• Tidak ada hasil yang ditemukan

10 Direbutnya kota kerajaan kuno Majapahit oleh orang Islam pada tahun 1527; legenda dan sejarah

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 63-66)

Paruh Pertama Abad ke-

II- 10 Direbutnya kota kerajaan kuno Majapahit oleh orang Islam pada tahun 1527; legenda dan sejarah

Tidak mengherankan bahwa jatuhnya kota kerajaan tua yang "kafir" itu dianggap sebagai titik batik dalam sejarah, menurut buku-buku cerita (serat kandha) dan cerita babad yang bersifat Islam. la merupakan permulaan zaman baru. Menurut cerita, tahun kejadian peristiwa itu ialah tahun Jawa 1400 (tahun 1478 M.).45

Legenda-legenda Jawa mengenai direbutnya Majapahit oleh orang Islam dapat dibagi menjadi dua kelompok:

1. Cerita-cerita yang menunjukkan segala pujian kepada "para alim" Islam, dan terutama kepada para ulama dari Kudus.

2. Cerita-cerita yang menyanjung Raden Patah, raja Demak, sebagai pahlawan.

Yang sangat mengecewakan ialah tidak adanya berita-berita sezaman tulisan orang Portugis yang dapat memberikan kejelasan pada peristiwa ini. Jadi, mau tak mau, kita harus membandingkan cerita-cerita Jawa itu, satu dengan yang lain, untuk kemudian mengambil kesimpulan yang dapat dipercaya tentang kejadian-kejadian yang sebenarnya.

Cerita-cerita yang termasuk kelompok pertama itulah yang paling lengkap. Cerita- cerita itu terdapat dalam buku-buku cerita Jawa Timur dan Jawa Tengah; boleh jadi ada beberapa bagian di antaranya yang telah disusun pada abad ke-17. Dalam buku-buku cerita (serat kandha) itu tampak dengan jelas sekali peranan para sunan dari Kudus,

44 Mungkin keluarga raja Majapahit telah terpecah menjadi dua cabang pada abad ke-14. Satu cabang disebut dengan mengingat akan Kediri, kota kerajaan lama, yang hampir seabad sebelum Majapahit sudah sangat penting kedudukannya. Mungkin ibu kota Majapahit mempunyai bagian kota atau "anak" kota tempat tinggal "Pangeran Kediri" hingga namanya disesuaikan dengan nama pangeran itu (Pigeaud, Java, jil. IV, Bab 9). Adanya tempat "Daha" (= Kediri) di dekat kota lama Majapahit dapat dibaca dalam suatu naskah Jawa Kuno yang memberitakan adanya jalur jalan antara Majapahit dan Pasuruan yang melewati "Daha" (Berg, Traditie, hlm. 23). Kota Kediri sekarang, yang terletak agak jauh di sebelah barat Majapahit, dan Pasuruan di sebelah timurnya. Dapat diperkirakan bahwa sekitar tahun 1500, yakni periode yang dibicarakan oleh Tome Pires, kekuasaan keluarga raja cabang Kediri begitu besar, sehingga seluruh kota kerajaan itu disebut "Daha", sesuai dengan nama keluarga raja itu; "Daha" berarti Kediri. Tome Pires menamakan Pakuwan, kota Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, juga Dayo (lihat Bab VIII-1). Dayeuh ialah kata Sunda, yang artinya ibu kota. Orang mungkin akan mencari-cari hubungan antara kata dayeuh ini dan nama kota Daha di Jawa Timur. Suatu usaha yang patut dipuji untuk memantapkan pengetahuan kita tentang Majapahit pada akhir kejayaannya telah dilakukan oleh Dr. Noorduyn dalam karangannya "Majapahit in the fifteenth Century" (Noorduyn, "Majapahit").

45 Mungkin sudah pada abad ke-17 di Jawa Tengah 14001. (1478 M.) telah diakui oleh para sarjana Jawa sebagai saat runtuhnya Majapahit dengan maksud memenuhi keinginan agar terdapat tata tertib dalam sejarah negeri mereka. Menurut pandangan mereka, pada 1400 J. Majapahit harus menyerahkan kedudukannya kepada Demak; pada 1500 J. Pajang menyerahkan kedudukannya kepada Mataram; dan pada 1600 J. Mataram menyerahkan kedudukannya kepada Kartasura. Keinginan akan perlunya tata tertib dalam sejarah ini ada hubungannya dengan perasaan akan adanya Ketertiban Agung Alam Semesta, yang menjadi dasar jiwa keagamaan Jawa maupun pandangan falsafahnya. Menurut kenyataannya, Majapahit masih tetap berdiri sampai dasawarsa ketiga abad ke-16. Prasasti bertanggal 1512 M, yang ada di bangunan sua di Gunung Penanggungan (salah satu dari "gunung-gunung keramat" sekitar Majapahit), menunjukkan bahwa cara penyembahan "kafir" tetap bertahan sampai pada abad ke-16 (Van Romondt, Penanggungan).

ayah dan anaknya, dalam pertempuran merebut kota kerajaan kuno Majapahit yang "kafir" itu. Karena sangat panjangnya cerita-cerita itu dan karena pemberitaannya cukup kongkret, maka cerita-cerita kelompok pertama itu tampaknya lebih dapat dipercaya daripada kelompok kedua. Dalam sketsa sejarah Kudus yang dimuat pada Bab V buku ini, cerita-cerita tutur mengenai perebutan Majapahit dan kepahlawanan para pejuang suci agama Islam akan dibicarakan dengan agak mendalam.

Cerita-cerita yang tergolong kelompok kedua, dengan Raden Patah dari Demak sebagai tokoh utama, dimuat dalam cerita babad dari Jawa Tengah, yang berisi sejarah-sejarah keluarga raja Mataram. Cerita-ceritanya lebih ringkas daripada yang termasuk kelompok pertama, dan bercorak legenda. Banyak perhatian ditujukan pada

pengaruh alam gaib. Menurut Meinsma (Meinsma, Babad, hal. 45, dst.) Brawijaya raja

Majapahit itu ayah Raden Patah, raja Demak. Brawijaya telah memperingatkan Raden Patah akan kewajibannya untuk taat terhadap raja lewat Adipati Terung, saudara tiri Raden Patah dari pihak ibu. Tetapi peringatan ini tidak berhasil. Adipati Terung malah menggabungkan diri pada umat Islam, yang berkumpul di Bintara-Demak. Dari situ mereka bersama-sama melakukan serangan terhadap Majapahit: penguasa-penguasa di Madura, dan di Surabaya, Arya Teja dari Tuban dan Sunan Giri, dan juga wali-wali (lainnya) dan kelompok-kelompok "orang alim" berbondong-bondong menggabungkan diri. Tanpa menemui perlawanan yang berarti umat Islam mengepung kota Kerajaan Majapahit; dan tanpa pertempuran Raden Patah dapat menggantikan kedudukan ayahnya di singgasana kerajaan. Brawijaya wafat dan masuk surga. Sekembalinya di Bintara-Demak, Sunan Ngampel Denta, yang tertua di antara para wali, menentukan Raden Patah hendaknya menjadi penguasa seluruh Jawa sebagai pengganti ayahnya. Tetapi Sunan Giri seharusnya memegang pimpinan tertinggi lebih dahulu selama 40 hari, masa interregnum untuk memusnahkan segala bekas kekafiran yang ditinggalkan. Sebagai maharaja seluruh Jawa, raja Demak akan memperoleh nama Senapati Jimbun Ngabdu'r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata' Gama.

Demikian menurut cerita babad; sifat yang mengarah kepada corak legendaris dan dinasti pada cerita tersebut kentara sekali. Tetapi yang sangat menarik perhatian ialah bahwa dalam cerita-cerita babad pun orang-orang alim Islam dan para imam disebutkan sebagai pembantu yang giat dalam menghantam kubu pertahanan terakhir "kekafiran". Hikayat Hasanuddin Banten, yang - kerap kali - sangat ringkas dalam pemberitaannya mengenai pertempuran melawan Majapahit, juga menyebut raja Demak sebagai seorang maulana Baghdad dan waliyu'liahi.

Apabila cerita-cerita Jawa mengenai jatuhnya Majapahit dibandingkan yang satu dengan yang lain, bisa disimpulkan ada dua hal yang telah memungkinkan pengerahan tenaga bersama yang besar dan hebat, yang mengakibatkan kekalahan angkatan perang kerajaan "kafir" itu. Pertama, keimanan kelompok-kelompok alim ulama Islam, yakni golongan menengah, dipimpin oleh para pemuka yang semula merupakan imam-

imam di masjid; kedua, cita-cita politis yang mengarah ke perluasan wilayah kekuasaan dan kemerdekaan kerajaan-kerajaan Islam muda di Jawa Tengah. Masuk akal bahwa Penguasa Islam di Demak tidak berniat bertempur melawan tuannya yang "kafir" itu (yang mungkin pula tidak menghalang-halangi maksud itu) seandainya ia tidak dihasut oleh para pemuka kelompok orang-orang alim. Raja-raja Demak sendiri berasal dari kalangan orang alim. Para alim ulama di Kudus keturunan imam-imam atau penghulu- penghulu dari Masjid Demak yang keramat itu.

Sejarah berjalan terus, dan di Jawa Tengah tampaknya kekuasaan para penghulu dan alim ulama lainnya makin berkurang dibanding dengan para penguasa duniawi. Maka dari itu, masuk akal kalau dalam abad ke-17 dan ke-18 pujian terhadap kemenangan agama Islam atas Majapahit yang "kafir" itu hampir sepenuhnya ditumpahkan kepada jasa pahlawan-raja yang legendaris, Raden Patah dari Demak.

Oleh karena keterangan yang lebih benar tidak ada, para sejarawan bangsa Eropa (Raffles, Hageman, Veth) juga masih beranggapan bahwa benar tahun jatuhnya Majapahit adalah tahun Jawa 1400 (1478 M.) atau mendekati kebenaran. Orang mengira, jatuhnya Majapahit dan munculnya Demak mempunyai hubungan akibat yang erat, sehingga kedua peristiwa secara kronologis terjadi dalam tahun yang sama. Rouffaer ialah orang pertama yang berdasarkan perkiraan menetapkan jatuhnya Majapahit pada abad ke-16, yaitu sekitar tahun 1520. Setelah Rouffaer itu, Krom menjelaskan bahwa tahun itu pun masih terlalu dini.

Dalam laporan Portugis mengenai perjalanan ke Kepulauan Maluku yang disusun oleh Loaisa pada tahun 1535 (Navarrete, Collecion, jil. II, hal. 245) diberitakan, bahwa di Jawa terdapat baik raja-raja yang masih "kafir" maupun raja-raja yang sudah masuk Islam. Yang terbesar di antaranya ialah raja Demak, yang terus-menerus memerangi orang-orang Portugis. Dari pemberitaan itu dapat diambil kesimpulan bahwa pada tahun 1535 Majapahit sudah tidak ada lagi, atau setidak-tidaknya bukan lagi merupakan kekuasaan politik yang berarti.

Tahun kejadian yang paling mendekati kebenaran tentang jatuhnya kota kerajaan tua itu ialah tahun 1527 M. Pada tahun itu atau sekitar tahun itulah Kediri konon jatuh.

Itu menurut daftar tahun kejadian Jawa (Babad Sangkala), yang memberitakan

penaklukan daerah yang dilakukan oleh raja Demak. Di atas ini (Bab II-10 dan cat. 40) dinyatakan sebagai suatu kemungkinan bahwa dalam berita-berita sekitar tahun 1500, yang dimaksud dengan Daha-Kediri itu mungkin Majapahit. Nama Majapahit tidak dicantumkan dalam kronik tersebut, padahal jatuhnya kota tersebut semestinya tercatat juga.

Tahun 1527 merupakan waktu yang semakin mendekati ketepatan, kalau hal berikut dipertimbangkan. Pada tahun 1528 panglima perang Portugis di Malaka menerima beberapa utusan raja Panarukan (di ujung timur Jawa), yang ingin mengadakan perjanjian perdamaian dan persahabatan dengannya. (Barros, Da Asia,

Dekade IV, Buku I, Bab 17). Sudah lebih dari satu abad Panarukan merupakan daerah taklukan Majapahit. Karena dalam berita ini tidak disebutkan adanya seorang maharaja, dapat diambil kesimpulan bahwa Panarukan sudah menjadi merdeka, sebab Majapahit telah direbut oleh orang Islam. Mungkin raja Panarukan (masih belum beragama) bermaksud minta bantuan orang Portugis dalam menghadapi ancaman serangan dari orang Islam di Jawa Tengah. (Serangan ini memang terjadi pada tahun 1546; raja Demak gugur sebelum sampai di Panarukan, mungkin sebagai akibat peperangan itu).

Suatu cerita dari Madura yang menyatakan bahwa pada tahun Jawa 1450 (1528 M.) keluarga raja Madura telah menganut agama Islam (lihat Bab XIII-2), juga sangat menarik perhatian sehubungan dengan yang diuraikan di atas. Sesudah jatuhnya kota kerajaan tua Majapahit itu, jalan untuk perluasan daerah Islam di Jawa Timur menjadi terbuka.

Trangganalah yang menjadi raja Demak, waktu tercapai kemenangan gemilang atas dunia "kekafiran". Sejak itu ia berhak menyebut dirinya raja Islam yang tidak perlu lagi takluk kepada orang yang tidak beragama. Berita bahwa ia sebagai sultan telah diakui oleh seorang tokoh utama Islam seperti Syekh Nurullah itu boleh dipercaya.

Dapat diterima bahwa dalam pikiran Sultan Tranggana dan kerabat Keraton Demak pada bagian pertama abad ke-16 terdapat hubungan antara mencapai gelar Islam yang tinggi itu, panggilan agama untuk memperluas daerah Islam, dan cita-cita dinasti untuk mendapat pengakuan sebagai pengganti kedudukan raja-raja "kafir" Majapahit yang sah, yang menguasai sebagian besar Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 63-66)

Garis besar

Dokumen terkait