• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kualitas Lingkungan Hidup

Lingkungan merupakan kondisi fisik yang melingkupi sumber daya alam berupa tanah, air, mineral, termasuk makhluk hidup flora dan fauna yang berada pada kawasan tersebut. Lingkungan sendiri terdiri atas komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik merupakan komponen lingkungan yang memiliki sifat tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban serta intensitas matahari. Komponen biotik mencakup segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro - organisme yang mendiami lingkungan tersebut. Lingkungan hidup juga sering pula diartikan dengan istilah biosfer yang dapat mencakup segala makhluk hidup dan makhluk tak hidup di alam yang ada di Bumi atau bagian dari Bumi, yang berfungsi secara alami. Tanpa adanya pengaruh campur tangan manusia, lingkungan membentuk suatu siklus yang seimbang dan berkelanjutan. Faktor manusia, terutama yang didasari atas motif pemenuhan kebutuhan ekonomi secara umum memberikan dampak pada kualitas lingkungan. Hal ini yang mendasari perlunya dilakukan pengukuran kualitas lingkungan untuk mencegah terjadinya dampak kerusakan lingkungan yang terlalu besar. Kualitas lingkungan hidup merupakan keadaan lingkungan yang dapat memberikan daya dukung optimal bagi ke langsungan hidup manusia pada suatu wilayah. (Kementerian Lingkungan Hidup 2008).

Selama ini, pengukuran kualitas lingkungan pada umumnya dilakukan secara terpisah berdasarkan media lingkungan yang ada, yaitu air, udara, dan tanah. Kondisi ini menyebabkan banyaknya data yang tidak saling terintegrasi satu dan lainnya, sehingga sulit untuk menilai apakah kondisi lingkungan hidup di suatu kawasan secara utuh apakah bertambah baik atau sebaliknya. Salah satu cara untuk mereduksi banyak data dan informasi adalah dengan menggunakan angka indeks (Kementerian Lingkungan Hidup 2010).

Studi - studi tentang indeks lingkungan banyak dilakukan terutama oleh perguruan tinggi di luar negeri, seperti Yale University dan Columbia University

yang menghasilkan Environmental Sustainability Index (ESI). ESI dilakukan untuk melihat tingkat keberlanjutan suatu negara, juga sebagai tolok ukur kemampuan suatu negara untuk melindungi lingkungan hingga pada masa mendatang. Nilai indeks keberlanjutan lingkungan ini mencakup 5 (lima) isu meliputi : (1) sistem lingkungan suatu negara, (2) tekanan pada lingkungan akibat aktivitas manusia (3) tekanan pada lingkungan yang tidak disebabkan manusia,

(4) kapasitas masyarakat dalam menghadapi tantangan lingkungan dan (5) pengelolaan global suatu negara. ESI yang dilakukan pada 146 negara di dunia

dan dibangun berdasarkan model tekanan (pressure), keadaan (state) dan upaya antisipasi (response) lingkungan pada negara - negara tersebut. Hasil perhitungan ESI menunjukkan peringkat dan tingkat kemampuan adaptasi suatu negara, disamping juga menunjukkan pengelompokan yang terjadi di dunia secara umum. Indikator - indikator yang dibangun dari beberapa isu tersebut menitikberatkan pada faktor tekanan yang menyebabkan perubahan kondisi serta respon akibat perubahan itu sendiri. Lima negara anggota kelompok terbaik dengan peringkat tertinggi adalah Finlandia, Norwegia, Uruguay, Swedia dan Islandia yang masing - masing dicirikan dengan sumber daya alam yang cukup besar dan kepadatan

penduduk rendah. Negara - negara peringkat terendah adalah Korea Utara, Irak, Taiwan, Turkmenistan dan Uzbekistan. Negara - negara ini menghadapi berbagai masalah, baik alam maupun buatan manusia dan belum berhasil melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik dan berkelanjutan. (Esty et al. 2005).

Michigan Technological Research Institute (MRTI) juga menghasilkan

Environmental Quality Index (EQI). EQI disusun untuk melihat perubahan kondisi lingkungan pada skala kawasan. Perhitungan EQI dilakukan berdasarkan indikator - indikator : (1) kondisi tanah, (2) kesehatan air, (3) kualitas udara dan (4) pemanfaatan lahan. EQI dilakukan melalui pendekatan sistem informasi geografis diperoleh melalui teknik overlay data spasial. Teknik overlay data menunjukkan nilai total kawasan berdasarkan penjumlahan nilai indikator - indikator kawasan tersebut. Nilai tinggi menunjukkan lingkungan dalam kondisi baik atau rendahnya pencemaran yang terjadi, sedangkan nilai rendah menunjukkan kondisi lingkungan yang buruk atau tingginya pecemaran. Teknik perhitungan EQI yang menggunakan data - data informasi geografis memungkinkan kualitas lingkungan kawasan dapat teramati secara spasial (French

et al. 2008).

Pada suatu studi yang dipublikasikan pada tahun 2010 oleh Yale University dan Columbia University yang berkolaborasi dengan World Economic Forum dan Joint Research Center of the European Commission, dihasilkan indeks yang disebut sebagai Environmental Performance Index (EPI). EPI dilakukan untuk melihat perbandingan indeks performa lingkungan suatu negara terhadap negara lainnya. Perhitungan nilai indeks performa lingkungan tersebut dilakukan pada 163 negara di dunia. Adapun EPI ditentukan berdasarkan pencapaian - pencapaian kebijakan pemerintah suatu negara berkaitan dengan aspek kesehatan lingkungan dan aspek kondisi ekosistem suatu negara. Aspek kesehatan lingkungan terbagi atas indikator - indikator : (1) pencemaran media tanah, (2) polusi udara dan (3) pencemaran air. Aspek kondisi ekosistem terbagi atas indikator - indikator : (1) keanekaragaman hayati dan habitat, (2) kondisi kawasan hutan, (3) kondisi perairan, (4) kondisi pertanian serta (5) dampak perubahan Iklim. Dalam perhitungan EPI suatu negara, masing - masing indikator tersebut diberi bobot sesuai dengan besarnya tingkat pengaruh indikator tersebut terhadap performa suatu negara. Adapun nilai akhir EPI suatu negara diperoleh melalui hasil penjumlahan seluruh perkalian bobot dengan nilai masing - masing indikator. Nilai EPI berada pada kisaran 0 (performa terburuk) hingga 100 (performa terbaik) yang menunjukkan tingkat performa suatu negara dalam pengelolaan lingkungan (Emerson et al. 2010).

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2007 telah mengembangkan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) untuk 30 ibukota provinsi. Selain itu, pada tahun 2009 Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bekerja sama dengan Dannish International Development Agency (DANIDA) juga mulai mengembangkan indeks lingkungan berbasis provinsi yang pada dasarnya merupakan modifikasi dari EPI. Indeks kualitas lingkungan dapat dimanfaatkan untuk mengukur keberhasilan program - program pengelolaan lingkungan. Selain sebagai sarana untuk mengevaluasi efektifitas program - program pengelolaan lingkungan, indeks kualitas lingkungan mempunyai peranan dalam hal : membantu perumusan kebijakan, membantu dalam mendisain program lingkungan, dan mempermudah komunikasi dengan publik sehubungan dengan

kondisi lingkungan. Tujuan disusunnya indeks kualitas lingkungan adalah : (1) Memberikan informasi kepada para pengambil keputusan di tingkat pusat dan daerah tentang kondisi lingkungan di daerah sebagai bahan evaluasi kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, (2) Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik tentang pencapaian target program- program pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup (Kementerian Lingkungan Hidup 2010).