• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beragam Aktivitas dalam Konteks Kebudayaan Megalitik

Rupanya aktivitas pemujaan yang menggunakan benda megalit sebagai media menandai setiap situs yang memiliki peninggalan tersebut. Secara keseluruhan situs-situs megalitik di Soppeng memberi kontribusi besar dalam penjelasan mengenai aktivitas pemujaan terutama berkaitan dengan usaha pertanian maupun perladangan. Di Sewo (Kelurahan Bila), peninggalan megalitik tersebar pada areal perbukitan dengan titik sentrum terletak di atas bukit yang disebut “Petta Allangkanange”. Di atas puncak bukit tersebut ditata secara apik berbagai bentuk kebudayaan megalitik (seperti batu pemujaan, altar, dakon, dan struktur yang berteras) dan hingga kini masih digunakan oleh penduduk sebagai tempat melakukan ritual atau melepas nazar. Tempat tersebut digunakan untuk bernazar dan ada hubungannya dengan pertanian. Bentuk aktivitas tersebut dikenal dengan istilah “massorong”. Massorong dalam bahasa Bugis berarti memberi persembahan sebagai bentuk penghormatan kepada sesuatu sosok yang dipuja. Fenomena budaya dan tradisi seperti itu juga ditemukan di Goarie (Libureng), Umpungeng, Salotungo, dan Marioriawa.

Situs-situs megalitik di Soppeng pernah menjadi situs permukiman suatu komunitas yang mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Situs dianggap sesuai untuk menetap karena mempunyai sumber alam yang cukup untuk kesinambungan hidup komunitasnya. Komunitas tersebut lazimnya tinggal di puncak dan lereng bukit demi menjaga keamanan dari ancaman bahaya binatang buas atau banjir. Mereka menanam padi dan sayur-sayuran di atas bukit. Aktivitas ekonomi yang utama merupakan pertanian dan penternakan hewan. Kegiatan pertanian

dibuktikan dengan penemuan lumpang batu di setiap situs. Komunitas itu mempunyai pengetahuan teknologi yang telah maju pada masa itu untuk bercocok tanam dan membuat perlengkapan hidup mereka seperti pisau, tombak dan parang.

Berdasarkan kemampuan teknologi yang dimiliki, mereka dengan mudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Teknologi pertanian, terutama dalam hal pengolahan ladang dan sawah dikembangkan sehingga merupakan wilayah yang surplus. Masyarakat melakukan sistem pertanian padi dengan teknik sawah berpetak-petak di areal tanah yang datar dan sawah berteras-teras di daerah perbukitan dengan penggunaan teknik pengairan yang baik serta menanam padi ladang dengan hasil panen padi yang surplus pula. Tingkat penghasilan produksi padi di Soppeng sejak dahulu merupakan dasar terbentuknya hirarki sosial dalam masyarakat.

Hadirnya berbagai ragam kebudayaan megalitik di Soppeng menunjukkan tahap pengetahuan dan semangat gotong royong yang tinggi. Hal ini terjadi karena untuk membangun sebuah monumen megalitik seperti susunan batu temu gelang dan menhir, memerlukan banyak tenaga manusia yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan orang. Lebih daripada itu, masyarakat menandai suatu titik di daerah Umpungeng dengan altar batu yang diletakkan di bagian tengah susunan batu yang melingkar di tengah perkampungan mereka. Masyarakat meyakini tempat tersebut sebagai titik sentrum kekuatan suatu negeri yang mereka sebut sebagai “possi tana” (pusat kampung). Fenomena tradisi dan kepercayaan seperti itu juga ditemukan di Bantaeng, Bulukumba dan Tana Toraja yang mengingatkan bahwa terdapat konsep kepercayaan masyarakat dalam menandakan titik pusat dari segalanya.

Komunitas yang tinggal di bukit atau lereng gunung membentuk pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh seorang matoa. Komunitas-komunitas itu terbentuk sebelum menjadi sebuah kerajaan, seperti halnya dengan komunitas Tongkonan pada etnik Toraja, komunitas

Wanuwa pada etnik Bugis, komunitas Banua pada etnik Mandar dan

komunitas Kasuwiyang-Gallarang-Limpo pada etnik Makassar. Ketika itu juga terbentuk sebuah komunitas yang kompleks dan berkembangnya sistem sosial yang kompleks pula. Dalam sebuah masyarakat yang

kompleks, simbol kelas-kelas sosial menjadi hal yang sangat penting dalam kebudayaan mereka seperti monumen-monumen megalitik. Penduduk tersebut membentuk suatu komunitas adat dan selanjutnya berkembang ke arah yang lebih kompleks dari segi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Perkembangan komunitas tersebut pada kemudian hari, yaitu abad ke-13 M membentuk persekutuan dan menjadi kerajaan pertama yang muncul di Soppeng. Para matowa memerintah di dalam satu komunitas sebelum kerajaan tersebut terwujud.

Wujudnya stratifikasi sosial dalam kehidupan masyarakat Soppeng pada awalnya bermula dari mitos Tomanurung yang dipercayai turun dari kayangan dengan berpakaian kebesaran dan mempunyai kesaktian. Mitos tersebut yang juga menjadi dasar pelaksanaan sistem hubungan antara individu dalam kehidupan bermasyarakat.

Referensi

Barker, Graeme, Barton, H., Boutsikas, E., Britton, D., Davenport, D., Ewart, I., Farr, L., Ferraby, R., Gosden, C., Hunt, C., Janowski, M., Jones, S., Langub, L., Lloyd-Smith, L., Nyiri, B., Pearce, K., and Upex, B.,2009. “The Cultured Rainforest Project: The Second (2008) Field Season”.

Sarawak Museum Journal. Vol. LXVI, No. 87: 120-184.

Beatty, Andrew. 1992. Society and Exchange in Nias. New York: Oxford University Press.

Dung, Lâm Th My. 2008. Study of Megalith in Vietnam and Southeast Asia.

Social Sciences Information Review, Vol. 2, No.3, Sept. 2008, hlm.

33-38.

Geldern, R. von Heine. 1945. Prehistoric Research in The Netherlands Indies, Science and Scientists in The Netherlands Indies, hlm. 129-167 Pieter Honing, Ph.D. and Frans Verdoorn (ed) New York. Handini, Retno. 2008. “Upacara Tarik Batu di Tana Toraja dan Sumba Barat:

Refleksi Status Sosial dalam Tradisi Megalitik”. Dalam Kumpulan

Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI di Solo, 437-445. Jakarta:

Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Hasanuddin. 2000. “Peninggalan Megalitik di Situs-situs Nias Selatan: Kajian Bentuk dan Fungsi”. Tesis Sarjana. Fakulti Ilmu Budaya Universiti Indonesia, Jakarta.

____________. 2001 “Analisis Fungsional Situs Megalitik Sewo, Soppeng”.

____________. 2003. “Pola Permukiman Masyarakat Toraja”. Dalam buku

Toraja Dulu dan Kini (Editor: Akin Duli dan Hasanuddin). Makassar:

Refleksi Pustaka.

____________. 2015. “Kebudayaan Megalitik di Sulawesi Selatan dan Hubungannya dengan Asia Tenggara”. Thesis Ph.D. Pulau Penang: Universiti Sains Malaysia.

Hudson, Bob. 2005. A Pyu Homeland in the Samon Valley: a new theory of the origins of Myanmar’s early urban system. Myanmar Historical

Commission Conference Proceedings, Part 2: 59-79 Universities

Historical Research Centre, Yangon.

Kallupa, Bahru; Bulbeck. David; Caldwell, Ian; Suamntri, Iwan; Demmanari, Karaeng. 1989. Survei Pusat Kerajaan Soppeng 1100–1986. Australia: Final Report to the Australian Myer Foundation.

Kauffmann, Hans Eberhard. 1971. “Stone Memorials of The Lawa (Northwest Thailand)”. Journal of The Siam Society 59 (1): 129-151. Koestoro, Lucas Partanda and Wiradnyana, Ketut. 2011. Megalithic

Traditions in Nias Island. Medan: Archaeological Office.

Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.

Muh. Nur. 2008. “Korelasi Situs dan Lingkungan Fisik (Studi Kasus Situs-Situs Kerajaan Soppeng, Sulsel)” Jurnal Walennae Vol. 10 (14): 88-97. Makassar: Balai Arkeologi

Mulia, Rumbi. 1981. Nias: The Only Older Megalithic Tradition in Indonesia.

Bulletin of The Research Centre of Archaeology of Indonesia, No.

16, Jakarta.

Mundardjito. 1993. Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa

Hindu-Budha di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro. Disertasi, Fakultas Sastra Universiti Indonesia.

Osman, A. Jalil dan Yatim, Othman. 1988. “Sejarah Kebudayaan Megalitik (Batu Hidup) di Malaysia: Satu Pengenalan”. Jurnal Arkeologi

Malaysia, Bilangan 2: 70-81.

Prasetyo, Bagyo. 2008. “Penempatan Benda-benda Megalitik Kawasan Lembah Iyang-ijen Kabupaten Bondowoso dan Jember, Jawa Timur”. Disertasi Fakulti Ilmu Budaya Universiti Indonesia. (tidak diterbitkan).

Prasetyo, Bagyo. 2015. Megalitik Fenomena yang Berkembang di Indonesia. Yogyakarta: Galangpress

Schnitger, F. M. 1989. Forgotten Kingdoms in Sumatra. New York: Oxford University Press.

Soejono, R.P. (ed.) 1984. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka.

Sudarmadi, Tular. 1999. An Ethnoarchaeological Study of The Ngadha, A Megalithic Culture in Central Flores, Indonesia. Tesis. The School of Human and Environmental Studies, University of New England, Armidale, N.S.W.

Sukendar, Haris. 1980. “Tinjauan tentang Berbagai Situs Megalitik di Indonesia”. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sukendar, Haris. 1993. “Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya dalam Peribadatan”. Tesis (tidak diterbitkan). Universiti Indonesia. Sutaba, I Made. 1999. “Dinamika Sosial Masyarakat Megalitik di Indonesia:

Local Genius atau Perkembangan Lokal”. Dalam Pertemuan Ilmiah

Arkeologi VIII: 409-411. Jakarta: Puslit Arkenas.

Tylor, Paul Michael and Aragon, Lorraine V. 1987. Beyond The Java Sea, Art

of Indonesia’s Outer Islands. New York: Harry N. Abrams, Inc.

Yuniawati, Dwi Yani. 2006. Kubur Batu Waruga di Sub Etnis Tou’mbulu,

Sulawesi Utara. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan

Arkeologi Nasional: 24.

____________________. 2010. “Temuan Tradisi Budaya Austronesia Akhir Protosejarah (Megalitik) di Lembah Besoa, Sulawesi Tengah”.

Bulletin Naditira Widya Vol. 4 No.2: 175-191. Banjarmasin: Balai

Arkeologi.

____________________. 2014. “Laporan Penelitian Arkeologi, Potensi Peradaban Megalitik di Lembah Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan” (belum terbit).

Wagner, Fritz A. 1962. Indonesia the Art of an Island Group, Art of the

World (Series of Regional Histories of the Visual Arts), Holland:

139

BERDASARKAN MANUSKRIP