• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur Budaya Pleistosen Lembah Walennae

Di Sulawesi, bangsa babi dan bangsa gajah merupakan binatang yang sudah ada sejak masa akhir Pliosen hingga masa Pleistosen. Binatang ini ditemukan di Lembah Walennae dengan usia tertua 2.5 Ma (Berg, 1999: 178) dan yang termuda 0.118 Ma (Berg, 2016). Selain fosil, temuan arkeologi yang banyak ditemukan adalah artefak batu. Artefak batu tersebut diperkirakan berasal dari akhir Pleistosen Tengah yang memiliki kepimiripan dengan industri artefak batu Sangiran (Heekeren, 17972:69; 71). Artefak yang

ditemukan di Lembah Walennae berasosiasi dengan gravel, oleh Keates dan Bastra menganggapnya bahwa artefak tersebut dibuat oleh homo sapien namun kemudian lahir hipotesis yang sama dengan Heekeren bahwa artefak tersebut berasal dari Pleistosen Tengah karena adanya temuan artefak yang insitu di anggota Beru (Berg, 1999: 139). Usia ini yang menguatkan hipotesis jika artefak batu tersebut dibuat oleh hominid.

Bukti arkeologi yang memiliki tarik usia yang hampir sama terjadi di Flores yaitu di situs Mata Menge pada formasi Ola Bula anggota B ditemukan artefak batu yang berasosiasi dengan stegodon Floresiensis dengan usia 0.8-0.7 Ma (Berg, 2001: 396). Masih di Soa Basin, tepatnya di situs Kobatuwa, stegodon Floresiensis juga ditemukan berasosiasi dengan artefak batu serpih dan kapak perimbas yang bahannya dominan dari batu vulkanik (Jatmiko dkk., 2009: 114). Selain itu beberapa situs di Soa Basin yang memiliki usia sama di mana artefak batu berasosiasi dengan stegodon besar ditemukan di situs Boa Lesa, Ngamapa, Kopowatu dan Pauphadi (Morwood, 1998: 10). Data arkeologi yang menjelaskan kejadian serupa namun memiliki usia yang lebih muda ditemukan di Liang Bua.Dalam ekskavasi di Liang Bua, yaitu pada sektor IV ditemukan serpih bifasial dari batu inti berbentuk radial dengan bahan vulkanik dan rijang yang berasosiasi dengan stegodon, usia temuan ini 95-74 kyr sampai 12 kyr yang dianggap sebagai temuan stegodon paling muda (Morwood dkk, 2004: 1089).

Di Sulawesi, khususnya di Lembah Walennae, bukti arkeologi di mana artefak batu ditemukan berada dalam posisi intak berasosiasi dengan fosil vertebrate di temukan di situs Talepu. Usia temuan tersebut 118 kyr, ini yang kemudian menjadi dasar bahwa pada masa itu manusiatelah mendiami Lembah Walennae (Berg, 2016: 210) dan telah hidup berdampingan dengan stegodon dan celebochoerus. Hasil ini kemudian menjadi pembuktian atas hipotesisnya yang telah dibangun pada penelitian sebelumnya. Meskipun temuan di situs Talepu dapat memberi tarik usia tentang kehadiran hominid yang berdampingan dengan binatang vertebrata, namun tidak ada bukti kuat yang mampu menjelaskan adanya aksi perburuan binatang stegodon dan celebochoerus. Oleh karena itu, hominid yang telah hadir dan membuat artefak batu di Lembah Walennae masih belum terungkap tentang aktivitas pola perburuannya. Hal tersebut

juga terjadi di situs Mata Menge, meskipun ditemukan 13 individu stegodon yang berasosiasi dengan artefak batu, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hominid memainkan peran dalam melakukan perburuan binatang dengan menggunakan artefak batu (Berg dkk., 2009: 77, 86). Selain itu, data arkeologi berupa artefak batu dan fosil stegodon trigonochepalus dan elephas hysudrindicus yang memiliki usia pleistosen tengah ditemukan di Bengawan Solo tepatnya di Ngandong, temuan ini juga tidak memberi penjelasan adanya pengaruh dari aktivitas hominid (Medway, 1972: Allen, 1991: 247). Berbeda dengan fenomena di Gua Panxiang Dadong, Cina Selatan, dalam penelitian tersebut ditemukan stegodon orientalis yang berusia sangat muda dan dewasa serta binatang karnivora yang berasosiasi bersama artefak batu. Stegodon yang sangat muda berusia 0-12 tahun tidak memberikan bukti adanya kontak dengan aktivitas manusia, tetapi untuk stegodon yang lebih dewasa keberadaan di gua tersebut dianggap sebagai hasil dari aktivitas manusia baik hasil berburu atau hasil dari pengumpulan bangkai yang kemudian dibawa ke gua Dadong. Hipotesis ini dibuktkan melalui data taponomik (Schepartz dkk., 2004:280, 281). Masih di Cina Selatan, tepatnya di Gua Xianglongdong dalam penggalian terdalam, yaitu pada level travertin ditemukan gigi manusia yang berasosiasi dengan artefak batu serta gading stegodon oerientalis. Gigi manusia yang ditemukan merupakan gigi geraham tiga bagian bawah. Adapun artefak batu berjumlah 20 yang didominasi oleh alat inti berupa kapak perimbas dan kapak penetak. Adapun gading yang ditemukan berjumlah dua dengan kondisi sempurna. Pada permukaan gading terdapat banyak pola garis, keberadaan pola garis tersebut dianggap bukan akibat proses alam ketika masih terpendam. Garis tersebut merupakan akibat dari goresan artefak batu yang dilakukan oleh manusia. Salain itu, dijelaskan pula bahwa kebearadaan dua gading dalam gua didatangkan oleh manusia. Usia lapisan ini 120-150 ka (Xing dkk., 2004: 176-179). Bukti aktivitas manusia terhadap fauna stegodon yang termuda, yaitu pada masa akhir pleistosen terjadi di Liang Bua, Flores. Di Liang Bua, homo Floresiensis telah melakukan perburuan stegodon dengan cara yang selektif (Morwood dkk., 2004: 1089), mereka berburu stegodon dengan mengutamakan stegodon yang sangat muda, itu dibuktikan dengan temuan 90% stegodon Floresiensis insularis yang diburu kemudian dibawa

ke Liang Bua oleh homo Fleresiensis berusia sangat muda (Berg et al., 2008 dalam Berg dkk., 2009: 82).

Di Lembah Walennae sebanyak 3000 spesimen fosil vertebrata telah dianalisis. Dari jumlah tersebut sebanyak 2525 spesimen telah dianalisis sampai level genus (Berg, 1999: 142). Selanjutnya pada 2007 dan 2012 di situs Talepu di temukan sebanyak 270 artefak dengan fauna 1 molar bovidae, 3 spesimen yang tidak teridentifikasi dan gigi susu molar stegodon (Berg dkk., 2016: 208, 209). Selanjutnya Balai Arkeologi Sulawesi Selatan melakukan ekskavasi di situs Calio dengan temuan artefak batu dan fosil kayu (2012). Dari keseluruhan temuan tersebut, belum ada yang menjelaskan interaksi manusia terhadap fauna vertebrata tersebut.

Temuan yang diperoleh pada proyek penelitian tahun ini terdiri dari beberapa spesimen namun hanya tiga spesimen yang bisa diidentifikasi sampai level genus dan spesies, yaitu celebochoerus Hekeereni, elephas, dan stegodon. Identifikasi arkeologi yang dilakukan pada ketiga spesimen tersebut tidak memperlihatkan adanya kontak dengan manusia. Permukaan spesimen yang keras karena fosilisasi serta keberadaan pori akibat proses alam memberi kesulitan dalam identifikasi artifisial. Proses alam yang terjadi pada spesimen ini, yaitu transformasi lokasi, kongkresi batu pasir pada permukaan, serta telah melewati kondisi cuaca yang terus berubah-ubah. Dari ketiga spesimen tersebut, dua spesimen ditemukan pada permukaan dengan litologi batu pasir konglomerat yang sudah lapuk dan lepas. Di kedua tempat tersebut tidak ditemukan adanya kedudukan lapisan litologi pembawa fosil. Oleh karena itu keberadaan kedua spesimen pada permukaan itu dianggap telah mengalami proses tranformasi.

Fauna vertebrata yang telah hidup di Lembah Walennae sejak masa Pliosen hingga Pleistosen telah memberikan penjelasan sejarah evolusi dan migrasi fauna-fauna besar di dunia. Di Lembah Walennae pada masa Pleistosen Tengah, fauna dan manusia telah hidup berdampingan sekitar usia 200 kyr-118 kyr (berg 2016). Meskipun manusia telah hadir dan membuat begitu banyak artefak batu, tetapi belum ditemukan adanya praktik berburu atau mengumpul makanan dari fauna tersebut. Oleh karena itu, hingga saat ini patut diketahui bahwa kepunahan fauna-fauna besar di Lembah Walennae tidak dipengaruhi oleh tingkah

laku manusia, tetapi kepunahan itu terjadi karena wilayah yang mengisolasinya (Sartono, 1979). Meskipun belum ditemukan praktik berburu di Lembah Walennae, tetapi binatang subrecent ke recent (Berg, 1999: 161) seperti anoa telah menjadi objek penggambaran pada dinding-dinding gua Sunpang Bita, Pangkep. Keberadaan gambar binatang ini dianggap sebagai sympathetic magic yang berhubungan dengan aktivitas perburuan (Permana, 2014: 273).

Referensi

Allen Harry. 1991. “Stegodonts and the Dating Stone Tool Assemblages in Island Souteast Asia”. Asian Perspective Volume 30 No 2. University of Hawai Press.

Balai Arkeologi Makassar. 2012. Laporan Penelitian Arkeologi Situs

Cabbenge, Kecamatan Lilirilau, Kabupaten Soppeng. Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Bergh, G. D. Van den. 1999. The Late Neogene elephantoid-bearing faunas

of indonesia and their palaeozoogeographic implication; A study of terrestrial faunal succesion of Sulawesi, Flores and Java including evidence for erly hominid dispersal east of Wallace’s Line. Sripta

Geol. Leiden.

Bergh, G. D. Van den, AweR.D., MorwoodM.J., SutiknaT., Jatmiko and SaptomoE. Wahyu2008. “The youngest stegodon remains in Southeast Asia from the Late Pleistocenearchaeological site Liang Bua, Flores, Indonesia”. Quaternary International 182:16-48. Bergh G.D. van den, Vos Jhon de, Sondar Paul Y. 2001. Late Quaternary

Paleogeography of Mammal Evolution the Indonesian Archipelago.

Elsevier and Paleo.

Bergh G.D. van den, Li Bo, Brumm Adam, Grun Rainer, Yurnaldi Dida, Moore Mark W., Kurniawan Iwan, Setiawan Ruly, Aziz Fachroel, Roberts Richard G, Suyono, Storey Michael, Setiabudi Erik, Morwood Michael J. 2016. “Early Hominin occupation of Sulawesi, Indonesia”. Nature Volume 529.

Berg G.D. van den, Kurniawan I., Morwood M.J., Lentfer C.J., Suyono, Setiawan R., Aziz F. 2009. Environmental Recontruction of the

Middle Pleistocene Archaeological/Palaeontological Site at Mata Menge, Central Flores. Pusat Survey Geologi. Bandung.

Corlett, Richard T. Mega Fauna Extinction And Their Consecuences in The

Tropical Indo-Fasific.

Heekeren, H.R. Van. 1972. The Stone Age Of Indonesia. Van Het Koninklijk Insituut.

Hooijer, D. A. 1955. Fossil Proboscidea From The Malay Archipelago And

The Punjab. Pls. I-XVII.

Hoijer. D.A. 1948a. Pleistocen Vertebrates From Celebes. VIII. Dentition

Of SkeletON Celebochoerus Heekereni Hoijer. Rijksmuseum Van

Natuurlijke Historie, Leiden. Pls I-IV.

Hoijer. D. A. 1964. Pleistocene Vertebrates From Celebes. XII. Notes On

Pigmy Stegodon. Rijksmuseum Van Natuurlijke Historie, Leiden

Jatmiko, Berg G.D. van den, Morwood M.J., Kurniawan I. 2009. Excavation

at Kobatuwa, Central Flores, Indonesia. Pusat Survei Geologi.

Bandung.

Morwood, Mike. 1998. Stone Tools and Fossil Elephants: the Archaeology

od Eastern Indonesia and its Implication for Australia. University of

New England..

Morwood, M.J., Soejono R. P., Roberts R.G., Sutikna T., Turney C. S. M., Westaway K.E., Rink W. J., Zhao J. –x., Berg G. D. van den, Rokus Awe Due, Hobbs D. R., Moore M. W., Bird M. I., Fifield L. K. 2004 “Archaeology and Age of a New Hominin From Flores in Eastern Indonesia”. Nature 02995.

Permana, R Cecep Eka. 2014. Gambar Tangan Gua-Gua prasejarah

Maros-Pangkep Sulawesi Selatan. Wedatama Widya Sastra. Jakarta

Selatan.

Sartono S. 1979. The Age Of The Vertebrate Fossils And Artefact From

Cabenge In South Sulawesi. Modern Quartenary Research in

Southeast Asia

Schepartz L.A., Stoutamire S., Bekken D. A. 2004. Stegodon Orientalis

From Panxian Dadong, a Middle Pleistocene Archaeological Site in Guizhou South China: taphonomic, population structure and evidence for human interaction. Science Direct.

Xing Gao, Wanbo Huang, Ziqiang Xu, Zhibang MA, Olsen J.W. 2004. 120-150 ka human tooth and ivory engraving from Xianglongdong

Cave, Three Gorges Region, South China. Chinese Science Bulletin

85

Fakhri1