemukiman di masa lalu, bantuan pemerintah hari ini,

pekerjaan, perkawinan, dan kehidupan sehari-hari mereka secara umum.

Metode Analisis. Mengenai metode analisis dalam penulisan, segala informasi

yang didapat selama penelitian saya klasifikasi ke dalam tema-tema tertentu yang

relevan dengan persoalan penelitian. Data yang akan saya analisa merupakan data

kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif menurut Ahimsa-Putra (2009:18) berupa

pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, dan keadaan dari sesuatu atau

gejala, atau bisa juga pernyataan-pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara

sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini dapat berupa benda-benda fisik,

(44)

peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat. Atas dasar itulah dalam

penelitian ini saya menaruh perhatian pada berbagai data kualitatif hasil wawancara

dan pengamatan-terlibat yang memuat: pernyataan tentang nilai-nilai, ceritera atas

pengalaman masa lalu, pola perilaku, pola interaksi di antara Orang Bertam dan

Orang Bertam dengan orang di luar komunitasnya, keterangan tentang organisasi

sosial, dan pandangan mengenai lingkungan fisik (Ibid.).

Lebih lanjut, data kuantitatif juga saya perlukan. Data kuantitatif merupakan jenis

data berupa pernyataan, angka, atau huruf yang dapat menunjukkan ukuran-ukuran

tertentu atau besaran dari suatu gejala (Ahimsa-Putra 2008:17). Data semacam ini

seperti keterangan mengenai jumlah penduduk, jumlah pendapatan, jumlah rumah,

luas rumah, panjang pelabuhan, biaya yang diperlukan dalam kerja ikan bilis, harga

sampan, kedalaman laut, jumlah penerima beras miskin, dan sebagainya. Data ini

saya peroleh dari berbagai sumber dan teknik. Pertama, dari riset pustaka dalam sejumlah etnografi mengenai Orang Laut dan dokumen dan arsip di perpustakaan

FKKS dan pemerintah. Kedua, saya melakukan survei skala kecil mengenai tingkat kesejahteraan Orang Bertam dan pencatatan di lokasi penelitian.

Pasca-penelitian di Bertam, kedua jenis data tersebut lantas saya analisis

dengan jalan mendeskripsikan relasi Orang Bertam dan sesuatu dalam kerangka berpikir “governmentality” (Foucault 1991). Sesuatu ini dapat berupa pandangan-pandangan, reaksi, dan pola-pola perilaku faktual Orang Bertam yang mengemuka

dalam hubungan-hubungan yang tercipta antara mereka dengan negara, lingkungan

alam dan fisiknya, kondisi ekonomi dan mata pencahariannya, dan organisasi

sosial-nya, yang dianggap sebagai implikasi dari praktik kekuasaan negara dalam rangka

Gambar

Tabel 2.1. Kategori Masyarakat Terasing dan Ciri-cirinya Menurut Pemerintah
Tabel 2.2. Langkah-langkah Teknis Pemukiman dan Pembinaan                                               Orang Laut di Bertam oleh Pemerintah
Gambar 2.1. Sampan Beratap Kajang Orang Suku Laut di Kepulauan Riau (Foto Reproduksi Koleksi FKKS – NEBA 1988)
Gambar 2.2. Layar di Sampan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau (Foto Reproduksi Koleksi
+7

Referensi

Dokumen terkait

ACEH | TRIWULAN 1-2012 53 Pada posisi Februari 2012, sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar

Gambar 12 menunjukkan bahwa daging keong matah merah segar mengandung kadar protein tertinggi bila dibandingkan dengan daging keong matah merah kukus, rebus dan rebus garam

Dalam menggunakan preparat flu kombinasi perlu memilih produk yang tepat dan rasional sesuai dengan gejala spesifik, karena kemungkinan tidak semua zat aktif

merupakan halaman yang hanya dapat diakses oleh admin, dimana pada halaman ini admin dapat melihat daftar hasil diagnosa yang telah dilakukan oleh klien atau user

Banyak skema yang dapat kita miliki tentang objek-objek tertentu, misalnya tempat (sekolah, rumah, pasar, bioskop), berbagai kegiatan (sepak bola, pertunjukan

Hasil wawancara dan angket kebutuhan guru-guru dan peserta didik SMPN 2 Blora dan SMPN 1 Kunduran menunjukkan bahwa pembelajaran di kelas masih konvensional, belum ada

Lebih dari itu buku teks menantang, merangsang, dan menunjang kreatifitas siswa (Tarigan 2009: 18). Pencapaian target materi pembelajaran yang digariskan kurikulum sangat

Agar lebih mudah melihat cakupan jaringan penguat sinyal maka lingkaran cakupan setiap titik yang terdapat pada Contoh 1 dan Contoh 2 akan dikonversi ke dalam