• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI RAHASIA HIDUP MANUSIA JAWA Oleh Dr Suwardi Endraswara, M Hum.

C. Rasa Sejati dan Ngelmu Sumur

Rasa sejai adalah bagian terpening dalam diri manusia Jawa. Rasa ini termasuk rasa halus. Rasa sejai yang akan menuntun

seseorang berindak rila, narima, eling, awas, sareh, dan lain-lain.

sejai sesungguhnya masih sekedar pucuk rasa, belum sebuah

ini (galihing rasa). Rasa sejai adalah modal yang menuntun

seseorang dapat mencapai ini hidup. Dalam pandangan Weber (Morris, 2003:97) melalui rasa orang dapat melakukan askeisme akif. Manusia dapat menjalankan upaya pencarian misik dan keselamatan jiwa yang abadi.

Dalam tataran misik kejawen, rasa sejai termasuk kehalusan

rasa (alusing pangrasa) yang tak terbandingkan. Melalui rasa sejai

seseorang akan dituntun hingga menguasai daya tunggal. Rasa ini memang ini segala rasa, idak pernah lelah, menyerah, lapar, dan

dahaga. Dia tergolong rasa dalam (njero) yang melilit dalam jiwa

manusia. Jika orang Jawa telah menguasai rasa sejai berari akan menjadi manusia sejai.

Manusia sejai itu adalah orang yang dapat merasakan bahagia, ingat, dan senang yang iada tara. Pada saat orang merasa sedih lalu mau perihaian, itulah cermin manusia sejai. Keika kehalusan rasa itu dapat diraih dengan sempurna, akan tercapai rasa tenteram dan damai dalam hidup. Kedamaian itu yang mampu merasakan pertama kali adalah rasa sejai. Rasa itu menjadi maya, idak jelas tata letaknya, tetapi ada. Suatu saat

Sang Absolut akan merasuk ke dalam rasa sejai, hingga seseorang

mampu merasakan hidup ini.

Kehalusan rasa tersebut sering beriringan dengan budi halus manusia. Budi halus itu disebut nalar. Nalar dan rasa sejai yang akan memunculkan angan-angan. Angan-angan merupakan

perwujudan dari net (keteg) yang ada dalam hai. Net akan

memunculkan greget, hingga seseorang akan berindak. Net akan

yang menjadi awal seseorang akan berindak. Keteg pula yang

menjadi modal, orang akan berindak baik atau buruk.

Rasa sejai akan membangunkan jiwa manusia ke arah daya tunggal. Daya tunggal idak lain merupakan kekuatan Ingsun yang emanen dalam diri orang Jawa. Daya tunggal pula yang berada jauh tetapi dekat dalam jiwa manusia. Daya tunggal yang akan

membimbing seseorang untuk menyelami hidup. Tanpa daya

tunggal manusia akan mudah berindak salah.

Ingsun dalam pandangan hidup Jawa adalah keadaan absolut sejai. Pada awal terjadinya kehidupan, yang ada adalah Ingsun. Ingsun pula yang akan menjing ke dalam rasa sejai, hingga seseorang dapat memiliki rasa hidup. Antara manusia dengan Ingsun dapat dibayangkan dalam cermin. Cermin itu yang membuat batas wajar idaknya antara manusia dengan Tuhan. Cermin itu merupakan wahana perwujudan bayangan hidup hakiki.

Orang Jawa yang nalar, rasa sejainya berjalan lancar akan memunculkan hubungan nyaman dalam hidup sehari-hari. Selain menguasai jiwa sosial, hingga amat menghargai dan hormat terhadap orang lain, orang tersebut juga akan pandai bergaul dengan siapa saja. Pergaulan senaniasa menggunakan prinsip empan papan dan angon rasa. Siapa saja yang perlu dihormai, diperimbangkan secara masak.

Dalam masyarakat Jawa, ada lima hal yang patut dihormai,

yaitu: Tuhan, orang tua, guru, mertua, dan pepundhen (pimpinan).

Kelima hal itu menjadi sasaran tembak rasa sejai, sebab mereka itu yang telah menciptakan jiwa terang dalam konteks jagad Jawa. Mereka yang mampu mengantarkan orang Jawa dari kegelapan ke tempat yang terang benderang, penuh cahaya rasa. Figur tersebut

telah banyak perjuangannya, maka kalau sampai dilupakan, akan merasa disia-siakan, dan boleh jadi menjadi sakit hai. Orang yang tak mau menghormat pada kelima igur itu, berari rasa sejainya

sedang tertutup oleh awan ibaratnya.

Bayangkan saja, kalau ada bawahan yang tega menelanjangi

atasan di depan publik, kiranya akan lebih menyakitkan dibanding

dipukul dengan besi. Padahal di jaman yang serba terbuka ini, kadang-kadang rasa sejai mudah tergoda oleh hawa nafsu,

hingga seseorang dapat membuka aib orang lain di depan umum.

Akibatnya orang lain akan sakit hai. Membuka aib orang lain yang jauh dari tata susila, sopan santun, dapat memicu kemarahan. Orang yang bersikap dan berindak demikian menandai bahwa

telah lupa pada Sang Maha Hidup.

Biarpun orang Jawa seiap Hari Raya telah diwejang dengan

tradisi ujung, mencium lutut kepada sesepuh dan priyayi luhur,

tampaknya hal ini telah banyak dilupakan. Berapa jumlah anak

muda yang masih mau hormat pada orang tua, apalagi disertai

dengan bahasa Jawa halus, telah terkikis. Jarang sekali anak-anak yang mau bersikap rendah diri di depan saudara tua. Jarang orang muda yang masih mau berjalan membungkuk di depan orang yang

lebih tua. Bahkan kalau ada anak muda yang laden (sinoman) di

depan orang tua yang duduk lesehan, telah kacau balau. Biasanya

anak muda tersebut berdiri terus (nganyer) di hadapan orang tua pun berani.

Satu dua orang anak memang masih ada yang masih melaksanakan prinsip menurut tatakrama (nun sendika dhawuh).

Ada yang masih lekat tatakramanya. Namun sebagian besar anak Jawa telah mengalami erosi eika. Bahkan hal itu sering

menyebabkan watak tega terhadap teman. Ada orang yang berani mengejek, memaki, dan mengeluarkan kata kasar di depan teman sejawat, atasan, dan orang tua. Sikap rendah hai lama-kelamaan semakin luntur. Ada seorang anak yang berani saling pandang

dengan ibu, pada ayah berani satu kata dibalas satu kata, kepada

bibi merasa sombong, dan kepada nenek merengek-rengek.

Menurut sabda Hyang Tunggal, dalam lakon wayang

Manikmaya, memang manusia itu dikaruniai watak empat macam,

yaitu: lali, apes, murka, lan rusak. Maka dalam jagad wayang

kulit, Manikmaya (bathara Guru) digambarkan tangannya terdiri dari empat buah. Sifat empat macam itu tampaknya yang akan mewarnai hidup orang Jawa, entah sampai kapan. Maka idak mustahil jika dalam hidup orang Jawa sering lupa, dan yang paling berbahaya apabila sengaja melupakan diri. Terlebih lagi kalau

watak lupa tadi telah terdorong oleh watak angkara murka, akan menyebabkan orang rusak (apes), dan akhirnya idak berharga di

masyarakat.

Yang lebih berbahaya jika orang Jawa lupa pada asal-usulnya. Lupa jika pernah disuapi nasi oleh ibunya. Lupa kalau pernah mengompol dan dicuci popoknya. Kalau demikian berari telah melupakan orang yang menjadi wahana hidupnya. Orang yang telah menyebabkan dia hidup dilupakan begitu saja. Sing kebangeten, ana wong lali marang bibit kawite. Lali yen tau didulang simboke.

Akibatnya, orang tersebut lupa pada Tuhan. Orang tersebut terlilit

oleh watak murka, bahkan perkara membagi warisan saja sering

terjadi pertengkaran. Belum lagi jika terkait dengan harta kekayaan negara, sering bertengkar tak ada habis-habisnya. Bahkan ada pula yang tega menginjak teman lain. Semua jadi lupa pada orang yang

mengukir jiwa raga. Ada yang tega kepada orang tua, menginjak-

injak, memukul muka ibaratnya. Gelagat mikul dhuwur mendhem

jero, arinya menghormai secara spiritual semakin luntur.

Dalam peribahasa orang Jawa tau ngombe banyu sumur

kok wani ngidoni sumur, tentu akan ada bahayanya. Mereka itu,

selain idak sopan, mengotori, idak takut kalau ada dosa, dan kurang paham bahwa air sumur itu suci. Kecuali kalau sumur itu

airnya memang telah kotor, entah untuk membuang bangkai, dan

atau sumur mai yang idak pernah diimba airnya, silakan saja. Biasanya sumur demikian akan berbau, ibarat manusia yang kotor, banyak dosa, telah mai rasanya.

Menurut ngelmu sumur, sumber mata airnya jelas bersih,

murni. Namun jika terkena kotoran jelas akan berbahaya. Tidak jauh berbeda dengan jagad para leluhur, pemimpin kita sesungguhnya banyak yang masih sucinamun demikian jika terkena sampah, limbah, bangkai, padahal air sumur itu idak diimba dan mengalir tentu kotor. Karena itu, layak kalau sumur itu idak begitu dihormai oleh pemiliknya.

Jaman lakon Damarwulan Ngarit, sebenarnya telah berlaku

ngelmu sumur. Ayah Damarwulan, bernama paih Maudara

(Udara), pernah mengundurkan diri sebagai paih di kerajaan Majapahit. Dia mundur bukan karena korupsi, melainkan dia amat hormat kepada raja Prabu Brawijaya. Rasa hormat yang disertai keseiaan pada raja, sampai dia rela idak menjadi paih lagi, lalu diganikan adiknya bernama Paih Logender. Dia menerima nasib

itu dengan sadar dan merasa lebih baik menjernihkan banyu

sumur, yang telah sering diimba. Namun demikian, adiknya

pada jaman perang dengan Minakjingga, akibatnya sumur di Majapahit berubah keruh lagi.

Perisiwa demikian yang membuat sumur Majapahit ibaratnya menjadi semakin keruh. Kelicikan, kebencian, dan tega terhadap

teman telah memoles perilaku manusia hingga menyebabkan

suasana sumur semakin panas. Maksudnya, atas indakan paih Logender pada Damarwulan yang keterlaluan, agar anaknya sendiri yang bernama Layang Seta dan Layang Kumiir, membuat keterangan semu atas kemaian Minakjingga, jelas memperkeruh sumur. Kedua anaknya itu diarahkan agar membuat laporan palsu ratu Kencanawungu, bahwa merekalah yang membunuh Minakjingga. Takik dan trik semacam ini sebenarnya idak lepas dari balutan goda pada rasa sejai. Rasa sejai semakin pudar cahayanya karena angkara murka yang menunggangginya. Akibatnya seseorang harus berminyak air, bahkan Paih Logender

lupa diri hingga terbakar hawa nafsunya. Dia harus berbuat dan

berucap dengan penuh ipu daya dhandhang diunekake kontul.

Tampaknya, dia hormat pada raja, tetapi rasa sejainya telah pudar, hingga seperi sedang mengaduk-aduk sumur yang jernih menjadi

keruh. Dia tampak memiliki keinginan akan memiliki kedudukan

tanpa melalui proses yang wajar.