• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makam Islam dan Adaptasi Budaya

WANUWA HINGGA TERBENTUKNYA KERAJAAN SOPPENG

SUMBER MANUSKRIP

2. Makam Islam dan Adaptasi Budaya

Untuk memahami bagaimana proses Islamisasi di suatu daerah tentu harus ditelusuri peninggalan-peninggalan budayanya (Nurhadi, 1990:141), yaitu salah satunya dapat melalui makam kuno. Makam adalah salah satu aspek dalam sub-sistem religi dalam totalitas suatu sistem budaya, namun dari satu aspek tersebut, kajian secara kualitatif dan komprehensif, dapat memberikan signifikansi kesejarahan yang cukup andal (valid). Ini disebabkan antara lain, bahwa makam atau kubur sebagai salah satu produk ideo-teknik, keberagaman dan perubahan-perubahan yang terjadi pada pranata makam atau kubur, mencerminkan pula keberagaman serta perubahan-perubahan dalam sub-sistem religi. Satu contoh, simpulan kajian Hasan Muarif Ambary terhadap nisan makam-makam Islam di Indonesia dapat menghasilkan tipe-tipe (tipologi) nisan di Nusantara yaitu tipe Aceh, Demak Troloyo, Bugis-Makassar, dan bentuk-bentuk lokal (Ambary, 1991: 20).

Tradisi penguburan Islam tidak mengenal penyertaan bekal kubur (funeral goods), dan tidak pula dikenal penggunaan peti mati, terkecuali di dalam peti mati tersebut disertakan tanah yang bersentuhan langsung dengan sebagian badan si mati. Di dalam penguburan Islam terdapat beberapa aturan, antara lain (Ambary, 1991: 8-9):

1. Kubur lebih baik ditinggikan dari tanah sekitarnya, agar mudah diketahui (HR. Baihaqi). Ada pula yang meriwayatkan bahwa sebaiknya kubur jangan ditinggikan, adapun yang terlanjur ditinggikan sebaiknya didatarkan (HR. Muslim).

2. Memberi tanda kubur dengan batu atau benda lain pada bagian kepala (HR. Abu Daud).

3. Dilarang menembok kubur (HR. Akhmad & Muslim). 4. Dilarang membuat tulisan di atas kubur (HR. Nasai).

5. Dilarang membuat bangunan di atas kubur (HR. Akhmad & Muslim). 6. Dilarang membuat pekuburan menjadi masjid (HR. Bukhari & Muslim).

Tradisi penguburan mayat di masa pra-Islam berbeda dengan tradisi penguburan mayat dalam agama Islam. Keterangan tentang tradisi penguburan mayat masa pra-Islam dapat dilihat pada kutipan naskah lontara berikut:

Narekko matei to rioloé/ ritunui bakkena/ nari puppung awunna/ nari pari tajo/ nari lemmeq”

Terjemahan:

Jika orang dahulu meninggal dunia, jazad atau tubuhnya dibakar, kemudian debunya dikumpulkan lalu dimasukkan ke dalam guci (Bugis:

Kiri: Makam We Tenri Kawareng di Kompleks Makam Datu Soppeng (Jera Lompoe). Kanan: Nisan berbentuk hulu keris pada makam La Mataesso di Kompleks Makam Datu

Soppeng (Jera Lompoe) (Sumber: Dok. Balar Sulsel, 2016).

Makam-makam awal Islam di Sulawesi Selatan umumnya memperlihatkan corak lokal, kaya akan hiasan floraistik, antropomorpik, dan beberapa di antaranya menyerap unsur-unsur megalitis. Misalnya penggunaan arca-arca manusia sebagai nisan, dengan jirat makam yang menyerupai konstruksi serta struktur percandian. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh rendahnya pengaruh anasir budaya yang bercorak Hinduistis, sehingga dalam perjalanan sejarah kebudayaannya mengalami semacam lompatan dari fase prasejarah ke fase Islam, meskipun terdapat celah masuknya anasir budaya Hinduistis akibat kontak-kontak yang terjadi. Di samping itu pula, daerah Sulawesi Selatan mengembangkan kreativitas lokal, baik dalam varian nisan berbentuk hulu-keris, nisan dengan penuh hiasan floraistik dan acapkali bersifat antropomorpik, atau juga bingkai nisan dalam bentuk gunungan. Namun demikian, nisan varian hulu-keris memang amat menonjol di Sulawesi Selatan, yang diperkaya baik dengan hiasan-hiasan floraistik, geometris ataupun kaligrafi. Corak lokal merupakan wujud dari kebebasan seniman yang dikembangkan untuk mengekspresikan cita rasa keseniannya. Kebebasan tersebut tentunya dipengaruhi pula oleh otoritas elite yang memesan atau menggunakan karya seniman, yang artinya ialah seni rancang-bangun Islam Nusantara sebagaimana pendahulunya, merupakan seni istana yang memayungi kebesaran raja beserta sistem yang dibawahinya (Ambary, 1991: 17-18). Di Soppeng, tidak dijumpai adanya makam bercorak antropomorpik

atau yang menggunakan arca-arca manusia sebagai nisan maupun relief sebagai suatu hiasan. Meskipun demikian, makam tetap memperlihatkan corak lokal, misalnya pada penggunaan varian nisan berbentuk hulu keris dan tipe Aceh pada beberapa makam. Unsur megalitik dijumpai pada penggunaan varian nisan berbentuk menhir (monolit), batu dakon dan lumpang batu.

Penggunaan batu dakon dan lumpang batu sebagai nisan pada makam Qadhi Adam di Kompleks Makam Ale Kalenrung (Sumber: Dok. Balar Sulsel, 2016).

Makam para penguasa, tokoh pemerintahan, dan tokoh agama yang disegani dan diayomi semasa hidupnya, ditata sedemikian rupa untuk dapat membedakannya dengan makam-makam masyarakat biasa. Demikian pula dengan ukuran-ukuran nisan yang mengingatkan kita pada tingkat sosial tokoh yang dimakamkan. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam lingkungan sosialnya, maka ada kecenderungan untuk membuatkannya nisan yang berukuran besar dengan berbagai ragam hias.

Ada suatu pola yang lazim ketika itu, menempatkan posisi makam raja atau tokoh yang kharismatik yang kedudukan makamnya lebih tinggi dengan lainnya seperti tercermin di Kompleks Makam Syekh Abdul Majid di Lalabata, Makam Latenri Sui (ibu Arung Palakka) di Kalokkoe Watu (Marioriwawo), Kompleks Makam Pattojo (Liliriaja), Kompleks Makam Rumpang Mega Galung di Abbanuange (Liliriaja), Kompleks Makam Qadhi Malaka dan Kompleks Makam Petta Jangko di Marioriawa. Tata letak makam-makam tokoh di setiap kompleks makam tersebut seolah memberi kesan akan keterkaitannya dengan makam di sekitarnya, yang notabene

sebagai para keluarga dekat atau para pengikutnya semasa hidupnya. Kenyataan itu menunjukkan bahwa tradisi menghormati seseorang sesuai kedudukannya semasa hidupnya, juga berlangsung dalam siklus kehidupan manusia yang masih menghormati tokoh tersebut, meskipun telah meninggal dunia. Makam tokoh yang memerintah atau memiliki kekuasaan semasa hidupnya, senantiasa masih mendapatkan perlakuan istimewa bagi peziarahnya. Makam seperti itu masih dipengaruhi oleh konteks sosial yang meyakininya sebagai sosok yang masih perlu dihormati, bahkan terkadang masyarakat memperlakukannya sebagai suatu objek yang dikeramatkan dan di situ pula dilakukan proses ritual yang terkadang disertai pelepasan nazar. Fenomena seperti itu juga terdapat pada Makam Syekh Abdul Majid di Lalabata. Namun mengingat intensitas peziarah yang kian bertambah apalagi ketika hari-hari raya Islam, maka jumlah peziarah akan bertambah banyak yang berkunjung. Hal seperti itu yang mengakibatkan seringkali makam yang dikeramatkan dibuat bangunan yang kemudian lebih diperluas yang disesuaikan dengan jumlah peziarah seperti terlihat pada Makam Petta Jangko di Marioriawa.

Inskripsi pada masa perkembangan Islam di Jera Caddi’e Soppeng (Sumber: Dok. Balar Sulsel, 2016).

Dari hasil observasi lapangan yang dilakukan terhadap jenis produk yang dihasilkan, maka batu nisan serta jirat menarik untuk dibicarakan lebih lanjut. Karena jenis ini memperlihatkan adanya kesinambungan teknologi pembuatan nisan dan pada beberapa bentuk yang dihasilkan terlihat adanya persamaan dengan nisan-nisan kuno yang terdapat di Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Barat, seperti tipe nisan hulu keris dan gada bermahkota, makam berundak, peti batu, balok pasang sambung dan makam monolit. Dalam hal bentuk nisan, yang menurut beberapa ahli mengatakan bahwa nisan-nisan di Sulawesi Selatan dan Barat memiliki ciri khas, seperti untuk nisan laki-laki bentuknya pallus atau bulat (silindrik), sedangkan nisan perempuan berbentuk pipih. Apabila diamati secara saksama dan dibandingkan dengan kompleks makam-makam kuno di Sulawesi Selatan, memperlihatkan adanya kesinambungan teknologi pembuatan. Hal ini dilatarbelakangi oleh konsepsi masyarakat dalam mempersonifikasikan jenis kelamin manusia dalam bentuk benda, dan diimplementasikan pada bentuk nisan yang diproduksi. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagaimana yang terlihat sekarang untuk produk nisan telah mengalami banyak variasi bentuk, seperti penambahan unsur-unsur artistik pada nisan sehingga diperoleh tipe-tipe gada, gada persegi delapan, dan hulu keris. Penambahan variasi ini diperkaya pula dengan pemberian motif hias yang sesungguhnya telah dikenal oleh masyarakat setempat, bahkan nama-nama motif hias itu memiliki istilah lokal seperti sulur-sulur yang disebut bunga parenreng.

Perkembangan Islam sekitar abad ke-19 hingga awal abad ke-20 nampak pada inskripsi angka tahun pada beberapa makam seperti pada makam di coppo (puncak) Malaka dan ada beberapa makam lainnya yang tertera angka tahun pembuatan yaitu sekitar awal abad ke-20. Tipologi jirat dan nisan makam dengan berbagai motif ragam hias memberi makna adanya adaptasi budaya serta hubungan inskripsi dengan masyarakat pendukungnya. Inskripsi sebagai simbol tentang cara impresi Islam maupun ajaran tasawuf yang mempengaruhinya seperti tarekat khalwatiah Samman yang masuk ke Soppeng pada tahun 1242 (1825 M) menyebut Watang Lipue sebagai penganutnya (sebagaimana yang dijelaskan di dalam naskah Lontara). Ajaran tarekat ini lebih berorientasi kepada zikir dan ritual murni sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga terbentuk akhlak mulia bagi para pengikutnya. Dapat dilihat pada karya-karya tokoh tarekat yang pernah ditulis di Timur Tengah (Hadi, 2015:348). Inskripsi sebagai bukti pada situs makam di Jera Caddi Lalabata dengan indikasi sufisme yang menyebutkan zikir dengan upaya mendekatkan diri kepada Allah.

Makam salah seorang guru mengaji di Kalokkoe (Sumber: Dok. Balar Sulsel, 2016).

Pada Makam Kalokkoe ditemukan salah satu nisan trisula yang dipenuhi pola hias sulur-suluran. Penduduk setempat menjelaskan bahwa almarhum masa hidupnya adalah guru mengaji dan mengajarkan dasar-dasar agama (tidak menyebutkan nama almarhum), kemudian pada makam Latemmappapi tertera inskripsi aksara Arab pada nisan menyebut nama Allah Muhammad. Pada kompleks makam Ippung terdapat nisan besar dan tinggi sekitar 2 m tertera beberapa aksara Arab yaitu, ayat-ayat kursi dan kalimat ketauhidan. Makam tersebut milik Abdul Qadir Jaelani yang merupakan keturunan Melayu dan beristri dengan bangsawan Soppeng bernama Sitti Budiah. Ada dugaan bahwa Abdul Qadir Jaelani adalah seorang pedagang sambil menyebarkan Islam di Soppeng.

Beberapa nisan pada kompleks makam lainnya menyebutkan angka tahun sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke- 20 Masehi. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa masa ini Islam berkembang di Soppeng. Perpaduan anasir budaya Islam dan lokal terlihat pada pembuatan bangunan makam yang dibangun secara megah dengan nisan yang memiliki kaligrafi yang diukir atau dipahatkan seperti pada makam Abdul Qadir Jaelani, namun juga disertai teknik pahatan lokal yang menampilkan sulur-suluran. Terkadang juga yang dituliskan berisi Asma Allah atau kalimat serta puji-pujian kepada Yang Maha Kuasa, atau mengungkapkan jatidirinya bahwa ia adalah seorang bangsawan, datu (raja), atau hanya menyebutkan nama serta tahun meninggalnya tokoh yang dimakamkan. Perpaduan itu menyiratkan abstraksi dari adaptasi para seniman lokal di dalam mengangkat nilai-nilai tradisinya dan dipadukan dengan anasir-anasir berupa seni islam, yang secara universal hal tersebut juga terdapat pada beberapa daerah di Nusantara (Periksa Ambary, 1998).