• Tidak ada hasil yang ditemukan

14 Campur tangan Raja Demak di Jawa Tengah sebelah selatan pada paruh pertama abad ke-16, Tembayat dan Pengging

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 71-73)

Paruh Pertama Abad ke-

II- 14 Campur tangan Raja Demak di Jawa Tengah sebelah selatan pada paruh pertama abad ke-16, Tembayat dan Pengging

Baik daftar tahun peristiwa Jawa maupun buku sejarah lainnya tidak ada yang mengungkapkan tindakan kekerasan maharaja Demak terhadap daerah-daerah yang berdekatan yaitu Pajang, Pengging, dan Mataram, daerah-daerah yang dalam buku ini tercakup dalam satu nama: Jawa Tengah sebelah selatan Pegunungan Merapi- Merbabu.

Pada abad ke-17 daerah-daerah itu masuk Kerajaan Mataram dan kemudian

daerah-daerah ini disebut De Vorstenlanden (Daerah Raja-Raja Jawa Tengah).

Perkembangan politik Pajang dan Mataram akan diuraikan dalam Bab XIX dan XX berikut ini.

Diislamkannya daerah-daerah ini merupakan pokok dalam legenda-legenda orang suci Islam, yang tokoh utamanya ialah Wali Tembayat. Tembayat ini letaknya di sebelah selatan Klaten. Makamnya yang ada di situ menjadi tempat ziarah bagi orang- orang saleh di daerah-daerah sekitarnya. Sunan Tembayat atau Ki Pandan arang, begitulah nama julukannya, tidak termasuk para Wali Sanga yang menurut legenda mengadakan musyawarah di Masjid Demak yang keramat itu. Kota-kota yang diperkirakan menjadi tempat tinggal Sembilan Wali itu, atau tempat mereka meninggal, hampir tanpa kecuali, terletak di daerah Pesisir. Meskipun begitu, berdasarkan pentingnya Tembayat sebagai tempat ziarah - sudah sejak abad ke-17 - dapat diakui bahwa legenda tersebut mempunyai inti kebenaran.55 Tahun-tahun peristiwa Jawa, yang diukir pada batu-batu bangunan beberapa gedung di tempat permakaman keramat itu, menunjukkan bahwa pada tahun 1566 raja Pajang, Adiwijaya, dan pada tahun 1633 Sultan Agung dari Mataram, telah memberikan sumbangan untuk memperluas dan memperindah Tembayat.

Menurut legenda suci (yang di sini hanya disebutkan beberapa bagian saja) tokoh yang kemudian menjadi Sunan Tembayat itu termasuk keturunan para bupati Semarang (yang pada abad ke-15 dan ke-16 belum begitu penting sebagai kota pelabuhan, belum seperti sesudah mengambil alih kedudukan Jepara). Dari pihak ibunya ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan Keraton Demak. Karena terpengaruh oleh seorang suci (disebut-sebut nama Sunan Kalijaga), ia konon telah

mengundurkan diri dari dunia ramai, dengan maksud bersama istrinya

menyelenggarakan hidup berkelana mencari kebenaran. Sesudah mengalami

55 Legenda-legenda tentang Ki Pandan Arang, yaitu Sunan Tembayat atau Bayat, telah diuraikan oleh Dr. Rinkes (Rinkes, "Heiligen"); lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Tembayat".

petualangan, ia bekerja pada seorang wanita pedagang beras, di Wedi (dekat Klaten). Akhirnya, karena ia terus-menerus merasa lebih tertarik pada kehidupan rohani, ia lalu menetap di dekat Tembayat sebagai "guru". Daerah pegunungan yang gersang itu, di tepi pegunungan kapur yang memanjang sejalan dengan pantai selatan Jawa, agaknya telah dihubung-hubungkannya dengan Jabal Kat, suatu pegunungan pada perbatasan

bumi permukiman manusia, yang disebut dalam legenda-legenda Islam (Jabal Qaf). Di

Tembayat, konon orang suci ini masih hidup 25 tahun dan berjuang menyebarkan agama sebelum ia meninggal. Menurut buku-buku cerita Jawa, yang dikutip oleh Rinkes, orang yang kelak menjadi Sunan Tembayat itu, pada tahun 1512 menyerahkan pimpinan pemerintahan Semarang kepada adik laki-lakinya, agar ia sendiri dapat membaktikan seluruh hidupnya demi kepentingan agama.

Sedikit kepastian tentang kebenaran cerita-cerita tutur Jawa ini dapat ditemukan dalam pemberitaan Tome Pires mengenai Pate Mamet, penguasa di Semarang, yaitu ayah mertua Pate Rodin Jr., raja Demak. Itu membuktikan bahwa keturunan-keturunan yang memerintah di Demak dan Semarang memang mempunyai hubungan keluarga. cerita tutur tentang Sunan Tembayat yang berasal dari Semarang itu sudah ada pada abad ke-17; hal itu diberitakan dalam surat yang ditulis pada tahun 1677 oleh seorang panembahan dari Kajoran (keturunan ulama-ulama yang masih kerabat keturunan Tembayat).56

Perlu diperhatikan bahwa dalam cerita tutur Jawa tidak disinggung-singgung adanya bantuan maharaja Islam di Demak kepada sanak keluarganya yang telah bersusah payah menyebarkan agama Islam di pedalaman sebelah selatan. Menurut satu cerita Jawa, raja Demak bahkan mengungkapkan rasa tidak senangnya, karena orang suci baru itu telah bertindak mengambil kekuasaan sendiri. Oleh karena hal itulah Sunan Tembayat lalu membangun masjidnya di tempat yang letaknya lebih rendah daripada yang direncanakan semula. Tidak adanya simpati raja Demak terhadap kerabatnya itu agak aneh apabila orang ingat akan cerita Banyumas mengenai masuk Islamnya raja Pasir (lihat Bab II-11) dengan perantaraan seorang ustad, Syekh Makdum yang telah diutus oleh raja itu.57

Menurut cerita tutur Jawa, yang tertulis dalam buku-buku cerita dan cerita babad, daerah di sebelah selatan dan tenggara Gunung Merapi pada abad ke-15 dan

56 Surat dari Panembahan telah dibicarakan dalam Graaf, "Kadjoran".

57 Legenda-legenda tentang Sunan Tembayat tidak memberitakan sesuatu tentang hubungan macam apa pun antara dia dan penguasa-penguasa daerah atau dengan raja-raja di tanah pedalaman di sebelah selatan. Dapat diperkirakan bahwa pada paruh pertama abad ke-16 daerah tempat Sunan Tembayat bekerja tidak mempunyai arti ekonomi yang penting. Karena itu, daerah ini tidak mendapat perhatian dari penguasa daerah (seperti penguasa-penguasa di Pengging, Tingkir, Butuh, dan Ngerang; lihat Bab XIX-4 dan cat. 309), dan juga tidak dari maharaja di Demak. Sangat besar kemungkinan, Jawa Tengah sebelah selatan, setelah mengalami zaman kemajuan besar pada abad-abad sekitar tahun 1000, kemudian mundur di bidang ekonomi dan politik karena hal-hal yang belum dapat diketahui dengan jelas. Mungkin Panembahan Mataram yang datang kemudian dapat dianggap sebagai perintis, yang membangun kembali perkampungan-perkampungan di daerah-daerah yang lama tidak lagi didiami orang, sehingga akhirnya menjadi daerah yang makmur. Sebaliknya, menurut cerita tutur Banyumas, raja di Pasir yang telah rela diislamkan berasal dari keturunan penguasa setempat yang amat disegani dan telah lama sekali berkuasa di daerah itu dan yang membanggakan diri karena nenek moyangnya berasal dari alam mitos.

permulaan abad ke-16 termasuk wilayah raja Pengging. Reruntuhan bangunan yang ditemukan pada tahun 1941 di tempat yang sekarang masih bernama Pengging, dan suatu makam yang dihormati - yakni makam Raja Andayaningrat - adalah bukti-bukti bahwa cerita tutur ini benar.

Raja itu, yang menurut sejarah memang pernah ada; dalam cerita-cerita Jawa Tengah diberi sifat-sifat seorang pahlawan mitis. Kemungkinan ia seorang bangsawan Keraton yang kemudian menjadi menantu maharaja "yang tidak beragama" di Majapahit.58 Dalam cerita-cerita, semua putranya mendapat nama muluk-muluk yang dihubungkan dengan kata kebo (kerbau). Anaknya yang sulung, Kebo Kanigara, hidup sebagai pendeta "kafir" di pegunungan dan mayatnya dibakar setelah ia meninggal. Anaknya yang bungsu, Kebo Kenanga, menggantikan ayahnya sebagai raja Pengging. la konon menjadi murid seorang wali yang sangat tersohor, yaitu Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang yang murtad. Menurut legenda-legenda orang suci, oleh Majelis Wali Sanga di Masjid Demak Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati, dibakar sebagai seorang penyebar ajaran yang menyalahi agama Islam. Karena Kebo Kenanga tetap membangkang tidak mau datang memberikan penghormatan kepada maharaja Islam di Demak, akhirnya ia dibunuh di Pengging oleh Sunan Kudus, yang diutus oleh maharaja Demak untuk maksud itu. Penguasa-penguasa di Tingkir, Ngerang, dan Butuh - yang sebelumnya bersekutu dengan Pengging - waktu melihat datangnya Sunan Kudus bersama para pengikutnya dari Demak, menyatakan tunduk kepada maharaja Islam di Demak.

Sayang, tidak ada berita-berita yang dapat dianggap lebih obyektif (misalnya dari penulis-penulis Portugis atau Belanda), yang dapat dipandang sebagai penegas isi cerita-cerita Jawa yang bersifat legenda itu. Jadi, hanya kemungkinan yang terdapat dalam cerita itu dapat dipertimbangkan. Lepas dari latar belakangnya yang berbau mitos, tampaknya tidaklah mustahil bahwa sekitar tahun 1500 Pengging bukan lagi kerajaan yang tidak berarti di pedalaman, yang raja-rajanya merasa mempunyai ikatan dengan zaman Jahiliah melalui hubungan tradisi dan keluarga. Tindakan Sunan Kudus sebagai pendekar yang mempertahankan kemurnian agama Islam ini sesuai dengan apa yang diberitakan dalam cerita-cerita lain mengenai para penguasa di Kudus. Namun, mengherankan juga bahwa penaklukan Pengging itu tidak dicantumkan sebagai kemenangan maharaja Demak dalam daftar tahun kejadian.

II-15 Pertempuran di ujung timur Pulau Jawa pada tahun 1546 dan wafatnya

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 71-73)

Garis besar

Dokumen terkait