• Tidak ada hasil yang ditemukan

MITOLOGI, DONGENG KEPEMIMPINAN SEBAGAI FUNGSI KOMUNIKASI KEBUDAYAAN

E. Legenda Kepemimpinan

6. Keahlian Perang

Keahlian perang ditunjukkan oleh putra Prabu Siliwangi, Sunan Burung Baok. Ia gagal menjadi penguasa Timbanganten dan diberi hukuman mai oleh ayahnya sendiri. Ia bertobat dan meminta hukumannya digani dengan tugas sebagai senapai.

Prabu Siliwangi mengabulkan permintaan itu dan memerintahkan

Burung Baok berhasil menjadi senapai tangguh Pajajaran.

Raden Santang Peretala, geus kamashur perjurit pakuning

bumi, di Pulo Jawa kamashur, Kangjeng Perbu Pajajaran, geus kagungan pakuning bumi nu punjul, di mana aya nu baha, Santang Pertala nu ngusir. (Pupuh X, bait 11).

Terjemahan:

Raden Santang Pertala, telah termasyhur prajurit penjaga bumi, termasyhur di Pulau Jawa, kangjeng Prabu Pajajaran, telah mempunyai penjaga bumi yang unggul, seiap ada ancaman, Santang Pertala yang mengusir.’

Keahlian perang merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh seorang raja di mana pun untuk dapat mempertahankan diri. Akan

tetapi, tampaknya dalam pandangan orang Sunda yang sikapnya

relaif halus dan idak terlalu menyenangi konlik, keahlian perang dibutuhkan dalam keperluan minimalnya. Melalui Babad Timbanganten (BT), kita diingatkan bahwa raja adalah seorang manajer. Ia idak perlu secara langsung memiliki keahlian perang,

tetapi harus mengatur seseorang untuk memiliki keahlian itu dan

bertugas sesuai dengan tugasnya. Burung Baok yang berperangai keras gagal menjadi raja dan idak dipaksakan sebagai raja, tetapi dijadikan senapai yang sesuai dengan karakter dan keahlian

berperang yang dimilikinya.

7. Pertapa

Sifat pertapa tampaknya cukup dominan dalam Babad Timbanganten (BT). Ada dua tokoh yang diceritakan melakukan pertapaan, yaitu Sunan Sandi dan Ratu Inten Dewata. Sunan Sandi adalah ayah Ratu Pasehan dan digambarkan sebagai seorang resi

atau pandita wiku yang pengetahuannya luas dan dalam (awas sadurung winara) karena sering bertapa. Ratu Inten Dewata

melakukan tapa untuk keperluan tertentu. Ia bertapa untuk memohon agar anaknya kelak bisa menjadi raja Timbanganten. Kuipan yang menunjukan pertapa sebagai suatu sifat yang dapat dijadikan contoh sebagai berikut:

Sarta bari diiimang, diciuman bari nangis, ujang muga sing tawekal, ayeuna ibu rek pamit, seja muja semedi, ibu rek tapa di gunung, seja napaan ujang, manawi baring supagi, ujang ageng bisa mangku jadi raja. (Pupuh VIII, bait 3)

Terjemahan:

Dan sambil digendong, diciumi sambil menangis, ujang semoga tawakal, sekarang ibu pamit, hendak bersemadi, ibu akan bertapa di gunung, bertapa untuk ujang, semoga kelak, setelah ujang besar bisa menjadi raja.’

Sifat pertapa memang harus dimiliki oleh seorang raja. Oleh karena itu, saat Burung Baok gagal memerintah karena gagal mengendalikan hawa nafsunya, Ratu Pasehan mengurungnya di dalam gua untuk mengevaluasi diri dengan bertapa.

Teu turut bageur ayeuna, sugan bageur isuk deui. Tatapi ujang ayeuna, kudu turut ka wawangsit, ayeuna baris digani, pangwarah ama ka enung, ayeuna baris dikiyas, ditutup di jero bumi, di cawene koneng sajero ing guha.

Saolah-olah tatapa, di jro guha kudu mikir, sajro opat puluh

dina, pikeun dilanglangan paih. Upami eunggeus kapikir, sanajan karek saminggu, teu kedah pat puluh dina, i guha dilaan deui, eta kitu ama teh nerapkeun kiyas. (PupuhII, bait 21—22)

Terjemahan:

Tidak menurut sekarang, semoga esok kembali baik. Tetapi ujang sekarang, harus patuh pada petunjuk, sekarang akan digani, pelajaranku kepadamu, sekarang akan dihukum, diasingkan ke perut bumi, di tempat dalam gua.

Seolah bertapa, di dalam gua harus berpikir, selama empat puluh hari, untuk dijaga oleh paih. Setelah terpikir, meskipun hanya seminggu, idak perlu empat puluh hari, dikeluarkan dari gua, itulah hukumanku.’

Dari kuipan tersebut, kita mengetahui bahwa bertapa dilakukan sebagai cara untuk berkontemplasi dan mengoreksi diri

sekaligus usaha untuk mencari pulung atau legiimasi atas sebuah

jabatan yang besar. Menurut Lubis (2000: 137), konsep keiban

pulung dari hal gaib, seperi jelmaan penguasa sebelumnya,

sebagai legiimasi kekuasaan seseorang merupakan pengaruh Mataram. Akan tetapi, konsep itu dimaknai dengan makna baru.

Jika pulung dalam budaya Jawa berbentuk isik, pulung dalam

budaya Sunda lebih bersifat abstrak. Pulung dalam budaya Sunda

juga idak saja diterima secara pasif, tetapi harus akif dicari seperi yang dilakukan Inten Dewata dengan bertapa.

Uraian tersebut menggambarkan kecenderungan yang berlaku umum tentang sifat-sifat ideal seorang pemimpin. Ketujuh sifat yang dicitrakan dalam Hikayat Srirama terdapat juga dalam Babad Timbanganten (BT). Ketujuh sifat itu idak diwujudkan

melalui satu tokoh, tetapi melalui beberapa tokoh yang masih

dalam lingkungan kerajaan, yaitu Prabu Siliwangi, Ratu Pasehan, Ratu Inten Dewata, Sunan Sandi, dan Sunan Burung Baok.

Namun, dalam WBT terdapat juga ajaran-ajaran tentang sifat

ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang belum

termasuk dalam ketujuh sifat tadi. Saat dalam pengasuhan, Sunan Burung Baok dinasihai oleh Ratu Pasehan beberapa hal yang harus dan idak boleh dilakukan.

a. Jujur dan Menepai Janji

Seorang pemimpin harus bersifat jujur. Jujur akan menyebabkan raja dicintai rakyatnya. Keidakjujuran akan berujung pada kehilangan wibawa dan kehancuran.

Wireh lain ka sasama, basa anu akur ta’dim, moal pupul kapangkatan, kamaikan kitu deui, sok tara apes ku lanip, tara ngewa ka nu lungguh, nu sok kabendon cilaka, lantaran geus kabuki, ngagedekeun rahul bohong pala cidra. (Pupuh II, bait 5)

Terjemahan:

‘Merasa idak sederajat, bahasa yang sesuai, idak akan turun pangkat, begitu juga kamaikan, takkan sial karena hai-hai, takkan dibenci karena rendah hai, yang selalu celaka, karena sudah terbuki, sering berbohong idak menepai janji.’

b. Tidak Boleh Sombong

Kesombongan adalah sifat tercela pada semua orang terlebih pada seorang pemimpin. Seperi telah dikemukakan sebelumnya

bahwa perbedaan dalam hidup berfungsi dalam hubungan sosial. Seseorang dianggap menak atau raja karena ada rakyat dan sebaliknya.

Keduanya harus saling menghargai sesuai dengan posisinya.

Di Timbanganten nagara, ujang lamun jadi Aji, kudu ka Timbangantenan, manah masing lanip budi, carek basa cohag geuning, ulah arek “gede hulu”. Sok matak deukeut pitenah,

ku sabab ilar pamilih, harina teh ujang ka Timbangantenan.

(Pupuh II, bait 9)

Terjemahan:

‘Di negara Timbanganten, kalau ujang ingin jadi raja, harus menjalankan kaimbangantenan, hai harus hai-hai, jangan seperi dikatakan orang, yaitu jangan besar kepala. Selalu mengundang itnah karena salah memilih, itulah kaimbangantenan.’

c. Hai-hai Menerima Informasi

Diwuruk tata krama, tata ii uda nagri, jeung deui ama teh ujang, dek nurunkeun ngilmu budi, di Timbanganten nagari, menggah

anu jadi ratu, kudu apik sing sampurna, ulah dek guguan teuing,

kana marga nu matak pondok baraya. (Pupuh II, bait 3)

Terjemahan:

‘Diajar tata krama, aturan negeri, dan lagi aku, akan menurunkan ilmu budi, di negeri Timbanganten, yang akan menjadi raja, harus telii dan sempurna, jangan mudah mengikui omongan orang, yang menyebabkan putusnya hubungan.’

Ajaran itu diberikan oleh Ratu Pasehan kepada Sunan Burung Baok. Ternyata isi ajaran itu terbuki dalam WBT. Prabu Siliwangi yang dianggap sebagai raja besar ternyata memiliki kelemahan. Ia pernah berbuat salah karena idak telii dan terlalu mudah mempercayai omongan Sunan Burung Baok yang berisi itnah terhadap Ratu Pasehan.

d. Sabar

nganiaya, ngawiwirang kana diri, kudu damel nimat hasil, eta

matak panjang umur, sabar sobatna darana, ari ka nu tara belik, dipigeugeut ku mahluk saalam dunya.(Pupuh II, bait 10)

Terjemahan:

‘Orang sabar, idak mudah sakit hai, jika dianiaya, memalukan diri sendiri, harus berpikir posiif, membuat panjang umur, sabar dekat dengan bahagia, orang yang idak mudah sakit hai, dikasihi seluruh penghuni dunia.’

Sifat sabar ini ditunjukkan langsung oleh Ratu Pasehan. Ia memang merupakan seorang raja, tetapi merupakan raja bawahan Prabu Siliwangi. Ia mengetahui tabiat Sunan Burung Baok, tetapi mencoba bersabar dan memegang amanat yang diberikan Prabu Siliwangi untuk mendidik anaknya. Ia tetap bersabar meskipun dianiaya dengan itnah oleh Sunan Burung Baok. Ia rela menjalani hukuman dari Prabu Siliwangi yang akhirnya batal dijatuhkan

karena kebenaran terungkap.

e. Membumi

Heug ayeuna geura jajah, iyeu wawangunan negri, wakil ama

heug ronda iyeu jro kota.(Pupuh II, bait 13)

Terjemahan:

‘Segera jelajahi, seluruh negeri, wakilku hendaklah menjaga isi kota.’

Ratu Pasehan mengajarkan seorang raja harus mengetahui keadaan rakyat dan negerinya. Setelah Sunan Burung Baok mengganikan Ratu Pasehan, Ratu Pasehan segera memerintahkan Burung Baok untuk menjelajah, mengamai isi negeri. Ia juga memerintahkan Burung Baok untuk menjaga negerinya.

F. Penutup

Akhirnya dengan dieksplorasi peran dan fungsi cerita rakyat seperi wujud mitos,legenda ataupun cerita lainnya diharapkan

dapat terdokumentasi keberagaman dan kekayaan budaya bangsa

kita, Akhirya wuud kearifan lokaldapat dimanfaatkan dengan baik,

karena dalam kebudayaanini ada pesan yang tersirat yang dapat

dimanfaatkan sebagai pembentukan kharakter dan idenitas jai diri kebangsaan secara umum, secara khusus dapat menjadi pengembangan dan kearifan local daerah.

98

TRADISI WIWIT DAN NINI THOWONG PETANI PUNDONG