• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 Runtuhnya kekuasaan pemerintahan Kudus

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 113-116)

Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16: Kudus

V- 4 Runtuhnya kekuasaan pemerintahan Kudus

Tidak mudah menetapkan dengan teliti kurun waktu berita-berita tersebut di atas ini menyangkut Kudus sebagai pusat agama. Yang diketahui dengan pasti tentang kronologi dinasti para ulama di Kudus itu hanya sedikit. Namun, masuk akal jika Kudus mencapai kejayaannya berkat jasa-jasa Sunan pertama, penyebar agama Islam yang gagah berani, dan berkat jasa-jasa ayahnya, seorang yang alim.

108 Kalimat-kalimatnya dalam bahasa Melayu berbunyi: "Hamzah Pansuri di dalam Mekkah, mencari Tuhan di bait at-Ka'bah/di Baros ka Kudus terlalu payah akhirnya dapat di dalam rumah". Baik penerbitnya (Doorenbos, Hamzah Pansuri, hlm. 45) maupun H. Kraemer telah menolak penafsiran yang sebenarnya dapat diterima juga bahwa penyair telah mengunjungi Yerusalem di Palestina. Namun, keduanya membenarkan perkiraan yang jauh lebih besar kemungkinannya, yaitu bahwa penyair tersebut telah datang di Jawa, di pusat keagamaan Islam, yang sangat terkenal di daerahnya. Syed Muhammad Naguib al-Attas juga menyebutkan Kudus dalam karangannya (Syed, Hamzah, hlm. 8). Menurut dia, "di dalam rumah" harus diartikan sesuai dengan ungkapan mistik: "(di) dalam hati sendiri".

109 Naskahnya tercantum dalam Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 629.

110 Dalam Pigeaud, Literature (jil. III di bawah "Kudus") telah disebutkan pelbagai tempat dalam kesusastraan Jawa yang memakai nama Kudus. Penting untuk disebutkan di sini ialah Codex LOr, no. 3050 (Pigeaud, Literature, jil.II, hlm 101): suatu karangan Jawa tentang pokok-pokok agama Islam ditulis dengan huruf Arab, yang menyebut Susuhunan Kudus sebagai tokoh paling utama di bidang itu. Agaknya ada kemungkinan bahwa naskah tersebut ditulis pada abad ke-17. Lain daripada itu dalam kisah "Cabolek" (abad ke-19) yang terkenal itu, yang mungkin disulam dengan cerita-cerita lama, tampil seorang kerib anom (katib muda: seorang pegawai masjid) dari Kudus dalam perdebatan melawan Haji Amad Mustakim dari Cabolek (di daerah Tuban) yang telah menyebarkan ajaran-ajaran ekstrem (lihat cat. 169). Dalam teks itu Amad Mustakim telah dibandingkan dengan Syekh Siti Jenar (yaitu Syekh Lemah Abang) dan Pangeran Panggung, yang telah dibakar di atas api unggun sebagai orang-orang bid'ah. Beberapa hal dapat dianggap sebagai petunjuk bahwa para ahli agama dari Kudus terkenal berpegang teguh pada ajaran agama, setidak-tidaknya tidak cenderung ekstrem ke mistik.

MenuIut Solichin Salam, kiranya sunan pertama telah meninggal pada tahun 1550 (Solichin Salam, Kudus), Sadjarah Dalem, silsilah keturunan raja-raja Mataram, menyebutkan tiga penguasa di Kudus, seorang sunan, seorang panembahan, dan seorang pangeran. Gelar yang kurang tinggi bagi yang kedua dan ketiga itu merupakan bukti berkurangnya kekuasaan pemerintahan, sesudah meninggalnya sunan pertama yang bersemangat itu. Kiranya dapat diperkirakan bahwa kemenangan Jaka Tingkir, Sultan Pajang, atas Aria Panangsang dari Jipang, murid tersayang Suntan Kudus, pada tahun 1549, sangat merugikan wibawa pemerintahan Kudus di Jawa Tengah.

Menurut cerita Jawa, konon, seorang penguasa di Kudus (mungkin yang kedua itu, yaitu panembahan) telah memperistri putri dari Giri. Hubungan dengan keturunan sunan-sunan dari Giri/Gresik, yang pada paruh kedua abad ke-16 masa jayanya, mengandung kebenaran juga. Hal itu telah mewujudkan hubungan antara dua pusat keagamaan Islam yang penting di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sama sekali tidak diketahui tahun berapa panembahan dari Kudus (menurut

Sadjarah Dalem) diganti oleh pangeran itu. Yang dapat dipercaya ialah bahwa bagi keturunan para penguasa di Kudus, seperti halnya juga bagi raja Demak terakhir yang setengah merdeka juga itu, ternyata 1588 merupakan tahun yang tidak menguntungkan. Kesultanan Pajang, yang didirikan oleh Jaka Tingkir, sebelumnya seorang abdi Keraton Demak, tampaknya pada perempat ketiga abad ke-16 telah memperlihatkan sikap bersahabat terhadap "para ulama" di Demak dan Kudus. Pada tahun 1588, karena meninggalnya Sultan, kekuasaan Pajang jatuh; Panembahan Senapati dari Mataram mulai memperluas daerahnya. Raja-raja dari Mataram, yang pada mulanya tidak mempunyai hubungan perkawinan atau apa pun dengan keturunan raja yang lebih tua di Pesisir, agaknya bertindak sangat keras di pusat-pusat peradaban Islam yang lebih tua di Pesisir. Lebih dahulu telah dikemukakan bahwa raja Demak yang terakhir telah melarikan diri karena terus didesak oleh Mataram, mula-mula ke Malaka, kemudian ke Banten. Masuk akal jika pangeran Kudus yang terakhir mencari perlindungan di Jawa Timur, mungkin pada sanak-saudaranya di Giri/Gresik, atau di Tuban, di kalangan mereka yang menghormati Sunan Bonang sebagai orang suci. Para sunan di Kudus masih mempunyai hubungan keluarga jauh dengan Sunan Bonang dan Sunan Ngampel Denta di Surabaya.

Di bawah kekuasaan raja-raja Mataram pada abad-abad ke-16, ke17, dan ke-18 ada hubungan pemerintahan antara Demak dan Kudus. Keduanya berada di bawah kekuasaan para penguasa Mataram. Walaupun berasal dari Mataram, beberapa di antara bupati itu dalam perang saudara di Mataram ikut menentang kekuasaan tertinggi di pusat, dan membantu para calon pengganti raja yang memberontak. Sekali bermukim di "daerah" mereka tampaknya terpengaruh oleh tradisi setempat yang berakar pada kejayaan masa lampau sebagai kerajaan merdeka. Pangeran Puger, paman Sultan Agung, sendiri diharuskan tinggal di Kudus ketika ternyata bahwa di

Demak - tempat ia memerintah - ia dikhawatirkan akan memusatkan kekuasaan dan membahayakan pemerintah pusat (lihat Bab IlI-4).111

111 Yang masih perlu disebutkan ialah bahwa kota Kudus itu pada paruh pertama abad ke-20 ini menjadi tersohor karena pabrik- pabrik "rokok (kelobot) kretek". Mulai berdirinya usaha orang Jawa yang khas ini (semula merupakan kerajinan rumah tangga) di kota "orang-orang alim" tentunya dapat dihubungkan dengan adanya masyarakat golongan menengah, yang kuat modalnya. Orang-orang alim Kudus itu telah mempunyai relasi atau memperluasnya, guna memborong tembakau dan kelobot, dengan jemaah-jemaah orang-orang alim yang sealiran, dengan orang-orang "kauman" di dusun-dusun, dan desa- desa di pelbagai daerah Jawa Tengah. Jumlah para haji di daerah-daerah ini pada abad ke-19 dan ke-20 amat besar dan sebagian anggota "Sarekat Islam" (permulaan abad ke-20) berasal dari orang-orang alim kaum menengah di kota-kota Pesisir lama di Jawa Tengah.

Bab 6

Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa

Dalam dokumen Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa (Halaman 113-116)

Garis besar

Dokumen terkait