• Tidak ada hasil yang ditemukan

Megalitik dan Asosiasi Neolitik di Kawasan Cabenge

Selama ini penelitian arkeologi di Cabenge senantiasa difokuskan pada kehidupan purba dan alat-alat paleolitik. Di beberapa situs dan perkampungan tua di Cabenge juga ditemukan peninggalan megalitik seperti di Paroto, Salaonro dan Samoling. Khusus di Salaonro ditemukan artefak batu yang memiliki ciri-ciri teknologi Neolitik.

Selain artefak batu Neolitik, di Salaonro juga ditemukan fragmen tembikar dan stoneware serta monumen megalitik berupa menhir dan lumpang batu. Di Salaonro terdapat bukit dimana pada bagian puncaknya yang disebut “Petta Allangkanange” terdapat Makam Petta Salaonro. Pada areal yang lebih datar di kaki bukit, ditemukan sebaran artefak batu yang berasosiasi dengan fragmen tembikar. Monumen megalitik ditemukan pula di Paroto dan Samoling. Monumen megalitik di Paroto tersebar pada areal perkebunan di bagian barat permukiman penduduk. Beberapa jenis monumen megalitik di Paroto adalah lumpang batu dan batu dakon yang memiliki asosiasi temuan dengan fragmen tembikar. Batu dakon di Paroto memiliki jumlah lubang sebanyak 49 dengan komposisi lubang 7 x 7 (sebagaimana jenis tersebut juga ditemukan di Sewo, Tinco, Lawo dan Marioriawa). Monumen megalitik

juga ditemukan di Samoling yang memiliki sejumlah menhir yang ditata secara apik. Apabila melihat posisi berdiri sejajar dan letaknya di atas bukit, kemungkinan sejumlah menhir di lokasi ini berfungsi sebagai makam. Namun belum dapat dipastikan apakah makam pra Islam atau maka Islam. Selain itu juga ditemukan artefak batu, fragmen tembikar, sisa teknologi pembuatan besi (iron slag), stoneware dan keramik asing.

Sejumlah fragmen tembikar berhias yang ditemukan di Paroto (Sumber: Dok. Balar Sulsel, 2016).

Analisis toponim, topografis, cerita rakyat telah dilakukan lalu diintegrasikan dengan informasi penelitian terdahulu untuk menelusuri jejak budaya Neolitik di Kabupaten Soppeng. Beberapa toponim yang dihipotesiskan memiliki jejak Neolitik adalah situs Sekkanyili, kompleks megalit Datu Mario, situs Salaonro, situs Samoling, kompleks megalit Goarie, situs Batu Asangnge, dan situs Bulu Palecceng.

Situs Sekkanyili adalah situs yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai tempat turunnya Tomanurung. Survei arkeologi yang telah dilakukan di situs ini menghasilkan temuan tembikar dalam jumlah yang banyak. Lebih dari 500 meter persegi lahan mengandung temuan tembikar yang padat sedangkan temuan porselin persentasinya sangat kecil. Data permukaan tanah mengindikasikan adanya jejak budaya pra-porselin (tidak mengandung temuan keramik asing) di situs ini. Penggalian arkeologis

sangat beralasan dilakukan pada situs ini untuk mencari jejak budaya pra-porselin yang rentang waktunya 4500 tahun lalu sampai abad ke-10. Rentang waktu ini didasarkan pada kajian pertanggalan regional untuk situs-situs Neolitik di Asia Tenggara Kepulauan. Dengan kata lain, situs-situs Sekkanyili yang disinyalir oleh banyak penelitian sebagai situs Kerajaan Soppeng awal pada abad ke-14 memiliki lapisan budaya yang lebih dalam atau lebih tua, dan mengalami puncak perkembangan budaya pada abad ke-14.

Kompleks megalit Datu Mario juga memiliki potensi lapisan budaya yang sama. Temuan arkeologis berupa pecahan batu yang disebabkan oleh karena unsur kesengajaan manusia (artificial) banyak ditemukan. Selain itu, padatnya temuan tembikar, bijih besi (iron slag) dan monumen megalitik adalah alasan kuat untuk menggali lapisan budaya pada situs ini. Sampai sekarang, belum ada penggalian arkeologis untuk menelusuri jejak budaya pra Kerajaan Soppeng di situs ini sehingga belum diketahui umurnya secara absolut.

Di situs Salaonro (Kecamatan Lilirilau) menghasilkan temuan empat alat batu diasah dan temuan tembikar yang banyak. Alat batu diasah yang menghasilkan peralatan seperti beliung batu, kapak lonjong, dan belincung adalah ciri khas budaya Neolitik. Meskipun belum ada penjelasan memuaskan seputar aspek bentuk dan umur dari budaya Neolitik di situs Salaonro tetapi besar kemungkinan lapisan tanahnya mengandung stratigrafi budaya pra kerajaan Soppeng. Beberapa peneliti juga telah menginformasikan adanya temuan batu ike (bark cloth beater) atau alat batu yang digunakan untuk mengolah kulit kayu menjadi pakaian. Titik strategis untuk penggalian arkeologis adalah toponim Allangkanange di situs Salaonro.

Situs Batu Asangnge (Kecamatan Lilirilau) juga mengandung temuan permukaan tanah berupa tembikar dalam jumlah banyak, porselin, lumpang batu, batu dakon, bijih besi, artefak batu berupa serpih bilah dan beliung yang sudah diasah. Sama dengan situs lain, situs ini juga menjanjikan adanya stratigrafi budaya prasejarah Neolitik. Temuan dua beliung yang sudah diasah menunjukkan kuatnya teknologi Neolitik di situs ini.

Situs Bulu Palecceng (Talepu, Kecamatan Lilirilau) adalah situs Paleolitik. Survei arkeologis yang dilakukan menunjukkan adanya jejak budaya batu

diasah (Neolitik). Meskipun temuan permukaan didominasi oleh artefak batu Paleolitik, tetapi juga terdapat fragmen tembikar meskipun jumlahnya tidak banyak.

Beliung batu dari situs Bulu Palecceng, Talepu (kiri dan tengah) serta temuan dari Salaonro (kanan) (Sumber: Dok. Balar Sulsel, 2016).

Demikian pula dengan situs Samoling, memiliki jejak budaya Neolitik di permukaan tanah karena ditemukan banyak tembikar dan bebepara fragmen batu diasah meskipun jumlahnya belum dapat dijadikan rujukan untuk menyebutnya sebagai situs perbengkelan Neolitik. Temuan arkeologis permukaan tanah di situs ini adalah nisan menhir, bijih besi, alat serpih bilah, tembikar dalam jumlah banyak dan poselin. Topografi situs yang bergelombang yang dibelah oleh aliran sungai mengingatkan kita pada situs-situs Neolitik di Pulau Sulawesi seperti situs Mallawa (Maros), situs Buttu Batu (Enrekang), dan Kalumpang (Sulawesi Barat).

Kompleks megalit Goarie (Kecamatan Marioriwawo) menempati topografi bergelombang seperti situs Neolitik di Mallawa (Maros). Temuan permukaan tanah berupa kompleks megalit (teras berundak dan lumpang batu), tembikar, bijih besi, porselin, dan alat serpih bilah dalam jumlah banyak. Temuan permukaan tanah tersebut memberi petunjuk adanya lapisan budaya yang lebih awal dari pada Periode Tomanurung sekitar abad ke-13 dan ke-14 Masehi. Kondisi topografi yang bergelombang (berbukit)

menyebabkan tingginya tingkat erosi. Dengan demikian, sulit menemukan titik penggalian arkeologis di lokasi ini.