• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TELAAH ULANG DOKUMEN

1. Terjadi “serangan terhadap penduduk sipil”. Serangan semacam ini dapat dikatakan telah terjadi ketika bukti menunjukkan adanya sejumlah substansial

5.2 KOMISI PENYELIDIK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI TIMOR TIMUR (KPP HAM)

KPP HAM diberi mandat untuk menyelesaikan tugas-tugas berikut:8

• Mengumpulkan fakta dan mencari berbagai data, informasi tentang pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur yang terjadi sejak Januari 1999 sampai dikeluarkannya TAP MPR yang mensahkan hasil Jajak Pendapat dengan

memberikan perhatian khusus kepada pelanggaran berat hak asasi manusia antara lain genocide, massacre, torture, enforced displacement, crimes against women and

children, dan politik bumi hangus.

• Menyelidiki tingkat keterlibatan aparatur negara dan atau badan lain - nasional dan internasional - dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sejak Januari 1999 di Timor Timur.

• Merumuskan hasil penyelidikan sebagai dasar proses penyidikan dan penuntutan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Perlu dicatat bahwa mandat dimaksud meliputi unsur-unsur tanggung jawab institusional maupun individual. Dengan kata lain KPP HAM ditugaskan untuk menyelidiki keterlibatan institusi negara dan juga membuat temuan spesifik yang dapat menjadi dasar bagi penuntutan pidana individu-individu.

Dalam melaksanakan mandatnya, KPP HAM melakukan penyelidikan antara lain dengan mengambil pernyataan korban, memanggil saksi-saksi dan pihak-pihak yang diduga terlibat dalam berbagai peristiwa, mengumpulkan bukti mengenai tuduhan pelanggaran, memeriksa tempat kejadian perkara dan gedung-gedung lain yang relevan dengan penyelidikannya, melakukan penggalian kuburan massal, mengumpulkan dokumen-dokumen dan menganalisis fakta. KPP HAM diberi waktu hanya tiga bulan untuk melaksanakan mandatnya ini.9 Ini merupakan waktu yang sangat singkat untuk melakukan investigasi demikian luas, mencakup beraneka ragam kemungkinan kejahatan, yang dilakukan dalam rentang waktu 11 bulan di banyak tempat. Terlepas dari keterbatasan waktu ini, KPP HAM berhasil melakukan penyelidikan sangat luas, termasuk kunjungan berulang kali ke lokasi penggalian kuburan serta pengumpulan bukti di banyak tempat di Timor Timur dan Timor Barat. Namun tidak dapat dihindari bahwa kendala waktu dimaksud telah membatasi jumlah bukti yang berhasil dikumpulkan serta waktu untuk memilah-milah, mengklasifikasi dan menganalisis bukti bagi penyusunan Laporan KPP HAM. Keterbatasan-keterbatasan ini dirasakan dalam melakukan penyelidikan beberapa pelanggaran spesifik yang dimandatkan kepada Komisi, termasuk pemusnahan, penyiksaan, perpindahan paksa, penindasan, pembunuhan, dan pembumihangusan, serta kejahatan berbasis jender. Badan penyelidik yang jauh lebih besar dengan sumber daya lebih banyak sekalipun tidak mungkin dapat melakukan penyelidikan secara penuh atas semua kejahatan dimaksud satu persatu serta menyelidiki tanggung jawab institusional dan individual tekait. Sebagai akibatnya, tidak semua unsur tiap-tiap kejahatan diselidiki dan dilakukan analisis secara penuh. Sebagai contoh,

8 Komnas HAM, Laporan Akhir Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPP HAM), 2000, h. 4. Kata-kata bahasa

Inggris adalah asli dari dokumen ini.

10 Ibid., h. 35, seluruhnya KPP HAM mewawancarai 123 saksi, melakukan 9 kunjungan lapangan, termasuk beberapa Tempat

Kejadian Perkara (TKP) di Timor Timur. KPP HAM juga membuka sekretariat di NTT untuk mendukung kerja lapangannya, seperti persiapan saksi wawancara, dan persiapan penggalian kuburan massal di Desa Alas, dll.

11 Ibid., h. 27. Lihat juga pernyataan Adam Damiri kepada penyelidikan KPP HAM, h.28; pernyataan Yayat Sudrajat kepada

penyelidikan KPP HAM, h.7, 15-18, 40; kesaksian Noer Muis dalam penyelidikan KPP HAM, h.45; kesaksian Leonito Martins pada penyelidikan KPP HAM, h.2, 8; kesaksian Letnan Satu Sutrisno dalam laporan KPP HAM, h.5; kesaksian Eurico Guterres dalam penyelidikan KPP HAM, h.33, 55; pernyataan Kiki Sjahnakri dalam penyelidikan KPP HAM, h.6; kesaksian Timbul Silaen dalam penyelidikan KPP HAM, h.13; kesaksian Glen Kairupan, Laporan KPP HAM, h. 9.

12 Sesuai Statuta ICC, bagi komandan militer berlaku standar yang lebih tinggi dibandingkan dengan atasan sipil. Komandan

militer akan bertanggung jawab ketika mereka mengetahui, atau dalam keadaan tersebut sepatutnya mengetahui, bahwa anah buah mereka melakukan atau akan melakukan kejahatan. Sebaliknya, seorang pejabat sipil hanya bertanggung jawab ketika ia mengetahui, atau secara sadar mengabaikan informasi yang jelas mengindikasikan bahwa bawahan mereka sedang melakukan atau akan melakukan kejahatan. Statuta ICTY dan ICTR tidak membedakan antara atasan militer dan sipil dan terhadap keduanya memberlakukan standar dimana mereka dapat dikenakan tanggung jawab ketika mereka mengetahui atau ada alasan untuk mengetahui bahwa bawahan mereka sedamg melakukan atau akan melakukan kejahatan. Untuk ketiga statuta tersebut kegagalan untuk mencegah atau menghukum setelah atasan mendapatkan informasi semacam ini akan berakibat pada tanggung jawab pidana mereka.

dalam hal kejahatan berbasis jender, KPP HAM dibantu oleh Komnas Perempuan, namun bukti yang diberikan oleh Komnas Perempuan pada umumnya merupakan bukti “tangan kedua” dari data yang dikumpulkan oleh LSM-LSM atau individu-individu lain tanpa proses investigasi dan verifikasi independen. Sehingga, bukti yang dikumpulkan KPP HAM (melalui Komnas Perempuan) untuk kejahatan-kejahatan dimaksud tidak diperkuat secara penuh sebagaimana halnya bentuk-bentuk kejahatan lain dimana KPP HAM sendiri yang mengumpulkan kesaksian korban dan pernyataan terduga pelaku dalam jumlah yang signifikan.10

Keterbatasan Laporan KPP HAM lainnya adalah terkait dengan keputusannya untuk tidak menyelidiki tanggung jawab pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi di Timor Timur selain dari pihak-pihak yang terkait dengan pemerintah Indonesia atau TNI. Laporan KPP HAM memang menyebutkan beberapa insiden dimana terjadi serangan terhadap anggota TNI atau pegawai Pemerintah Indonesia, atau massa pro-integrasi, namun kejahatan-kejahatan ini tidak diselidiki secara penuh.11 Tidak jelas mengapa fokusnya demikian, namun apapun yang menjadi alasan, kenyataannya Laporan KPP HAM membatasi diri pada rekomendasi investigasi dan penuntutan anggota militer Indonesia, institusi-institusi pemerintah dan pemimpin milisi pro-integrasi Timor Timur.

Sebagaimana dicatat di atas, mandat KPP HAM secara luas mencakup tanggung jawab pidana individual dan tanggung jawab institusi. Dalam hal tanggung jawab individual, terdapat banyak modus atau bentuk tanggung jawab hukum yang dapat digunakan untuk menuntut akuntabilitas individu bagi kejahatan terhadap kemanusiaan atau pelanggaran berat hukum internasional lainnya. Hal ini mencakup berbagai bentuk tindak kejahatan, pada perbuatan langsung maupun memerintah, mendorong, merencanakan, membantu dan mendukung, dan seterusnya. Hal ini juga mencakup teori tanggung jawab hukum yang secara luas digunakan dalam penuntutan internasional yakni Joint Criminal Enterprise (Tindak Pidana Penyertaan), yang dipandang sebagai bentuk perbuatan kejahatan yang berakibat pada tanggung jawab individual. Selain itu, hukum internasional juga mengatur tanggung jawab komando (“Tanggung Jawab Atasan” di bawah Statuta ICTY dan ICTR), yang mencakup baik pemimpin sipil maupun militer. Bentuk tanggung jawab seperti ini muncul dari kegagalan atasan militer maupun sipil untuk mencegah bawahan melakukan kejahatan atau kegagalan untuk menghukum mereka sesudah kejadian.12

Dalam rekomendasinya mengenai individu-individu yang perlu disidik oleh Kejaksaan Agung sehingga memungkinan dilakukan penuntutan, Laporan KPP HAM tidak memberi analisis atau temuan spesifik mengenai bentuk tanggung jawab untuk tiap-tiap orang yang terlibat. Misalnya, untuk Jenderal Adam Damiri, KPP HAM hanya menyatakan bahwa ia terlibat dalam “ikut mendukung kegiatan milisi, serta tidak mencegah dan menghukum anggota TNI yang terlibat dalam milisi, tidak mencegah dan menindak keterlibatan anggota TNI dalam milisi.” Tuduhan-tuduhan semacam ini bersifat cukup umum dan tidak rinci, misalnya dukungan seperti apa yang dituduhkan telah diberikan sebagai dasar bagi dakwaan pemberian bantuan dan dukungan. Berkenaan kegagalan untuk “mencegah atau menindak”, Laporan KPP HAM juga tidak merinci anak buah mana yang dimaksud pelanggaran apa yang telah mereka lakukan, atau apakah mereka benar-benar adalah anak buahnya sesuai dengan definisi hukum internasional.13 Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak dibahas secara memadai oleh KPP HAM dan ketidakjelasan mengenai bentuk spesifik serta dasar faktual bagi tanggung jawab individu bahkan lebih buruk lagi pada Pengadilan HAM Ad Hoc, dimana dakwaan dan penuntutannya dibatasi pada tuduhan-tuduhan kegagalan untuk mencegah atau menghukum yang kabur.

Walaupun laporan KPP HAM tidak serinci yang diharapkan dalam hal bentuk-bentuk dan dasar spesifik bagi tanggung jawab individu, terdapat substansi lain dimana laporan ini lebih menyeluruh dibandingkan Pengadilan HAM Ad Hoc, ataupun pengadilan Panel Khusus di Dili. Yang paling signifikan adalah bahwa Laporan KPP HAM membahas secara mendalam konteks keseluruhan kejahatan terhadap kemanusiaan yang ditemukan telah terjadi di Timor Timur. Salah satu kekurangan utama proses Pengadilan HAM Ad Hoc adalah bagaimana Penuntut Umum dan sebagian besar putusan menyikapi tiap-tiap kejadian secara terpisah dan berdiri sendiri, ketimbang sebagai bagian dari suatu “serangan meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil” sebagaimana disyaratkan dalam menetapkan kasus

kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebaliknya, Laporan KPP HAM menganalisis pola-pola pelanggaran secara keseluruhan dan keterkaitan institusional yang mendasari pola-pola tersebut. Untuk alasan itulah Laporan KPP HAM telah berulang kali digunakan oleh TimPenuntut Umum SCU untuk menetapkan unsur “chapeau” atau “kontekstual” kejahatan terhadap kemanusiaan pada pesidangan di Dili. Bahkan Laporan KPP HAM diterima sebagai bukti dalam semua kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di hadapan Panel Khusus, bahkan dalam banyak kasus, para Hakim membuat temuan spesifik mengenai unsur “chapeau” atas dasar Laporan KPP HAM tersebut. Dengan demikian, Laporan KPP HAM memang memberi dasar pembuktian yang kuat bagi temuannya mengenai sifat dan cakupan kekerasan tahun 1999. Sementara temuan-temuan ini diperoleh melalui investigasi berbagai kasus spesifik, KPP HAM bergerak lebih jauh untuk menganalisis secara rinci pola-pola perilaku umum yang muncul dalam berbagai peristiwa. Analisis pola-pola umum dimaksud menjadi dasar kesimpulan Laporan KPP HAM mengenai tanggung jawab institusional. Hal ini patut dipandang sebagai kekuatan paling penting laporan tersebut. Bagian berikut membahas metodologi yang mendasari kesimpulan-kesimpulan dimaksud.

13 Untuk dapat menjadi “bawahan” dalam kaitannya dengan tanggung jawab komando, para pelaku harus dapat ditunjukkan berada dalam “kendali efektif.” Untuk menetapkan adanya “kendali efektif,” bukti harus menunjukkan bahwa komandannya pada kenyataan memiliki kuasa de facto (bukan de jure) “untuk mencegah atau menghukum” para pelaku.

Proses Penyelidikan

Seperti dijelaskan dalam Laporannya, proses penyelidikan KPP HAM dimulai dengan mengumpulkan informasi sekunder dan tersier dari media cetak dan elektronik serta laporan-laporan yang dikeluarkan berbagai institusi, organisasi dan individu mengenai pelanggaran HAM dalam periode Januari-Oktober 1999. Informasi

tersebut dianalisis dan diverifikasi melalui penyelidikan KPP HAM sendiri, mencakup pemeriksaan bukti fisik, dokumenter dan forensik, penggalian kuburan massal,

kunjungan ke TKP, wawancara dan pengambilan pernyataan.

Dalam periode mandatnya yang singkat, KPP HAM berhasil melakukan sembilan penyelidikan lapangan di Timor Timur. Tiga di antaranya melibatkan penggalian kuburan di Nusa Tenggara Timur untuk menggali jenazah korban-korban dugaan pembunuhan massal di Suai, Covalima. KPP HAM juga mengambil keterangan langsung 123 saksi, di Dili, Suai, Liquiça, Maliana, Maubara, Kupang, Atambua dan Jakarta. Saksi-saksi ini mencakup korban, pejabat sipil, perwira militer, anggota dan pemimpin milisi pro-integrasi. KPP HAM juga mengumpulkan bukti luas dalam bentuk dokumen, keputusan-keputusan institusi sipil dan militer, transkrip percakapan radio, liputan media massa atas berbagai kejadian, serta laporan-laporan dari institusi lainnya. Selain Laporannya, KPP HAM juga mengumpulkan seluruh bukti dan keterangan saksi menjadi berbagai database dokumenter sebagai lampiran guna mendukung laporannya. Database ini cukup besar dan mencakup banyak kumpulan bukti fisik dan sebuah indeks dokumen yang mengandung lebih dari 1000 entri. Sumber-sumber bukti tersebut menjadi dasar bagi analisis dan kesimpulan KPP HAM.

Temuan Mengenai Pelanggaran HAM Berat dalam Bentuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

KPP HAM menyimpulkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi di Timor Timur pada tahun 1999. Kesimpulan ini didasarkan pada temuan

mengenai pola-pola spesifik dalam berbagai kejadian kekerasan yang diperiksa oleh Komisi. Pola-pola tersebut melibatkan identitas pelaku dan korban, sifat sistematis metode dukungan dan perbuatan tindak kejahatan, cakupan geografis yang luas dan rentang waktu yang lama dari kekerasan, serta jumlah korban kekerasan. KPP HAM menganalisis kejadian-kejadian baik sebelum maupun sesudah Jajak Pendapat mengklasifikasinya dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk kejahatan tertentu: 1. Pembunuhan

KPP HAM berkesimpulan bahwa pembunuhan dan percobaan pembunuhan telah terjadi. Mereka juga berkesimpulan bahwa pembunuhan-pembunuhan tersebut didasarkan pada motivasi politik atau dasar diskriminatif lainnya, dan pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di luar hukum. Dalam beberapa kasus yang mereka selidiki, pembunuhan terjadi di rumah penduduk sipil, gereja, lokasi pengungsian, serta di markas militer dan kantor polisi. Sebagai contoh untuk kategori terakhir ini adalah kesimpulan mereka bahwa sebuah pembunuhan telah terjadi di Markas Kodim di Lautém pada tanggal 11 September 1999. KPP HAM menemukan bahwa para korban pada awalnya ditahan oleh milisi Tim Alfa tanggal 7 September 1999 dan dibawa ke markas tersebut karena mereka dicurigai sebagai pro-kemerdekaan.