• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TELAAH ULANG DOKUMEN

5. Pemindahan Paksa

5.3 BERITA ACARA PEMERIKSAAN (BAP) KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA22

Berita-berita Acara Pemeriksaan (BAP) dikaji dalam Telaah Ulang Dokumen sebagai bagian dari proses persidangan Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta. BAP ini disusun melalui proses penyidikan yang dimulai setelah penyampaian laporan KPP HAM kepada Kejaksaan Agung. Namun perlu dicatat bahwa cakupan penyidikan oleh Kejaksaan Agung lebih sempit daripada penyelidikan KPP HAM dalam berbagai aspek penting. Pertama, walaupun KPP HAM telah merekomendasikan penyidikan dan penuntutan lebih lanjut terhadap 22 orang namun penuntutan di hadapan Pengadilan HAM Ad Hoc hanya mencakup 18 individu dimaksud dalam 12 kasus. Kedua, tak satupun komandan TNI pada tingkat tertinggi yang disebut dalam laporan KPP HAM dimasukkan dalam proses penyidikan sebagai dasar bagi pengadilan. Ketiga, cakupan kejahatan dan bentuk pertanggungjawaban yang dipertimbangkan dalam BAP jauh lebih sempit, mencakup pembunuhan, penyerangan, dan penghancuran harta benda. Seluruhnya, hanya lima kejadian utama yang ditangani dalam penyidikan oleh Kejaksaan Agung, yakni:23

1. Penyerangan kompleks Gereja Liquiça dan kediaman Pastor Rafael, 6 April 199924

2. Penyerangan kediaman Manuel Carrascalão, 17 April 199925 3. Penyerangan Gereja Ave Maria, Suai, 6 September 199926

4. Penyerangan Diosis Dili, 5 September 199927

5. Penyerangan kediaman Uskup Belo, 6 September 199928

22 Bagian ini bersandar pada analisis luas atas BAP dalam Laporan kepada KKP Bagian I, Bab II.2. juga bersandar pada analisis

yang lebih rinci dan menyeluruh atas bukti-bukti BAP dalam Laporan kepada KKP, Bagian I, Lampiran 2 laporan tersebut.

23 Satu-satunya pengecualian terkait lingkup tempat kejadian adalah dalam berkas perkara Adam Damiri, dimana Jaksa berdalil

bahwa terjadi dua belas peristiwa besar sebelum Jajak Pendapat, satu selama Jajak Pendapat, dan lima lainnya setelah Jajak Pendapat. Lingkup tempat kejadian juga lebih luas, mencakup Bazar-Tete, Liquiça, Covalima, Aileu, Ainaro dan banyak lainnya. Lihat BAP Adam Damiri, h. 44-46.

24 BAP Asep Kuswani et.al., h.18-27. Lihat juga Rafael dos Santos, h. 2-3; António da Conceição Santos, h. 3-5; dan José

Menezes Nunes Serrão, h. 5-6; BAP Yayat Sudrajat, h. 27, 38-39; António da Conceição Santos, h. 20-23; dan João Pereira, h. 23-24.

25 BAP Tono Suratman, h. 114-115; Lihat juga Julio de Sousa, h. 11-12; Mudjiono, h. 27; dan Florindo de Jesus, h. 42-44; BAP

Endar Priyanto, h. 46-48; Lihat juga Victor dos Santos, h. 6-8; Alfredo Sanches, h. 11-13; dan Santiago dos Santos, h. 13-15; BAP Eurico Guterres, h. 43-48; Lihat juga Florindo de Jesus, h. 15-17; Domingos M. Dorres Soares, h. 21-22; dan Joanico da Silva, h. 32-33; BAP Adam Damiri, h. 39; Lihat juga Drs. Hulman Gultom, h. 22-25.

26 BAP Tono Suratman; Lihat juga João Pereira, h. 5-6; José Menezes Nunes Serrão, h. 6-7; dan Lucas Soares, h. 7-8; Adam

Damiri, h. 39, 41-43; Lihat juga M. Noer Muis, h. 6-7; Drs. Herman Sedyono, h. 31; dan Lettu. Inf. Sugito, h. 32-33; Noer Muis; Lihat juga Letkol. Liliek Koes Hadiyanto, h. 7; Nanang Djuanda Priadi, h. 7-8; dan Armindo de Deus Granadeiro, h. 11-12; Herman Sedyono, et.al., 21-41; Lihat juga Jehezkiel Berek, h. 1-2; Sonik Iskandar, h. 2-3; dan Yopi Lekatompessy, h. 5-6; Yayat Sudrajat, h. 41,

27 BAP Tono Suratman; Lihat juga Drs. Muafi Sahudji, SH, h. 56; Adam Damiri, h. 39, 41-43; Lihat juga M. Noer Muis, h.

6-7; Letkol. INF. Soedjarwo, h. 15-16; dan Drs. Hulman Gultom, h. 24-25; Noer Muis, h. 46; Lihat juga Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, h. 1-3; Yayat Sudrajat, h. 16-17; dan Drs. Hulman Gultom, h. 17-20; Soedjarwo, h. 53; Lihat juga Nelio Mesquita da Costa Rêgo, h. 1-3; João Bernadino Soares, h. 3-4; dan Lucia da Costa Rego, h. 9-10; Yayat Sudrajat, h. 40; Hulman Gultom, h. 59-60; Lihat juga João Bernadino Soares, h. 9-10; Nonato Soares, h. 12-13; dan Vicente A.G. de Sousa, h. 13-15.

28 BAP Tono Suratman; lihat juga, Drs. Muafi Sahudji, SH, h. 56; Adam Damiri, h. 39, 41-43; M. Noer Muis, h.6-7; Letkol.

Inf. Soedjarwo, h.15-16; Drs. Hulman Gultom, h.24-25; Noer Muis; Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, h.1-3; Maria Olandina Isabel Caeiro Alves, h.13-14; Fransisco Kalbuadi Lay, h.14-15; Soedjarwo, h.53; Inocencio da Costa M Frietas, h.11; José Vattaparambil, h.12; Yayat Sudrajat, h.41; Hulman Gultom, h.60; Inocencio da Costa M Frietas, h.16-17; José Vattaparambil, h.17-18; dan Manuel Soares Abrantes, h. 20-21.

Sebagian besar proses penyidikan tampaknya lebih terfokus pada “kegagalan untuk mencegah” ketimbang bentuk pertanggungjawaban lainnya. Terakhir, cakupan bukti yang diajukan juga jauh lebih sempit. Patut disayangkan bahwa ketika KPP HAM meneruskan Laporannya ke Kejaksaan Agung, para Jaksa tidak memanfaatkan

database luas yang menyertai dengan Laporan KPP HAM dalam bentuk CD-ROM.

Kegagalan memanfaatkan atau mengevaluasi bukti dimaksud dikatakan terjadi karena para Jaksa tidak memahami bagaimana menggunakan piranti lunak database.29

Terkait dua pertanyaan utama dalam Telaah Ulang Dokumen ini, BAP memberi jawaban jelas mengenai perbuatan pelanggaran HAM berat, namun tanggapan yang agak kabur mengenai tanggung jawab institusional. Mengenai pelanggaran HAM berat, semua BAP menemukan bahwa pelanggaran HAM berat telah terjadi di Timor Timur tahun 1999, dan hal ini memang menjadi dasar bagi penuntutan pidana kejahatan terhadap kemanusiaan yang buktinya disusun dalam BAP.

Berkenaan tanggung jawab institusional, situasinya agak berbeda. BAP dimaksud tentunya merupakan bagian dari proses peradilan pidana yang didasarkan pada tanggung jawab individual. Tanggung jawab institusional bukan merupakan doktrin hukum yang dapat menjadi dasar bagi tanggung jawab individual. Di sisi lain, BAP ke-12 kasus juga menyentuh persoalan tanggung jawab institusional karena di dalamnya tampak ada upaya untuk menetapkan tanggung jawab para komandan serta pejabat sipil melalui teori tanggung jawab komando. Oleh karena strategi penuntutan dalam seluruh kasus tersebut adalah untuk memperoleh temuan bersalah atas dasar tanggung jawab komando ketimbang bentuk perbuatan individual langsung atau tidak langsung, bukti yang dikumpulkan memiliki potensi implikasi terkait persetujuan institusional melalui kegagalan untuk mencegah atau menghukum. Akan tetapi BAP tersebut tidak secara langsung menganalisis atau membuat kesimpulan mengenai keterlibatan institusional, melainkan lebih mengenai peran individu tertentu. Hal ini cukup wajar mengingat fokus proses penyidikan dan penuntutan adalah pada tanggung jawab individual. Akan tetapi, terdapat banyak bukti dalam BAP yang dapat digunakan guna mendukung temuan tanggung jawab institusional, setidaknya pada tingkat operasional lokal. Telaah Ulang Dokumen yang dipersiapkan bagi Komisi oleh Penasihat Ahli menganalisis bukti tersebut secara rinci.30

Analisis atas BAP mengungkap beberapa kekuatan maupun kelemahan. Pada satu sisi BAP telah mengumpulkan bukti dalam jumlah besar yang mendukung kesimpulan bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi. Juga terdapat bukti cukup banyak untuk menengarai adanya keterlibatan institusional, misalnya, melalui pemberian dukungan materiil dalam bentuk bantuan keuangan, logistik, persenjataan dan amunisi, transportasi, dan lain-lain. Bukti lain menengarai bahwa pada tingkat operasional kadang terdapat keterlibatan langsung anggota TNI atau kepolisian dalam operasi-operasi milisi terhadap orang-orang yang diduga pro-kemerdekaan, kadang juga pembiaran melalui persetujuan diam-diam

29 David Cohen, Intended to Fail: The Trials Before the Ad Hoc Human Rights Courts in Jakarta. International Center for Transitional

Justice. 2003, h. 47 (dapat diakses di www.ictj.org)

atau melalui kegagalan untuk mencegah atau menghukum.31 Namun, sebagaimana yang akan terlihat, akibat kurangnya pemahaman mengenai unsur-unsur pelanggaran dan doktrin yang relevan, banyak bukti yang ada tidak sebagaimana semestinya seperti jika kerangka hukum dakwaannya dijabarkan secara lebih baik.

Pada sisi lain juga terdapat kelemahan besar dalam pendekatan BAP. Yang paling mendasar adalah bahwa sebagian besar BAP tidak mempertimbangkan bentuk tanggung jawab selain kegagalan untuk mencegah kejahatan, yang di dalam BAP diperlakukan sebagai pengabaian (omission). Hanya dalam tiga dari 12 kasus terdapat upaya menelusuri bentuk akuntabilitas lainnya. Sedangkan sembilan yang lain mengabaikan segala bentuk tanggung jawab kecuali pengabaian, sehingga tidak mengejutkan bahwa hal ini kemudian menjadi dasar bagi sebagian besar dakwaan. Hal ini dapat terjadi walaupun terdapat bukti substansial hasil penyelidikan yang seharusnya dapat digunakan untuk menetapkan adanya hubungan pada tingkat operasional antara pelaku lapangan dengan pejabat militer dan sipil. Bukti ini menengarai bentuk tanggung jawab lain berdasarkan perbuatan langsung maupun tidak langsung ketimbang hanya tanggung jawab akibat pengabaian.

Kelemahan lainnya mencerminkan kesalahpahaman mendasar mengenai unsur tanggung jawab komando. Kesalahpahaman tersebut secara khusus terkait dengan unsur batin32 yang menjadi syarat tanggung jawab komando dan syarat utama

hubungan atasan-bawahan. Kelemahan lain lagi adalah kegagalan memahami konteks lebih luas dari kejahatan dan mengaitkan konteks tersebut dengan unsur-unsur

chapeau yang menjadi syarat pembuktian kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini

berakibat pada kegagalan mengumpulkan bukti memadai guna memperkuat tuduhan yang digunakan dalam mengembangkan dakwaan dan tidak dimanfaatkannya bukti yang sudah terkumpul secara maksimal.

Sedangkan dalam hal tanggung jawab komando, kelemahan-kelemahan dimaksud telah berdampak pada kasus karena hanya suatu pemahaman jelas mengenai unsur-unsur yang disyaratkan dapat memberi bukti bagi Penuntut guna mencapai temuan bersalah di pengadilan. Sebagai contoh, dalam membuktikan tanggung jawab komando perlu ditetapkan adanya hubungan atasan-bawahan antara tersangka dengan individu-individu yang melakukan kejahatan. BAP secara umum telah mengabaikan untuk memperhatikan bukti mengenai unsur ini yang tidak hanya tergantung pada garis komando resmi (otoritas de jure) namun lebih pada “kendali efektif” (otoritas de facto) yang dijalankan oleh tersangka komandan terhadap individu-individu tertentu yang telah melakukan kejahatan dimaksud. BAP tersebut tidak memberi bukti mengenai persoalan penting ini, juga tidak berfokus pada identitas pelaku serta hubungan mereka dengan tersangka komandan. Guna menetapkan adanya hubungan atasan-bawahan afiliasi institusional para pelaku perlu diidentifikasi secara jelas. Sebagian besar BAP gagal memerhatikan hal ini dan tampaknya menganggap sudah cukup untuk menunjukkan suatu kejahatan telah dilakukan.

31 Bukti ini dibahas dalam Laporan kepada KKP, Bagian I, Bab 3, Sub-bagian II.d.1 dan II.d.2. Lihat juga Adendum Laporan

kepada KKP. Bagian II, Sub-bagian 1 dan 2, yang menganalisis bukti tambahan dari BAP dan dari database KPP HAM.

32 Istilah “unsur batin” merujuk pada syarat bahwa kejahatan yang dimaksud harus dilakukan secara sengaja, atau sadar, atau

tidak hati-hati, dll. Yakni, hal ini merujuk pada jenis kondisi batin yang disyaratkan agar seseorang dapat ditemukan bersalah atas suatu pelanggaran tertentu.

BAP juga tidak berupaya memberi bukti apakah tersangka komandan militer telah mampu menjalankan kendali efektif terhadap anggota milisi yang melakukan, dan dalam beberapa kasus, melakukan bersama kejahatan-kejahatan tersebut. Terdapat bukti dalam BAP yang seharusnya dapat digunakan untuk membuktikan hubungan ini, namun karena tidak ada pemahaman yang jelas mengenai unsur-unsur yang diperlukan, bukti ini tidak disusun seputar persoalan-persoalan yang justru penting. Aspek lain adalah terkait dengan unsur batin yang harus ditetapkan guna

membuktikan adanya tanggung jawab komando. Sepertinya terdapat ketidakjelasan yang mendasari BAP terkait definisi unsur batin dan bukti seperti apa yang

diperlukan untuk membuktikannya. Seorang komandan hanya dapat dianggap bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya jika dapat ditunjukkan bahwa ia mengetahui kejahatan-kejahatan tersebut sedang dilakukan atau memiliki informasi yang seharusnya dapat membuatnya waspada bahwa terdapat risiko kejahatan akan dilakukan. Pembuktian unsur dimaksud memerlukan penyusunan bukti guna membenarkan informasi apa yang tersedia bagi tersangka, laporan-laporan seperti apa yang ia terima, sejauh mana ia berada dalam posisi untuk melihat dan mendengar hal-hal yang dapat menunjukkan adanya risiko, dan seterusnya. Sekali lagi, walaupun terdapat bukti, misalnya mengenai kehadiran beberapa komandan lapangan yang menjadi bawahan tersangka di atau dekat lokasi kejadian, pentingnya bukti tersebut tidak tercermin dari cara saksi-saksi diperiksa dan bagaimana kasusnya dipersiapkan. Dampak kesalahpahaman mengenai unsur-unsur penting ini dalam persidangan di muka Pengadilan HAM Ad Hoc dibahas pada bagian berikutnya.

Substansi lain dimana salah pengertian mengenai unsur-unsur yang disyaratkan telah melemahkan penuntutan adalah berkenaan dengan unsur-unsur chapeau kejahatan terhadap kemanusiaan (“kejahatan yang dituduhkan merupakan bagian dari serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil”). Sebagai contoh, BAP bertolak dari asumsi bahwa perlu ada kebijakan resmi untuk membuktikan sifat “sistematis” suatu serangan terhadap penduduk sipil.33 Pertama-tama, tidak ada syarat bahwa serangan harus bersifat meluas dan sistematis; kedua unsur ini terlepas satu sama lainnya. Namun karena tidak ada perhatian pada konteks lebih luas dimana kejahatan dimaksud berlangsung, bukti yang dikumpulkan juga tidak difokuskan untuk

membuktikan unsur “meluas”. Lebih jauh lagi, sesuai hukum internasional, tidak ada syarat dalam proses pembuktian kejahatan terhadap kemanusiaan bahwa harus ada kebijakan apapun.34 Sebaliknya BAP tidak hanya bertolak dari asumsi bahwa harus ada kebijakan, syarat “kebijakan” ini juga didefinisikan hanya sebagai kebijakan resmi (yakni, suatu kebijakan tertulis dan resmi serta diterima oleh institusi-institusi pemerintah). Namun, seperti yang sudah mapan dalam yurisprudensi internasional, adanya kebijakan dapat memberi bukti tambahan mengenai sifat sistematis kejahatan dimaksud, dan kebijakan tersebut dapat bersifat tidak resmi, implisit, tidak tertulis, atau bahkan tidak diutarakan. Oleh karenanya, adanya suatu kebijakan dapat

ditengarai dari pola perilaku dan pola dukungan institusional, restu serta reaksi. Pola-pola semacam ini dapat memberi bukti mengenai adanya kebijakan biarpun tidak ada surat keputusan, pernyataan, perintah, ataupun kebijakan resmi pemerintah.

33 Lihat penjelasan sebelumnya bahwa tidak harus dibuktikan adanya “kebijakan” guna menetapkan unsur “sistematis” serangan. 34 Adendum Laporan kepada KKP, Bab II.2, h. 48.

Dua kelemahan mendasar lainnya dalam BAP membatasi bagaimana bukti yang ada seharusnya dapat digunakan dalam menetapkan tanggung jawab institusional. (1) Sementara ke-12 penyidikan menyimpulkan bahwa kejahatan terhadap

kemanusiaan telah dilakukan, sebagian besar tidak menjelaskan hubungan substantif antara tersangka dengan tindak kejahatan yang dituduhkan. Hal tersebut menjadi kekurangan yang juga memiliki konsekuensi serius ketika kasus-kasus ini sampai ke tahap persidangan. (2) Dalam sebagian besar kasus, kegagalan untuk memahami konteks umum dimana kejahatan-kejahatan ini dilakukan juga telah berdampak penting pada proses penuntutan dan persidangan. Selain Kasus Adam Damiri, pendekatan sempit yang berbasis-kasus ini menganggap masing-masing insiden sebagai kejadian terpisah dan tidak memiliki kaitan dengan insiden lain yang diperiksa dalam berkas perkara lain. Kegagalan untuk menempatkan kejahatan yang dituduhkan dalam konteks lebih luas serta untuk menelusuri keterkaitan antar keduanya telah memberi dampak serius dalam hal bagaimana bukti yang ada digunakan guna menetapkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan secara meluas atau sistematis, adanya tanggung jawab komando serta bentuk-bentuk tanggung jawab lainnya.

Patut dicatat bahwa pendekatan sempit per kasus semacam ini tidak hanya terjadi pada persidangan di Jakarta, namun juga menjadi persoalan pada persidangan di hadapan Panel Khusus untuk Kejahatan Berat di Dili dan di hadapan pengadilan internasional lainnya dalam tahap-tahap awal. Bentuk-bentuk persoalan struktural semacam ini juga terwujud dalam bidang-bidang lainnya, khususnya mengingat tidak adanya kerangka hukum efektif guna menjamin kerja sama dan koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung RI. Sementara KPP HAM mengambil suatu pendekatan institusional dan kontekstual yang luas dalam penyelidikan dan rekomendasinya, Kejaksaan Agung pada umumnya mengabaikan karakteristik utama Laporan KPP HAM tersebut, dan memperlakukan tiap-tiap kasus sebagai peristiwa yang terpisah. Hal semacam ini seharusnya dapat dicegah jika saja ada suatu kerangka hukum yang dapat lebih baik mengatur kerja sama antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM.

Satu pengecualian berkenaan pendekatan sempit ini adalah dalam penyelidikan atas penyerangan gereja Ave Maria di Suai. Dalam kasus tersebut penyelidik berkesimpulan bahwa kejahatan tersebut, dimana terjadi pembunuhan orang-orang yang mencari perlindungan di gereja, telah memenuhi unsur meluas, dan harus dilihat sebagai bagian dari serangan yang lebih luas di Timor Timur. Dalam laporannya, penyelidik berkesimpulan:

“pembunuhan yang terjad pada tanggal  September  dengan penyerangan dan penembakan d komplek Gereja Ave Mara Sua yang dlakukan oleh orang-orang yang pro ntegras (Laksaur dan Mahd) … terhadap orang-orang pro kemerdekaan (ant ntegras) benar merupakan sebaga bagan dar serangan yang meluas dseluruh Tmor-Tmur, karena pada saat yang sama yatu pada tanggal  September  tersebut juga terjad penyerangan yang sama, yatu penyerangan terhadap orang-orang pro kemerdekaan yang berada d Doss Dl, rumah Uskup Belo dan Gereja Sua yang juga mengakbatkan adanya korban yang mennggal duna yang dlakukan oleh orang-orang yang pro ntegras”. 35

35 Tim Penyidik Pelanggaran HAM Yang Berat di Timor Timur, “Berkas Perkara Herman Sedyono et al.,” (11 Desember 2000),

Selain itu penyelidik juga menunjukkan bahwa serangan di Suai didahului oleh intimidasi terhadap kelompok sasaran, yakni pendukung pro-kemerdekaan, sejak tanggal 3 September 1999. Namun fakta ini tidak diurai lebih lanjut guna menunjukkan sifat sistematis kejahatan.

Sementara upaya membuktikan unsur sistematis dengan cara demikian dapat dianggap sempit dan simplistis, dari 12 BAP, hanya BAP ini yang secara jelas menunjukkan adanya kaitan antara serangan dengan konteks kekerasan lebih luas di Timor Timur.36 Adalah merupakan suatu kelemahan besar bahwa dalam upaya membuktikan suatu kasus kejahatan terhadap kemanusiaan, BAP lainnya gagal menarik hubungan antara kejahatan-kejahatan spesifik yang dituduhkan dengan konteks kekerasan yang lebih luas di Timor Timur tahun 1999.

Sebagai rangkuman, sementara semua BAP menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan ini menargetkan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan, mereka tidak mencapai kesimpulan

substantif mengenai tanggung jawab institusional. Walaupun bulat dalam soal

terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan, secara umum pendekatan BAP ini lemah secara konseptual dan bukti relevan yang terkumpul juga tidak digunakan untuk membuktikan unsur-unsur chapeau.

Namun bagaimanapun juga, BAP dimaksud sudah mengandung bukti dalam jumlah substansial yang dapat menjadi bahan penelitian serius mengenai tanggung jawab institusional. Bukti tersebut menunjukkan bahwa setidaknya pada tingkat lokal terdapat dukungan institusional terhadap milisi pro-integrasi yang menjadi pelaku utama kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu, BAP juga mengandung sejumlah besar bukti yang menengarai bahwa aparat TNI, dan kemungkinan juga aparat kepolisian, terlibat secara langsung dalam perbuatan kejahatan yang nyata dalam bentuk perbuatan bersama dengan milisi. Semua BAP, kecuali dalam tiga kasus yang dicatat di atas, secara sistematis telah gagal menelusuri dimensi tanggung jawab dimaksud.

5.4 PROSES PENGADILAN HAM AD HOC

Persidangan di hadapan Pengadilan HAM Ad Hoc37

Berkas Berita Acara Pemeriksaan yang dibahas di atas memberi dasar pembuktian bagi ke-12 persidangan di hadapan Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta. Terdapat sangat sedikit contoh dimana para Hakim sendiri memasukkan bukti yang tidak terkandung dalam BAP, sehingga pada umumnya sebagian besar bukti yang diajukan bersumber dari BAP yang dilengkapi oleh bukti kesaksian selama persidangan.

36 Terdapat beberapa BAP yang disusun berdasarkan dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan, namun banyak di antaranya

cenderung menarik kesimpulan hanya dengan menyimpulkan dari fakta bahwa pembunuhan telah dilakukan, atau serangan telah terbukti, seperti yang tampak dalam BAP Endar Priyanto, h. 53.; Hulman Gultom, h. 70; Tono Suratman, h. 129; Noer Muis, h. 61; Herman Sedyono, et.al., h.54; Yayat Sudrajat, h. 49; Asep Kuswani et.al., h. 42; Eurico Guterres, h. 53; Adam Damiri, h. 49; dan Soedjarwo, h. 61.

37 Analisis pada bagian ini bersandar pada Laporan kepada KKP Bagian 1, Bab 4, serta Laporan kepada KKP, Appendix 3 untuk

Sebagaimana akan terlihat nantinya, persoalan kuncinya adalah kegagalan pihak Penuntut Umum untuk menggunakan bukti tersebut ketika mengajukan perkara ke pengadilan. Bagian sebelumnya telah menganalisis kerangka hukum BAP yang sempit dan memiliki kekurangan. Mengingat kekurangan tersebut terbawa hingga ke persidangan dalam menyusun dakwaan atas kasus yang diajukan Jaksa, maka tidak perlu lagi dibahas pada bagian ini. Pokok pembahasan di sini adalah kelemahan bagaimana Jaksa menyajikan perkara pada persidangan, bagaimana Majelis Hakim menyikapi kelemahan tersebut, serta dampak kekurangan-kekurangan tersebut terhadap kesimpulan yang dicapai.

Bagian 5.3 di atas menggambarkan bagaimana keterbatasan BAP ini telah

memengaruhi proses persidangan secara negatif. Analisis tersebut tidak perlu dibahas lagi pada bagian ini. Oleh karena faktor-faktor tersebut dan/atau lain, putusan Pengadilan HAM Ad Hoc menghasilkan pertimbangan berbeda-beda yang sering saling bertentangan mengenai apa yang terjadi di Timor Timur antara bulan April dan September 1999. Namun, terdapat kesimpulan-kesimpulan penting yang seragam dalam semua putusan. Kesimpulan terpenting adalah bahwa pada tahun 1999 terjadi pelanggaran HAM berat serta kejahatan terhadap kemanusiaan, dan bahwa kejahatan tersebut sebagian besar dilakukan oleh kelompok-kelompok pro-integrasi dengan sasaran penduduk sipil pro-kemerdekaan. Namun, majelis-Majelis Hakim yang berbeda pada Pengadilan HAM Ad Hoc mengambil kesimpulan yang berbeda pula mengenai pertanyaan penting soal apakah kelompok-kelompok pro-integrasi bersenjata telah dibantu atau didukung oleh anggota-anggota TNI, Kepolisian atau Pemerintah. Oleh karena itu, kesimpulan-kesimpulan mereka juga berbeda mengenai implikasi bagi tanggung jawab institusional.

Ke-12 putusan majelis memberikan empat versi hubungan antara kelompok-kelompok pro-otonomi di Timor Timur dengan institusi-institusi Indonesia, yaitu: 1) Tidak ada hubungan antara milisi dan TNI, Kepolisian, atau Pemerintah. Milisi