• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 Surabaya sekitar tahun 1500 M

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 180-182)

Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada Abad ke-16: Surabaya

XII- 2 Surabaya sekitar tahun 1500 M

Suma Oriental memuat suatu pemberitaan yang panjang lebar tentang kota dan daerah Surabaya pada permulaan abad ke-16. Menurut Tome Pires, pada waktu itu arti Surabaya sebagai kota pelabuhan dan kota dagang tidak sepenting Gresik. Para pelaut Surabaya lebih mengerahkan tenaganya untuk membajak dengan perahu-perahunya yang relatif kecil. Rajanya seorang prajurit tangguh, orang yang mempertahankan daerah Islam terhadap serangan raja-raja "kafir" yang merupakan tetangganya, terutama raja Blambangan yang menguasai ujung timur Jawa. Antara Surabaya dan kepala daerah Majapahit, "Gusti Pate", yang mewakili kekuasaan kerajaan "kafir", terjadi ketegangan hubungan, tetapi ada juga masa-masa damai antara mereka. Di samping keberaniannya, juga oleh orang Portugis yang sezaman dengannya, diberitakan tanah miliknya yang luas, yang terletak di delta Sungai Brantas, yang

merupakan sumber pendapatannya.228

Yang aneh sekali ialah nama-nama yang dipakai oleh raja Surabaya, yang dikenal Tome Pires. Raja tersebut oleh penulis Portugis itu diberi nama "Pate Bobat", Yang Dipertuan di Bobat. Pada abad ke-14 Kota Bubat di tepi Sungai Brantas menjadi

226 Nagara Kertagama dan Oorkonde der Veerlieden 'Piagam para Tukang Tambang'’ telah dibicarakan dalam Pigeaud, Java (jil. V, hlm. 253, di bawah "Surabaya").

227 Aria Teja dari Tuban berkali-kali disebutkan dalam buku-buku cerita (Serat Kandha); lihat Brandes, Register, hlm. 286. Lihat juga cat. 163 sebelum ini.

228 Lihat Pires, Suma Oriental, hlm. 196 dst., dan keterangan-keterangan yang banyak sekali terdapat dalam Meilink-Roelofsz, Asian Trade.

pelabuhan sungai bagi kota Kerajaan Majapahit. Tempat tersebut letaknya cukup jauh dari Surabaya, lebih masuk ke pedalaman dan lebih ke arah udik. Kiranya dapat dibayangkan bahwa, pada abad ke-15, "Yang Dipertuan di Bubat" telah menjadi gelar yang diberikan oleh maharaja "kafir" itu kepada yang menguasai tempat-tempat di tepi sungai di sebelah hilir pelabuhan sungai Majapahit tersebut. Besar sekaii kemungkinan bahwa baru pada zaman Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, di Bubat dan di tempat-tempat pelabuhan pedalaman lain, perkampungan-perkampungan pedagang asing - sebagian Cina Islam - mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan

ekonomi negara.229

Nama kedua, yang menurut Tome Pires diperuntukkan bagi raja Surabaya, telah dianugerahkan sebagai nama kehormatan kepadanya oleh "Guste Pate". Hal itu menandakan bahwa hubungan antara mereka tidak selalu bersifat permusuhan, dan bahwa patih Kerajaan Majapahit yang sangat berkuasa itu, dengan menggunakan keramahan diplomatik, selalu berusaha agar para penguasa Islam di daerah-daerah perbatasan "kafir" tetap bersikap bersahabat. Nama itu, jika ditulis menurut ejaan Portugis adalah Jurupa Galacam Jmteram yang artinya avamtejado capitao (panglima ulung). Oleh karena nama atau kata Jawa ditulis dengan ejaan Portugis menjadi tidak keruan wujudnya, maka diperkirakan namanya ialah: Surapati Ngalaga ing Terung. "Panglima ulung" dapat kita anggap sebagai penafsiran yang benar dari "Surapati Ngalaga".230

Apabila pada kata yang ketiga di atas tersembunyi nama Kota Terung, maka nama raja Surabaya ini pada permulaan abad ke-16 dapat menguatkan apa yang diberitakan cerita Jawa mengenai peranan penting pecat tanda - penguasa raja di bidang perdagangan - di Terung, di tepi Sungai Brantas, dalam pertempuran Islam Jawa Tengah melawan kota kerajaan lama Majapahit. Menurut cerita Jawa itu, penguasa di Terung ini masih saudara lain ayah dengan raja pertama di Demak, Raden Patah. Ibu mereka seorang wanita Cina dan mereka lahir di Palembang. Penguasa di Terung, meskipun Islam, telah bertempur untuk mempertahankan Majapahit terhadap serangan- serangan orang-orang alim Islam. Konon, ia yang telah membunuh Sunan Ngudung,

ayah Sunan Kudus yang terkenal itu, dalam perkelahian satu lawan satu.231

229 Bubat telah disebut dalam Nagara Kertagama (abad ke-14); lihat Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 427.

230 Senapati Ngalaga ialah nama gelar yang terkenal bagi raja merdeka yang pertama di Mataram pada perempat terakhir abad ke-16 (lihat Bab XX-14, dan cat. 349). Senapati itu juga gelar raja Islam di Pasir (di Lembah Serayu atas), yang mungkin pada pertengahan abad ke-16 pernah tinggal di Keraton Demak (lihat Bab II-11). Senapati itu ternyata gelar yang terkenal pada abad ke-16 (lihat juga "Senapati" pada indeks Pigeaud, Volksvertoningen, hlm. 540; dan Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 382b). Apabila yang ingin digambarkan oleh Tome Pires itu bukan Surapati, melainkan Senapati, agaknya ini hampir tidak ada bedanya; kedua kata itu kira-kira merupakan sinonim. Surapati ialah nama seorang petualang pada perempat terakhir abad ke-17; ia berasal dari Bali. la telah berhasil mendirikan suatu kerajaan di pedalaman Jawa Timur dan di Pasuruan untuk dirinya sendiri dan keturunannya, dan yang cukup lama dapat bertahan sebagai kerajaan yang merdeka. Keterangan lain daripada yang dikemukakan ini dapat didasarkan pada perkiraan bahwa gelar yang disebut Tome Pires itu adalah pengejaan Portugis dari gelar Jawa yang sudah dikenal, ialah juru pangalasan pemimpin pasukan penjagaan. (Bandingkan dengan Pigeaud, Java, jil. 111, hlm. 121 dan 729, dan Noorduyn, "Concerning", hlm. 467-471).

231 Pecat Tanda di Terung telah disebutkan dalam Bab I-1. Pigeaud, Literature (jil.III, hlm. 286a, di bawah "Kusen"), menyajikan ringkasan cerita dalam Serat Kandha (Codex L0r, no. 6379) tentang penguasa di Terung yang bersikap bersahabat itu. Di situ

Perkiraan bahwa raja Surabaya, yang sudah dikenal oleh Tome Pires pada tahun 1515, boleh dipandang sama orangnya dengan penguasa di Terung, sahabat Majapahit, yang pada tahun 1525 berusaha menggagalkan serangan "kelompok- kelompok orang alim" Islam Jawa Tengah terhadap Majapahit, bertambah nyata berkat adanya cerita-cerita yang diberitakan dalam Suma Oriental mengenai asal usul "Pate Bubat" yang dikatakan berasal dari "budak belian kafir" (yang bekerja pada kakek "Guste Pate") atau seorang Sunda. Cerita-cerita yang sezaman itu, dan cerita-cerita Jawa tentang penguasa di Terung yang timbul kemudian, mengandung unsur yang sama, yaitu pandangan bahwa ia tidak berasal dari keturunan raja yang mulia, tetapi dari kalangan rendah, atau dari seorang asing yang datang dari Barat.

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 180-182)

Garis besar

Dokumen terkait