• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Bandar-Bandar pantai utara Pulau Jawa

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 37-40)

Permulaan Penyebaran Agama Islam di Jawa

I- 5 Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Bandar-Bandar pantai utara Pulau Jawa

Suma Oriental karangan petualang Portugis, Tome Pires, melukiskan keadaan di Jawa sekitar tahun 1515.18 Menurut dia, perpindahan kekuasaan politik ke tangan orang-orang Islam terjadi dengan dua cara:

Pertama: Bangsawan-bangsawan Jawa yang "kafir" dengan sukarela memeluk agama baru itu; di tempat-tempat mereka memegang kekuasaan (dan tetap berkuasa), pedagang-pedagang Islam mencapai martabat tinggi. Demikian juga para cendekiawan agama Islam yang tinggal di rumah para pedagang.

Kedua: Orang-orang asing yang beragama Islam, dari bermacam-macam bangsa, bertempat tinggal di kampung (factorij) tersendiri di Bandar-Bandar, membuat rumah mereka menjadi kubu pertahanan; dari tempat-tempat itulah mereka mengadakan serangan-serangan terhadap perkampungan orang-orang "kafir"; akhirnya mereka merebut seluruh pemerintahan bandar.

Gambaran peristiwa menurut Pires itu agaknya mudah diterima. Mungkin sekali Pires berpendapat, dalam hal yang kedua itu para penguasa setempat yang asli dan bukan Islam itu gugur dalam pertempuran atau melarikan diri. Bagaimanapun jelaslah bahwa-is memberikan peranan penting kepada kalangan pedagang yang beragama Islam.

Bolehlah diperkirakan bahwa proses pengislaman yang pertama itulah yang tertua, dan bahwa Bandar-Bandar kuno di pantai utara Jawa Timur dengan cara demikian itu menjadi Islam. Kota Tuban adalah contoh perkembangan demikian itu. Pengislaman

18 Berapa besar arti hasil karya Tome Pires untuk pengkajian masa pengislaman tanah Jawa telah dibicarakan dalam Graaf, "Tome Pires".

dengan jalan kekerasan itu konon terjadi di Bandar-Bandar di pantai utara Jawa Tengah, yakni Demak dan Jepara.

Suatu catatan Pires yang penting ialah yang berikut ini. Menurut dugaannya, pedagang-pedagang Islam yang semula dari golongan menengah dan kadang-kadang bangsa asing, setelah mencapai kekuasaan dan kehormatan, mengubah tingkah laku dan cara hidup mereka. Dari pedagang mereka menjadi cavaleiros, kesatria golongan bangsawan, kemudian mendapat hak untuk memiliki tanah. Berdasarkan pernyataan Pires, dapat diduga bahwa memeluk agama Islam belum berarti tercapainya perubahan besar dalam susunan politik kota-kota di pantai utara Jawa. Bahkan juga tidak di tempat-tempat keturunan penguasa yang bukan Islam, yang dengan jalan kekerasan dipaksa menyerahkan kedudukan mereka kepada "orang kaya baru", yang menurut asal usulnya adalah orang-orang asing dan pelaut.

1-6 Kehidupan agama Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timui pada abad ke-15 dan ke-16, legenda dan sejarah

Kesusastraan Jawa abad ke-17 dan ke-18 mengenal banyak cerita tradisional mengenai para wali, yaitu orang-orang saleh yang diduga telah menyebarkan agama Islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka di bidang mistik Islam dan teologi. Cerita-cerita itu biasanya berpegang teguh pada wali yang sembilan angka yang dipandang "keramat", yang mengingatkan kita akan kesempurnaan yang

mencakup segala-galanya. Tetapi nama-nama para wali itu disebut berbeda-beda.19

Wali-wali di Jawa kabarnya berpusat di masjid keramat di Demak, masjid yang mereka dirikan bersama. Di situlah mereka agaknya mengadakan pertemuan untuk bertukar pikiran tentang mistik. Naskah-naskah yang mengungkapkan pertukaran pikiran ini, yang dinamakan Musawaratan, sangat disukai oleh para santri: Banyak

naskah telah disusun yang memuat teks-teks Musawaratan.20

Legenda-legenda keagamaan Jawa itu sedikit nilainya bagi penulisan sejarah. Urutan kronologis kejadian-kejadiannya diabaikan sama sekali. Hanya yang mengenai wali-wali yang paling terkemuka ada kepastian sejarah yang cukup kuat, oleh karena makam-makam mereka masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati; juga karena mereka sendiri atau keturunan mereka memegang peranan penting dalam sejarah politik Jawa pada abad ke-16 dan ke-17. Mereka berhasil mendapatkan kekuasaan duniawi di tempat kediaman mereka: mereka telah menjadi "pemuka- pemuka agama'°. Contoh-contoh perkembangan seperti ini ialah: Giri-Gresik, Kudus,

19 Cerita-cerita tutur Jawa tentang permulaan zaman Islam di Jawa telah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil.1, hlm. 76 dst. Berbagai legenda Jawa tentang orang-orang suci telah diuraikan dalam Rinkes, "Heiligen".

20 Arti Masjid Demak yang suci ini bagi kesadaran keagamaan orang-orang Jawa Islam pertama akan dibicarakan dalam paragraf berikut. Sejarah rumah ibadat akan menjadi bahan pembicaraan dalam Bab II buku karangan ini ("kelahiran dan kejayaan kerajaan Demak"). Soal "Musawaratan" Jawa telah dicantumkan dalam Pigeaud, Literature, jil.1, hlm. 83 dst.

dan Cirebon. Sejarah tempat-tempat tersebut akan dibicarakan dalam bagian lain buku ini. Orang Suci dari Kadilangu, dekat Demak, yaitu Sunan Kalijaga, dan keturunannya memang tidak menjadi raja, namun pengaruh mereka di bidang kerohanian di Jawa Tengah bagian selatan ternyata besar.

Tome Pires sedikit sekah menulis tentang orang-orang suci Islam. Diberitakan olehnya, pada permulaan abad ke-16, sesudah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa (lihat bagian-bagian yang terdahulu), datanglah "maulana- maulana" dari tanah seberang. Mereka tinggal di dekat masjid-masjid yang sementara itu telah dibangun. Juga cerita-cerita sejarah Jawa dalam bentuk Babad Tanah Djawi (antara lain terbitan Djaja Subrata, I, hal. 131), mengisahkan kedatangan para "maulana" bahkan ada yang dari Mekkah. Berita-berita pendek itu dan legenda-legenda panjang tentang orang-orang saleh tersebut berkisar sekitar tokoh-tokoh yang sama. Namun, perlu dinyatakan bahwa, menurut Pires, para rohaniwan dari negeri asing itu baru menetap di Jawa sesudah didirikannya kelompok-kelompok Islam, berkat rasa kerukunan beragama dan besarnya semangat dakwah para pelopor yaitu para pelaut dan pedagang di bandar-bandar. Para guru agama yang datang kemudian telah memperkuat keimanan kelompok-kelompok itu.

A. Johns (Johns, "Muslim Mystics") telah mencoba menghubungkan jatuhnya Kalifat Bagdad pada tahun 1258, yang mengakibatkan hancurnya kesatuan politik Islam untuk selama-lamanya, dengan propaganda pan-Islam (menurut perkiraan) yang dilakukan oleh tarekat mistik dalam abad-abad berikutnya.21 la menduga bahwa "the conversion of Indonesia to Islam was very largely the work of the tariga's" (hal. 41). Memang suatu kenyataan bahwa mistik, bahkan mistik yang heterodoks dan panteistis, telah mendapat kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke-15 dan ke- 16. Ini terbukti dari kesusastraan Jawa. Tetapi hanya sedikit alasan untuk menduga bahwa ikatan-ikatan persaudaraan mistik Islam yang terkenal pada masa itu sudah mulai aktif di Jawa pada abad ke-15. Dalam Hikayat Hasanuddin tarekat-tarekat itu di sana-sini memang disebutkan (Edel, Hasanuddin, hal.156,177, dan 178), tetapi mungkin merupakan catatan yang ditambahkan kemudian. Dalam kumpulan kuno cerita sejarah Jawa lainnya tidak terdapat berita tentang tarekat. Menurut Drewes (Drewes, "Mysticism", hal.300) tarekat Shattariya dari Medinah mulai dikenal di Jawa pada pertengahan abad ke-17.

Boleh diduga bahwa para guru agama yang pada abad ke-15 dan ke-16 melawat ke Jawa, termasuk kelompok mahasiswa dan sarjana yang menjelajahi dunia Islam sambil menghimpun ilmu, serta memberikan ajaran dan sementara itu tidak melupakan kepentingan duniawi. Meluasnya dunia Islam sebagai akibat pengislaman Kepulauan Indonesia itu tidak luput dari perhatian kalangan mereka. Di istana kerajaan-kerajaan baru Islam sepanjang pantai kepulauan itu, mereka sering disambut dengan meriah

sebagai penasihat kerohanian. Karena bergerak di tengah-tengah berbagai bangsa, mereka lebih mengenal dunia; karenanya mereka merupakan penasihat yang sangat berguna. Bahkan mereka menjadi pembantu bagi tuan rumah mereka dalam mengurusi harta dan memimpin usaha.

Apabila mereka cukup lama tinggal di suatu tempat, sering terjalin hubungan perkawinan antara orang asing yang dihormati serta berguna itu dengan putri atau saudara perempuan penguasa setempat. .Hukum perkawinan Islam memberikan kemungkinan untuk itu. Dalam legenda dan kisah, hubungan perkawinan demikian itu berkali-kalj diungkapkan.

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 37-40)

Garis besar

Dokumen terkait