• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 Didirikannya landasan Islam di Banten oleh tokoh yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati sekitar tahun

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 134-136)

Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad ke-16: Banten

VIII- 2 Didirikannya landasan Islam di Banten oleh tokoh yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati sekitar tahun

Sejak sebelum zaman Islam, di bawah kekuasaan raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang agak berarti. Dalam tulisan Sunda kuno, yaitu Carita Parahyangan, disebut-sebut nama Wahanten Girang;

nama ini dapat dihubungkan dengan Banten.139 Pada tahun 1524 atau 1525 Nurullah

dari Pasei, yang kelak menjadi Sunan Gunungjati, telah berlayar dari Demak ke Banten, untuk meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan bagi perdagangan orang-orang Islam. Nurullah sudah menunaikan rukun ke-5, naik haji ke Mekkah; sebelum ia datang di keraton raja Demak. Sebagai haji yang saleh dan sebagai musafir yang mengenal percaturan dunia ia mendapat sambutan hangat di keraton itu. la mendapat salah seorang saudara perempuan raja Demak sebagai istri. Dapat diduga bahwa ia telah berpengaruh terhadap iparnya, seorang keturunan Cina yang baru beberapa puluh tahun masuk Islam. Pasei, kota pelabuhan Sumatera Utara tempat asal Nurullah, sudah lebih dari dua abad beragama Islam. Ada alasan untuk menduga bahwa gelar sultan yang dipakai Tranggana dari Demak, dan sepak terjangnya sebagai pelindung agama, banyak berkaitan dengan ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan agama Islam yang harus meliputi segala aspek hidup. Tentu hal itu sudah dipahami benar oleh Nurullah sepulang dari Mekkah.

Menurut cerita Jawa-Banten, sesudah sampai di Banten, ia segera berhasil menyingkirkan bupati Sunda di situ untuk mengambil alih pemerintahan atas kota pelabuhan tersebut. Dalam hal itu ia mendapat bantuan militer dari Demak. Langkah berikut yang dilakukan untuk mengislamkan Jawa Barat ialah menduduki kota pelabuhan Sunda yang sudah tua, Sunda Kelapa, kira-kira tahun! 1527. Perebutan kota yang sangat penting bagi perdagangan Kerajaan Pajajaran ini, berlangsung cukup sengit, karena letaknya yang tidak jauh dari kota Kerajaan Pakuwan (Bogor). Sebagai tanda bahwa perebutan ini sungguh penting bagi agama Islam, kota itu diberi nama baru Jayakarta atau Surakarta; jaya berarti kemenangan dan sura pahlawan. Pada abad ke-16 dan ke-17, dan kemudian pada abad ke-20 ini, kota itu dikenal dengan nama Jakarta, singkatan dari Jayakarta. Orang Portugis, karena tidak tahu kota itu telah diduduki oleh orang-orang Islam pada tahun 1527, datang untuk mendirikan perkantoran berdasarkan perjanjian yang diadakannya pada tahun 1522 dengan Sang

Hyang dari Pajajaran. Mereka ditolak dengan kekerasan senjata.140

139 Djajadiningrat, Banten (hlm. 113 dst.) berisi tinjauan panjang lebar mengenai letak dan sejarah tertua kota-kota Banten Girang dan Banten, yang di sini tidak perlu diulangi.

140 Djajadiningrat dengan cerdik sekali berusaha menetapkan bahwa perebutan Kota Sunda Kelapa telah terjadi pada hari Maulud tahun 933 H. yaitu 17 Desember 1526 M. (Djajadiningrat, "Hari lahimja").

Pada tahun 1528-1529 M, (1450 Jawa) Sultan Tranggana menghadiahkan sepucuk meriam besar buatan Demak yang dibubuhi tahun tersebut kepada penguasa baru di Banten sebagai tanda penghargaan atas hasil yang telah dicapai. Meriam itu mula-mula mungkin bernama Rara Banya; kemudian selalu disebut Ki Jimat (seolah-olah itu jimat kerajaan). Menurut Dr. Crucq (Crucq, "Kanon", hal. 359) diperkirakan meriam itu dibuat oleh seorang murtad bangsa Portugis, yang berasal dari Algarvia (Portugis Selatan). la bernama Khoja Zainul-Abidin. Meriam tersebut pada paruh pertama abad ke-20 masih dapat dilihat di Banten, di Kampung Karang Antu.141

Penguasa Islam baru atas Banten dan Jakarta rupanya tidak berusaha menyerang kota Kerajaan Pakuwan, yang terpotong hubungannya dengan pantai oleh perluasan daerah yang dilakukan oleh penguasa Islam baru di Banten itu. la memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang semula termasuk Kerajaan Pajajaran. Cirebon yang mungkin sudah pada permulaan abad ke-16 menjadi kota dagang Cina-Islam, dan termasuk daerah raja Demak (lihat Bab VII-2), kemudian diserahkan juga ke bawah kekuasaannya. la selalu bersikap sebagai raja taklukan terhadap raja Demak selama Sultan Tranggana masih hidup. Mungkin sekali-sekali ia tinggal di Banten dan sekalisekali di Cirebon.

Dari uraian-uraian Portugis ternyata bahwa pada abad ke-16 perdagangan merica penting di kota-kota pelabuhan Jawa Barat, mula-mula di Sunda Kelapa dan kemudian

141 Bahwa meriam-meriam mempunyai kedudukan penting dalam cerita-cerita rakyat tentang sejarah lama kerajaan-kerajaan Pasisir Barat telah dikemukakan di atas (cat. 75). Cerita-cerita yang menyerupai dongeng itu menghubung-hubungkan pegawai raja yang setia, seorang patih, serta istrinya, yang telah berhasil menghalau musuh, dengan meriam-meriam tua. Dalam cerita yang bersifat legenda mengenai Banten dikabarkan tentang adanya serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh orang-orang dari Manila (Pigesud, Literature, jil. II. hlm. 361a). Tentu saja penghadiahan sebuah meriam besar oleh Sultan Tranggana kepada menantunya di Banten itu dapat kita anggap sebagai usaha pengamanan yang lebih praktis untuk melindungi Teluk Banten terhadap ancaman serangan Portugis. Sebelum mencapai maupun waktu mendekati Malaka orang- orang Indonesia telah mengalami sendiri bagaimana unggulnya senjata artileri Portugis. Kekuatan meriam-meriam Portugis ini dalam Sajarah Melayu, dalam cerita tentang direbutnya Malaka oleh d'Albuquerque, diceritakan panjang lebar. Mungkin karena itu juga maka Pati Unus dari Jepara, menurut caranya sendiri, telah memperkuat kapalnya, yang bobot matinya diperkirakan 500 ton (berita dari De Barros yang dikutip oleh Veth, Java jil. I, hlm. 269). Jelaslah kiranya bahwa kapal Jawa tidak dapat menandingi kapal-kapal Portugis. Jadi, bukanlah hal yang mustahil kalau sebuah serangan Portugis terhadap salahsatu pelabuhan di Jawa dapat dilakukan dengan sukses. Meriam-meriam di darat mungkin akan dapat menggagalkan serangan dari laut walaupun orang Jawa belum dapat mengenal kata-kata Napoleon: "Un canon sur terre en vaut cent sur mei" (satu meriam di darat mengimbangi seratus di laut). Meriam Banten, Ki Amuk, yang dipasang pada bangunan pertahanan pelabuhan di sayap kanan, diharapkan dapat dengan satu tembakan yang terarah tepat mengirimkan kapal atau jung Portugis ke dasar laut. Rupanya, raja Demak juga tidak menelantarkan pelabuhan lautnya Jepara, dengan cara melengkapi Gunung Jepara, dalam cerita babad dikenal dengan nama Danaraja, dengan meriam kaliber berat. Crucq dalam karangannya (Crucq, "Keraton", hlm. 100) beranggapan bahwa kedua meriam yang berasal dari Jepara, yang sekarang berada di Solo, adalah hadiah dari Gubernemen Portugis di Malaka pada tahun 1640; meriam-meriam itu dianggapnya identik dengan meriam Kumbarawa dan Kumbarawi. Tetapi dua tahun kemudian (dalam majalah T.B.G. LXXX, tahun 1940, hlm. 38) ia menyinggung kembali hal tersebut dan mengatakan bahwa kedua meriam besar tadi merupakan bagian yang terdiri atas lima buah columbrijnen (meriam-meriam panjang) yang pada abad ke-17 terletak di benteng Jepara. Ia menulis "kiranya mungkin, dan menurut saya kemungkinan ini sangat besar, bahwa barang-barang itu dibuat dengan bantuan ahli-ahli Portugis, namun mereka berasal dari Jawa sendiri dan bukan barang impor". Jadi, mungkin meriam itu berasal dari tempat pengecoran Zainu'I Abidin, seorang pembelot Portugis.

Mungkin di Surabaya ada pula tempat pengecoran meriam kaliber besar; sekurang-kurangnya pada permulaan abad ke-17 ditemukan di sana sejumlah meriam yang agak banyak, satu di antaranya ukuran sangat besar. Pada kunjungannya ke Surabaya pedagang VOC Artus Gijsels melihat adanya tembok ganda (sekitar keraton dan sekitar kota) tetapi ada pula sekitar dua puluh laras meriam ditempatkan di pasar dekat alun-alun. Ada yang dibuat dari besi, tetapi ada juga dari perunggu dan sebuah di antaranya sungguh besar: "noch eens sop laugh als onse hele cartouwen, dat sij selver gegoten hebben" (dua kali sepanjang meriam kita, dan telah mereka buat sendiri). la juga melihat cetakan-cetakan yang tersedia untuk mengecor beberapa buah meriam lagi (lihat juga: Graaf, Sultan Agung, hlm. 13, 14).

di Banten. Walaupun orang Portugis tidak berhasil menetap di Sunda Kelapa, seperti yang diharapkan semula, mereka masih tetap singgah di Banten sebagai pedagang, demi kepentingan perdagangan merica mereka. Orang-orang Cina juga mengambil bagian dalam perdagangan merica itu. Yang aneh ialah bahwa menurut Tome Pires perahu-perahu Jawa Barat kadang-kadang berlayar ke Kepulauan Maladewa (di sebelah barat Pulau Sri Lanka) untuk mengambil budak belian dan perempuan yang kemudian dijual di Jawa.142

Menurut beberapa cerita babad Jawa, Sunan Gunungjati itu telah menyuruh seorang putranya tinggal di Cirebon, sebagai wakilnya. Putra ini kawin dengan seorang putri Demak, anak perempuan Sultan Tranggana. la meninggal dalam usia muda, mungkin pada tahun 1552. Kematiannya merupakan alasan bagi ayahnya untuk pindah dari Banten ke Cirebon selama-lamanya. Pangeran Cirebon ini hanya dikenal dengan nama anumerta Pangeran Pasareyan, sesuai dengan nama kota/desa tempat ia dimakamkan (lihat Bab VII-3).

Putra yang kedua, Hasanuddin, telah lebih dahulu menggantikan ayahnya di Banten. Waktu Sunan Gunungjati secara pasti menetap di Cirebon, Hasanuddin menjadi penguasa atas Banten dan Jakarta. Dalam riwayat Banten, sudah sejak abad ke-17 (ini tidak benar!) ia dianggap sebagai raja pertama di Banten dan sebagai pendiri keturunan sultan-sultan Banten. Dia pun kawin dengan putri Demak, anak Sultan Tranggana, pada tahun 1552.

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 134-136)

Garis besar

Dokumen terkait