• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TELAAH ULANG DOKUMEN

DOKUMEN INDONESIA

5.6 LAPORAN AKHIR CAVR 61

5.6 LAPORAN AKHIR CAVR 61

Laporan Akhir CAVR bukan merupakan hasil suatu proses yudisial atau kuasi-yudisial. Batasan mandat ini perlu selalu diingat ketika membahas temuan dan kesimpulan Laporan Akhir CAVR. Karena hakikat mandatnya, CAVR tidak

melakukan penyelidikan dan pengumpulan bukti sebagaimana yang dilakukan oleh KPP HAM atau suatu Tim Jaksa Penuntut. Walau bermaksud untuk menetapkan kebenaran, karena sifat non-yudisial metodologi yang dugunakan, CAVR tidak menjalankan penyelidikannya sendiri untuk memverifikasi atau mengklarifikasi informasi dari ribuan individu yang telah memberi keterangan. Para pemberi

keterangan juga tidak diperiksa atau diuji-silang seperti layaknya suatu proses yudisial

61 Bagian ini bersandar pada analisis lebih rinci atas Laporan Akhir CAVR dalam Laporan kepada KKP, Bagian II, Bab 7, dan

atau kuasi-yudisial. Selain itu, cakupan mandat CAVR jauh lebih luas bukan hanya tahun 1999, mencakup keseluruhan periode 1974-1999. Dokumentasi kekerasan tahun 1999 tidak menjadi tujuan utama Laporan Akhir CAVR dan pembahasan mengenai kekerasan pada periode itu hanya merupakan bagian kecil dari 2700 halaman Laporan tersebut. Selain menganalisis keterangan saksi, CAVR juga mengupayakan berbagai cara lain untuk memperdalam analisis serta mendukung temuan mereka. Misalnya, mereka mengadopsi Laporan Geoffrey Robinson (Laporan Robinson) yang, antara lain, menganalisis operasi militer Indonesia di Timor Timur, hubungan antara TNI dengan milisi pro-integrasi, kebijakan pemerintah Indonesia, serta lingkup, cakupan, dan pola kekerasan khusus untuk 1999. Selain menggunakan laporan berbagai LSM dan individu atau organisasi lain, CAVR juga memperoleh bantuan ahli dalam mengembangkan analisis statistik mengenai kekerasan tahun 1999.62

Telaah Ulang Dokumen CAVR berjalan di bawah batasan akses tertentu. Komisi memperoleh akses terhadap Profil Komunitas dan akses juga diberikan untuk memeriksa (namun tidak untuk menyalin) transkripsi Wawancara Eksekutif dengan Xanana Gusmão dan Taur Matan Ruak untuk bagian-bagian yang relevan dengan tahun 1999. Selain itu, Telaah Ulang Dokumen juga menganalisis beberapa jilid formulir Proses Rekonsiliasi Komunitas CAVR yang terdapat pada Unit Kejahatan Berat. Dokumen-dokumen tersebut mecakup kesaksian para pelaku yang mendaftar untuk ikut dalam proses rekonsiliasi CAVR. Ketika kesaksian sudah dikumpulkan dari pendaftar, sebuah panel CAVR kemudian melakukan penilaian apakah pendaftar sudah layak untuk menjalani proses rekonsiliasi, yang juga melibatkan konsultasi formal dengan Kantor Jaksa Agung. Kesaksian-kesaksian tersebut diteruskan

kepada SCU untuk memutuskan apakah pernyataan pelaku mengandung informasi yang relevan dengan penyidikan kejahatan berat. Kantor Jaksa Agung kemudian melaporkan kembali kepada CAVR dengan membawa hasil penilaian mereka mengenai apakah tindakan para pelaku perlu diadili, ataukah tidak begitu serius dan layak untuk proses rekonsiliasi di tingkat komunitas. Namun demikian, CAVR tidak memberi akses terhadap keterangan saksi asli. Ketiadaan akses terhadap materi-materi tersebut sering tidak memungkinkan evaluasi atas dasar bukti yang melandasi beberapa temuan Laporan Akhir CAVR.

Laporan Akhir CAVR mencapai kesimpulan luas mengenai tanggung jawab individu dan organisasi. Salah satu kekuatan Laporan Akhir CAVR adalah banyaknya jumlah kesaksian korban dan saksi mata, dan kesaksian-kesaksian tersebut diringkas serta dikutip secara luas dalam Laporan Akhir CAVR. Hal ini sangat kontras dengan proses Pengadilan HAM Ad Hoc dimana hanya sedikit suara korban yang didengar dan sedikit sekali kesaksian dari saksi mata. Uraian kekerasan tahun 1999 yang sebagian besar didasari pernyataan-pernyataan seperti ini memberi gambaran dan sudut pandang penting yang kaya informasi dari orang-orang yang mengalami kekerasan secara langsung. Meski demikian, CAVR tidak memiliki mekanisme mandiri untuk menilai kredibilitas pernyataan saksi atau untuk memverifikasi tuduhan yang terkandung dalam pernyataan tersebut, seperti dalam suatu proses yudisial. Selain itu, tidak seperti dalam proses yudisial, pelaku yang namanya disebut oleh para saksi tidak otomatis mendapat kesempatan untuk menyangkal

tuduhan tersebut dan memberi sudut pandang mereka. Struktur seperti di atas jelas menunjukan bahwa hal ini memang merupakan metodologi suatu komisi kebenaran, bukan suatu pengadilan pidana. Meski demikian, kesimpulan CAVR mengenai tanggung jawab individual berada di luar dari cakupan mandat Komisi Kebenaran dan Persahabatan.

Contoh kesulitan yang dihadapi dalam mengevaluasi kesimpulan berdasarkan pernyataan saksi yang tidak diverifikasi dan dikoroborasi dapat dilihat dalam uraian CAVR mengenai pelanggaran HAM berat dalam kekerasan berbasis jender. Bagian Laporan Akhir CAVR tersebut merupakan contoh paling komprehensif mengenai upaya mendokumentasikan dan menganalisis kekerasan seksual yang dilakukan di Timor Timur pada tahun 1999.

Laporan Akhir CAVR mendokumentasi pemerkosaan berkenaan dengan penargetan perempuan yang memiliki hubungan dengan pendukung pro-kemerdekaan.

Meskipun demikian, rujukan pada pernyataan korban dan saksi acap kali begitu singkat sehingga pernyataan mereka sering tidak memberikan informasi memadai mengenai peristiwa yang terjadi. Karena selama Telaah Ulang Dokumen tidak diperoleh akses terhadap keterangan saksi asli, tidak mungkin untuk dapat

memastikan apakah pernyataan mereka mengandung rincian informasi yang tidak tercakup dalam ringkasan yang dirujuk, misalnya mengenai penargetan korban atau partisipasi aparat TNI, Polri atau Kopassus. Kesaksian mengenai kekerasan berbasis jender menggambarkan suatu penderitaan korban yang sangat mengerikan serta hubungan antara kekerasan seksual dengan bentuk pemaksaan lainnya dalam konteks konflik politik dan bersenjata. Meskipun demikian, sifat proses CAVR menghasilkan laporan dimana kesimpulan umum mengenai tanggung jawab atas kekerasan seksual didasarkan pada pernyataan korban tanpa verifikasi sebagaimana dalam suatu proses penyelidikan mendalam dan sistematis. Hal ini bukan berarti bahwa keterangan-keterangan saksi tersebut tidak benar atau tidak akurat, melainkan bahwa tidak ada proses mandiri untuk memeriksa kebenaran tuduhan-tuduhan mereka. Sebagaimana dicatat di atas, proses non-yudisial semacam ini memang sudah dimandatkan kepada CAVR, namun perlu diakui bahwa kesimplan yang dicapai melalui proses dimaksud memiliki batasan-batasan yang berbeda dibandingkan dengan yang didapat melalui suatu proses penyelidikan yudisial. Kalau CAVR menerima suatu tuduhan yang disampaikan korban sebagai sesuatu yang benar, suatu proses yudisial akan menguji kebenaran tuduhan tersebut. Akan tetapi, seperti yang akan terlihat, beberapa kesimpulan yang dicapai mengenai kekerasan berbasis jender dalam Laporan Akhir CAVR dibenarkan oleh penyidikan yang dilakukan oleh SCU.

Laporan Akhir CAVR juga mencapai kesimpulan umum mengenai peran dan tanggung jawab organisasi dan institusi. Meskipun demikian, kesimpulan umum ini sering kali tidak didukung oleh referensi spesifik terhadap dokumen, kesaksian, atau analisis.

Kesimpulan Laporan Akhir CAVR mengenai pelanggaran HAM berat bersandar pada analisis dasar pembuktian yang luas, didukung oleh analisis kuantitatif mengenai cakupan geografis, rentang waktu, dan demografis kekerasan. Kesimpulan bahwa berbagai macam kategori pelanggaran HAM berat telah terjadi terdokumentasi dengan sangat baik. Demikian pula dengan kesimpulan mengenai tanggung jawab institusional milisi-milisi pro-integrasi dimana terdapat sangat banyak bukti.

Perihal tanggung jawab institusional Indonesia, kesimpulan Laporan Akhir CAVR sangat kuat dan hampir eksklusif melimpahkannya kepada TNI, khususnya kepada pemimpin senior tertentu. Dasar pemberian tanggung jawab kepada mereka adalah Laporan Robinson dan dakwaan-dakwaan SCU. Kelemahan kesimpulan Laporan Akhir CAVR adalah bahwa sering kali tidak ada kutipan atau rujukan pada dokumen atau bukti tertentu sebagai dasar kesimpulan. Sehingga kesahihan kesimpulan CAVR bergantung pada apakah bukti yang mereka rujuk dalam dakwaan SCU dan Laporan Robinson kemudian juga dapat dianggap sahih. Berkenaan dengan dakwaan SCU, penting untuk diketahui bahwa dakwaan merupakan tuduhan yang akan berusaha dibuktikan oleh Penuntut pada persidangan, bukan bukti itu sendiri. Sedangkan materi SCU yang mendukung dakwaan tersebut akan dipertimbangkan pada bagian berikutnya tentang SCU.

CAVR telah mengadopsi Laporan Robinson. Interpretasi laporan tersebut mengenai tanggung jawab institusional telah berpengaruh besar pada perumusan konsep CAVR mengenai peran milisi dan hubungan mereka dengan tanggung jawab institusional angkatan bersenjata Indonesia. Atas dasar alasan-alasan inilah laporan Robinson dibahas di sini, walau bukan merupakan salah satu dari empat laporan yang menjadi pokok pembahasan Telaah Ulang Dokumen. Kesimpulan Laporan Robinson yang paling berpengaruh bagi Laporan Akhir CAVR bertumpu pada argumennya bahwa;

“Sngkatnya, bukt-bukt ... mengajukan dukungan kuat untuk kesmpulan bahwa mls bukanlah badan ndependen yang bertndak d luar jangkauan negara Indonesa, tetap kenyataannya dbentuk, ddukung, dan darahkan oleh phak-phak berwewenang Indonesa.”63

Atas dasar kesimpulan ini Laporan Robinson menolak pandangan bahwa yang bertanggung jawab hanyalah “oknum-oknum” dalam angkatan bersenjata Indonesia. Kesimpulan ini didukung dengan memberi argumen bahwa hubungan erat antara TNI dan kelompok-kelompok milisi bukanlah sesuatu yang baru, melainkan

merupakan kelanjutan sistem yang sudah ada sejak 1975. Robinson juga berargumen bahwa perwira TNI telah secara aktif berperan dalam membentuk

kelompok-kelompok milisi dan bahwa milisi-milisi tersebut;

“... dber kedudukan legal dan poltk resm bak oleh pemerntah Indonesa maupun oleh phak berwenang mlter. Pernyataan-pernyataan publk yang mendukung mls, yang dbuat oleh sejumlah pejabat, merupakan ungkapan tentang pengakuan dan dukungan resm negara kepada kelompok-kelompok tersebut.”64

Dalam banyak hal, kesimpulan di atas mirip dengan kesimpulan yang dicapai KPP HAM mengenai hubungan antara milisi pro-integrasi dengan institusi militer Indonesia. Evaluasi atas kesimpulan-kesimpulan yang dicapai dalam Laporan

Robinson bergantung pada bukti yang mendasarinya. Metodologi Laporan Robinson adalah metodologi akademis serta memberi penekanan pada dokumentasi dan analisis. Laporan ini mengutip banyak bukti-bukti dokumenter dan kesaksian untuk mendukung kesimpulan, namun sulit untuk melacak keberadaan dokumen-dokumen tersebut dalam Arsip SCU atau di tempat penyimpanan lainnya. Dalam

63 CAVR Final Report, Annex 1: East Timor 1999 , Bab 6.3, h. 97. 64 Ibid.

hal Arsip SCU, kesulitan ini muncul karena nomor klasifikasi dokumen yang digunakan Robinson ketika menulis laporannya sudah berubah. Juga terdapat kelemahan signifikan dalam sistem database SCU. Selain itu, Robinson memperoleh banyak dokumen dari arsip Yayasan HAK, namun Yayasan HAK tidak memberikan akses terhadap seluruh dokumen tersebut untuk diperiksa. Komisi kemudian dapat memperoleh akses kepada beberapa bukti yang digunakan dalam analisis laporan tersebut, dan dalam kasus-kasus tersebut laporan Robinson terlihat kredibel. Kekuatan laporan Robinson antara lain:

• Nuansa dan pendekatan metodologis yang saksama dan cukup berimbang. • Pembahasan mengenai sejarah dan pembentukan milisi tahun 1999

• Pembahasan singkat mengenai kekerasan struktural di Indonesia yang memberi sebuah konteks politik dan sejarah yang lebih luas untuk tahun 1999.

• Akses kepada dokumen dan analisis dokumen yang rinci.

• Keragaman dan jumlah sumber yang dikutip, diterjemahkan, dan didokomentasikan dengan baik.

• Argumentasi luas yang menawarkan teori-teori yang didukung bukti untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana pelanggaran HAM terjadi di Timor Timur pada tahun 1999.

• Pembahasan rinci mengenai bukti-bukti tentang pendanaan, serta bentuk dukungan lain yang diberikan kepada milisi, seperti pemberian status khusus. • Pembahasan rinci mengenai berbagai bentuk perbuatan dan tingkatan

akuntabilitasnya.

• Pembahasan rinci mengenai bagaimana teori tanggung jawab individual dan komando berkaitan dengan struktur komando dan struktur budaya yang relevan dengan Timor Timur.

Atas dasar kekuatan-kekuatan di atas dapat dipahami bahwa CAVR mengandalkan laporan tersebut untuk mendukung kesimpulan mereka sendiri. Namun,

sebagaimana yang dicatat di bawah, CAVR seharusnya dapat melakukan lebih banyak analisis independen untuk mengkonfirmasi dan mendukung kesimpulan yang dicapai oleh Robinson.

Kelemahan Laporan Robinson antara lain:

• Laporan ini menerima tuduhan dalam dakwaan SCU tanpa dapat menguji dengan penuh nilai dari bukti dimaksud.

• Bukti yang digunakan cukup kuat dalam hal pengutipan dokumen, namun kadang lemah dalam merujuk keterangan saksi. Akan tetapi, banyak keterangan saksi baru tersedia setelah Laporan Robinson selesai ditulis.

• Laporan ini tidak sepenuhnya mengakui adanya batasan yang melekat dengan menggunakan kategori atau model ketat sebagai metodologi. Terkadang ada penjelasan yang tidak memadai atau mengizinkan faktor acak (randomness) atau pengecualian.

• Catatan kaki kini sulit dilacak atau diverifikasi karena perubahan-perubahan dalam sistem indeks pada SCU. Dokumen-dokumen lain tidak tersedia secara publik, seperti kutipan dokumen yang hanya dimiliki oleh penuli, atau dokumen lain yang disimpan hanya oleh Unit HAM PBB atau Yayasan HAK.

Berdasarkan Telaah Ulang Dokumen, termasuk berbagai dokumen CAVR yang dirinci di atas serta Laporan Robinson, kekuatan dan kelemahan Laporan Akhir CAVR dapat dirangkum sebagai berikut ini:

Kekuatan:

• Informasi latar belakang yang luas guna memahami pelanggaran tahun 1999 dalam suatu konteks historis dan budaya.

• Merupakan koleksi dan analisis data kualitatif yang paling menyeluruh mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur pada tahun 1999.

• Membahas tanggung jawab institusional, baik institusi Indonesia maupun Timor-Leste.

• Merupakan satu-satunya pelaporan menyeluruh mengenai kejahatan seksual yang dilakukan pada tahun 1999.

• Mengetengahkan cerita-cerita korban untuk memberi nuansa kemanusiaan pelaporan pelanggaran HAM berat.

Sebagai rangkuman, Laporan Akhir CAVR merupakan sumber berharga guna

memahami berbagai peristiwa pada tahun 1999 karena dokumen ini menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif serta sudut pandang hukum dan historis dalam mencapai kesimpulannya.

Meskipun dokumen CAVR memberi dasar yang kuat bagi KKP untuk menilai “kebenaran” mengenai peristiwa tahun 1999, terdapat beberapa kelemahan dalam metode dan analisis CAVR, antara lain:

• Terlalu mengandalkan database HAM. Meskipun database HAM merupakan alat yang secara umum memperkuat kualitas Laporan Akhir CAVR, database ini perlu digunakan dengan hati-hati. Database ini menyusun katalog ringkasan kesaksian, bukan kesaksian asli, sehingga pemahaman penuh atas suatu kejadian harus didasarkan pada kesaksian asli dan tidak hanya pada ringkasan yang ada dalam database. Melalui sejumlah kecil penelusuran database, proses Telaah Ulang Dokumen telah menemukan beberapa kesalahan, misalnya kesalahan dalam pemberian kode untuk jenis kejahatan atau hanya mencatat satu kejahatan tanpa mencatat kejahatan lain dalam sebuah kejadian. Satu-satunya cara akurat untuk mengkaji data statistik adalah dengan melihat setiap pernyataan untuk setiap kejadian, karena database akan mengembalikan semua referensi dengan menggunakan kata kunci dalam sistem penelusurannya. Sebagai contoh, ketika memeriksa silang pernyataan Laporan Akhir CAVR bahwa tidak ada kejahatan seksual yang dilakukan oleh Falintil pada tahun 1999, penelusuran database menemukan lima kejadian kekerasan seksual yang dilakukan oleh Falintil. Hanya penelusuran rekam kejadian yang lebih saksama dalam tiap kasus yang menemukan bahwa kelima kejadian tersebut merupakan kesalahan teknis dalam pemberian kode, atau laporan yang tidak sahih. Perlu dicatat bahwa CAVR telah mengambil langkah-langkah untuk secara berkala mengevaluasi dan memperbaiki sistem database-nya selama periode mandatnya. Namun, tingkat kesalahan yang tinggi dalam contoh ini menunjukkan bahwa Database HAM harus digunakan dengan hati-hati. dengan sistem pemeriksaan silang untuk memverifikasi berbagai pernyataan. Data mengenai kasus tahun 1999 juga perlu dilengkapi dengan analisis kualitatif yang lebih mandiri dan menyeluruh.

• Kurangnya pembahasan dan bukti mengenai tanggung jawab institusi sipil (misalnya, pejabat publik) atas pelanggaran HAM tahun 1999.

• Kurangnya pembahasan mengenai Fretilin dan pelanggaran oleh kelompok pro-kemerdekaan pada tahun 1999.

• Kurangnya rujukan untuk menunjukkan dasar bagi beberapa kesimpulan dalam laporan.

• Tidak adanya analisis independen mengenai pelanggaran tahun 1999. Laporan ini terlalu mengandalkan dakwaan yang disusun oleh SCU dan Laporan Robinson, tanpa melakukan pembahasan kritis mengenai sumber-sumber tersebut.