• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 Ratu Kalinyamat, ratu Jepara

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 118-123)

Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Jepara/Kalinyamat

VI- 2 Ratu Kalinyamat, ratu Jepara

Menurut cerita Jawa, sesudah Ki Kalinyamat meninggal, jandanya mengucapkan sumpah untuk tetap tidak berpakaian (hanya menutup tubuhnya dengan rambutnya yang panjang terurai) selama pembunuh suaminya, Aria Panangsang, masih hidup. Selama itu ia mengundurkan diri dan berdiam di Gunung Danareja. Sumpahnya terpenuhi dengan kemenangan Jaka Tingkir dari Pajang atas Aria Panangsang dari Jipang. (Cerita tutur tidak memberitakan bahwa Ratu kemudian menjadi istri Jaka Tingkir. Mungkin Jaka Tingkir memang iparnya, kawin dengan salah seorang putri Sultan Tranggana dari Demak, atau semula kawin dengan putri itu, seperti yang disebutkan dalam salah satu cerita babad).118

Bagaimanapun semuanya itu berlangsung, menurut berita Portugis, ratu Jepara tersebut merupakan tokoh penting di pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Barat sejak pertengahan abad ke-16. Pada waktu itu Sultan Pajang, Jaka Tingkir; yang akrab dengannya, telah mengambil alih kekuasaan di pedalaman Jawa Tengah dari raja Demak; Ratu itu tidak perlu khawatir lagi mendapat serangan dari pedalaman.

117 Tempat permakaman Mantingan atau Pamantingan dekat Jepara telah dilukiskan dalam Oudheidkundig Verslag. Mihrab pada masjid di dekatnya dapat ditanggalkan karena sebuah batu di dalamnya memuat inskripsi candra sengkala: rupa- brahmanawarna-sari. Candra sengkala ini jelasnya menunjukkan tahun Jawa 1481(1559 M.; lihat Oudheidkunda'g Verslag). Tahun 1559 ini, sepuluh tahun sesudah meninggalnya Sunan Prawata dan Ki Kalinyamat, termasuk kurun waktu pemerintahan Ratu Kalinyamat di Jepara. Gaya hiasan di Mantingan, seperti juga menara di Kudus, dengan mencolok mengingatkan kembali kepada masa "kafir" sebelum zaman Islam. Tahun Jawa 1481 ini juga diperhitungkan menurut tahun Saka sebelum zaman Islam. Penyesuaian tahun Saka (yang mulai pada tahun 78 M.) dengan tarikh Islam (tahun berdasarkan bulan) memang dianggap hasil usaha Sultan Agung dari Mataram, pada paruh pertama abad ke-17. Menurut kenyataan, perhitungan tahun Jawa Islam yang aneh ini sebelum itu sudah dipakai dan kemudian diresmikan olehnya (Pigeaud,

Literature, jil. I, hlm. 32). Di Jepara keinginan untuk melestarikan peradaban Jawa ternyata kuat, seperti juga di daerah- daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur lain. Ada kemungkinan, Pamantingan itu sebelum zaman Islam sudah menupakan tempat keramat, tempat orang menghormat seorang dewi, yang terkenal dengan nama Nyai Lara Kidul (lihat cat. 18). Mungkin orang-orang Jawa abad ke-17 telah mencari kaitan-kaitan tertentu antara dewi dalam cerita mitos itu dan tokoh legenda Ratu Putri dari Jepara, yang armada-armadanya menguasai semua lautan.

118 Cerita, yang dalam cerita-cerita Babad Jawa Tengah diromantisir, mengenai kematian Sunan Prawata dari Demak dan pertempuran antara Aria Panangsang dari Jipang dan Jaka Tingkir dari Pajang, beserta karangan-karangan Brandes dan Rinkes yang berkaitan dengan cerita-cerita itu, telah dikemukakan dalam cat. 73 sebelum ini. Sampai di mana legenda tentang sumpah janda itu berdasarkan kebenaran tentu saja tidak dapat diteliti lagi. Gunung (Bukit) Danareja itu adalah suatu tanjung, yang menjorok ke laut di sebelah utara Jepara. Pada abad ke-17 pelaut-pelaut Belanda telah melihat benteng- benteng pertahanan di situ; pada tahun 1677 bangunan-bangunan ini ternyata kuat menahan serangan pengepungan orang- orang Madura di bawah pimpinan Trunajaya. Pada paruh pertama abad ke-19 di tempat itu oleh Kompeni didirikan benteng segitiga, yang reruntuhannya masih dapat ditunjukkan (tembok berkeliling dengan sarang-sarang penyerangan berupa bastion dan pintu gerbang). Dapat diperkirakan bahwa Ratu Putri itu waktu itu telah menjadi janda dan khawatir kalau-kalau mendapat serangan dari Aria Panangsang, mengungsi dari Kalinyamat ke bukit yang telah diperkuat tersebut. Bukankah Kalinyamat terletak dekat saja dari Kudus, dan bukankah Sunan Kudus adalah sahabat.Aria Panangsang? Selain itu legenda tentang Ratu Putri di atas bukit yang tidak berbusana dan yang menunggu-nunggu datangnya bantuan, mengingatkan kita pada dongeng, atau bahkan kepada mitos tentang Ratu Putri di Laut Selatan, Nyai Lara Kidul, yang merupakan kepercayaan orang- orang di daerah sepanjang pantai selatan Jawa (chat juga cat. 113 dan cat. 18). Adapun gunung dengan namanya Danareja yang sukar dijelaskan itu, diketahui bahwa di Brebes agaknya orang kenal akan "makam" Pangeran Danareja (Codex L0r, no. 7545; Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 18).

Tidak ada kepastian bahwa selama memegang pemerintahan alas Jepara, ratu tersebut selalu bertempat tinggal di Kalinyamat. Di pelabuhan ada juga sebuah keraton, yang di lingkungan Belanda pada permulaan abad ke-17 dikenal sebagai Koningshof 'istana raja'. Mungkin beliau bersemayam di sana; Kalinyamat mungkin dijadikan istana peristirahatan. Hal ini dapat dibandingkan dengan hubungan antara Prawata dan Demak.

Ratu Kalinyamat sendiri tidak mempunyai anak. Tetapi dari cerita-cerita tutur Jawa ternyata ia menjadi pusat keluarga Demak yang telah bercerai-berai sesudah meninggalnya Sultan Tranggana dan Sunan Prawata. Kemenakannya, Pangeran Kediri atau Pangeran Pangiri - mungkin di bawah perlindungan sukarela pamannya Sultan Pajang - masih dapat berkuasa sekadarnya di Demak. Sunan Gunungjati dari Cirebon ialah pamannya, yang kawin dengan saudara perempuan Sultan Tranggana. Putra Sunan Gunungjati, Hasanuddin (raja Banten), adalah iparnya. Ratu Kalinyamat ternyata mengasuh kemenakannya, putra Hasanuddin dari Banten. Pemuda ini diberi nama

Pangeran Aria dan kemudian Pangeran Jepara; di Jepara ia diperlakukan sebagai "putra mahkota"; dan setelah bibinya (Ratu Kalinyamat) meninggal, ia memegang kekuasaan di kota pelabuhan itu. Hal ini disimpulkan dari yang dikisahkan dalam

Sadjarah Banten.

Dalam pemerintahan Ratu pada perempat ketiga abad ke-16, perdagangan Jepara

dengan daerah seberang menjadi ramai sekali.119 Menurut berita Portugis, kekalahan

dalam perang di laut melawan Malaka pada tahun 1512 - 1513 telah menghancurkan sebagian besar armada kota-kota pelabuhan Jawa. Dapat diduga kerugian ini lama kelamaan pulih kembali. Sudah pasti bahwa armada Jepara - bersatu dengan kapal- kapal raja Melayu di Johor - pada tahun 1551 melancarkan lagi serangan terhadap Malaka, yang juga gagal.120 Pada tahun 1574 diadakan, untuk ketiga kalinya,

119 Sejarah ekonomi kota-kota pelabuhan Jawa pada abad ke-16 telah dibicarakan dalam Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm. 103-115), dengan menggunakan keterangan-keterangan yang terdapat pada Suma Oriental, karangan Tome Pires. Lebih dahulu dalam buku ini telah kita nyatakan bahwa pertempuran-pertempuran laut dalam perebutan Malaka pada tahun-tahun 1512-1513, 1551, dan 1574-1575, yang sangat berkesan pada orang-orang Portugis, tidak diberitakan dalam cerita-cerita sejarah Jawa. Alasan utama mungkin adalah kekurangan perhatian pada masalah-masalah perekonomian dan perdagangan dari pihak para pengarang Jawa dan para penutur cerita Jawa. Bagi mereka serta para pembaca dan pendengar cerita-cerita itu, tidak ada yang lebih menarik daripada perbuatan-perbuatan tokoh-tokoh penting, raja-raja dan orang-orang suci, dan juga nenek moyang dan keturunan-keturunan mereka. Dapat juga diduga bahwa ekspedisi-ekspedisi ke seberang lautan yang dilakukan para raja kota-kota pelabuhan Jawa merupakan suatu bahaya besar bagi orang-orang Portugis di Malaka, namun kegagalan para raja dianggap sepi saja di Jawa, seperti halnya kerugian-kerugian akibat bencana-bencana lain (gempa bumi, banjir, dsb.), tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang berarti terhadap jalan kehidupan masyarakat. Hanya serangan- serangan yang penuh kebengisan terhadap bumi Jawa, yang dilakukan oleh orang-orang asing, itulah yang tetap hidup dalam cerita-cerita tutur sebagai kenang-kenangan pahit. Serangan-serangan orang Cina pada tahun 1292 dan oleh orang Belanda pada permulaan abad ke-17 telah dicatat oleh sejarah. Karenanya, dapat diperkirakan bahwa cerita Ajisaka akhirnya akan terbukti mempunyai dasar yang nyata juga (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 165).

120 Perang-perang di laut telah diuraikan dalam tulisan-tulisan sejarah Portugis, yang telah dikumpulkan oleh De Couto (Couto,

Da Asia, jil. VI, hlm. IX dan 5 dan jil. VIII, hlm. XXI); juga Tiele (Tiele, "Europeers", bagian III, hlm. 320-321) menaruh banyak perhatian pada soal itu. Dalam pada itu, Sultan 'Ala ad-Din Shah yang tersohor itu, yang telah membuat Kerajaan Aceh-nya menjadi kerajaan yang sangat berkuasa di laut, pada tahun 1547 telah pula melakukan serangan terhadap Malaka, tetapi gagal. Pada tahun 1564 ia telah berhasil menduduki Johor, dan pada tahun itu juga dengan perantaraan perutusannya ia mengajak Demak untuk bersama-sama menyerang Malaka. Tetapi raja Demak ini, boleh jadi Pangeran Kediri, pengganti Susuhunan Prawata, kiranya menolak usul Aceh ini (lihat Bab III-3). Serangan 'Ala ad-Din yang terakhir terhadap Malaka, pada tahun 1568, juga gagal, sekalipun ia telah menggunakan meriam berkaliber berat atas bantuan Sultan Turki. Utusan-

serangan oleh armada Jepara yang kuat, dalam usaha merebut Malaka. Setelah mengadakan pengepungan selama tiga bulan, pemimpin armada kali ini pun terpaksa

kembali ke Jawa dengan tangan hampa.121

Berita Portugis lainnya melaporkan hubungan antara Ambon dan Jepara. Pemimpin-pemimpin "Persekutuan Hitu" di Ambon ternyata beberapa kali minta bantuan Jepara melawan orang Portugis dan juga melawan suku lain yang masih seketurunan, yaitu orang-orang Hative. Zaman para pelaut Jepara banyak berpengaruh dan bertindak keras di Ambon itu tetapi hanya terbatas sampai perempat ketiga abad ke-16, yakni semasa pemerintahan Ratu Kalinyamat. Sesudah itu orang Jawa yang bertindak terhadap orang Portugis di Ambon adalah pengikut Sunan Giri.122 Selain catatan Portugis, Hikayat Tanah Hitu karangan Rijali, dalam bahasa Melayu Ambon, juga merupakan sumber tentang hubungan antara orang-orang Jawa dan Ambon. Buku-buku sejarah Jawa sama sekali tidak memberitakan peristiwa-peristiwa ini.123

Tahun meninggalnya Ratu Kalinyamat tidak dicantumkan dalam karya-karya tulisan Jawa. la dimakamkan dekat suami Cinanya di permakaman Mantingan dekat Jepara, yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri, sesudah ia menjadi janda pada tahun

1549, mungkin hampir tiga puluh tahun sebelum ia meninggal.124

Vl-3 Tahun.tahun terakhir dinasti Jepara

Selama pemerintahannya atas Jepara yang cukup lama itu, agaknya Ratu Kalinyamat dihormati sebagai kepala keluarga Demak yang sebenarnya. Kekuasaan duniawi raja Demak yang terakhir, Pangeran Kediri, sangat sedikit; dan kekuasaan raja- raja Cirebon dan Banten baru saja muncul. Mungkin saja kekuasaan ratu di daerah- daerah Pasisir sebelah barat juga karena harta kekayaannya yang bersumber pada

utusan Venesia telah bertemu dengan utusan Aceh di Konstantinopel pada tahun 1562, yang datang untuk minta bantuan Sultan terhadap orang-orang kafir. Pengganti sultan besar itu, 'Ali Ri'ayat Shah, setelah armada Jepara mengundurkan diri karena gagal serangannya, telah mencoba lagi pada tahun 1575 merebut Malaka dengan pejuang-pejuang Aceh lainnya, tetapi serangan ini gagal juga. Juga pada tahun 1574-1575 itu tidak ada kerja sama antara orang-orang Jawa dari Jepara dan orang-orang Aceh.

121 Laksamana armada Jepara oleh orang-orang Portugis diberi nama Quilidamao. Mungkin nama ini merupakan blasteran untuk Kiai Demang, gelar Jawa. Di Jepara gelar Kiai Demang Laksamana diberikan kepada pemimpin armada dan pemimpin laskar perang. Sesudah masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, gelar tinggi ini masih diberikan juga pada tahun 1619 kepada bupati Jepara, yang ikut berperang merebut Tuban, dan pada tahun 1677 sekali lagi kepada bupati Karti Yuda (Hoorn, Notitie, hlm. 14).

122 Lihat Couto, Da Asia, jil. VIII, hlm. XXV dan 196; jil. VII, hlm. X dan 543

123 Hikayat Tanah Hitu karangan Rijali telah banyak dipakai oleh Valentijn dalam menulis buku sejarahnya. Tentang hidup Rijali ini diceritakan Valentijn pula hal-hal yang khusus. Lama sekali edisi Melayu buku Rijah tersebut dianggap hilang. Tetapi sekarang sudah tersedia sebuah salinan naskah ini (Codex LOr, no. 8756) yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden. Pada tahun 1977 diterbitkan sebuah disertasi yang membahas naskah edisi Melayu itu (Manusama, Hikayat). 124 Raden Ajeng Kartini, wanita Jawa lain yang namanya tidak dilupakan, dan yang juga mempunyai hubungan dengan Jepara,

dalam kumpulan catatannya (Kartini, Door duisternis) telah bercerita tentang kunjungannya ke tempat permakaman Mantingan. la diberitahu bahwa "Sultan Mantingan" pernah pergi ke Cina, dan bahwa ukir-ukiran dalam rumah-rumahan di situ agaknya juga berasal dari Cina. Pemberitaan ini dapat diragukan, tetapi membuktikan juga bahwa pada permulaan abad ke- 20 ingatan pada pengaruh kebudayaan Cina di Jepara masih hidup.

perdagangan yang sangat menguntungkan dengan daerah seberang, di pelabuhan Jepara.

Pada tahun 1579, Pakuwan Pajajaran - kota dalam Kerajaan Sunda di Jawa Barat yang belum masuk Islam itu - ditaklukkan oleh tentara Islam raja Banten. Mengenai kejadian ini buku-buku sejarah di Banten, misalnya Sadjarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, memuat keterangan yang cukup. Pangeran Jepara, anak Hasanuddin dari Banten, ternyata tidak ikut dalam ekspedisi melawan Pajajaran, dan Ratu Kalinyamat juga tidak disebut. Ada kemungkinan bahwa pada tahun 1579 Ratu Jepara baru saja meninggal dan bahwa kemenakannya, sekaligus anak angkatnya, Pangeran Jepara,

telah menggantikannya sebagai raja.125

Pada tahun 1580, Molana Yusup, raja Banten dan pahlawan yang merebut Pajajaran, meninggal. la meninggalkan hanya seorang anak laki-laki yang masih di bawah umur. Menurut para penulis sejarah di Banten, Pangeran Jepara - saudara raja yang telah meninggal itu - telah menuntut haknya atas tahta Kerajaan Banten. la bersama Demang Laksamana, panglima armada, pergi dari Jepara ke Banten. Tetapi di Banten, Laksamana (sama orangnya dengan yang pada tahun 1574 bertempur melawan Malaka?) menemui ajalnya dalam perkelahian melawan perdana menteri Banten, dan Pangeran Jepara terpaksa kembali ke kerajaannya sendiri. Dengan peristiwa itu berakhirlah pengaruh pemerintahan Jepara di Jawa Barat. Sejak itu kerajaan-kerajaan Jawa Barat - Banten dan Cirebon - menempuh jalan sejarahnya masing-masing.

Tahun 1588, yang membuka jalan bagi Senapati Mataram untuk memperluas kekuasaannya di Jawa Tengah setelah meninggalnya Sultan Pajang, mungkin merupakan tahun sial bagi raja-raja terakhir di Demak dan di Kudus. Tetapi agaknya masih beberapa tahun berlalu sebelum prajurit-prajurit Mataram dari pedalaman Jawa Tengah muncul di Kota Jepara. Mungkin mereka masih merasa gentar melihat benteng yang mengelilingi kota dan benteng yang di Gunung Danareja. Pada akhir abad ke-16, menurut pelaut-pelaut Belanda (Eerste Schipvaert, jil.I, hal. 103), kebanyakan kota pelabuhan di Jawa dikelilingi tembok batu atau kayu, pada sisi yang menghadap daerah pedalaman.

Pada dasawarsa terakhir abad ke-16, kekuasaan raja Jepara di laut masih dihormati. Pada tahun 1593 ia telah memerintahkan menduduki Pulau Bawean di Laut

125 Menurut cerita tutur Banten yang cukup tua (lihat Bab III-1), Ratu Kalinyamat memakai nama Ratu Pajajaran. Sudah pasti bahwa ia tidak pernah memerintah Pajajaran. Apabila cerita tutur ini mempunyai dasar kebenaran, maka dapat diduga bahwa di Keraton Demak pada pertengahan abad ke-16 sudah ada kebiasaan untuk memberikan nama gelar kepada para pangeran atau putri keturunan raja yang menunjuk ke daerah-daerah yang jauh letaknya (mungkin dengan harapan agar mereka yang memakai gelar demikian itu kelak dalam hidupnya benar-benar akan mendapatkan daerah tersebut). Nama gelar Pangeran Kediri, nama gelar bagi anak dan sekaligus pengganti Susuhunan Prawata dari Demak, juga merupakan contoh pemberian nama serupa itu. Kebiasaan ini telah diambil alih oleh raja-raja di Mataram. Pangeran Mataram pertama yang diberi sebutan Pangeran Puger ialah anak Panembahan Senapati. Tidak ada alasannya untuk mengakui bahwa sekitar tahun 1600 kekuasaan Mataram sudah meluas sampai meliputi daerah Puger yang amat jauh letaknya itu, yaitu di pedalaman Jawa Timur.

Jawa dengan armadanya. Pada tahun 1598 ia menimbulkan kesan pada orang Belanda seakan-akan memiliki sarana kekuasaan yang luar biasa (Eerste Schipvaert, jil. I, hal. 103).

Ada kemungkinan, serangan laskar Mataram yang sudah diperkirakan itu datang pada tahun 1599; dan berakhirlah pemerintahan Pangeran Jepara. Dalam suatu surat berbahasa Belanda pada tahun 1615 (Colenbrander, Coen, jil. VII, hal. 45) terdapat kata-kata tentang destructie 'penghancuran' kota Jepara. Serangan Mataram dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan Pasisir yang makmur itu telah mengakibatkan kerusakan yang berat. Tidak mustahil, Jepara juga menjadi korban amukan gerombolan itu. Mungkin pada kesempatan tersebut istana Kalinyamat juga dihancurkan.

Tidak ada kabar tentang nasib keluarga raja Jepara. Dalam pemerintahan raja-raja Mataram, kota pelabuhan itu - yang diperintah oleh seorang bupati yang diangkat oleh raja- pada abad ke-17 masih agak lama berfungsi sebagai tempat pertemuan antara pihak Jawa dan pihak Belanda dari Jakarta. Akhirnya peranan itu diambil alih oleh

Semarang.126

126 Masih perlu diberitakan bahwa Jepara dalam abad ke-19 dan ke-20 telah menjadi terkenal berkat pembuatan perabot-perabot dan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya dari kayu yang dihiasi ukir-ukiran yang penuh bergaya seni. Rumah- rumah Jawa kuno di Kudus sekarang (atau dahulu) sering juga mempunyai dinding depan dari kayu dengan pintu dan jendela- jendela, yang semuanya diberi bingkai kayu dengan ukir-ukiran indah. Penduduknya, pedagang-pedagang dan pengusaha- pengusaha kayu, yang tergolong lapisan menengah "yang saleh", dengan hiasan-hiasan ini ingin menyatakan kemakmuran mereka dalam kehidupan masyarakat. Orang boleh bertanya-tanya dalam hati apakah kesenian mengukir kayu, yang telah mencapai tingkat perkembangan tinggi di Kudus dan Jepara mungkin juga berasal dari kalangan orang-orang Cina pendatang, yang pada abad ke-15 dan ke-16 (dan mungkin sudah sebelumnya) sudah banyak terdapat di daerah-daerah ini. Dalam legenda Jawa mengenai penduduk ash di daerah itu, tempat didirikannya "kota suci" Kudus kemudian, tampil juga seorang utas pengukir kayu.

Bab 7

Riwayat Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 118-123)

Garis besar

Dokumen terkait