• Tidak ada hasil yang ditemukan

130 Beberapa masyarakat juga mempertanyakan

mengapa beberapa kuburan leluhur mereka tidak ditandai sebagai HCV, sebab kuburan leluhur merupakan nilai budaya yang penting.

Beberapa kuburan (sandung)

keluarga kami berumur lebih dari 100 tahun. Mengapa tidak dianggap sebagai HCV? Satu diantara sandung tersebut ditandai dengan satu pohon leluhur. Sekarang dikelilingi oleh kelapa sawit. (anggota masyarakat) (catatan: tim penilaian NGO diajak untuk mengunjungi tempat yang dimaksud).

Walaupun ada tersedia daftar lahan yang dienklav, beberapa warga masyarakat mengatakan mereka tidak jelas dimana lahan- lahan mereka yang dienklav berada, dan mereka menerima lebih kecil dari luas yang mereka minta.

Kami menduga beberapa diantara lahan yang dienklav sudah ditanam kelapa sawit, tetapi kami kurang yakin sebab kami tidak tahu dimana tepatnya lokasi lahan yang dienklav ini. Tetapi sebenarnya kamilah yang seharusnya menentukan dimana enklav berada? Selain itu, ramai diantara kami mendapatkan lebih kecil dari yang kami minta. Mereka yang minta lima hektar mendapatkan dua hektar. Mereka yang minta dua hektar dapat satu hektar. (Tarang)

Kepala desa (mantan sekretaris desa juga) memberikan beberapa rekomendasi berkenaan dengan HCV berikut ini:

Semua HCV membatasi kegiatan

adat masyarakat. Kami tidak bisa berburu atau bakar ladang seperti dulu, padahal ini semua kegiatan tradisional kita. Kami tahu bagaimana melakukan semua itu selaras dengan hukum adat hingga sampai hari ini kita masih bisa memetik buah pohon-pohon yang ditanam dahulu kala dan menyadap dari pohon-pohon karet yang ditanam para leluhur kita. Saran saya adalah agar masyarakat jual saja tanah-tanah tersebut kepada perusahaan dan terima ganti ruginya.

Kalau tidak, jangan pasang tanda- tanda HCV.

Salah satu keluhan masyarakat adalah bahwa kehadiran perusahaan belum membawa keuntungan dalam hal pembangunan ekonomi desa. Khususnya pengadaan kebun plasma yang belum dipenuhi dan lapangan pekerjaan tidak cukup banyak untuk masyarakat. Banyak yang bercerita bahwa mereka tidak pernah ditawarkan kebun plasma oleh perusahaan.

Anda boleh mencatat jumlah warga dari desa kami yang berhasil

mendapatkan pekerjaan di

perusahaan tidak lebih dari jumlah jari tangan anda. Perusahaan membawa orang dari luar dan mengatakan kepada kami kalau kami tidak tahu bagaimana mengurus tenaman kelapa sawit. (Tarang) Mereka fikir kami orang kampung bodoh, dan satu hal yang bisa kami

lakukan hanya mengumpulkan

berondolan sawit untuk dijual. Mereka fikir kami bodoh, sebab pendidikan kami rendah. Benar kami tidak punya pendidikan memadai tetapi siapa yang tidak bisa memetik buah? (anggota masyarakat)

Masalah penting yang diungkapkan adalah perihal perusahaan yang telah menutup beberapa jalan dan sungai dengan menanam kelapa sawit, sehingga membatasi kegiatan keluar masuknya masyarakat, baik melalui jalan darat maupun sungai. Satu contoh adalah ada 23 km jalan penghubung dari Tanah Putih menuju Bangkal, yang dibangun tahun 1997, sekarang ini ditutup oleh tanaman kelapa sawit. Batas-batas konsesi perkebunan sendiri sebagai besar belum jelas sebab tidak ada peta yang disediakan untuk masyarakat, bahkan untuk kepala desa. Tidak ada salinan kajian dampak lingkungan dan sosial (ESIA) atau penilaian HCV juga tidak yang disediakan buat warga masyarakat.

Akses yang terbatas untuk lowongan pekerjaan dan penutupan secara fisik atas beberapa jalan dan sungai yang digunakan masyarakat digambarkan sebagai proses membatasi pembangunan dan kesejahteraan desa, yang menurut warga masyarakat 'terlantar' dan 'ketinggalan'.

PT Mustika Sembuluh

- 131 -

Kami fikir keuntungan ekonomi akan datang dengan datangnya perusahaan, tapi semua yang kami hadapi justru adalah bala gangguan. Kami tidak lagi bebas dalam gerakan kami. (anggota masyarakat)

Kami biasa menggunakan sungai setiap hari untuk berdagang dan berlayar. Tetapi sekarang perahu tidak bisa lewat, dan untuk kemana-mana kami harus menggunakan jalan-jalan perusahaan. (kepala desa, Tanah Putih)

Kurangnya informasi yang jelas dan lengkap dari perusahaan dianggap sebagai penyebab adanya banyak masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Beberapa warga masyarakat melaporkan bahwa informasi dan dokumen- dokumen terkait baru diberikan kepada masyarakat segera setelah timbul masalah.

Kami mau sungai-sungai kami dan jalur masuk menuju jalan-jalan dikembalikan sekarang. Saat ini kami hanya mengambang dalam keadaan semacam tidak jelas tempat berpijak. Kami tidak mau jadi penonton atas nasib kami sendiri. Dan ingat, ini bukan rekomendasi atau saran. Ini semua tuntutan kami.41 (anggota masyarakat)

Hak Adat dan FPIC: Peran Pemerintah dan Perusahaan

Pemerintah

Konsorsium NGO melakukan sejumlah wawancara dengan beberapa perwakilan dari Dinas Perkebunan (Disbun), Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Dinas Kehutanan (Dishut) di Sampit, berhubungan dengan kegiatan PT Mustika Sembuluh. Satu dari sejumlah temuan penting dari wawancara tersebut adalah masalah kurangnya koordinasi yang signifikan dan kurangnya komunikasi antara instansi pemerintah terkait. Bahkan di antara mereka ada yang melaporkan bahwa mereka tidak diberitahukan tepat waktu (atau tidak diberitahukan sama sekali) mengenai kegiatan dan rencana kegiatan perusahaan. Pejabat Dinas Kehutanan mencatat bahwa mereka tidak banyak dilibatkan sejak tahun- tahun awal kegiatan PT Mustika Sembuluh di daerah ini, atau saat pembukaan perkebunan.

Sedikit sekali perwakilan pemerintah yang pernah mendengar tentang RSPO, atau mengetahui bahwa PT Mustika Sembuluh telah mendapat sertifikat, atau tanggung jawab pemegang sertifikat ini kepada mereka. Semua tidak tahu hak atas FPIC, dan hukum internasional hak asasi manusia terkait hal tersebut dan RSPO sebagai kerangka kerja sukarela bidang usaha industri sawit berkenaan dengan hak atas FPIC.

Perwakilan Dinas Perkebunan menyampaikan bahwa mereka menghadapi sejumlah kendala dalam melaksanakan kerja mereka untuk memastikan legalitas utuh proses perizinan sesuai dengan peraturan nasional dan peraturan daerah. Satu di antaranya berkenaan dengan pemekaran wilayah baru dengan berlakunya Undang-Undang No.5 tahun 201242 Kabupaten Kotawaringin Timur menjadi kabupaten terpisah: Kotawaringin Timur, Katingan dan Seruyan. Satu akibat dari perubahan ini adalah bahwa pemerintah daerah Kotawaringin Timur merasa cakupan kewenangan mereka dibatasi untuk memantau kegiatan dan perizinan perusahaan kelapa sawit, dan berhadapan dengan masalah koordinasi dengan badan-badan pemerintah di Kotawaringin Timur dan Seruyan. Fakta bahwa izin perkebunan kelapa sawit PT Mustika Sembuluh membentang melintasi dua Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin dilaporkan sebagai satu faktor yang mempersulit sebab seringkali tidak jelas lembaga pemerintah kabupaten mana yang bertanggung jawab, atau dilibatkan dalam pemantauan aktivitas perusahaan dan menindak-lanjuti pengaduan dan konflik.

Tidak hanya masalah peran masing- masing badan pemerintah tidak jelas, pembagian tanggung jawab masing- masing kabupaten juga tidak jelas.

Tidak semua badan pemerintah terlibat dalam semua tahap proses perizinan PT Mustika Sembuluh. Dinas Kehutanan, contohnya, hanya dilibatkan dalam tahap awal saat mereka membuat rekomendasi mengenai lokasi dan status lahan untuk dibebaskan dan pemberian izin prinsip. Dinas Perkebunan dilibatkan dalam pemberian izin tetapi tidak berkomunikasi dengan perusahaan berkenaan dengan kegiatan dan penanaman kebun

PT Mustika Sembuluh

- 132 -