• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mawas Diri, Rasa Rumangsa, dan Manusia Sejat

MEMAHAMI RAHASIA HIDUP MANUSIA JAWA Oleh Dr Suwardi Endraswara, M Hum.

B. Mawas Diri, Rasa Rumangsa, dan Manusia Sejat

Mawas diri dapat terjadi pada siapa saja, yang telah sadar diri.

Supadjar (2001:xi) dalam pengantar bukunya berjudul Mawas Diri

menjelaskan isilah mawas diri. Mawas diri itu sebuah ungkapan

folklor spiritual yang berguna untuk mengekspresikan diri. Mawas

diri merupakan gerakan jiwa, yang memiliki sentuhan psikologis.

Manakala manusia mampu mawas diri, sebenarnya hidup akan tenang. Hidup manusia semakin adhem-ayem, idak gegabah, dan

merasa memiliki daya hidup.

Sasaran mawas diri adalah pribadi yang purna,disebut mandhireng pribadi. Kemandirian diri adalah ciri manusia yang telah menguasai daya hidup. James (2003:99) agama dalam pengeria akal sehat, adalah upaya menemukan kebahagiaan. Bahagia ditandai oleh kemampuan memurba diri. Kunci orang yang akan bahagia, yaitu keika bisa mengungkapkan diri secara proporsional. Hidup

semacam ini, menurut Toelken (1976:25-27) diperlukan folklore

learning. Arinya, folklor yang perlu belajar diri, secara bain, perlu

ditempa dengan situasi dan kondisi. Tantangan dan ujian, semakin mendewasakan belajar folklor spiritual.

Tanda-tanda orang yang telah memiliki daya hidup yaitu

apabila manusia Jawa mampu mawas diri dan memiliki rasa

rumangsa. Kedua hal ini menjadi tanda orang yang mampu

mencapai derajat manusia sejai. Manusia sejai juga disebut manusia utama. Keadaan demikian dalam isilah folklor perlu

ada implementasi dalam konteks folklife (Toelken, 2003:170). Folklife adalah kondisi empiris pelestarian budaya, yang merefer

pada tradisi yang masih hidup. Tradisi kehidupan orang Jawa secara spiritual memang mengedepankan rasa-rumangsa, yang

harus mengenakkan orang lain. Inilah tanda orang yang hendak mencapai derajat manusia sejai (paripurna). Maka ada tanda orang yang telah memiliki ingkat manusia sejai yaitu, (1) pandai bersyukur, dan (2) idak mudah marah, serta mampu merasakan perbuatan baik orang lain yang tertuju pada dirinya. Sebaliknya, tanda-tanda orang yang belum mencapai tataran manusia sejai, yaitu: (1) seringkali merasa idak puas terhadap hasil usahanya, (2) sering mengingat-ingat kejelekan orang lain. Jika orang mampu menghitung-hitung anugerha Tuhan, temtu akan menyebabkan

mudah bersyukur, begitu pula sebaliknya.

Jika seseorang telah mampu mawas diri, menelii diri

sendiri, akan menyebabkan daya hidup berproses. Mawas diri

akan menyebabkan seseorang mudah menerima kodrat. Kalau seseorang yang menganut kejawen telah mampu merasakan kejadian idak enak itu sebagai hasil dari hai kita sendiri, berari telah ada daya hidup dalam dirinya. Daya hidup itu akan

membuahkan koreksi diri, hingga seseorang mudah bersyukur,

menerima apa adanya kehendak Tuhan. Dalam isiilah folklor (Koentjaraningrat, 1990:337) orang tersebut akan mewariskan mitos-mitos bangsa. Mitos adalah keyakinan spiritual, yang ditaai untuk mencapai kebahagiaan. Mawas diri dan rasa-rumangsa adalah mitos spiritual yang menjadi pegangan masyarakat Jawa.

Siapapun sebenarnya tahu kalau berbuat jelek pada siapa saja

sebenarnya idak baik. Namun seseorang yang belum menguasai

daya hidup sering melanggar kata hai. Nurani itu sebenarnya tulus, puih, jernih, dan sulit dibohongi. Karena itu kalau ada orang yang berbuat jelek pada orang lain, itu sebenarnya telash melanggar hainya sendiri. Pelanggaran kata hai itu akan memudahkan

daya hidup lenyap. Pelanggaran hai yang terus-menerus, akan menyebabkan orang merasa salah. Kesalahan yang menumpuk dalam jiwa, akan menyebabkan seseorang senaniasa sengasara

(nandhang) dalam hidup.

Rasa salah akan selalu bertabrakan dengan rasa benar. Rasa salah dalam pandangan kejawen, akan menyebabkan salah arah dalam menuju sangkan paran. Rasa salah akan menyebabkan seseorang semakin terpuruk dalam hidup, seakan-akan hidup itu hampa, idak berari bagi orang lain dan dirinya. Tingkat rasa merupakan cermin misis orang Jawa, yang telah menguasai daya hidup. Dalam isilah Lang (Dorson, 1965:64) misisisme seseorang

terkait dengan sebuah peradaban. Orang sering bermain metafor kehidupan, yang dikenal dengan sebutan disease of languages,

arinya penyakit bahasa. Disebut penyakit bahasa, karena metafor

sering menyimpangkan bahasa, sehingga butuh tafsir. Terlebih lagi

terkait dengan rasa, tentu butuh tafsir. Maka, apabila orang Jawa mencapai olah rasa semakin banyak bermetafor. Bahkan keika

mereka berjiwa protes (gugat) terhadap kekuasaan Tuhan pun

penuh dengan metafor.

Untuk menuju rasa benar, orang Jawa senaniasa mau melii diri sendiri. Peneliian diri secara psikologis digali melalui

merasakan diri (rasa rumangsa). Rumangsa berari memahami

terhadap kesalahan diri sendiri. Dengan rumangsa, berari orang

Jawa ingin memperbaiki kesalahan hidup. Jika idak diperbaiki, kesalahan akan menahun, menumpuk, dan akhirnya menjadi penyakit hai.

Untuk mancapai rumangsa, orang perlu berindak telii dan

dalam hai. Hai yang bersih akan memunculkan niat yang suci yang menjadi modal rasa bener. Orang yang senaniasa salah dan idak pernah rumangsa, jiwa akan kotor, seperi halnya lampu balon yang terkena debu. Akibatnya, biarpun lampu itu dapat menyala, tetapi

tetap saja ada sisi hitam (pepeteng) dalam hai manusia. Sebaliknya

apabila seseorang senaniasa mawas diri dan rumangsa, jiwa akan

senaniasa emmancarkan kejernihan (pepadhang).

Rasa rumangsa menjadi modal kehidupan sosial yang amat

berharga. Rasa ini merupakan sebuah releksi diri yang paling dalam. Memahami diri sendiri sebelum berindak pada orang lain, merupakan pekeri yang bijak. Jiwa rasa rumangsa akan membangun kepercayaan diri serta menyebabkan seseorang idak selalu sombong. Mendalami rasa orang lain agar selalu berhai- hai merupakan jiwa yang bijak.

Rasa tersebut akan dibimbing oleh rasa halus (mutmainah),

agar seseorang senaniasa melakukan self-koreksi. Evaluasi diri dari sisi kejiwaan justru akan meningkatkan kesadaran total. Kesadaran jiwa secara total akan mempengaruhi seseorang lebih berindak dengan perhitungan. Rasa tersebut akan membimbing jiwa manusia agar senaniasa memperhaikan perhitungan

(petung) sebelum berindak. Aspek-aspek prevenif dapat diatasi

melalui rasa rumangsa.