• Tidak ada hasil yang ditemukan

61 memiliki salinan AMDAL dan masyarakat

diajak konsultasi selama proses AMDAL tahun 2010. Anggota masyarakat mengatakan mereka pernah melihat peta-peta konsesi, enklav dan penilaian HCV, tetapi tidak pernah melihat peta partisipatif, dan tidak satupun yang menyadari bahwa mereka boleh memiliki peta karena sifatnya yang partisipatif. Sepertinya peta enklav diberikan kepada masyarakat baru pada tahun 2011.

Sementara itu penilaian HCV dilakukan oleh perusahaan konsultan Aksenta, dan beberapa anggota masyarakat sadar adanya penilaian ini tapi kebanyakan paham sedikit apa itu HCV. Terkait hal ini Pak Udin mengatakan:

Saya mendengar istilah ‘HCV’, tetapi tidak terlalu mengerti apa itu HCV. Konsultan dan Humas PT Agrowiratama mengatakan kepada kami HCV adalah

berkenaan dengan spesies yang

dilindungi, terancam punah, daerah aliran sungai. Kami mengerti HCV adalah mengenai usaha melindungi satwa yang hidup disekitar tanah dan sungai kami.

Pewawancara: Bagaimana soal

melindungi manusia?

Pak Udin: Manusia? Mereka harus melindungi diri mereka sendiri.

Anggota masyarakat sepertinya tidak tahu bahwa HCV juga termasuk kawasan penting untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal (misalnya nafkah, kesehatan – HCV5) dan kawasan penting untuk menjaga jati diri tradisi budaya masyarakat lokal (kawasan budaya, ekologi, ekonomi atau nilai agama

yang didata bekerjasama dengan masyarakat lokal – HCV6).

Pada saat ditanya apakah mereka mempertimbangkan apa yang paling penting untuk dilindungi, anggota masyarakat menyebutkan kebun karet, sawah/ladang padi dan bantaran kiri-kanan sungai:

Apa yang penting dilindungi adalah kebun karet, bantaran sungai dan ladang kami. Ini semua layak dilindungi sebab saat ini masyarakat pakai dan perlu. (Pak Udin)

Anggota masyarakat juga melaporkan bahwa mereka tidak diikut-sertakan dalam penilaian HCV, bahkan persetujuan mereka tidak diminta sebelum penilaian. Mereka tidak mengetahui dengan jelas bagaimana mereka turut serta dalam penilaian, dan hanya tahu keberadaan HCV di tanah mereka dari papan tanda (signboards) dipasang di pohon dan bantaran sungai ketika penilaian telah selesai. Pada saat ditanya apakah mereka tahu apa jenis HCV di tanah-tanah mereka, mereka menjawab bahwa papan nama tersebut tidak menjelaskan jenis HCV ini. Selain itu, anggota masyarakat juga melaporkan tidak memiliki salinan laporan penilaian HCV. Sementara AMDAL dilakukan oleh Pemda, anggota masyarakat melapor tidak pernah melihat atau diberikan salinan dokumen, meskipun kami juga diberitahukan bahwa kepala desa menyimpan salinan dokumen AMDAL. Beberapa anggota masyarakat sepertinya tidak sadar atas dimensi sosial penilaian, sebab sepertinya mereka tidak dilibatkan atau diajak bicara dalam proses AMDAL.

PT Agrowiratama

- 62 -

Pertemuan masyarakat di Mekar Jaya/Marcus Colchester Pada saat ditanya mengapa salinan dokumen

seperti AMDAL dan HCV tidak diberikan kepada masyarakat oleh perusahaan, wakil PT Agrowiratama menjelaskan bahwa masyarakat tidak tertarik terhadap dokumen tersebut dan 'lebih memilih keteranganlisan dan mengajukan pertanyaan'. Meskipun begitu, hal ini dibantah oleh mantan kepala desa Mekar Jaya, Pak Azim:

Perusahaan tidak menawarkan untuk memberi kami salinan atas dokumen tersebut. Kami masyarakat lokal mungkin tidak mengerti segala sesuatu tentang AMDAL dan HCV, tetapi paling tidak kami diberikan salinan, atau salinan seharusnya diberikan kepada pemerintah desa, jika tidak diberikan kepada masyarakat sendiri.

Selain itu, anggota masyarakat juga melaporkan masalah gawat yang disebabkan tidak adanya penentuan batas dan peta partisipatif untuk wilayah enklav dan batas- batas hasil pengukuran ulang antara Mekar Jaya dan Beringin dalam kesepakatan kemudian antara kepala desa dan ahli waris. Dilaporkan bahwa lokasi dan luas wilayah

enklav diputuskan oleh Pemda, tanpa pelibatan perusahaan.

Masyarakat tidak jelas mengapa enklav berada di sana di lokasi-lokasi sekarang ini, sebab mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Tumpang tindih antara lahan yang diklaim masyarakat lokal, ahli waris (keturunan Sultan Sambas) dan perusahaan dilaporkan oleh anggota masyarakat sebagai penyebab utama permasalahan. Wilayah tanah enklav sebagaimana dipatok batas oleh Pemda tidak memasukkan beberapa desa dan 200 ha tumpang tindih dengan tanah yang diklaim oleh ahli waris, yang mengklaim luas tanah hak mereka sekitar 10.000 ha lahan di Mekar Jaya, Sabung dan Lubuk Dagang. Pak Azim, kepala dusun Mensamat, mengatakan:

Kami juga menuntut blokar. Kami tidak tahu apakah surat Raden Farid syah secara hukum – inilah masalahnya. Kami harus menyelidiki hal ini, tapi kami tidak mengerti sistem pengadilan, dan akibatnya kami takut menggunakannya. Kami juga takut klaim ahli waris adalah syah secara hukum, jika benar maka

PT Agrowiratama

- 63 -

wilayah hak milik semakin lemah. Kami tidak mengerti hak kami menurut hukum. Tapi kami tahu apa batas-batas dan luas wilayah desa kami dari leluhur kami, orang tua, dan sekarang kami tahu batas- batas hari ini tidak cocok dengan batas nenek moyang kami. Leluhur kami memberitahu kami tanpa bukti hukum – kami tahu dari cerita lisan. Kami telah hidup di tanah ini paling tidak lebih dari ratusan tahun. Ada kuburan tua sebagai bukti, mungkin lebih dari 200 tahun. Tapi klaim atas wilayah kami oleh ahli waris adalah hal baru bagi kami.

Beberapa anggota masyarakat tidak menyadari UUPA 1960 mengakui hak atas tanah berdasarkan warisan leluhur dan sejarah pemanfaatan tanah:

Kami mengerti bahwa di bawah UUPA, masyarakat dan ahli waris memiliki alasan untuk menuntut hak tanah tersebut. Tapi mengapa klaim hak tanah ahli waris baru diungkapkan sekarang? Mereka dapat melakukan hal ini dulu tahun 1960 atau 1970an, tapi mereka menuntut hak atas tanah hanya ketika kelapa sawit masuk kesana.

Yang menarik adalah masyarakat membayar pajak atas tanah diwilayah yang diperkarakan, yang sebaliknya ahli waris tidak pernah bayar pajak:

Kami sama-sama mengklaim tanah yang sama, tetapi hanya masyarakat yang membayar pajak atas tanah tersebut, sementara ahli waris tidak membayar.

Bukankah itu berarti bahwa kami memiliki hak hukum atas tanah tersebut, dan bukan ahli waris?

Dalam sebuah pertemuan, anggota masyarakat dari Desa Mekar Jaya bertemu dengan desa tetangga Beringin dan Sabung, dan dengan wakil ahli waris, untuk berunding mengenai batas-batas difasilitasi oleh PT Agrowiratama dan Pemda, tetapi batas-batas masih tidak cocok dengan yang ditetapkan oleh nenek moyang mereka. Kenyataannya, setelah negosiasi tersebut, batas-batas ditetapkan antara Beringin dan Mekar Jaya untuk menampung klaim hak ahli waris telah memperburuk masalah yang menyebabkan sebagian lahan wilayah Desa Mekar Jaya menjadi bagian wilayah Beringin. Ada laporan

5 sampai 7 orang warga Mekar Jaya mendapatkan sebagian atau seluruh tanah mereka masuk didalam wilayah Desa Beringin diserahkan kepada PT Agrowiratama:

Enklav ini menyebabkan makin banyak masalah. Tidak ada pertimbangan dimana lokasi batas-batas tersebut. Akibatnya, batas-batas desa telah berubah. Bahkan batas-batas kecamatan berubah. Enklav tersebut memotong desa kami.

Beberapa anggota masyarakat tidak melihat klaim tanah ahli waris dan kehadiran PT Agrowiratama sebagai semata-mata kebetulan:

Kami belum pernah mendengar tentang klaim dari ahli waris sebelum PT

Agrowiratama datang. Apakah

perusahaan membawa masuk ahli waris? Apakah ahli waris sengaja dibawa untuk menciptakan konflik horizontal antar dan di dalam masyarakat? Mungkin, tetapi sulit untuk dibuktikan.19

Menurut masyarakart, meskipun sedang terjadi konflik lahan, dilaporkan bahwa PT Agrowiratama telah menggusur sekitar 100 ha lahan yang sedang dalam perebutan, namun begitu mereka telah sepakat dengan ahli waris dan masyarakat untuk membiarkan kebun karet tidak digusur dan hanya membuka lahan hutan.20

Masyarakat juga khawatir tentang bagaimana mereka memastikan wilayah tanah enklav aman. Walaupun dilaporkan bahwa ada satu kesepakatan tertulis disaksikan oleh Manajer Humas PT Agrowiratama yang benar adanya yangmenyatakan bahwa perusahaan tidak akan menggusur kebun karet, namun keabsahan dokumen ini dipertanyakan oleh beberapa anggota masyarakat:

Kami tahu surat ini ada tetapi kami belum pernah melihatnya. Sekarang kami punya tanah tetapi bagaimana bisa yakin bahwa tanah kami tidak akan diambil paksa dari kami lagi? Siapa yang menjamin hal itu bagi kami?21

Kami tidak setuju dengan batas-batas enklav. Kami hanya menolak perusahaan. Kami menolak kelapa sawit – mereka bisa jalan terus. Di lapangan, semua kelihatan aman untuk saat ini. Tapi kami orang

PT Agrowiratama

- 64 -

kecil, kami orang susah – bagaimana kami menghadapi bulldozer?

Saat ini, hak atas tanah anggota masyarakat di desa Mekar Jaya kelihatannya masih belum aman sama sekali. Tim penilaian ditunjukkan sekitar 3.000 SPT dimiliki oleh anggota masyarakat dan ditanda-tangani kepala desa, yang merupakan bukti untuk mendata tanah seseorang dengan BPN. Meskipun begitu, masih ada banyak kebingungan di tengah anggota masyarakat soal batas-batas dan luas lahan klaim yang tumpang tindih. Anggota masyarakat melaporkan bahwa ada peta SPT dan klaim tanah oleh ahli waris atas tanah, tetapi belum pernah melihatnya. Dalam setiap kasus, konflik klaim hak antara masyarakat dan ahli waris adalah hal yang paling mengkhawatirkan bagi masyarakat, terutama mereka yang merasa tidak pernah mendengar klaim hak semacam ahli waris sebelum kehadiran PT Agrowiratama, dan hanya mendengar soal itu tahun 2010 saat studi banding, dimana Raden Farid hadir bersama dengan wakil perusahaan. Soal ini Pak Azim mengatakan:

Ahli waris mulai mengajukan klaim has atas tanah ini saat perusahaan datang. Sebelum itu, kami bahkan belum pernah mendengarnya. Kamilah orang pertama yang menggarap dan menanam tanah ini, bukan ahli waris. Kami juga diberitahu

perusahaan bahwa mereka sudah

membayar ganti rugi kepada ahli waris untuk mendapatkan tanah mereka. Setiap kami minta ganti rugi, perusahaan mengatakan bahwa mereka sudah bayar kepada ahli waris, tapi kami punya bukti soal ini. Itu seperti sebuah permainan antara mereka. Kami tidak bisa angkat bendera off-side.

Perusahaan dan ahli waris bertanggung jawab untuk konflik tanah ini. Perusahaan terus menggunakan ahli waris sebagai tameng. Hak hukum mereka tergantung pada orang-orang ahli waris, walaupun status hukum klaim hak ahli waris masih belum diklarifikasi.

Menurut Raden Panji Anom, pengacara ahli waris dan beberapa anggota ahli waris, proses untuk memperjelas status hukum atas tanah yang berkonflik sedang berlangsung, dan mencakup tanah seluas 8.900 ha.

Saat ini, sekitar 1.000 kepala keluarga di dalam wilayah enklav memiliki klaim hak tanah belum selesai, dan masih ada sekitar 1000 kepala keluarga di luar enklav dan di dalam konsesi perusahaan, menurut anggota masyarakat. Masyarakat dari Mekar Jaya menuntut 1.000 ha lahan. Menurut mereka, luas wilayah desa mereka jauh lebih luas dari 4000 ha yang disebutkan dalam profil desa tahunan yang dikumpulkan oleh Pemda. Masyarakat dari Mekar Jaya dan Beringin menolak untuk bergabung dengan PT Agrowiratama, meskipun 20% dari keseluruhan wilayah usaha perusahaan ditawarkan sebagai bagian dari pola kemitraan. Pak Udin mengatakan:

Dengan PT Agrowiratama, kami hanya akan memperoleh 2 ha per keluarga, bukan 10 ha yang biasa kami punya. Bahkan ada masyarakat yang mau menanam kelapa sawit sendiri dan mandiri, bersama karet yang lebih menjanjikan bagi kami. Mengapa kami mau jadi kuli ditanah kami sendiri?

PT Agrowiratama

- 65 -

PT Agrowiratama

- 66 -

FPIC dan partisipasi perempuan – cerita dari Mekar Jaya

Untuk menemukan sejauhmana perempuan di Mekar Jaya sadar dan terlibat dalam proses FPIC, wawancara informal dilakukan oleh anggota tim perempuan dengan perempuan secara dan kelompok kecil perempuan.

Wawancara ini mengungkapkan pengetahuan perempuan di desa yang sangat sangat beragam. Disatu sisi, beberapa di antara mereka melaporkan tidak pernah mendengar PT Agrowiratama, bahkan tidak tahu konflik lahan antara masyarakat dan ahli waris. Tidak ada pernah mendengar tentang RSPO atau FPIC atau dilibatkan dalam setiap konsultasi dengan perusahaan atau pemerintah:

Saya tidak pernah mendengar PT Agrowiratama. Saya pernah mendengar kelapa sawit, tapi tidak mengenai perusahaan. (Ibu Resmiati)

Beberapa yang lain sadar ada masalah, tetapi tidak mau ikut campur tangan terlibat: Saya tidak mau mendengar tentang konflik ini. Konflik membuat saya merasa sakit dan mual. Saya tidak mau suami saya mengatakan tentang konflik tanah, walaupun saya tahu ada konflik. Itu membuat saya sakit memikirkannya. (Ibu Karnia)

Secara adat, perempuan tidak ambil bagian dalam pertemuan kampung dengan laki-laki (hanya satu hadir dalam pertemuan kampung, suaminya berkerja sebagai buruh di Malaysia). Selain itu, sepertinya anggota keluarga laki-laki tidak berbagi informasi mengenai masalah yang dibahas dalam pertemuan rapat (seperti konflik tanah) dengan perempuan secara informal.

Meskipun begitu mengarap tanah adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan perempuan. Bahkan beberapa diantara mereka menghabiskan setengah hari menggarap lahan mereka:

Saya bangun 1:30 pagi pergi ke kebun karet. Saya pulang jam 10 pagi, dan jam 1 siang pergi ke ladang padi sampai jam 6 sore.

Sebagian besar usaha berkenaan dengan padi dan kebun karet dilakukan oleh suami-istri bersama, seperti memelihara, memupuk, membuka lahan dan membakar. Perempuan juga memanfaatkan hutan untuk mencari sayuran dan obat-obatan. Meskipun begitu, perempuan yang diwawancarai di Mekar Jaya sepertinya tidak tahu ladang dan kebun karet mereka. Ada pula yang melaporkan SPT dan sertipikat tanah adalah atas hanya nama suami.

Satu perempuan yang diwawancarai, Ibu Resmiati, melaporkan hilang sekitar 450 ha karna penetapan batas baru dalam beberapa negosiasi dengan ahli waris danPT Agrowiratama:

Tanah tersebu sekarang wilayah Beringin dan di luar enklave, dan itu semua kebun karet saya. Saya takut meminta ganti rugi sebab saya tahu jika saya melakukan hal itu, perusahaan akan mengambil tanah kami dan melarang saya masuk lahan. Saya mengurus semua masalah ini sebab suami saya sedang bekerja sebagai buruh di Malaysia. Dia tidak tahu tentang semua ini sebab ini terjadi setelah dia pergi. Saya tidak akan menceritakan hal ini sebab saya tidak mau dia khawatir. Saya mau semua masalah ditangani tuntas sebelum dia datang. Dia sangat cepat marah.

PT Agrowiratama

- 67 -

Ibu Resmiati mendekati kepala desa Beringin dan perusahaan menganai hal ini: Saya bertemu dengan kepala desa Beringin dan meminta beliau mengembalikan tanah kepada saya. Beliau memberitahukan perusahaan mengenai tuntutan saya, dan perusahaan menawarkan ganti rugi. Mereka menawarkan saya Rp. 1,5 juta. Saya tawarkan perusahaan harga Rp 3,5 juta. Mengapa? Sebab tanah sangat berharga bagi kami orang kecil. Jika kami mau kelapa sawit, kami akan tanam sendiri dan kami tidak mau orang lain mengambil tanah kami untuk menanam kelapa sawit. Jika perusahaan atau pemerintah membantu kami secara keuangan untuk membuka kebun kami sendiri, mungkin kalau begitu kami mau. Tapi siapa yang mau tanah mereka dicaplok untuk tanam kelapa sawit?

Karena perusahaan, tanah saya jadi sempit. Sebelum itu, saya mendapat sayur dari hutan, kacang juga. Saya tidak pernah membeli beras sebelum tahun ini, karena saya punya cukup tanah untuk menanam padi.

Bagi Ibu Resmiati, mewariskan tanah kepada anak-anak dan cucu merupakan bagian dari nilai penting:

Tanah akan menjamin sumber penghidupan anak saya, bukan uang, sebab uang tidak pernah cukup. Tanah adalah jaminan sumber penghidupan yang paling aman. Harapan saya adalah mewariskan tanah warisan (tanah kakak) kepada anak-anak saya, dan seluruh keturunan kami nanti.

BERINGIN

Beringin berada dalam Kecamatan Sajad. Desa initerdiri dari 4 dusun: Jambu, Segrunding, Salwa dan Sarang Burung (Mentawai). Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor desa, jumlah penduduk adalah 2.202 (1/125 perempuan dan 1,077 laki-laki), dan 570 keluarga tinggal di desa ini. Sebelum perkebunan kelapa sawit masuk, kebanyakan penduduk setempat berkerja mandiri sebagai petani karet.

Di Desa Beringin, tim investigasi mewawancarai kepala desa, Pak Asnadi, dan sekretaris desa, Pak Kastani, di kantor desa. Tim tidak bisa wawancara dengan anggota masyarakat lebih banyak sebab waktu yang terbatas. Secara keseluruhan pejabat desa dan masyarakat menggambarkan aktivitas PT Agrowiratama dan proses sosialisasi dengan masyarakat Beringin sebagai hal yang baik. Walaupun mereka belum pernah mendengar

istilah FPIC atau RSPO sebelumnya, proses interaksi yang mereka gambarkan antara perusahaan dan masyarakat mengarah pada hubungan yang konstruktif dan masyarakat berharap keuntungan dari kehadiran perusahaan. Hal penting yang hilang adalah sepertinya PT Agrowiratama belum berbagi dokumen kunci dengan masyarakat termasuk AMDAL, HCVA dan peta partisipatif.

Menurut Pak Asnadi, PT Agrowiratama terlibat dalam proses sosialisasi yang berulang-ulang (iterative), mengunjungi setiap dusun sebelum mendapatkan izin lokasi. Ada 2 pertemuan dilaksanakan dengan warga Beringin di sekolah, selama pertemuan dijelaskan tentang keuntungan kerjasama dengan perusahaan dan perusahaan berjanji tidak akan menggusur kebun-kebun karet masyarakat. Komunikasi dengan perusahaan dilaporkan sedang berlangsung dan hak masyarakat relatif diakui dan dihargai dengan baik:

PT Agrowiratama

- 68 -

Mereka mengikuti aturan dengan baik, mengenai lingkungan, pentingnya kebutuhan masyarakat, kebun-kebun karet masyarakat, dan beberapa di antara kami telah sepakat untuk bekerjasama dan bekerja dengan perusahaan.

Ada 300 ha dimiliki oleh PT Agrowiratama di Desa Beringin, dimana 150 ha adalah tanah hutan desadan 150 ha adalah plasma. Untuk 80% dari 300 ha akan dialokasikan untuk kebun inti dan 20% untuk plasma. Pak Kestani menyampaikan bahwa walaupun perusahaan tidak memberikan ganti rugi uang atas lahan yang diambil, perusahaan mendukung pembangunan infrastruktur di desa, seperti membangun jalan melalui hutan dan mengadakan 90 sak semen untuk kerja pembangunan.

Kepala Desa Beringin juga menggambarkan pembentukan Satuan Pelaksana (SATLAK) tanggal 29 Maret 2011 di desa tersebut, yang bertujuan untuk memantau aktivitas perusahaan dan laporan dari masyarakat kepada perusahaan. Salah satu tanggung jawab mereka adalah untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan memperjelas batas-batas tanah garapan masyarakat, seperti kebun buah dan kebun karet. SATLAK di Beringin dipimpin oleh kepala desa dan anggotanya termasuk

wakil dari BPD, kepala dusun dari empat dusun, dua wakil masyarakat dan tim Humas dan survai dari PT Agrowiratama.

Pembentukan SATLAK dipandang sebagai inisiatif positif dipihak PT Agrowiratama oleh kepala Desa Beringin:

Ketika ada masalah, seperti masalah batas, masyarakat dapat memanggil kepala desa, yang kemudian membawa laporan kepada SATLAK. Anggota- anggotanya dipilih oleh masyarakat dalam pertemuan. SATLAK kemudian turun ke lapangan untuk memeriksa sifat laporan, dan kemudian membawa laporan sampai ke PT Agrowiratama, dan setiap pemangku kepentingan dilibatkan.

Kepala desa dan sekretaris desa tidak pernah mendengar mengenai istilah FPIC, tetapi satu gambaran hak dan proses utuh yang dimaksud membawa mereka pada kesimpulan bahwa mereka percaya proses FPIC telah dijalankan oleh PT Agrowiratama, dan kerjasama dari beberapa anggota masyarakat dengan perusahaan merupakan hasil dari kehendak bebas:

Ada yang menyatakan ya, ada pula yang mengatakan tidak. Proses itu terbuka. Kami tidak dipaksa. (Pak Asnadi)

PT Agrowiratama

- 69 -

Proksi Perwakilan

Tim Pembina Pengembangan Perkebunan Kabupaten (TP3K) dibentuk di tingkat kabupaten dan didukung oleh Satuan Tugas (SATGAS) kecamatan dan Satuan Pelaksana (SATLAK) di tingkat desa. Anggota TP3K di tingkat desa terdiri dari kepala desa, wakil ketua BPD, kepala dusun, ketua RT, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan petugas hubungan masyarakat dari PT Agrowiratama.

Fungsi dan tugas SATLAK dijabarkan dalam surat keputusan tanggal 29 Maret 2011 adalah:

a. Bertindak sebagai jembatan [komunikasi dan koordinasi] antara perusahaan dan masyarakat.

b. Bekerjasama dengan perusahaan dalam menyelesaikan konflik lahan atau memberikan kompensasi jika masalah lahan muncul kemudian hari.

c. Bekerja erat dengan tim perusahaan untuk menyelesaikan dan/atau memberikan arahan dalam pengukuran lahan untuk pembebasan/ganti rugi lahan.

d. Bekerjasama dengan perusahaan dan pemerintah dalam melakukan sosialisasi masyarakat.

e. Bekerjasama dengan koperasi dan pemerintah dalam perencanaan kemitraan/pengaturan plasma untuk masyarakat melalui pembuktian.

Dusun SETANGGA, Desa SABUNG

Desa Sabung terdiri dari dua dusun: Sabung Setangga dan Sabung Sanggau. Sebagian besar penduduk Desa Sabung adalah uku Dayak, ada pula pendatang dari pulau Jawa dan dari Malaysia. Wawancara dengan anggota masyarakat dari Sabung Setangga mengungkapkan pandangan yang sangat berbeda tentang interaksi PT Agrowiratama dengan masyarakat dan aktivitas perusahaan;ada yang mendukung hubungan perusahaan dengan masyarakat dan ada pula warga yang mencela masalah konsultasi yang buruk.22

Wawancara yang dilakukan mengungkapkan adanya kebingungan di antara anggota masyarakat mengenai apakah Desa Sabung Setangga berada di dalam konsesi PT Agrowiratama atau PT Mulia Indah (salah satu dari tiga konsesi Musim Mas yang berdekatan). Hal ini menunjukkan bahwa pemetaan yang menyeluruh dan partisipatif belum dilaksanakan untuk memperjelas pemahaman ini. Istilah pola kemitraan seperti yang telah disepakati oleh beberapa anggota masyarakat belum dipaparkan dengan jelas kepada mereka khususnya fakta bahwa tanah plasma akan jadi tanah Negara saat HGU berakhir. Terakhir, terlihat juga kurangnya