• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cabenge dalam Konteks Prasejarah Global dan Regional

Sejak 1940-an, teknologi artefak batu (litik) Cabenge menjadi objek kajian prasejarah yang penting di Sulawesi. Penemuan alat-alat batu dengan teknologi sederhana berasosiasi dengan fosil fauna purba mengharuskan peneliti melirik Sulawesi ketika mempelajari migrasi manusia purba di Daratan Asia. Hasil-hasil penelitian di Lembah Walennae selama ini menujukkan bahwa pentingnya Sulawesi dalam rekonstruksi

sejarah budaya penghunian awal Asia Tenggara.

Teknologi artefak batu tertua hingga saat ini dikenal dengan nama Industri Oldowan. Industri ini diperkirakan dibuat pada masa antara 2.6 hingga 1.7 juta tahun yang lalu. Alat batu Oldowan memperlihatkan teknologi yang sederhana, berasal dari batu kerakal yang dipangkas secara langsung sehingga menghasilkan tajaman pada bagian ujungnya. Tipe alat inti (core tool) kemudian dikenal dengan nama kapak perimbas (chopper). Beberapa serpih dari hasil pemangkasan juga telah digunakan tanpa harus dimodifikasi (utilized flakes) dengan menggunakan bahan material chert (Pope, 1984; 253-260).

Industri artefak batu yang ada pada lapisan atas Industri Oldowan dikenal dengan nama Industri Acheulian. Industri ini diperkirakan sangat berkembang di wilayah Eropa dan Afrika pada masa antara 1.7 juta tahun hingga 100 ribu tahun yang lalu (Clark, 1994, Lepre et.al., 2011). Teknologi yang khas dari industri tersebut adalah pemangkasan bifasial dalam menghasilkan alat inti yang dikenal dengan tipe kapak genggam (hand axe). Intensitas pemangkasan terlihat cukup tinggi pada kedua

sisi dan menghasilkan bentuk distal yang meruncing. Selain alat inti, teknologi memodifikasi alat serpih dengan cara meretus pada sisi tajaman (retouched flake) telah dikenal dalam industri Acheulian (Clark, 1994). Industri Acheulian yang tersebar di Wilayah Afrika, Near East, India, dan Eropa melahirkan gagasan bahwa teknologi ini mulai muncul di Afrika dan tersebar yang dibawa oleh migrasi populasi hominid (diduga Homo Erectus) melalui dua jalur, yaitu jalur ke Urasia Utara hingga ke Eropa dan juga jalur ke Eurasia Barat hingga ke Semenanjung India (Lycett dan Taubadel, 2008). Kapak genggam yang merupakan ciri khas budaya Acheulian menjadi perdebatan yang menarik dalam kajian studi paleolitik di dunia lama (old

world). Beberapa ahli yakin bahwa kehadiran migrasi Homo Erectus di

wilayah Asia Tenggara dan Timur tidak membawa serta tradisi teknologi kapak genggam Acheulian ke wilayah tersebut. Movius menyimpulkan bahwa ada dua kelompok berbeda dalam kebudayaan paleolitik. Budaya

pertama adalah budaya Acheulian yang berkembang dari Afrika, Eropa,

Asia Barat hingga Semenanjung India. Budaya kedua berkembang di Asia Tenggara dan Timur yang dicirikan dengan teknologi sederhana yang menghasilkan kapak perimbas dan penetak. Perbedaan terjadi di wilayah Asia karena merupakan kawasan yang marginal sehingga terjadi proses budaya yang mandeg di kawasan ini. Iklim dan lingkungan yang stabil di kawasan Asia sejak 2 juta tahun belakangan membuat kebudayaan paleolitik tidak berkembang di wilayah tersebut (Gibbons, 1998).

Seiring perkembangan penelitian di wilayah Asia Tenggara dan Timur, teori Movius mendapat banyak kritikan dari beberapa ahli. Penelitian beberapa wilayah Asia Tenggara, menunjukkan kapak genggam yang dipangkas bifasial masih dapat ditemukan tersebar di wilayah tersebut (Brumm, et.al., 2012). Beberapa penemuan tercatat ditemukan di wilayah Jawa, yaitu di sepanjang Sungai Basoka, Tabuhan dan Punung, Sumatra di daerah Tambangsawa, Sulawesi di sepanjang Sungai Walannae, Halamahera, Peninsular di Kota Tampan, Bukit Bunuh dan Kuantang, Burma di Lembah Irrawadi, Filipina, di Lembah Cagayan dan Arubo Luzon, dan Vietnam di Nui Do Nhan Gia, Dau Gia, Gia Tan dan Binh Loc (Hekeren, 1955; Hoijer 1969; Keates dan Bartstra, 2011; Collings, 1937; Koenigswald, 1958; Pawlik, 2004; Dizon dan Pawlik, 2010; Olsen dan Ciochon, 1990). Penelitian

terbaru telah dilaporkan di Lembah Bose, di sepanjang Sungai Youjiang, Cina Selatan. Kapak genggam yang juga ditemukan dengan pemangkasan bifasial, memperlihatkan kesamaan dengan teknik pemangkasan kapak genggam. Hasil penelitian dengan metode pertanggalan FissionTrack dan

Paleomagnetisme menunjukkan umur antara 800,000 hingga 700,000

tahun lalu (Yamei et.al, 2000). Kenyataan ini menunjukkan bahwa kapak genggam yang merupakan khas kebudayaan paleolitik di Afrika dan Eropa juga ditemukan bahkan hingga di Kawasan Asia Tenggara (Zaim et al, 2012).

Di Indonesia, situs-situs dengan temuan alat inti yang padat tersebar di beberapa wilayah kepulauan. Namun sebagian besar temuan alat-alat tersebut tidak didukung dengan data konteks stratigrafi dan pertanggalan obsolut. Masih kurangnya data pertanggalan pada situs-situs yang mengandung temuan alat-alat inti tentu menyulitkan posisinya dalam kerangka kronologi yang tepat. Dari sudut morfologi dan teknologi tampak tidak ada perbedaan yang signifikan antara alat-alat inti yang ada di kepulauan Indonesia. Beberapa ahli menyebutkan bahwa perkembangan alat-alat paleolitik di Indonesia berjalan sangat lambat dan monoton. Alat-alat inti dari beberapa situs-situs awal hingga menjelang akhir pleistosen tidak memperlihatkan perkembangan teknologi yang berarti.

Di Jawa, situs yang kaya dengan temuan-temuaan alat inti adalah Situs Kali Basoka, Kabupaten Pacitan. Temuan alat inti yang tersebar di dasar dan teras-teras sungai menunjukkan tipologi yang beragam. Sebaran temuan artefak batu pacitanian dilaporkan bahkan menyebar hingga ke beberapa cabang-cabang sungai lainnya seperti Nampol Kedung Manjengang, Janglot dan Mendu (Zaim et al, 2012). Kapak genggam yang banyak ditemukan dalam teknologi artefak batu pacitan pada umumnya dipahat kasar secara memanjang, suatu teknik yang umum dalam teknologi kapak perimbas. Namun ada beberapa yang khas dipangkas dengan teliti dan dibentuk secara teratur. Teknik khas tersebut, yang digolongkan mirip dengan alat-alat setingkat Acheulian awal (Soejono & Leirissa, 2007; 104-105). Pertanggalan absolut yang mungkin menunjukkan umur dari industri artefak batu pacitanian saat ini adalah penelitian yang dilakukan di Bukit Ngebung 2 pada 1989 dan 1991. Pertanggalan dengan metode Ar/Ar, ESR, dan U-Th dari lapisan yang mengandung alat-alat inti menunjukkan umur dengan kisaran antara 920 hingga 70 ribu tahun yang lalu (Zaim et al, 2012).

Salah satu wilayah penelitian yang penting dan telah berkontribusi dalam studi paleolitik di Asia Tenggara saat ini adalah Lembah Soa, di Flores Tengah. Beberapa situs ditemukan tersebar di sekitar lembah yang dialiri oleh sungai purba Ae Sissa. Penelitian yang dilakukan di beberapa situs telah menunjukkan data temuan artefak batu pada lapisan stratigrafi yang jelas didukung dengan data pertanggalan yang absolut. Ekskavasi di Situs Mata Menge dan Boa Leza dengan pertanggalan Fission Trackmenunjukkan umur antara 880,000 hingga 800,000 tahun yang lalu. Ratusan temuan artefak batu ditemukan berasosiasi dengan beberapa temuan fosil binatang. Temuan artefak batu didominasi oleh serpih buangan, alat-alat serpih yang diretus, beberapa batu inti dari bahan vulkanik. Penggunaan alat-alat inti tampaknya kurang efektif digunakan. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh bahan material yang tersedia didominasi oleh batu kerikil yang cenderung kecil (Moore & Brumm, 2007; Brumm et.al., 2006; Brumm et.al, 2010).

Penemuan artefak batu dengan pertanggalan tersebut di Flores setidaknya telah membuka pandangan kita akan kemampuan manusia purba yang membawa tradisi paleolitik untuk bermigrasi ke zona Wallacea pada masa sekitar 1 juta tahun lalu. Zona Wallacea pada kala Pleistosen tidak menunjukkan ada jembatan darat yang menghubungkan pulau-pulau yang ada di zona tersebut. Kemampuan manusia purba untuk sampai ke Flores tentu membutuhkan pengetahuan teknologi maritim. Sulawesi yang merupakan pulau terluas dan tertua di Zona Wallacea tidak dapat diabaikan dalam proses penjelajahan manusia purba di kawasan ini. Dalam kajian biogeografi dan arus laut, Sulawesi berperan penting dalam kajian alur migrasi fauna di zona Wallacea. Migrasi fauna mungkin perdampak pula terhadap migrasi manusia purba.

Kawasan prasejarah Cabenge dengan temuan alat-alat batu yang padat menjadi bukti kehadiran migrasi manusia purba di Sulawesi, meskipun penemuan fosil manusia belum ditemukan hingga saat ini. Penelitian yang dilakukan di Situs Talepu baru-baru ini, telah membuktikan kehadiran manusia awal di Sulawesi setidaknya berumur antara 200,000 hingga 100,000 tahun lalu (Berg et.al.,2015). Penggalian yang dilakukan sedalam 8 m, telah menunjukkan layer budaya berupa konteks temuan artefak batu berasosiasi dengan fosil-fosil megafauna (Bubalus sp., Stegodon dan

Artefak batu Cabbenge yang tersebar di beberapa situs di sepanjang Sungai Purba Walannae telah banyak diperdebatkan di kalangan arkeolog, jauh sebelumnya. Penelitian Heekeren dan Soejono yang dimulai sejak 1947 hingga 1970 dari hasil tim kerja sama Indonesia-Belanda, menemukan konsentrasi alat-alat inti dan fosil di sebelah timur Sungai Walannae. Alat-alat tersebut ditemukan pada undakan Sungai Walannae di Desa Beru, Sompoh, Caleko dan Marale, Paroto, dimana undakan III dan IV mengandung sisa fosil binatang dan alat pelaolitik paling banyak (Heekeren, 1972; Soejono & Leirissa, 2007: 113-114). Kesimpulan Heekeren yang menganggap bahwa alat-alat inti tersebut ditemukan berasosiasi dengan fosil-fosil binatang telah dikomentari oleh beberapa ahli. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa alat-alat tersebut berasal dari endapan sungai yang bertekstur kasar dari kala Plestosen, sedangkan tulang-tulang hewan yang terdapat dalam endapan ini mungkin telah terbawa masuk dalam endapan formasi yang lebih tua (Bellwood, 2000).

Bartstra (1978) secara teliti memeriksa temuan alat-alat berpatina yang ditemukan pada lapisan kerikil teras yang tertinggi dan menganggap agak berbeda dengan alat-alat toala yang ditemukan lebih dekat dengan sungai yang mungkin bertarik holosen. Beberapa arkeolog selanjutnya menganggap bahwa industri artefak batu Cabbenge memperlihatkan teknologi yang berlangsung bahkan mungkin hingga masa Holosen. Ukuran alat-alat serpih yang relatif kecil dan kondisi paset yang belum mengalami pembudaran menjadi acuan untuk menetukan perbedaan umur relatif alat-alat serpih. Namun hal tersebut masih menuai kontroversi mengingat tidak ada dukungan data stratigrafi yang jelas dalam menentukan perbedaan fase hunian teknologi antara alat-alat toala dan alat-alat inti berpatinasi di kawasan prasejarah cabbenge. Temuan artefak batu yang diamati hanyalah temuan permukaan yang ditemukan dalam konteks yang sama. Beberapa temuan atefak batu dari penggalian di Situs Talepu juga cenderung kecil dan tidak mengalami kondisi faset dengan pembudaran yang tinggi (lihat Berg et.al.,2015). Moore dan Brumm mengungkapkan bahwa perbedaan teknologi paleolitik Asia Tenggara antara alat inti dan alat serpih, antara alat besar dan kecil, tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan fase hunian. Perbedaan fase hunian harus ditentukan berdasarkan konteks stratigrafi (Moore & Brumm, 2007).

Permasalahannya adalah perkembangan teknologi artefak batu Cabenge yang terjadi hingga saat ini masih belum menemui titik terang. Namun setidaknya, hasil penelitian selama ini menunjukkan kepada kita bahwa manusia purba yang saat ini belum diketahui garis keturunannya telah menghuni Lembah Walannae pada masa antara 200.000 hingga 100.000 tahun yang lalu. Perkakas-perkakas batu yang cenderung ditemukan di permukaan dapat digunakan sebagai data untuk mengetahui cara-cara hidup mereka ketika harus berhadapan dengan kondisi lingkungan dan jenis fauna yang terbatas karena terisolasi di Sulawesi. Teknologi alat batu kemudian menjadi salah satu hal yang menarik dikaji dalam studi kebudayaan prasejarah di Lembah Walennae.