• Tidak ada hasil yang ditemukan

70 dokumentasi kesepakatan dan keputusan yang

dijalankan dengan perusahaan..

Menurut Pak Budi, yang belakangan kami diberitahu bahwa beliau adalah pendatang dari Jawa ke Sabung (sejak sekitar satu tahun), hubungan antara Sabung dan PT Agrowiratama adalah baik dan masyarakat menuggu keuntungan ekonomi dari kehadiran perusahaan. Menurut pak Budi, PT Agrowiratama menjalankan empat sosialisasi di Sabung Sanggau, tetapi tidak di Sabung Setangga. Selama aktifitas sosialisasi tersebut, perusahaan menjelaskan aturan dan masa berlaku HGU dan sifat serta tujuan HCV, dan perusahaan juga berjanji (secara lisan) tidak akan menggusur kebun karet masyarakat. Juga disampaikan bahwa perusahaan menghargai situs keramat dan kuburan masyarakat, dan tidak menyebabkan kendala bagi masyarakat untuk masuk ke dalam kawasan tersebut. Pak Feron, manajer perusahaan, dilaporkan memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai legalitas izin lokasi dan HGU. Selain itu, Pak Budi melaporkan bahwa PT Agrowiratama mempekerjakan beberapa orang perempuan dari desa dan telah membuat sistem perawatan anak bagi mereka.

Meskipun begitu, pandangan yang diungkapkan oleh Pak Budi sangat bertentangan dengan kepala Desa Sabung yang baru bernama Pak Jeksen, yang ditemui tim investigasi hari itu sorenya. Perbedaan antara pandangan mereka sangat jelas. Pak Jeksen langsung menelpon Pak Budi lewat telpon dan meminta penjelasan atas komentar-kementar dia melalui telpon dengan volume speaker dikeraskan. Pak Budi mengakui dia telah menjelaskan cerita sisi positif dan negatif kepada tim investigasi, yang sebenarnya justru jauh berbeda. Perpecahan antara kedua anggota masyarakat semakin terungkap ketika Pak Jeksen menyela dengan menanyakan berapa besar dia telah dibayar oleh Pak Peron (manajer PT Agrowiratama) dan meminta Pak Budi untuk berhenti berbohong mengenai situasi masyarakat di Sabung.

Menurut Pak Jeksen, kepala desa Sabung sejak 2011 yang juga suku Dayak, PT Agrowiratama memperoleh izin lokasi tanpa memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat Sabung mengenai rencana aktivitas

perusahaan dan berbagai potensi dampak perusahan baik sosial dan lingkungan. Pak Jeksen menegaskan tidak pernah mendengar tentang RSPO atau FPIC, dan berulang-ulang mengatakan bahwa PT Agrowiratama tidak, atau belum pernah menjalankan aktivitas sosialisasi di Sabung Setangga, meskipun sebenarnya kantor perusahaan berada dekat (walupun beliau mengakui bahwa sosialisasi mungkin pernah dilaksanakan di Sanggauand hubungan antara Sanggau dan PT Agrowiratama secara keseluruhan positif). Pak Jeksen menyatakan:

Tidak ada kontak langsung dengan masyarakat dari Setangga. Persetujuan kami tidak pernah diminta. Pak Peron belum pernah ke lapangan langsung: kami masih

menunggu perusahaan datang dan

menyampaikan proyek mereka dengan kami. Untuk sosialisasi, termasuk juga studi banding. Hanya sekali itu sosialisasi. Kami sama sekali tidak tahu apa PT Agrowiratama itu? Apa sistem yang akan mereka jalankan? Kami tidak pernah dapat penjelasan ini. Agro itu kacau.

Pak Jeksen mengatakan bahwa tidak ada pola kemitraan yang ditawarkan kepada anggota masyarakat dari Setangga tapi mungkin kepada Sanggau. Beliau tidak sadar apakah pemetaan partisipatif telah dilakukan di Sabung, dan tidak pernah melihat salinan AMDAL. Pak Jeksen mengatakan hanya pernah bertemu dengan tim penelitian HCVA setelah mereka menyelesaikan penilaian mereka, di Pantura Hotel, Sambas. Menurut beliau, paling tidak beberapa HCV yang ditemukan sebenarnya berada pada wilayah yang tumpang tindih dengan PT MIS dan oleh karena itu artinya wilayah tersebut berada di luar izin lokasi PT Agrowiratama. Beliau mengatakan bahwa hal ini mengakibatkan PT Agrowiratama telah menolak membayar kompensasi kepada masyarakat atas akses dan pemanfaatan kawasan tersebut sebab berada di luar konsesi perusahaan.

Pak Jeksen bersikukuh bahwa tim investigasi perlu mengunjungi masyarakat sendiri untuk mendengar pandangan mereka secara langsung:

Jika anda tidak percaya saya, datang ke desa. Tanya masyarakat. Tanya mereka

PT Agrowiratama

- 71 -

tentang PT Agrowiratama, tentang sistem perusahaan. Mereka tidak tahu apapun. Tentang HGU, atau apa saja yang lain.

Hal yang sangat gawat yaitu bahwa anggota masyarakat yang telah menerima pola plasma ditawarkan PT Agrowiratama sepertinya tidak sadar bahwa tanah-tanah akan menjadi tanah Negara setelah HGU berakhir. Mereka mengatakan bahwa perusahaan secara lisan telah menyetujui pola plasma tetapi tidak tidak ada kontrak yang telah dibuat:

Tanah kami akan dikembalikan kepada kami dan kami akan melakukan apapun yang kami mau: menanamnya, bikin kebun, menjualnya. Jika tanah kami tidak dikembalikan saat HGU berakhir, pasti kami tidak akan mau melaksanakan kesepakatan ini. (Pak Ali Darsono)

Selain itu, ada kesenjangan dalam pola kemitraan yang diterima oleh anggota dari Sabung. Laporan sosialisasi mengatakan bahwa desa Sabung meminta pola bagian 50/50 dalam pola kemitraan, sementara wakil perusahaan telah menjelaskan tentang pembagian yang akan diterapkan adalah 80/20 yang menguntungkan perusahaan.

Kendala bagi Masyarakat Mengamankan Tanah dan Menggunakan Hak atas FPIC Ada sejumlah kendala ditemukan oleh anggota masyarakat berkenaan dengan upaya mengamankan tanah-tanah mereka dan menjalankan hak mereka atas FPIC. Pertama dan terutama adalah klaim hak tanah dari ahli waris yang mereka anggap milik mereka berdasarkan sejarah pendudukan dan pemanfaatan. Banyak anggota masyarakat kaget sebab mereka tidak pernah mendengar klaim ahli waris sebelum kehadiran PT Agrowiratama, dan masih tidak jelas apakah klaim ahli waris syah secara hukum.

Kedua, batas-batas wilayah dan hak adat masyarakat, ahli waris dan PT Agrowiratama kelihatannya masih jauh dari kejelasan. Pembatasan sebelumnya membingungkan sebagai akibat dari pembatasan enklav oleh Pemda tanpa pembicaraan terlebih dahulu dengan masyarakat yang terkena dampak. Padahal kenyataannya, warga masyarakat yang menentukan batasan tanah seharusnya sudah

melakukan itu sebelum demonstrasi yang mereka lakukan bulan Mei 2010:

Seharusnya kami sudah memperjelas batas- batas sebelum demonstrasi menolak kelapa sawit, sebab sekarang mereka potong tanah- tanah kami.

Sekarang mengenai kelapa sawit ini kami perlu kejelasan mengenai siapa punya tanah yang mana. (Pak Udin)

Ketiga, masyarakat kelihatannya kurang mendapat informasi yang lengkap dari perusahaan dan pemerintah mengenai perkebunan kelapa sawit untuk membuat keputusan yang dipahami. Dokumen-dokumen penting tidak dibagikan atau diberikan kepada masyarakat (seperti HCVA atau kajian dampak sosial dan lingkungan/ESIA), juga aktivitas sosialisasi oleh perusahaan yang sudah dijalankan perusahaan tapi tidak bermanfaat. Dimana hal itu telah dilakukan, perusahaan tidak berupaya memasukkan partisipasi masyarakat luas, yang menyebabkan mereka yang dilibatkan, yaitu kepala-kepala desa, mendapat kritik dari anggota masyarakat tertentu karena hasil-hasil negosiasi batas dan wilayah yang sangat tidak memuaskan. Tidak ada transparansi antara perusahaan dan masyarakat, dan sampai tingkat tertentu, di dalam masyarakat sendiri, kelihatannya semakin memperparah ketidak- pastian atas klaim dan hak tanah.

Yang agak mengkhawatirkan adalah masyarakat tidak sadar bahwa tanah mereka akan dikuasai Negara saat HGU berakhir dan banyak yang berfikir bahwa tanah akan dikembalikan kepada mereka seperti yang mereka harapkan.23 Selain itu, warga masyarakat tidak memiliki salinan kontrak plasma mereka, yang juga diakui oleh kepala desa menciptakan ketakutan bahwa akhirnya PT Agrowiratama akan mengambil alih tanah mereka.

Walaupun sosialisasi sudah berlangsung dalam beberapa kesempatan, kelihatannya sosialisasi merupakan negosiasi atas aturan hubungan antara PT Agrowiratama dan masyarakat, bukannya upaya untuk benar- benar mencari persetujuan masyarakat. Sosialisasi disamakan dengan FPIC, tetapi bahkan kemudian, lebih lemah dan asal-asalan

PT Agrowiratama

- 72 -