• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnografi Politik, Folklor, dan Flu Budaya

FOLKLOR NUSANTARA DALAM SIRKUIT BUDAYA DAN ANTROPOLOGI SASTRA

D. Etnografi Politik, Folklor, dan Flu Budaya

Dengan penuh keyakinan, Ahimsa-Putra (2003:98) menegaskan bahwa di jagad posmodernisme, etnograi itu sebuah karya sastra. Etnograi postmodern juga belum tentu lengkap dan detail. Bisa jajdi etnograi itu hanya sebuah segmentasi kehidupan poliik, yang dipoles dengan folklor-folklor esteik. Etnograi yang bernuansa esteis itu sering campur aduk dengan karya sastra. Oleh sebab itu, memahami etnograi dan sastra sering rancu,

sehingga wawasan antropologi sastra diperlukan.

Semula, menurut Barker (2005:29) etnograi adalah usaha

membuat deksripsi dan analisis kebudayaan yang didasarkan

kerja lapangan secara intensif. Usaha semacam ini lama-kelamaan berkembang luas dan semakin berubah wujud. Etnograi dari waktu ke waktu berubah dengan aneka tambahan esteika, sehingga ada kedekatan dengan karya sastra. Etnograi modern semakin dipoles dengan gaya bahasa yang indah. Akibatnya, membaca etnograi idak jauh bebrbeda dengan memahami karya sastra.

Bohannan (Budiman, 2003:122) memberikan ilustrasi pertemuan sastra dan antropologi. Dia mencoba membacakan

Hamlet karya Shakespeare di pedalaman Afrika, ternyata penuh

tanggapan audien. Karya itu juga memuat nilai-nilai unibersal

kehidupan manusia. Sastra demikian hamper seirama dengan

sebuah etnograi. Penegasan karya itu sebagai sebuah karya besar antropologi dilakukan oleh Phyllis (Budiman, 2003:122)

dalam arikelnya berjudul Play and the problem of knowing in

Hamlet: An Excursion in to interpreive Anthropology.” Ini arikel

ini,menginformasikan bahwa ada relevansi antara teks iksi Hamlet

dengan releksivitas antropologi.

Belum lagi kalau wacana persandingan sastra dan antropologi itu dikembangkan lewat karya Budiman (1994:4-56) yang membahas Sri Sumarah karya Umar Kayam, Nyanyian Angsa karya WS. Rendra, dengan teori Levi-Strauss dan Turner, merupakan bagian tak terpsiahkan dari sisi antropologi sastra. Antropologi sastra ternyata dapat menjembatani keindahan cipta sastra yang bernuansa etnograi atau etnograi sastra. Semula, kemungkinan hanya sebuah main-main dan iseng, keika para penelii antropologi

sastra mulai melirik karya-karya folklor lisan dan lainnya. Namun realitasnya ternyata antropologi sastra justru lebih mengasyikkan. Kajian antropologi sastra justru mampu merambah asset budaya

yang terekam dalam sastra.

Entah disadari atau idak, sampailah kita pada “generasi hilang”, yang teraleniasi budaya. Kita sedang mengalami lu budaya, hingga

banyak manusia Indonesia teraleniasi. Kisah wayang Petruk Dadi

Ratu (Lombard, 2005:135) adalah gambaran rakyat yang awalnya

teraleniasi. Budaya priyayi yang gencar, banyak menggunakan “printah halus”, sering menggilas wong cilik. Petruk, sebenarnya gambaran

wong cilik. Hanya atas kekuatan pusaka Ngamarta, dia dapat menjadi

raja. Masalahnya, kalau sekarang banyak Petruk jadi raja, yang lupa pada “Karangkedhepel”, berari orang itu sedang lu berat.

Tak hanya itu, kita juga telah teraniaya oleh budaya yang kita rajut sendiri. Manusia itu perajut budaya ulung, terus-menerus, idak pernah jenuh. Dia akan merasa pegal linu, keika virus-virus lu budaya itu sudah terasa bengal di hidung. Maaf, keika kita sedang terjangkii lu budaya, kelihatannya kita idak sakit. Padahal, sebenarnya kita sedang menderita. Itulah budaya kita, terlebih lagi orang-orang yang meminjam isilah Hidayah (2010:88) “berotak repil”. Ingat kan kasus cicak buaya, bahkan sampai jilid 2, hingga kini juga masuk pei es. Konon, di bidang korupsi, orang yang berotak repile akan terproses untuk senaniasa mempertahankan

kelangsungan hidup, membentuk kebiasaan buruk yang sulit

diubah. Berbeda dengan otak mamalia, memproses peraaan, memori seks, lapar, idur, cinta, dan penuh kelembutan.

Orang yang memiliki otak repil terlalu sensiif, hingga terjangkii lu budaya, mau idak mau akan memunculkan

iga hal: (1) pusing-pusing, kebingungan, (confuse), stamina

berkurang drasis, (2) batuk-batuk budaya, yang terasa geir,idak

enak didengar karenabunyi “cekroh” itu bukan suara lagu Kutut

Manggung, (3) memuntahkan riak-riak budaya yang tak sedap

dipandang. Pendek kata, keiga hal itu merupakan dampak yang selalu hadir pasca lu-lu budaya melanda bangsa ini, yang apabila kita idak tahan akan terkulai. Paling idak kita akan sampai pada ingkat (a) jeleh dan (b) jijik, hingga menyatakan generasi sekarang sudah idak berbudaya lagi. Lingkaran setan sudah idak mungkin terputus, senyampang manusia itu masih bernafas. Bernafas, arinya masih menghembuskan budaya.

Tidak sadarkah kita, bahwa di sekeliling ini sudah bertebaran

limbah-limbah budaya. Kita semakin sulit bernafas segar, berbudaya luhur, yang steril. Saya pikir akan nonsence. Namun, sering banyak teman yang idak sependapat. Utamanya, keika ada

acara “table discussion” di redaksi Suara Merdeka, saya bersama

Tanto Mendut dan Moh Sobary (25 Juni 2006), saya senil: orang

Jawa jelek. Sontak, waktu itu tanggapan semakin memaki saya. Tidak hanya di ruang diskusi, tapi pas diskusi, banyak yang memaki.

Padahal, hasil simakan saya, memang begitu, orang Jawa sedang lu budaya. Dengan rinihan, kita sudah diombang-ambingkan,

ditenggelamkan, dikileni, dan tak terasa diformat oleh limbah budaya. Hampir semua hal, mulai dari persoalan menyeberang

jalan, beli brambang, menonton teve, bermain HP, kenduri, mengubur jenazah, mandi, dan sebagainya sudah terpoles oleh

limbah budaya yang semakin dahsyat.

Tiba-iba saja,sejak saya pulang dari Mekah, tanggal 12

inggalkan 40 hari kambuh lagi. Selama lebih sebulan saya idak menyaksikan TV (Indonesia) yang banyak memutar tayangan “rumah sakit jiwa” (pinjam isilah mas Nano, yang dikuip berkali- kali oleh Emha Ainun Nadjib (1995:277). Yang mengherankan, Caknun (sebutan Emha, meragukan akan cramah Nano (1992) itu omongan orang sama-sama sakit jiwa atau orang waras. Tulisan itu seutuhnya berbunyi “saya merasa dunia sedang berbubah menjadi sebuah rumah sakit jiwa. Dokter-dokter bersembunyi di balik tabir tak tembus pandang. Suara mereka hanya gema-gema, tak pernah jelas apa maknanya. Dan saya ada di sana, ada di sana….”.

Saya paham, bahwa yang dimaksud dunia di wacana itu tak lain yang bangsa kita ini. Mudah-mudahan betul terkaan saya. Pasalnya, saya menyaksikan sejak orde baru hingga orde reformasi, yang berjilid-jilid itu, memang orang-orang seperi sedang sakit jiwa.Masih mending kalau mereka sudah direhabilitasi di rumah sakit jiwa, arinya agak terkendali. Paling idak, yang sakit jiwa itu dapat disunik idur, biar idak tampak gilanya. Sayangnya, dokter- dokter semua bersembunyi. Metafor semacam itu, idak lebih adalah potret budaya kita yang sedang carut marut ini.

Semua yang idak tahan pada proses alami lu budaya, akan terjepit dan teralineasi. Orang yang kehabisan akal membaca tanda-

tanda budaya, semakin terdesak dan teralineasi oleh budaya itu sendiri. Manusia semakin diserang oleh waktu dan ruang. Sebagai

contoh, (1) anak kecil sudah jauh dari wacana “susu murni”, yang dikantongi seorang ibu, melainkan harus minum susu “bergambar bendera” dan lembu. Padahal, senyatanya antara anak dan ibu

dapat saling ibadah dengan susu asli itu. (2) undangan pernikahan

mengurangi rasa hormat, mohon maaf kami idak menerima tamu di rumah.” Beranikah anda menulis “tanpa mengurangi rasa

hormat, kami idakmenerima sumbangan dalam bentuk apa pun, kecuali doa.”

Biarpun mereka ada yang persetan (rai gedheg), yang sedang

lu dan sakit Jiwa, lalu melakukan supata “gantung saya di Monas”,

gantung saya di tugu Menado, tetapi mata dan telinga masyarakat

sulit dihapus begitu saja. Masyarakat memiliki stempel yang jauh lebih paten. Maka, keika ada anggota DPR RI yang selingkuh dengan sekretaris, ada pejabat yang diduga selingkuh, Kapolsek dengan kapolsek selingkuh di DIY, bupai/wali kota yang hobi masuk penjara, ini menandai bahwa Jawa yang luhur telah luntur (Endraswara, 26 Maret 2012). Tegasnya, yang ada di sampah itu “dulu bunga-bunga harum”. Bukankah begitu.

Berhadapan dengan lu budaya, layak apabila kita mewaspadai fenomena budaya di depan mata, yaitu: (1) orang-orang yang gemar menggunakanngelmu orong-orong, untuk meloloskan idenitas

dirinya, mengkhalalkan berbagai hal, agar dirinya mendapat

kenikmatan, (2) orang-orang yang menggunakan ngelmu manggis

(Endraswara, 2012), akan berbahaya keika sedang memegang pimpinan apa pun. Kedua hal terakhir ini, adalah potret orang- orang yang sedang terkena lu budaya, yang cepat atau lambat akan mengalineasi orang lain. Biasanya orang tersebut berindak

budaya dengan “inner wordly”, arinya berorientasi keduniawian.

Tingkah budayanya idak bertujuan untuk “common goodness

in others”, arinya migunani tumrap sesame (liyan), melainkan

133

FOLKOR BUKAN LISAN: MAKANAN RAKYAT SEBAGAI SUMBER