• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI WIWIT DAN NINI THOWONG PETANI PUNDONG BANTUL YOGYAKARTA

A. Latar Belakang Sosial Budaya Wiwit

Pundong berada di wilayah kabupaten Bantul Yogyakarta. Sebagian masyarakatnya adalah petani. Walaupun idak menutup kemungkinan sebenarnya banyak kegiatan lain di luar pekerjaannya sebagai petani, misalnya pegawai negeri, guru, pedangan kecil, perajin, atau buka warung, bengkel sepeda motor, buka usaha lain

selain sebagai petani. Sulit rasanya membedakan petani dan bukan

petani, kebanyakan dari mereka jika ditanyakan tentang mata pencaharian hampir dipasikan jawaban tentulah memilih sebagai petani.Kenyataannya terjadi orang yang bekerja sebagai pembagi

hasil tanah garapan atau buruh pun mengaku sebagai petani,

demikian halnya dengan penduduk yang lainnya. Hal seperi disampaikan Koentjaraningrat (1981: 194-198) Bahwa situasi seperi disebutkan merupakan gejala yang sangat umum terjadi

pada kehidupan pedesaan saat ini,orang sulit sekali menyatakan

jenis pekerjaan yang mereka tekuni, disebabkan mereka sebagian besar idak memiliki pekerjaan tetap. Misalnya sebagai seniman

mereka memiliki penghasilan yang lebih menguntungkan daripada

menjadi petani biasa. Tetapi saat-saat panggilan manggung itu idak dapat dipasikan ruinitasnya, sehingga lebih aman apabila dinyatakan sebagai petani. Oleh sebab profesi pekerjaan yang lain hampir idak terpikirkan di samping hanya sebagai petani saja,

dengan demikian sikap menerima keadaan yang telah dimilikinya atau sikap narima ing pandum adalah perilaku kesederhanaan

yang terus dipertahankan. Demikian juga konsep gotong royong pun masih menjadi hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat pedesaan, walaupun diakui juga bahwa konsep ini telah mengalami pergeseran.Misalnya dalam pembuatan rumah, pengerjaan fasilitas umum, hajatan, dan sebaginya. Namun agaknya dalam alam sekarang ini konsep gotong royong menjadi terbatas sifatnya, arinya jika ada warga memiliki beban pekerjaan besar seperi

membangun rumah, maka para tetangga akan melakukan ikut

mengerjankan dalam tempo terbatas barang dua iga hari, selepas

dari itu tenaganya akan diperhitungkan sebagai buruh biasa. Hal

ini merupakan suatu kebijaksaan yang adil, karena jika seseorang

terlalu lama dalam bergotong royong tanpa memperoleh imbalan atau bayaran, dapat dibayangkan siapa yang akan menopang

keuangan rumah tangganya sendiri. Barangkali gotong royong seperi ini idak saja berlaku di Pundong tetapi hampir di semua wilayah pedesaan saat ini, terutama di Bantul Yogyakarta. Keadaan dan situasi yang tampak adalah semua penduduk telah menikmai

kemerdekaan serta gelegar pembangunan selama pemerintahan yang terdahulu.

Tradisi wiwit yang menjadi pokok pembahasan dalam

merupakan salah satu upacara yang berhubungan dengan ritus

padi, yang hingga saat dilakukan penulisan ini masih berlangsung pada masyarakat pendukungnya.Tradisi wiwit adalah salah satu

upacara yang dikenal oleh masyarakat Pundong di samping upacara-upacara yang lainnya.Hal ini menunjukkan bahwa

perilaku religi pada masyarakat yang bersangkutan masih kuat dalam mempertahankan warisan budaya leluhur setempat. Panen merupakan rahmat yang paling berharga dari pemberian rezeki yang dalam kelompok masyarakat setempat disebutmboyong Dewi Sri‘membawa pulang padi dari sawah ke rumah’.Oleh sebab itulah panen dilengkapi dengan upacara khusus yang pada

dasarnya berisi pernyataan atau representasi penghormatan terhadap sumber hidup yaitu padi atau beras yang dilambangkan

dengan Dewi Sri, yang juga dipahami sebagai rezeki.

1. Bentuk Upacara Wiwit

Upacara wiwit ini dapat dipahami sebagai sarana

mendatangkan Dewi Sri agar hadir di dalam kehidupan keseharian

petani. Adapun maksudnya idak lain adalah untuk memohon

perkenan dan perlindungan keselamatan dalam memboyong

panenan padi pulang ke rumah, selanjutnya juga pengharapan dan permohonan agar Dewi Sri berkenan menjaga kelestarian bulir-

bulir padi itu yang mereka simpan di dalam lumbung. Sebenarnya

upacara wiwit itu merupakan satu rangkaian semenjak petani

menanam padi di sawahnya.Sebelum orang memanen seluruh

padi, maka dibuatlah upacara pemboyongan padi lengkap dengan mantra dan sesaji. Sesaji itu terdiri atas:

a. Nasi liwet sebakul berikut kerap atau inip nasi yang ditaruh di

b. Air kendhi

c. Daun dadap srep d. Telor ayam kampung

e. Ikan asin/gereh pethek

f. Sambal gepeng yaitu terbuat dari kedelai yang digoreng

kemudian dikasih bumbu garam, cabe, kencur, terus ditumbuk dicampur dengan gereh Petek sejenis ikan asin kecil.

g. Sebongkok merang untuk menyalakan dupa atau kemenyan wangi

h. Kain selendang yang masih baru untuk menggendong Dewi Sri. Setelah semua sesaji dipersiapkan barulah dibawa ke sawah, biasanya anak-anak kecil menyertai upacara ini dengan harapan akan menjadi burung-burung gagak yang menyantap sesaji tadi. Seorang sesepuh kampung yang ditunjuk oleh yang punya sawah segera melakukan doa untuk pemboyongan tersebut. Beberapa

padi hingga segenggam dipotong dengan alat yang disebut ani-

aniselanjutnya disatukan dan digendong oleh seorang gadis yang

bersih arinya dalam keadaan idak sedang datang bulan atau haid.

Sesampai di rumah padi itu diletakkan di dalam senthongatau

pedaringan, kelak setelah semua panenan di simpan di dalam lumbung segenggam padi pokok Dewi Sri itu, barulah disatukan

di dalam lumbung tujuannya agar hasil panenan idak lekas habis

sampai musim tanam yang akan datang.

Ada hal menarik dari penuturan seorang tetua dusun bernama Suwitorejo (73) bahwa upacara wiwit di samping untuk memboyong Dewi Sri ternyata salah satu yang menjadi sasaran doa berupa seekor singa berkepala gandarwa bernama Kala Bulkiya.

sekaligus penunggu Dewi Sri di sawah. Pemujaan dan sesji yang

dipersembahkan kepadanya adalah representasi dari pernyataan

terima kasih para petani terhadap jasa-jasa yang telah menjaga tegal dan persawahan petani. Pada jaman dulu setelah upacara mboyong

Dewi Sri secara masal akan diakhiri dengan dekahan gedhenatau

mejemuk umum, dalam upacara dekahan gedhen itu menanggap

wayang dengan cerita lakon Sri Boyong atau lakon Makukuhan, yaitu

cerita lakon wayang yang berkisah tentang asal muasal tanaman padi dan terjadinya Kala Bulkiya(Kasidi, 2011: 54). Namun karena situasi ekonomi yang melanda hampir di seluruh Indonesia sejak beberapa tahun terakhir biaya mejemuk umum dialihkan untuk

pembangunan prasarana umum di kampung mereka. 2. Fungsi Upacara Wiwit

Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas dapat diketahui bahwa upacara wiwit bagi masyarakat Pundong merupakan

kegiatan yang dilakukan guna meminta perlindungan kepada

Dewi Sri agar hasil panenan terjaga. Walaupun idak seiap orang sekarang ini melakukan upacara tersebut namun orang-orang tua dari daerah pedasaan tetap melaksanakannya. Barangkali karena

faktor komunikasi yang kurang dikembangkan berakibat putusnya

nilai warisan budaya leluhur, apabila hal ini idak diperhaikan dan diteruskannya tradisi wiwit ini, maka bukan idak mungkin tradisi

itu akan punah.

3. Sifat Upacara Wiwit

Mayoritas penduduk wilayah Pundong beragama Islam, walaupun idak semuanya menjalankan sholat 5 waktu dapat dibandingkan dengan pendapat Geerzt (1992).Ada anggapan dari kalangan terpelajar dan modernist bahwa indakan upacara

ritual yang diadakan oleh leluhur mereka adalah perbuatan misik. Namun demikian mereka tetap menghormai para orang tua dan para leluhur hal ini dibukikannya dalam keikutsertaan mereka dalam perisiwa itu.Hal ini idak terlepas dari bagimana para orang tua menyampaikan tujuan dan maksud dari segala upacara yang meraka lakukan.Salah satu yang paling bijaksana adalah bahwa semua perisiwa sebagai perisiwa budaya warisan leluhur yang perlu dilestarikan dan dikenal oleh seiap generasi yang ada dan mengawal perjalanan sejarah Pundong. Oleh karena itulah perisiwa ini justru dikemas sedemikian rupa guna perayaan desa yang disatukan dengan perisiwa nasional misalnya peringatan 17 Agustus hari kemerdekaan Republik Indonesia atau perisiwa lainnya. Inilah sikap moralisic yang lebih biijaksana segenap

warga masyarakat Pundong, satu pihak pewarisan budaya leluhur

jalan terus, di lain pihak idak bertentangan dengan ajaran agama, dengan demikian idak terjadi konlik sosial yang perlu dikhawairkan oleh banyak pihak yang kadang menghembuskan

issue yang kurang baik di masyarakat petani.