• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Masuknya Islam dan Pembentukan Identitas Sosial di Soppeng

WANUWA HINGGA TERBENTUKNYA KERAJAAN SOPPENG

SUMBER MANUSKRIP

1. Sejarah Masuknya Islam dan Pembentukan Identitas Sosial di Soppeng

Sebelum Islam masuk di Sulawesi Selatan, Raja (Matowa) Wajo Sangkuru Patau Matinroe ri Kanana telah mewasiatkan perihal masuknya Islam di Sulawesi Selatan. Wasiat itu disebutkan di dalam naskah lontara seperti berikut:

Makkedai Arung Matowaé:

Upasekko anaq engkatu matti ri munri matékuq agama polé ri Posiq Tana, maccuwa-cuwa boriq tauwé/ Arolako nasabaq iya muwatu naesseri akkatenningengngé ri Déwata Séuwwaé/ Kuwana muwa tellu tauppi matéku naengka iyaro agamaé/ Temmakka muwa maélokuq tajengngi, naeq teng naélorengngi Déwataé udapiq/

Terjemahan:

Aku berpesan wahai anak, di kemudian hari setelah aku meninggal dunia akan datang agama dari Pusat Bumi (Posiq Tana), pemeluknya membungkuk/ Mengikutlah sebab itulah pegangan kepada Dewata Yang Esa/ Kira-kira tiga tahun setelah kematianku, agama tersebut datang/ Sangat besar harapanku menyambutnya, namun Dewata tidak mengizinkan aku mencapainya/

Tiga tahun setelah wafatnya, bertepatan dengan hari kamis tanggal 9 Jumadil Awal 1014 Hijriyah atau 22 September 1605 Masehi, Raja Tallo yang bernama I Malingkaang Daeng Manyonri Sultan Abdullah Awwalul Islam Tumenanga Riagamana Karaeng Katangka menerima agama Islam, yang kemudian mengajak Raja Gowa XIV yang bernama I Mangarangi Daeng Manrabiya Sultan Alauddin Tumenanga Rigaukanna untuk ikut

menerima agama Islam. Raja Gowa menanggapi ajakan Raja Tallo dengan mengatakan bahwa nanti setelah ia pulang dari Wajo untuk mengusap (menziarahi) guci Raja Wajo Sangkuru Patau Matinroe Rikananna ia akan menerima agama Islam. Ucapannya itu dibuktikan dengan mengucapkan kalimat syahadat setelah ia kembali ke Gowa. Setelah menerima agama Islam, Karaeng Gowa menghendaki seluruh palili atau negeri bawahan Kerajaan Gowa beserta passiajinna atau negeri sahabatnya juga menerima agama Islam dan lalu memberi ancaman bahwa, bagi siapapun yang menolak agama Islam, maka Kerajaan Gowa akan memusuhinya.

Naskah lontara attoriolonna Luwu menuliskan bahwa agama Islam telah masuk di Kedatuan Soppeng pada awal abad ke-17 Masehi atas prakarsa Raja Gowa XIV Sultan Alauddin. Sultan Alauddin datang dengan laskarnya untuk menyebarkan agama Islam di Kedatuan Soppeng tahun 1609 Masehi, yaitu pada masa pemerintahan Datu Soppeng XIV yang bernama Béoé. Di tahun ini juga Datu Soppeng Béoé menerima agama Islam dan menjadi orang Soppeng pertama yang beragama Islam. Dari naskah lontara juga diketahui bahwa Raja Soppeng telah mengirimkan barang persembahan (loli dan tikke) kepada Raja Gowa dan menyampaikan pesan seperti berikut:

Melalui suronya, Datu Soppeng mengirim pesan kepada Raja Gowa: ‘Saudaramu Datu Soppeng mengutus menemui Tuan yang telah menemukan rahasia nyawa/ Berkata Karaeng: ‘Aku menerima hadiah pemberianmu itu, akan tetapi aku memintamu mengikutiku mengucapkan syahadat’ (hlm. 144).

Namun, tidak diketahui sebabnya, satu bulan setelah itu, Raja Gowa menyerang negeri Bugis. Peristiwa penyerangan Raja Gowa terhadap negeri Bugis yang dikenal dengan musu assellengeng (periksa Andaya, 2004: 24), mungkin terkait dengan seruan Raja Gowa kepada raja di tanah-tanah Bugis, seperti Sidenreng, Soppeng, Wajo, Bone, dan lain-lainnya untuk mengikuti jejak Raja Gowa dan Tallo menerima agama Islam sebelum datang ke Soppeng. Seruan Raja Gowa ini ditanggapi raja yang bersangkutan dengan acuh tak acuh dan sikap tetap bertahan dalam kepercayaan lamanya, yang menyebabkan Raja Gowa terpaksa mengangkat senjata (Patunru, 2004: 99).

Di masa sekarang ini, setelah agama Islam melembaga di Sulawesi Selatan, agama Islam juga telah menjadi identitas komunal bagi suku Bugis di Soppeng. Meskipun pada awalnya orang Sulawesi Selatan di era sejarah masih tetap resisten dalam adaptasinya menghadapi transformasi idiologis dan sosial kultural, namun akhirnya Islam dapat diterima, bahkan pada perkembangan selanjutnya menjadi motor penggerak dalam kehidupan ekonomi dan pemerintahan bagi suku Bugis, Makassar, dan Mandar (Fadilla, 1999: 99). Hal itu tidak terlepas dari interaksi sosial politik masyarakat suku Bugis di Soppeng dengan etnis besar lain di Sulawesi Selatan seperti Luwu dan Makassar yang telah lebih dahulu menerima agama Islam.

Historiografi Islam di Soppeng telah meninggalkan sejumlah makam kuno yang megah dan kaya akan ragam hias yang beberapa diantaranya memiliki inskripsi atau tulisan aksara Arab, antara lain Makam Raja-Raja Soppeng atau Jera Lompoe di Bila, Makam Jennae di Liliriaja, Makam Kalokkoe Watu di Marioriwawo, Makam Pattojo di Liliriaja, dan Makam Petta Jangko di Marioriawa. Makam-makam ini merupakan data arkeologi yang sifatnya monumen tidak bergerak dan bernilai penting sebagai suatu saksi bisu atau bukti dalam konteks sejarah masuknya agama Islam di Soppeng.

Pemahaman masyarakat akan nilai-nilai tradisi yang diyakininya, seperti pemberian ragam hias suluran pada nisan, sesungguhnya membawa semacam pengharapan akan adanya kehidupan yang berkesinambungan, dan mengandung keyakinan bahwa ada kehidupan di alam akhirat (kekal). Pemberian sulur-suluran pada makam merupakan kesinambungan tradisi sebelumnya dan berbaur di dalam satu konteks budaya yang terbawa hingga masuknya agama Islam di Soppeng. Dalam perspektif masa kini, masyarakat senantiasa ingin menunjukkan identitas budaya dan penghormatan yang tinggi kepada pemimpin atau raja mereka. Penataan makam yang terletak di dalam suatu kompleks menunjukkan identitas penghormatan dan seakan-akan ada pembagian ruang bagi seorang tokoh yang kharismatik.

Para pemukim yang menganut Islam pada perkembangan kemudian tersebar pada beberapa karakter daerah yang beragam. Di sisi lain mereka memanfaatkan kondisi alam yang meskipun memiliki karakter yang

berbeda, namun tetap konsisten dengan agama yang dianut dan sangat dimungkinkan untuk mengembangkan budaya yang diaplikasikannya dalam ajaran Islam sebagai anutan mereka. Hal-hal lain seperti ragam hias flora dan kaligrafis turut memberi andil akan penampilan kemegahan bangunan makam, sehingga terkesan sifat kreativitas dan jauh dari hal yang bertentangan dengan aqidah Islam.

Masyarakat seolah-olah telah mengalami resistensi budaya yang panjang, namun hanya beberapa lama kemudian sejarah baru mulai diterapkan dan Islam sejak itu terintegrasi dalam budaya Bugis, Makassar dan Mandar (Fadillah,1999:106). Peranan penyebar Islam di daerah tersebut lebih menekankan pada praktik-praktik ritus dan pengukuhan syariah, seperti bagi penganut mazhab syafi’i, kemudian akhlakul karimah dan mu’amalat. Penerapan ajaran Islam pun masih bersifat toleran dengan memberi kelonggaran dalam memasukkan budaya-budaya lokal sejauh hal tersebut tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Hal itu merupakan pola adaptasi para seniman lokal yang sebelumnya telah memiliki pengetahuan dan sejumlah tradisi yang dianut secara kolektif. Tradisi masyarakat lokal kemudian berbaur dalam pola aturan Islam terhadap penghargaan pada tokoh yang memiliki kharisma.