• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Nasional: Asumsi, Kebijakan, dan Agen

BAB II – POLITIK PEMBANGUNAN NASIONAL DAN SEJARAH PEMUKIMAN

A. Pembangunan Nasional dan PKMT

A.1. Pembangunan Nasional: Asumsi, Kebijakan, dan Agen

Salah satu klaim penting negara sebagai rasional pembangunan nasional dalam tujuan mencetak manusia Indonesia baru ialah bahwa,

“Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan, dan pedoman Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional dilaksana-kan merata di seluruh tanah air dan tidak hanya untuk suatu golongan atau seba-gian dari masyarakat, tetapi untuk seluruh masyarakat bangsa Indonesia termasuk di dalamnya masyarakat terasing berhak menikmati hasil pembangunan dan turut serta dalam kegiatan pembangunan.” (DBMT 1994/1995:1, cetak miring penekan-an saya).

Kalimat terakhir dalam kutipan tersebut menarik ditelaah lebih lanjut. Siapa “masya-rakat terasing” yang dimaksud di situ? Dalam kondisi seperti apa mereka disebut “masyarakat terasing” dan kemudian bisa dikatakan “menikmati hasil pembangunan sebagai hak warga negara”? Benarkah dan sejauh mana mereka berhak “turut serta dalam kegiatan pembangunan”? Sebelum masuk ke pembahasan itu, di bawah perlu dibahas tentang asumsi-asumsi dalam pembangunan nasional yang melahirkan ke-bijakan tertentu yang menyasar pada “masyarakat terasing”.

Dalam dokumen resmi pemerintah, kita dapat melihat bagaimana negara secara eksplisit berasumsi bahwa kelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai masya-rakat terasing (selanjutnya disebut MT) adalah masyamasya-rakat ‘lapisan bawah’ dan ‘tidak berdaya’ di antara seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, yang “dalam strata per-kembangan kemasyarakatan menyandang berbagai masalah sosial” (DBMT 1994/ 1995:2). Anggapan negara mengenai stratifikasi sosial semacam ini didasarkan pada argumen bahwa,

“ … (MT) menghadapi berbagai ketertinggalan dalam pencapaian pemenuhan ke-butuhan dasar hidup manusia. Ketertinggalan tersebut terjadi akibat keberadaan mereka secara geografis umumnya sangat sulit dijangkau dan faktor sosial budaya lainnya sehingga sulit mengadakan interaksi sosial antara mereka dengan kelompok masyarakat luar yang sudah lebih maju.” (DBMT 1994/1995:2)

Departemen Sosial melanjutkan, “agar masyarakat terasing dapat berperan serta dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya, mereka memerlukan pembinaan

dalam bentuk dorongan dan dukungan agar dapat berkembang serasi dengan masyarakat Indonesia lainnya yang sudah makin meningkat taraf kesejahteraan sosialnya” (DBMT 1994/1995:1). Dari pemahaman demikian, MT kemudian secara ringkas dapat dimengerti sebagai sekumpulan individu bagian dari warga negara yang hidup di wilayah Indonesia dengan status sosial terendah dibandingkan dengan warga lain dan dipandang memiliki sejumlah masalah yang hanya dapat diatasi oleh intervensi negara.

Oleh karena negara mengasumsikan bahwa MT di seluruh Indonesia memiliki sejumlah masalah, negara lantas memilah kelompok masalah ini ke dalam dua kelompok, yaitu (1) masalah yang melekat pada diri MT dan (2) masalah pada hal-hal yang mereka hadapi. Tentang kelompok masalah pertama, negara memandang persoalan-persoalan seperti kesenjangan sistem sosial-budaya dalam relasinya dengan masyarakat lain; ketertinggalan dalam sistem sosial, sistem teknologi, dan sistem ideologi; dan keterbelakangan dalam berbagai segi kehidupan dan peng-hidupan. Sedangkan pada kelompok masalah yang kedua, negara mengidentifikasi permasalahan-permasalahan, seperti pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia yang rendah (sandang, pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan agama, peker-jaan, dan partisipasi politik); belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem kema-syarakatan pada umumnya (administrasi pedesaan); minim pelayanan pembangu-nan sehingga kebijaksanaan pemerataan pembangupembangu-nan belum menjangkau mereka; dan sumber daya manusia MT belum didayagunakan dalam pembangunan. Kedua kelompok persoalan inilah yang menurut negara dapat mengurangi citra keberhasil-an pembkeberhasil-angunkeberhasil-an nasional (DBMT 1994/1995:4-5) sehingga negara perlu turun tkeberhasil-ang- tang-an untuk menyelesaiktang-annya.

Kedua kelompok masalah di atas diupayakan oleh pemerintah agar terselesaikan secara tuntas melalui sejumlah departemen. Kendati demikian, pemerintah mengakui

keterbatasannya secara teknis sehingga muncul sejumlah permasalahan lain mana-kala program-program yang dirancang mulai dilaksanakan. Sejumlah permasalahan yang saya maksud misalnya, kondisi geografis tempat MT tinggali sulit dijangkau, keterikatan MT pada sistem nilai sosial-budaya primordial yang masih sangat kuat; belum adanya diversifikasi teknik dan model-model penanganan yang sesuai dengan situasi dan kondisi sasaran garapan; kualitas petugas lapangan kurang mumpuni; masih terbatasnya pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-nilai sosial-budaya MT sebagai obyek sasaran pembinaan. Selain itu, bahwa belum terancang dengan baik sistem pelaksanaan terpadu dalam penanganan masalah MT, baik dengan instansi terkait maupun masyarakat; serta keterbatasan dana yang membuat ketim-pangan antara bobot permasalahan yang dihadapi dengan misi yang diemban pemerintah (DBMT 1994/1995).

Berdasar sejumlah asumsi pembangunan nasional di atas mengenai kondisi MT berikut sejumlah persoalan yang melingkupinya serta ambisi negara untuk mengatasi persoalan MT agar cita-cita pembangunan nasional tercapai, pemerintah kemudian melahirkan Kebijakan Pemukiman. Kebijakan Pemukiman yang ditujukan kepada MT di seluruh Indonesia ini lahir dalam periode PJPT I (DBMT 1987:11) atau di antara tahun 1969 – 1994, yang dilanjutkan dengan kebijakan serupa bernama Kebijakan Sistem Pemukiman Sosial (SPS) pada PJPT II atau dimulai sejak Pelita VI pada 1995 (DBMT 1994/1995:1). Kedua kebijakan inilah yang melahirkan program Pem-binaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) atau PemPem-binaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing (PKSMT), yang diterjemahkan dalam berbagai kegiatan atau aktivitas program (lihat DBMT 1987, 1988, 1993, 1994/1995).

Hubungan kebijakan dan program tersebut ibarat dua sisi mata uang, bahwa keduanya harus selaras dengan pemikiran yang tertera dalam Garis-garis Besar Halauan Negara (GBHN). Anjuran GBHN menyebutkan bahwa, “… usaha-usaha

untuk mencapai keadilan sosial diupayakan dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, terutama bagi masyarakat yang kurang beruntung karena hidupnya masih terasing dan terbelakang …” (DBMT 1987a:11-12). Oleh karenanya, Kebijakan Pemukiman dengan program PKMT untuk mengatasi permasalahan MT dianggap selaras dengan tujuan dalam kepengelolaan pemerintah untuk peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat. Hal ini juga tidak terlepas dari konteks Hakikat Pembangunan Nasional itu sendiri, yaitu pembangunan

manusia Indonesia seutuhnya. Keeratan kebijakan dan program bagi pemerintah

harus menjadi bagian pokok dari tujuan pembangunan nasional yang lebih spesifik tentang bagaimana mengatur seluruh aspek kehidupan manusia Indonesia. Dalam tujuan semacam ini, maka peningkatan kesejahteraan sosial pada MT menurut Departemen Sosial berkaitan dengan proses perubahan sistem nilai lama menuju nilai baru yang lebih sesuai dengan kemajuan zaman, sekaligus merupakan per-wujudan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia (DBMT 1987a:11-12).

Secara lebih khusus, tujuan pemerintah dalam program PKMT untuk menangani sejumlah masalah MT di Indonesia yang tercantum dalam sejumlah dokumen resmi Departemen Sosial (DBMT 1987a, 1987b, 1987d, 1988b, 1990, 1993, 1995) adalah:

1. Mengurangi kesenjangan dalam masyarakat yang akan berakibat makin mengecilnya permasalahan sosial di wilayah-wilayah tertentu dengan adanya perubahan sistem nilai dalam kelompok-kelompok masyarakat tersebut dari yang bersifat tertutup kepada keterbukaan,

2. Mewujudkan pemerataan pembangunan, yang sampai saat ini kelompok MT secara nyata belum pernah atau sangat sedikit tersentuh oleh pelayanan pembangunan yang menjadikan mereka sebagai kelompok yang terbelakang dalam kesatuan bangsa Indonesia,

3. Mendukung upaya pengembangan wilayah dan penyebaran penduduk pada daerah-daerah yang memiliki permasalahan MT,

4. Meningkatakan produktivitas daerah-daerah tertentu, antara lain dalam bentuk penambahan produksi pertanian, penambahan tenaga kerja dan sebagainya,

5. Mendukung keberhasilan program sektor lainnya, seperti program pendidi-kan, kesehatan, agama, pertanian, perdagangan, dan sebagainya,

6. Memberikan sumbangan yang nyata bagi usaha pelestarian lingkungan alam dari adanya kebiasan pertanian tebang dan bakar hutan serta perladangan berpindah yang selama ini dilakukan oleh kelompok-kelompok MT dan seba-gai dampaknya mengurangi terjadinya bencana alam,

7. Mengurangi kerawanan di bidang keamanan nasional seperti akibat adanya imigran gelap yang membaur dalam keluarga MT yang telah berkeluarga dengan para pendatang, dan

8. Hilangnya kelompok masyarakat Indonesia yang disebut MT akan turut me-ningkatkan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju dengan berbudaya yang tinggi.

Untuk mendukung kedelapan tujuan ini, negara tidak hanya menugaskan Depar-temen Sosial melalui proyek PKMT, melainkan berupaya mengintegrasikan proyek-proyek dari berbagai instansi pemerintah atau departemen lain sesuai dengan kapa-sitasnya masing-masing (Colchester 1986; DBMT 1987a:2, 16-17). Selain instansi pemerintah yang berperan sebagai agen pembangunan, pemerintah juga melibatkan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan atau organisasi sosial non-pemerintah sebagai mitra kerja di tiap daerah.

Berkenaan dengan itu, pemerintah menyebut bahwa perancangan program PKMT dari pusat hingga pelaksanaan pada masyarakat sasaran harus terorganisasi secara sistematis. Oleh sebab itu, penanggungjawab pada tahap-tahapan program PKMT dari tingkatan pemerintah pusat hingga ke tingkat pelaksana teknis (dari Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) harus jelas. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa elemen masyarakat yang diwadahi organisasi kemasyarakatan tertentu dapat dilibatkan dalam program PKMT asal sesuai dengan garis kebijaksanaan yang telah ditentukan pemerintah (DBMT 1987a:17-21, 1994/1995:15-16). Hal ini bukanlah tanpa dasar. Pasal 8 dalam Undang-undang No. 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa, “masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan usaha Kesejahteraan Sosial … .“ UU tersebut dipertegas dalam GBHN 1993 yang mengamanatkan bahwa,

“Pem-bangunan Kesejahteraan Sosial diselenggarakan oleh Pemerintah dan masyarakat dalam rangka mewujudkan Keadilan Sosial yang lebih merata bagi seluruh rakyat Indonesia … “ (DBMT 1994/1995:16).

Dengan harapan melengkapi peran teknis pelaksanaan program PKMT di Kepri, Departemen Sosial menggandeng Forum Komunikasi dan Konsultasi Sosial (FKKS) Batam. Sayangnya, saya tidak mendapat informasi bagaimana FKKS bisa digandeng Depsos, apakah melalui penunjukan langsung atau dengan mekanisme lain. Organi-sasi swasta ini terlibat dalam pelaksanaan program PKMT khusus di kawasan Pulau Batam. FKKS Kota Batam mulai beroperasi sejak 4 April 1986, terutama di bidang peningkatan kesejahteraan sosial Orang Suku Laut. Organisasi yang dipimpin oleh Sri Sudarsono, adik kandung B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai chairman Periode Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal kawasan Pulau Batam (1979 sampai Maret 1998) (BP Batam 2012), merupakan gabungan dari beberapa organisasi masyarakat, seperti Kosgoro (Sembiring 1993: 342), Badan Kerja Sama Gereja (BKSG) Batam, dan lain-lain (DBMT 1987b:2).

Organisasi yang berkantor di Sekupang, sisi barat Pulau Batam, tersebut ber-tugas mencari dana proyek pengembangan permukiman Orang Suku Laut di Pulau Bertam sekaligus bertanggungjawab atas pembinaan komunitas di situ. Kini, organi-sasi yang belakangan lebih dikenal dengan nama KKKS (K3S), memfokuskan pada aspek pendidikan dan kesehatan bagi komunitas Orang Laut di wilayah Barat Pulau Batam. Dalam laporan DBMT disebutkan bahwa FKKS bertanggungjawab memberi penyuluhan, bimbingan sosial, sekaligus menangani pemukiman MT (DBMT 1987a: 18, lihat uraian subbab B.2. di bawah). Beberapa petugas dari Departemen Sosial yang diperbantukan pada kantor Otorita Batam berlaku sebagai penanggungjawab fungsional dalam memberikan arahan dan pengawasan teknis dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan kesejahteraan sosial Suku Laut di daerah Kota Madya Batam,

dan wakil dari pihak militer diperbantukan sebagai petugas penyadaran “ketahanan nasional” dan isu daerah perbatasan (DBMT 1987b:16).