• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai Aspek dalam Pemantauan Kualitas Lingkungan Perkotaan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Berbagai Aspek dalam Pemantauan Kualitas Lingkungan Perkotaan

Masyarakat yang tinggal pada lingkungan perkotaan memiliki aktivitas yang beragam, baik pada sektor perdagangan, jasa atau kegiatan lain yang berhubungan dengan penyediaan layanan publik. Keragaman aktivitas masyarakat ini memiliki pengaruh berbeda lingkungan kota. Jenis kegiatan atau aktivitas masyarakat tertentu akan memberikan dampak beragam pada aspek - aspek lingkungan yang ada. Oleh sebab itu dalam melakukan pemantauan lingkungan, perlu ditetapkan aspek - aspek lingkungan yang sifatnya dapat terukur dan mencerminkan perubahan lingkungan yang terjadi.

Aspek - aspek yang dipilih dalam pemantauan kualitas lingkungan kota secara umum dapat dibagi menjadi bidang - bidang tertentu berdasarkan karakteristik potensi pencemaran maupun media lingkungan yang terkena dampak pencemaran yang terjadi. Kota sedang dan kecil Kalimantan merupakan kota - kota yang tingkat aktivitas masyarakatnya dapat dilihat dari jumlah produksi limbah padat dan cair serta pemanfaatan lahan kawasan urban yang terjadi. Oleh sebab itu aspek - aspek obyek pemantauan yang dipilih untuk mewakili kualitas

lingkungan kota - kota sedang dan kecil di Kalimantan terdiri atas : (1) Pengelolaan sampah domestik, (2) Ketersediaan ruang terbuka hijau dan (3) Pencemaran badan air (Kementerian Lingkungan Hidup 2008).

2.4.1Sampah Domestik

Tiap individu manusia merupakan penghasil sampah, dalam melaksanakan kegiatan kesehariannya, manusia akan selalu memproduksi sampah baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Dalam lingkup wilayah dengan kepadatan penduduk rendah seperti pada daerah rural secara umum, akumulasi sampah yang terproduksi tidak signifikan terhadap luas wilyah, namun berbeda dengan wilayah perkotaan dengan kepadatan penduduk tinggi, produksi sampah akan menjadi permasalahan yang cukup signifikan akibat terbatasnya ketersediaan lahan yang digunakan sebagai sarana pengolahan maupun landfill sampah domsetik ini. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang terjadi di wilayah perkotaan produksi sampah juga akan turut meningkat, sehingga dibutuhkan solusi cermat untuk mengantisipasi peningkatan produksi sampah yang memiliki dampak minimal pada pencemaran lingkungan, ekonomis serta efisien dalam hal pemanfaatan lahan (Kementerian Lingkungan Hidup 2006).

Tidak berbeda dengan permasalahan sampah yang dihadapi oleh wilayah perkotaan di Indonesia, kota Dar es Salaam di Tanzania juga menghadapi hal

yang serupa. Limbah padat hasil kegiatan domestik masyarakat di wilayah perkotaan telah menjadi permasalahan lingkungan yang serius. Sejalan dengan pembangunan sosial ekonomi kurun waktu terakhir, ditambah dengan liberalisasi ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang cepat, produksi limbah padat yang dihasilkan penduduk kota Dar es Salaam telah meningkat dengan kecepatan yang cukup tinggi. Namun peningkatan volume sampah tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan pemerintah setempat dalam mengelola sampah yang terproduksi. Secara rata - rata hanya 20 - 30 % sampah wilayah perkotaan di negara Tanzania yang mampu dikumpulkan dan dibuang ke landfill oleh pemerintah daerah setempat. Krisis yang dihadapi dalam penyusunan kebijakan masalah persampahan wilayah perkotaan di Tanzania secara umum melingkupi masalah - masalah : (1) Pengelolaan limbah padat, (2) Privatisasi sektor

persampahan, (3) Dampak lingkungan dari pembuangan limbah dan (4) Peningkatan kapasitas kelembagaan. Untuk menyelesaikan permasalahan -

permasalahan di atas diperlukan kerangka konseptual didasarkan pada aplikasi pengelolaan sampah yang berkelanjutan di Tanzania. Upaya pengurangan produksi sampah, pemanfaatan ulang hingga upaya daur ulang diusulkan sebagai solusi bagi pengelolaan limbah padat perkotaan. Perbaikan manajemen pengelolaan sampah dan peningkatan kapasitas kelembagaan juga dianggap memiliki peran penting dalam tujuan yang sama (Yhdego 1995).

Studi serupa juga dilakukan oleh Bhuiyan (2010), menggunakan data empiris yang dikumpulkan pada tahun 2000, 2003 and 2009 dilakukan analisis pengelolaan sampah padat perkotaan yang dilakukan oleh pemerintah di Bangladesh. Studi ini difokuskan pada kelembagaan pemerintahan sebagai kunci dalam pengelolaan sampah di Bangladesh. Analisis juga dilakukan pada sektor swasta yang bergerak dalam bidang pelayanan kebersihan dan keterlibatan masyarakat disana. Hasil studi menyimpulkan bahwa kemitraan pemerintah- swasta berkontribusi terhadap pengelolaan limbah padat yang efektif, begitupula pemberdayaan masayarakat dalam pengelolaan sampah turut memberikan kontribusi yang positif. Bentuk kemitraan pemerintah - swasta dan pemerintah - masyarakat dalam pengelolaan sampah diharapkan dapat menjadi solusi masalah persampahan Bangladesh di masa mendatang.

Secara umum dipahami masalah persampahan hanya mencakup upaya pengangkutan sampah dari sumber hingga tempat landfill sampah. Namun, disamping permasalahan tersebut masih dimungkinkan pula kondisi - kondisi tertentu pada saat sebagian dari sampah kota tidak dapat terangkut hingga tempat

landfill, ataupun sampah yang telah ditimbun pada landfill menyebabkan terjadinya pencemaran wilayah sekitar. Rao dan Shantaram (1995) dalam studi yang dilakukannya di Hyderabad, India menjelaskan potensi pencemaran lingkungan berupa kontaminasi logam berat pada media tanah dan air yang dihasilkan dari sampah atau limbah padat perkotaan. Logam berat seperti Cu, Pb, Ni dan Zn secara umum banyak dihasilkan dari limbah padat perkotaan di India. Hyderabad adalah kota besar India dengan jumlah penduduk lebih dari 45 juta jiwa dan jumlah limbah padat yang dihasilkan dari kota diperkirakan 1_200 - 1_800 ton / hari. Limbah padat yang dihasilkan di kota Hyderabad tersebut sebagian besar timbun pada daerah landfill sampah di daerah dataran rendah. Meskipun demikian kondisi tersebut menyebabkan terjadinya potensi pencemaran secara langsung pada lahan pertanian untuk budidaya tanaman. Dampak yang

mungkin terjadi berupa masalah pencemaran air tanah, rusaknya tanaman panen, dan penurunan kualitas tanah.

2.4.2Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau

Pertumbuhan kota yang pesat sewajarnya akan selalu disertai peningkatan kebutuhan akan lahan.Kebutuhan yang didasari atas kebutuhan pertambahan infrastruktur kota ini tentu akan mempercepat terjadinya alih fungsi lahan. Kawasan RTH yang pada mulanya merupakan daerah tangkapan air bagi kota kehilangan fungsinya karena berubah fungsi menjadi kawasan terbangun. Guna mendukung keberlanjutan wilayah, Undang - Undang No 26 Tahun 2007 mengamanatkan 30 % kawasan kota harus ditetapkan sebagai kawasan RTH yang terbagi masing - masing atas 20 % berasal dari kawasan publik yang harus disediakan pemerintah dan 10 % dari kawasan privat. Penetapan jumlah minimal kawasan RTH ini diperlukan dalam mengontrol pertumbuhan kota yang tidak selaras dengan lingkungan. Manfaat kawasan RTH bagi suatu kota adalah sebagai pengendali aliran air run off dan sebagai daerah penyimpan air disamping juga memberi manfaat sebagai penghasil oksigen. Adapun besarnya peranan kawasan RTH ditentukan oleh vegetasi yang ada maupun luasan RTH itu sendiri.

Secara global perkembangan kota memberikan tekanan yang cukup besar pada lingkungan. Di Amerika Serikat misalnya, pertumbuhan cakupan lahan kota diproyeksikan meningkat dari 3.1 % pada 2000 menjadi 8.1 % pada tahun 2050 menyebabkan tergusurnya daerah hutan dan kawasan tangkapan air (Nowak dan Walton 2005). Kondisi yang umumnya terjadi akibat urbanisasi ini, harus diimbangi dengan upaya lain yang bersifat menjaga kawasan hutan atau bentuk daerah penyangga lainnya.

Duggan (2012) juga melihat pertumbuhan kota yang merambah pada kawasan hutan dan daerah penyangga lain biasanya dianggap memiliki efek merugikan pada perairan maupun kota itu sendiri. Solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan cara melakukan penanaman kembali atau re - vegetasi pada kawasan - kawasan di sekitar wilayah kota. Efek dari konversi lahan menjadi hutan di daerah tangkapan di Waiwhakareke, Selandia Baru memberikan dampak yang positif pada kota - kota terdekat, Secara umum bentuk perimbangan kawasan ini ditunjukkan sebagai salah satu model untuk pembangunan dan penyebaran kota - kota di masa mendatang.

Penduduk dunia tumbuh sebesar 1.8 % per tahun dan akan mencapai angka 5.1 miliar, ketika lebih dari 56 % orang di negara berkembang akan tinggal di kota pada tahun 2030, sedangkan di negara maju mungkin juga melebihi 84_persen pada tahun yang sama. Oleh sebab itu kota - kota dengan karakteristik berpenduduk padat menjadi ciri yang dominan dalam pembangunan perkotaan sejak paruh kedua abad ke - 20 (Roaf 2010).

Kondisi di atas dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan kurangnya ketersediaan RTH permasalahan kerusakan ekologis. Sebagai contoh, menurut proyeksi resmi tahun 2031, semenanjung Macau, China akan dihuni oleh 829 000 jiwa penduduk. Proyeksi tersebut memberikan gambaran bagi perencana dalam strategi dan upaya untuk memenuhi kebutuhan RTH wilayah tersebut. Upaya - upaya yang dilakukan oleh pemerintah lokal dalam menghadapi permasalahan tersebut adalah dengan cara meningkatkan efisiensi penggunaan lahan untuk kebutuhan komersial dan permukiman, serta mempertahankan jumlah

dan sebaran RTH di wilayah tersebut. Berdasarkan riset lapangan yang dilakukan pada Agustus 2010, diketahui jumlah penduduk semenanjung Macau mencapai 542 400 jiwa dan masih terdapat 26.9 % dari kawasannya masih berupa kawasan RTH. Diharapkan melalui penetapan regulasi yang ketat dalam menjaga kawasan RTH dan inovasi yang tepat dalam pemanfaatan ruang, proporsi seimbang antara jumlah penduduk dan ketersediaan RTH wilayah tersebut dapat dicapai (Min et al.

2011).

Dalam studi yang dilakukan oleh Siriwardena et al. (2006) di daerah Queensland, Australia ditunjukkan hubungan vegetasi pada daerah tangkapan air terhadap sistem hidrologi wilayah. Peran vegetasi pada daerah tangkapan air yang didominasi tumbuhan Acacia sp. tersebut memiliki pengaruh terhadap skala maupun dampak limpasan air. Penurunan jumlah vegetasi menyebabkan penurunan kemampuan lahan dalam menyimpan air disamping meningkatkan erosi tanah terutama pada saat curah hujan tinggi. Indikasi penurunan kemampuan lahan dalam menyimpan air tersebut tergambar dari peningkatan debit air sungai di kawasan tersebut pada masa setelah terjadinya penurunan luasan tutupan vegetasi pada kawasan tangkapan air terhadap masa sebelum terjadinya penurunan luasan di saat - saat terjadinya hujan dengan intensitas yang sama. Pada penelitian ini dilakukan pula permodelan yang menggambarkan hubungan perubahan luasan tutupan vegetasi terhadap kondisi hidrologi kawasan. Model yang dibuat mencoba menggambarkan pengaruh perubahan luas tutupan vegetasi terhadap faktor - faktor lain seperti intensitas debit sungai, tingkat erosi tanah pada keadaan intensitas hujan tertentu.

Hasil penelitian yang lebih awal yang dilakukan oleh Eschner dan Satterlund (1966) menunjukkan kondisi hidrologi kawasan secara lambat, dan konsisten dalam penggunaan lahan dan perubahan tutupan vegetasi selama periode 39 tahun 1912 - 1950 di wilayah Timur Laut Amerika Serikat. Menggunakan metode regresi berganda ditunjukkan bahwa peningkatan kerapatan vegetasi dan tutupan tajuk pohon berkaitan dengan laju aliran air run off dan debit aliran air sungai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa upaya pertambahan vegetasi pada daerah tangkapan air dapat menurunkan intensitas air run off

disamping dibutuhkan pula ketersediaan saluaran air limpasan seperti drainase (Siriwardena et al. 2006).

2.4.3Pencemaran Badan Air

Air merupakan salah satu unsur utama yang dibutuhkan oleh makhluk hidup termasuk manusia. Kebutuhan akan air untuk minum, sarana pendukung sanitasi maupun untuk kebutuhan - kebutuhan penting lainnya mutlak diperlukan. Media lingkungan berupa air merupakan sarana penting yang menyediakan kebutuhan - kebutuhan tersebut, sehingga tercukupinya air dari sisi jumlah dan kualitas untuk penunjang sarana kehidupan manusia tidak dapat ditawar lagi. Namun dilihat dari sudut pandang yang lain media lingkungan air terkadang juga dilihat sebagai sarana tempat pembuangan sampah maupun limbah yang praktis. Kondisi tersebut yang menyebabkan terjadinya dilema ketika pada satu sisi air merupakan salah satu sumber sarana penunjang kehidupan dan disisi lain kualitas air yang selalu menurun akibat digunakan sebagai sarana pembuangan sisa - sisa kegiatan dan aktivitas ekonomi masyarakat. Sifat air yang mengalir dari daerah hulu menuju ke hilir menyebabkan penanganan pencemaran yang terjadi pada

media air berbeda dengan penanganan pencemaran pada media tanah. Aliran air menyebabkan pencemaran yang terjadi pada daerah hulu turut member dampak pada daerah hilir. Pengelolaan badan air yang dilakukan secara terpadu diperlukan guna mencegah pencemaran yang terjadi pada media tersebut (Kementerian Lingkungan Hidup 2006).

Untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas air, pemantauan kualitas badan air dan sumber - sumber pencemar perlu dilakukan secara berkala. Pemantauan yang dilakukan harus mengikuti kaidah - kaidah ketentuan baku mutu yang telah ditentukan oleh peraturan wilayah setempat atas parameter - parameter tertentu. Sebagai contoh, pada rentang tahun 1993 hingga 2003 dilakukan studi atas pemantauan 9 (sembilan) sungai di Eropa yang melintasi negara Polandia, Jerman dan Republik Ceko. Pemantauan kualitas badan air dilakukan untuk parameter - parameter BOD5, COD, Cd, Zn, P, N serta padatan tersuspesi (Korol

et al. 2005). Pemantauan yang dilakukan secara umum melingkupi 3 parameter yang berkaitan dengan zat organik, parameter salinitas dan biogens. Kegiatan yang dilakukan tersebut berperan penting dalam fungsi kontrol terhadap kualitas sungai - sungai yang melintas pada ketiga negara tersebut.

Bentuk pamantauan kualitas badan air lain juga dilakukan di kawasan pertanian di provinsi Jiangxi negara Cina. Studi yang dilakukan pada tahun 2008 menitikberatkan pemantauan parameter - parameter N, P dan S hasil kegiatan pertanian setempat. Kegiatan pemantauan yang dilakukan memiliki tujuan untuk menjaga kualitas air sungai Zhongzhou yang merupakan sumber air baku pemenuhan kebutuhan domestik dan industri kota Longgang (Zhang et al. 2009).

2.4.4Pencemaran Udara

Serupa dengan kebutuhan air bersih untuk menunjang kehidupan di wilayah perkotaan, udara yang bersih juga turut menjadi faktor penunjang lain yang tidak kalah penting. Udara bersih merupakan komponen penting yang diperlukan manusia, hewan dan tumbuhan untuk bertahan hidup.

Studi yang dilakukan pada kota Meksiko dari tahun 1986 hingga 1994 menunjukkan bahwa sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kegiatan perekonomian akan dibarengi oleh penurunan kualitas udara ambient di wilayah tersebut. Terjadinya pencemaran udara ini merupakan akibat peningkatan sumber polutan udara tidak bergerak yakni bertambahnya jumlah industri yang ada pada kawasan kota Meksiko. Kondisi tersebut ditandai dengan naiknya unsur - unsur polutan udara yakni Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2),

Ozon (O3), Nitrogen (NO2) dan partikulat tersuspensi (TSP). Sejalan dengan

pertumbuhan ekonomi suatu kota, semakin tinggi produksi gas buang yang terjadi serta semakin tingginya beban lingkungan yang terjadi pada kawasan kota tersebut. Pemantauan kualitas udara ambient secara kontinu serta pengawasan pemenuhan baku mutu sumber pencemar udara pada sektor industri merupakan langkah yang diambil pemerintah setempat untuk mengurangi risiko yang timbul pada media udara di kawasan kota tersebut. (Garza 1996).

Studi yang berkaitan dengan penurunan kualitas udara juga dilakukan pada wilayah kota Thessalonica di Yunani pada tahun 2004 hingga 2009. Studi perubahan kualitas udara kawasan urban tersebut dilakukan untuk memantau parameter - parameter CO, SO2, O3, PM10 and NO2. Berbeda dengan studi yang

Thessalonica umumnya berasal dari sumber polutan begerak atau sektor transportasi. Pertumbuhan kendaraan bermotor pada kawasan kota tersebut memberi dampak meningkatnya unsur pencemar yang terdapat pada udara ambien. Adapun dalam mengontrol tingkat pencemaran yang terjadi pemerintah setempat berupaya melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pemenuhan baku mutu sumber pencemar bergerak maupun memperbaiki sistem transportasi umum yang ada disana (Kassomenos et al. 2012).

2.5Hubungan Alokasi Anggaran Terhadap Kualitas Lingkungan Hidup