FOLKLOR NUSANTARA DALAM SIRKUIT BUDAYA DAN ANTROPOLOGI SASTRA
C. Folklor Politik dan Religi: Budaya Lamis dan Noda Hitam
Sastra dan budaya poliik memang sulit dipisahkan. Morgenthau (Alian, 2003:173) menyatakan bahwa poliik adalah kekuasaan yang mampu mengontrol pikiran dan indakan lain. Lewat folklor, yang di dalamnya terdapat sastra lisan, poliik dapat bermain di dalamnya. Folklor adalah ekspresi kekuasaan, yang dapat merebut berbagai tujuan. Lewat folklor, seseorang dapat mengekspresikan kegelisahan poliik. Dengan kata lain, biarpun folklor itu tergolong sebagai warisan masa lalu, tetap akomodaif dengan perubahan budaya poliik.
Leach (Hutomo, 1993:1) menyatakan bahwa folklor
merupakan a lively fossil, which refuses to die.” Folklor memuat
sastra lisan sebagai warisan budaya nenek moyang. Warisan itu seperi fosil, yang suatu saat justru menjadi benda anik, yang
banyak dicari orang. Budaya lamis yang termuat dalam lelagon
Aja Lamis, kini sudah menjadi lagu lisan (oral literature). Ahimsa-
Putra (2003:77) menyatakan bahwa ora literature telah meluas pengeriannya. Sastra pun telah meluas maknanya, termasuk mitos dan objek kajian sastra lain yang memiliki keindahan, dapat
disebut sastra.
Sastra lisan, dalam wawasan antropologi budaya dapat
2003:78). Dalam lagu di atas, budaya lamis telah merebak dalam prakik kehidupan social dan poliik. Budaya lamis memang manis, menjadi pemanis kehidupan. Tampaknya itu yang merong- rong budaya Jawa, sebagai virus kronis, yang kurang disadari. Kecerdikan pelaku budaya Jawa yang gemar berbudaya lamis, tampak berminyak air. Inilah lipsick tebal yang dikenakan pada permukaan budaya. Akibat dari “iik-iik hitam” yang memenuhi budaya Indonesia, banyak yang terperosok ke jurang hitam. Kalau saya baca laporan Husken (1988:345-365) tentang prakik budaya agama dan budaya poliik, sungguh banyak budaya lamis yang dia tampilkan. Garis pemisah agama dan poliik pun kabur.
Agama miturut pikirane dhewe, itulah yang terungkap. Agama
itu urusan perorangan, mau santri atau abangan, idak soal. Mau mencoblos apa silakan. Begitu idealnya. Namun yang terjadi di Gondosari, idak demikian. Begitu pula yang sering mewarnai budaya masakini, agama, budaya, dan poliik, dan masih diimpali
ekonomi sering berebut. Mereka berperilaku lamis.
Mereka jatuh ke lubang hitam, kubangan hitam, dan sejenis
basic drive yang semakin kumal. Penuh noda. Mereka idak mengira kalau ada “cctv” yang merekam ke dalam kotak hitam. Analog dengan pesawat, kotak hitam budaya itu juga mampu merekam sendi-sendi budaya, dari yang hitam hingga yang puih. Hal ini terinspirasi seorang wartawan local yang dipukuli petugas gara-gara melipui pesawat jatuh. Itulah potret kotak hitam budaya kita yang sesungguhnya. Keika aka nada rahasia yang terbuka, orang sering “tegel” (tega) pada sesama. Namun, rekaman yang selama ini “pernah saya buka”, jelas banyak noda hitam. Hanya saja, pelaku budaya idak sedang sadar kalau berpolah ingkah lamis. Maksudnya, ada orang yang kelihatan
berjuang demi negara, masyarakat, kelompok, padahal sebenarnya untuk dirinya sendiri. JIka jumpa pers kelihatan rapi dan manis, tapi hainya lamis. Hainya berbulu panjang.
Budaya lamis tak ubahnya seperi permainan symbol. Tiap
pelaku budaya ingin bermain dengan symbol, misalnya “minta apel
besar.” Begitulah ips-ips para poliikus keika bermain budaya satu sama lain. Hanya golongan tertentu yang mampu menerjemahkan symbol yang harus dihayai secara TST (tahu sama tahu). Budaya lamis pun sering penuh dengan symbol hitam. Banyak kata-kata
yang dilontarkan, dibangun dengan wacana “adhem ayem”, sorot
mata bening,lambaian tangan halus, tapi sebenarnya dia akan
berbuat: (a) menjegal, (b) berkhianat, dan (c) berdusta pada pihak lain. Celakanya, pelaku budaya lamis yang bernoda hitam, jika telah akan terjepit (kepojok, kejodheran), akan mengambil dua
jalan: (a) ight, arinya melawan, bertengkar, adu mulut, membela,
menutupi. Kebohongan diselimui dengan bohong dan (b) light,
arinya terbang, lari terbirit-birit, cuci tangan, dan idak bertanggung jawab. Kedua pilihan orang lamis itu, sama-sama merugikan pihak lain. Entah mereka melawan ataupun lari secara simbolik, dengan dalih berobat ke luar negeri, secara simbolik dia sedang lamis.
Sejak Turner (Dillistone, 2002:112) menelii masyarakat dan budaya Ndembu, kemudian dikembangkan ke peneliian ziarah pada budaya etnis di dunia, symbol dan jagad lamis semakin muncul. Banyak peziarah, yang hadir di tempat-tepat (a) bertuah, (b) sakral, dengan tujuan untuk menerima berkah. Banyak kontestan yang datang ke Gunung Srandil, Jambe Pitu, Pemandian Jumprit, Kembang Lampir, dan sebagainya sesungguhnya dia sedang lamis spiritual. Cukup tragis, ada pula yang sengaja
“umroh” tetapi sedang lamis spiritual, ingin membuang sebel.
Mungkin, itu lakon Gatutkaca Maneges atau Wisanggeni Gugat.
Mereka mengkamulase diri (lamis), dengan pura-pura rendah hai, ikhlas, pasrah, padahal sebenarnya hainya ada tuntutan tertentu. Banyak dikanan kiri kita, yang sebenarnya “mengangguk- angguk”, tersenyum-senyum, banyak kata-kata bijak, kaya doa-
doa, tetapi sebenarnya mereka ingin membunuh karier orang lain.
Mereka, umumnya seperi menabur bunga, padahal sesungguhnya sedang menabur duri. Di jagad budaya poliik, mantan ketua KPK, Bibit S Rianto pernah mengisyaratkan hadirnya iga pilar hitam, yaitu (a) poliik hitam, (b) hukum hitam, dan (c) ekonomi hitam. Sinyal ini benar-benar menandai bahwa bangsa Indonesia tengah menikmai hidup berbudaya hitam. Kalau direnungkan, berkiblat dari gagasan Frunk Fueredi (Widarmanto, 2011:36) pelaku lamis itu sedang asyik dengan “the cult of philisinism”. Mereka sedang gila dan memuja budaya
kedangkalan. Mereka bergerak pada tataran kulit, bukan pada isi.
Getah budaya lamis memang luar biasa. Itu akan terjadi terus- menerus,sampai manusia bosan melihat matahari. Begitulah fenomena besar budaya yang dilukiskan Pontjodiwirjo (2012) yang bakalmengukir kesengsaraan bangsa. Namun sebaliknya jika
manusia mampu mengorganisir para pemain symbol yang lamis itu, hidup harmoni akan diraih di akhir zaman. Manusia memang
pencipta symbol dan lamis terbesar. Terlebih lagi, manusia itu diitahkan makan “dengan tangan” seperi monyet, bukan seperi ayam.Yang saya catat dan saya alami sendiri, Sampai hari ini, 20 Nopember 2012, seidaknya saya masih percaya pada gagasan Geertz
ini panggung teater (sandiwara). Bahkan dengan nada yang agak yakin, Huizinga (1990), juga menegaskan “kehidupan sosiokultural itu seperi serangkaian permainan.” Permainan itu jarang yang
memuaskan. Para pemegang saham budaya pun semakin meyakini bahwa atas dasar role theory (teori peran), senaniasa manusia
tercebur ke dalam kubangan sebuah drama. Sungguh manis dan sekaligus tragis drama social dan budaya di negeri ini.
Seakan-akan, seiap permainan budaya sudah tercerabut
dari akarnya. Banyak yang telah lupa pada akar dan ini (culture
core), yang semesinya memakmuran manusia, tetapi justru
menyunat dan bahkan membungkam manusia. Oleh karena
sebuah permainan, prakik budaya (acion culture) semakin riuh
dengan persaingan idak sehat. Sebagai anggota masyarakat sipil,saya sering hanya dapat menjadi pengamat sedih terhadap ulah theatricality para pemegang saham budaya. Budaya, lebih gampangnya menjadi milik golongan pengendali. Para
pengendali budaya bebas (a) melempar ide, (b) mempermak
budaya, (c) menyusun skenario budaya, dan lain-lain yang ujung- ujungnya,budaya sering menjadi kendaraan mereka.